Petani juga menyatakan bahwa pernah terjadi peristiwa cuaca ekstrim di Desa Cibodas. Kejadian cuaca ekstrim yang pernah terjadi yaitu: hujan yang turun
dengan intensitas dan curah hujan yang tinggi, kejadian hujan es, angin puyuh dan juga kejadian kemarau panjang pada tahun awal tahun 90-an Tabel 4.12.
Tabel 4.12. Kejadian cuaca ekstrim di Desa Cibodas
No Kejadian Ekstrim Waktu Kejadian ekstrim
1. Intensitas dan curah hujan besar
Musim hujan tahun 2008-2010 2.
Kemarau panjang Tahun 1991
3. Hujan es
Februari 2012 4.
Kabut tebal Tahun 2008
Sumber: Data primer diolah, 2010
Sebanyak 23 petani menyatakan bahwa peristiwa cuaca ekstrim merupakan tanda telah terjadi perubahan iklim.Sutjahjo dan Gatut 2007, Suhardi
2011 dan BMKG 2011 juga menyatakan bahwa perubahan iklim memiliki pengaruh terhadap kejadian cuaca ekstrim. Namun hubungan antara perubahan
iklim dan cuaca ekstrim sesungguhnya belum dibuktikan secara empiris, hal ini sejalan dengan pendapat Zebarenko 2012 yang menyatakan bahwa pembuktian
secara empiris mengenai pengaruh perubahan iklim terhadap kejadian cuaca ekstrim saat ini masih pada tahap awal penelitian sehingga masih menjadi teka-
teki.
4.4.1 Pergeseran Musim dan Peningkatan Curah Hujan di Desa Cibodas
Petani sayuran di Desa Cibodas terbiasa memperkirakan musim melalui pengetahuan iklim yang umum digunakan masyarakat Indonesia. Sebanyak 100
petani memprediksi musim hujan dimulai setiap bulan Oktober sampai Mei dan
kemarau dari bulan Juni sampai September. Sedangkan pengetahuan lokal mengenai penanggalan pranata mangsa, sudah tidak diketahui atau mulai luntur
dari petani di Desa Cibodas.Petani di Desa Cibodas terutama petani yang berusia tua menyatakan bahwa penentuan musim berdasarkan pranata mangsa sudah sulit
diprediksi. Penentuan musim berdasarkan pranata mangsa dianggap sulit untuk
dibacadiprediksi karena tanda-tanda alam atau bioindikator yang biasa digunakan dalam menentukan musim sudah sulit ditemukan di Desa Cibodas, seperti bambu,
pisang, dan serangga tongeret. Selain itu, petani juga menyatakan bahwa karakter tanaman sayuran umumnya merupakan tanaman introduksi yang berumur lebih
pendek dibandingkan dengan tanaman padi, sehingga petani sayuran tidak lagi tergantung pada musim dalam mengolah lahan berbeda dengan petani
padipalawija yang tergantung musim. Maka dapat dikatakan baik pengetahuan lokal pranata mangsa maupun
pengetahuan iklim secara umum yang dipegang petani saat ini ternyata dianggap petani sudah tidak bisa digunakan karena pada kenyataannya pergeseran musim
terkadang terjadi dengan ekstrim. Selain itu, menurut petani mereka juga kurang mendapatkan informasi dari kelembagaan pemerintah dalam mendapatkan
informasi tentang iklim baik dari dinas pertanian ataupun dari BMKG. Seluruh petani mengatakan bahwa di Desa Cibodas telah terjadi
pergeseran musim yang menyebabkan sulitnya memprediksi awal atau akhir dari musim hujan ataupun musim kemarau.Musim hujan yang dirasakan juga
mengalami perubahan yang terasa lebih panjang, sifat hujan pun dirasakan
berubah yaitu hujan turun dengan curah hujan yang lebih besar dan intensitasnya juga tinggi.
Pergeseran musim dan peningkatan curah hujan udara memberikan dampak terhadap peningkatan resiko kegagalan panen, kerusakan hasil panen dan
juga meningkatkan serangan OPT. Oleh karena itu, petani menjadi lebih selektif dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditanam untuk mengurangi resiko.
Sebanyak 23 petani memilih untuk menghindari menanam tanaman tomat atau cabe di bulan yang diprediksi sebagai bulan basah bulan di saat musim hujan.
Petani memberikan informasi bahwa tanaman tomat dan cabe sangat sensitif dengan kondisi cuaca saat musim hujan, karena serangan penyakit patek pada
tomat dan cabe akan meningkat. Perubahan iklim dianggap memicu peningkatan serangan penyakit patek sehingga resiko kerugian dari serangan OPT ini juga jadi
meningkat. Hal ini sejalan dengan pendapat Yusuf 2010 yang menyatakan bahwa penyakit antraknosa atau patek merupakan momok bagi para petani cabai
karena bisa menghancurkan panen hingga 20-90 terutama pada saat musim hujan.
Tabel 4.13. Curah hujan Tahun 2008 – 2011 di Desa Cibodas
Karakteristik 2008
2009 2010
2011
Curah hujan mmtahun 3551, 4
3683,1 3370,3
1574,6 Jumlah bulan basah
8 10
11 5
Jumlah bulan kering 3
2 5
Jumlah bulan lembab 1
1 2
Curah hujan rata-rata bulanan mmbln
296 306,9
280 131,2
Sumber: Stasiun Margahayu II Atas Balits, data sekunder, diolah 2012
Pergeseran musim dan peningkatan curah hujan dapat menjadi indikator untuk mengukur perubahan iklim BMKG, 2011. Pergeseran musim dan cuaca
ektrim pernah dirasakan petani misalnya pada kejadian musim hujan di tahun 20082009 yang terus berlanjut pada musim kemarau 2009, dimana masih terasa
turun hujan pada musim tersebut bahkan kejadian hujan pun terus ada turun hingga sepanjang tahun 2010. Hal ini dibuktikan dengan data curah hujan dari
Stasiun Margahayu II Atas selama tahun 2008 sampai 2010 Tabel 4.13. Ketidakteraturan musim diduga berpengaruh pada tingkat produksi
sayuran per ha lahan di Kecamatan Lembang Tabel 4.14. Produksi sayur per ha di Kecamatan Lembang pada umumnya mengalami penurunan pada tahun 2009
ketika curah hujan tahuan mencapai
3683,1
mmth dengan jumlah bulan basah selama sepuluh bulan. Sulistyaningsih 2005 berpendapat bahwa pada musim
hujan dengan curah hujan tinggi penanaman sayuran di lahan terbuka akan beresiko mengalami kerusakan fisik pada tanaman sayuran dan umumnya juga
pada musim hujan akan terjadi peningkatan kelembaban yang mengakibatkan berkembangnya penyakit tanaman.
Tabel 4.14 Produksi sayuran per ha di Kecamatan Lembang pada tahun 2009 sampai 2011
No. Komoditas sayur
Produksi per ha 2009
2010 2011
1. Kubis
6.25 214.16
198.95
2. Kembang Kol
3.08 155.83
177.27
3. PetsaiSawiSosin
- 112.50
118.75
4. Cabe Besar
22.12 62.96
98.27
5. Cabe Rawit
75.25 87.96
80.32
6. Tomat
18.42 157.38
96.09
7. Buncis
8.17 36.64
161.36 Sumber: Dispertan Kabupaten Bandung Barat, data sekunder diolah, 2012
4.4.2 Peningkatan Suhu dan Kecepatan Angin di Desa Cibodas