Kritik Inern/ Matan Perspektif Muhammad al-Ghazali

C. Kritik Inern/ Matan Perspektif Muhammad al-Ghazali

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa Ghazali termasuk di antara ulama yang meyakini kedudukan hadis sebagai sumber otoritatif setelah Qur'an. Sekalipun demikian, Ghazali memberikan catatan, bahwa khusus mengenai sunnah nabi, maka ia mengandung sesuatu yang mengharuskan untuk diwaspadai dalam menerimanya, sebab tidak semua hadis yang dinisbahkan berasal dari nabi, benar- benar bersumber dari beliau, juga tidak semua benar pemahamannya atau benar

penempatan masalahnya. 26 Dari uraian di atas, secara eksplisit menunjukkan perhatian Ghazali terhadap

pentingnya penelitian hadis. Semangat dan keseriusan Ghazali dalam mengkritisi berbagai riwayat hadis tertuang dalam beberapa tulisannya, khususnya dalam buku al-Sunnah al-Nabawiyah; Baina Ahl al- Fiqh wa Ahl al-Hadith . Dalam karyanya yang bercorak eksploratif tersebut, secara umum Ghazali lebih menekankan penelitiannya pada matan hadis, baik yang berhubungan dengan kritik yang tujuannya untuk memisahkan atau menentukan sahih tidaknya sebuah hadis, maupun sebagai upaya untuk menemukan makna dan pemahaman yang benar terhadap matan hadis. Dalam kaitannya dengan penelitian yang bertujuan menyeleksi matan hadis, Ghazali menggunakan berbagai tolok ukur, yang merupakan standar dan rujukannya, dalam mengklaim sahih tidaknya sebuah matan hadis. Sedangkan dengan persoalan pemahaman hadis, Ghazali menggunakan berbagai metode dan pendekatan.

26 Ghazali, Fiqh ...., h. 9.

Sekaitan dengan kedua cara yang digunakan Ghazali dalam mengkritisi sebuah hadis, berikut ini akan dideskripsikan dan dikaji secara kritis.

1. Tolok Ukur Kesahihan Matan Hadis Perspektif Muhammad al-Ghazali

Pada prinsipnya Ghazali dalam berbagai tulisannya mengenai hadis tidak pernah secara eksplisit mensistematisasi berbagai tolok ukur yang mesti diberlakukan dalam menilai sahih tidaknya matan hadis. Adapun urut-urutan tolok ukur yang akan disebutkan di bawah ini, adalah hasil dari kesimpulan penulis yang disimpulakn dari sejumlah karya/ tulisan Ghazali mengenai masalah terkait.

Jika berbagai tolok ukur yang sering diberlakukan oleh Ghazali dalam mengklaim sahih tidaknya matan hadis dirinci, maka paling tidak ada empat unsur primer yang menjadi kerangka dasar yang dijadikan patokan, yaitu :

a. Sebuah hadis dinyatakan sahih matannya, apabila tidak bertentangan dengan Qur'an

b. Sebuah hadis dinyatakan sahih matannya, jika tidak bertentangan dengan rasio

c. Sebuah hadis dinyatakan sahih matannya, jika tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih

d. Sebuah hadis dinyatakan sahih matannya, apabila tidak menyalahi fakta historis.

a. Tidak bertentangan dengan Qur'an

Pengujian matan hadis dengan Qur'an bukanlah hal yang baru, Tolok ukur ini telah menjadi sejarah dan bergulir terus hingga zaman ini. Para ulama hadis sepakat Pengujian matan hadis dengan Qur'an bukanlah hal yang baru, Tolok ukur ini telah menjadi sejarah dan bergulir terus hingga zaman ini. Para ulama hadis sepakat

Ghazali dalam berbagai tulisannya mengenai tolok ukur kriteria dapat tidaknya matan hadis diterima, sangat menekankan pada Qur’an, bahkan dapat dikatakan, bahwa kriteria inilah yang menjadi pusat kriteria bagi Ghazali. Sebagaimana ulama lainnya Ghazali mendasarkan pandangannya atas praktek Aisyah yang menolak hadis yang bersumber dari Ibnu Umar, mengenai tersiksanya

seorang mayit lantaran isak tangis keluarganya. 27 Penekanan tolok ukur ini "berkali-kali" diungkapkan Ghazali dalam berbagai tulisannya mengenai hadis, oleh

karena itu upaya intensif dalam memahami Qu’ran harus mendapat perhatian sebelum menelaah hadis, dalam kaitan ini Ghazali mengatakan :

Kegiatan mengkaji kebenaran sumber hadis, tidak sepantasnya dilakukan bagi mereka yang belum memiliki syarat-syarat tertentu yaitu; (1) orang yang belum mempelajari berbagai cabang ilmu Qu'ran dan yang belum dapat menguasai ilmu-ilmu tersebut, tidak sepatutnya melakukan kegiatan meneliti kebenaran sumber hadis dan riwayat-riwayatnya. Sebab Qu’ran adalah sumber terpokok bagi Islam. Qur'anlah yang telah dengan sangat cermat menentukan kewajiban-kewajiban dan hak-hak seorang muslim ...; (2) Setelah benar-benar memahami Qur'an barulah orang dapat memahami dengan benar apa yang dikehendaki oleh hadis; (3) Oleh karena itu, para ulama peneliti hadis berpandangan, bahwa hadis-hadis ahad, harus ditolok bila berlainan dengan lahiriyah Qu'ran dan keumuman nas atau tidak sejalan

dengan qiyas (analogi) yang didasarkan pada hukum-hukum Qu'ran. 28 Pada bagian tulisannya yang lain Ghazali mengatakan :

27 Muslim, Sahih Muslim, Juz III…, .,h. 229 ; Bukhari, Sahih Bukhari Juz III…, h.93.

Aku tidak hendak membuat hal yang baru dalam lapangan agama, yang ingin saya tekankan adalah urgennya memberikan perhatian yang intensif terhadap Qur'an. Ada beberapa kelompok yang terus menerus hanya membaca kitab hadis dan menelantarkan Qur'an. Oleh karena itu pikiran mereka telah tumbuh menjadi bengkok, menjadi panjang ditempat yang seharusnya pendek

dan menjadi pendek ditempat yang seharusnya panjang. 29

Dari uraian di atas, secara eksplisit menunjukkan bahwa selama menyangkut kritik, baik dalam pengertian menyisihkan matan yang dipandang sahih maupun daif, ataupun kritik matan dalam arti upaya menemukan pemahaman hadis yang dapat diterima, Ghazali menggunakan standar Qur'an. Kriteria tidak bertentangan dengan Qur'an, oleh Ghazali diarahkan pada 2 (dua) hal, yaitu; (1). Tidak bertentangan dengan lahiriyah Qu’ran; (2). Dan tidak menyalahi qiyas (analogi) yang didasarkan pada hukum-hukum Qur'an.

Penerapan kritik hadis dengan standarisasi Qur'an, dijalankan secara konsisten oleh Ghazali. Hal ini dapat dilihat khususnya pada buku al-Sunnah al- Nabawiyah . Karenanya tidak sedikit hadis-hadis yang dipandang sahih oleh kebanyakan ulama, misalnya berbagai yang terdapat dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim dipandang daif oleh Ghazali. Bahkan secara tegas dia mengatakan, bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan persoalan kemaslahatan dan muamalat duniawiyah, ia lebih memilih untuk mengutamakan hadis yang sanad nya daif, bila kandungan maknanya singkron dengan prinsip-prinsip ajaran Qur'an, ketimbang hadis sahih (sanad nya sahih) akan tetapi kandungan maknanya tidak singkron dengan inti ajaran Qur'an.

28 Lihat antara lain; Ghazali, Fiqh...., h. 64-73; Ghazali, al-Sunnah...., h. 15, Ghazali, Humum ...., h. 53.

29 Ibid ., h. 51.

Sebagai contoh kasus, dapat disebutkan disini mengenai penolakan Ghazali terhadap hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, karena menurutnya bertentangan dengan Qur'an adalah hadis predestinasi, muatan informasi hadis tersebut sebagai berikut:

Maka demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, adakalanya seseorang di antara kamu mengerjakan suatu amalan ahli surga, sehingga jarak antara dia dan syurga tinggal sehasta namun suratan takdir mendahuluinya sehingga ia pun mengerjakan amalan ahli neraka dan masuklah ia kedalam neraka. Dan adakalanya seseorang mengerjakan amalan ahli mereka, sehingga jarak antara dia dan neraka tinggal sehasta, namun suratan takdir mendahuluinya sehingga

ia mengerjakan amalan ahli surga maka masuklah ia ke dalam surga. 30

Menanggapi dan mengomentari hadis di atas, Ghazali mengatakan bahwa bagaimanapun makna hadis tersebut tidak dapat diterima, karena yang demikian itu bertentangan dengan Qur'an dan sunnah atau dengan akal dan naql. Lebih lanjut Ghazali mengatakan, bahwa setiap hadis yang mengacaukan pikiran atau menafikan kehendak bebas manusia dalam membentuk masa depan ukhrawi mesti disingkirkan, oleh karena prinsip dasar agama yang telah dikokohkan keberadaannya oleh akal dan naql (Qur'an dan hadis sahih) tidak boleh digoyangkan hanya oleh sebuah hadis yang

sanadnya lemah atau matan-nya cacat. 31

b. Tidak Bertentangan dengan rasio

Kriteria berikutnya bagi sebuah matan hadis yang sahih, adalah tidak bertentangan dengan rasio. Kriteria bertentangan dengan rasio dalam tradisi Ghazali, mencakup dua hal, yaitu; tidak memenuhi rasa keadilan atau bertentangan dengan Kriteria berikutnya bagi sebuah matan hadis yang sahih, adalah tidak bertentangan dengan rasio. Kriteria bertentangan dengan rasio dalam tradisi Ghazali, mencakup dua hal, yaitu; tidak memenuhi rasa keadilan atau bertentangan dengan

1). Tidak memenuhi rasa keadilan atau bertentangan dengan HAM (Hak Azasi Manusia) Kata keadilan yang berasal dari kata "adil", dalam bahasa Indonesia pada asalnya diadopsi dari bahasa Arab “al-'adl”, yaitu suatu kondisi kejiwaan seseorang yang mengantarnya pada prilaku jujur dan lurus. Secara harfiah, kata ini diartikan dengan "menempatkan sesuatu pada tempatnya" yang dilawankan dengan kata

zulm 32 ; "menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya". Lalu dalam bahasa Indonesia kata ini secara harfiah berarti, tidak berat sebelah, tidak sewenang-wenang,

memberikan perlakuan dan jaminan yang sama, menentukan mana yang benar dan yang salah. Bila kata ini dikaitkan dengan hukum maka dapat dimaknai, bahwa setiap orang harus mendapat perlakuan yang sama, dalam arti keadilan harus diberikan kepada siapa saja tanpa harus memandang status sosial, latar belakang politik, budaya, ekonomi bahkan agama. Dengan pengertian seperti maka biasa kita

menjumpai ungkapan; "semua manusia sama dengan hukum". 33 Bila dikaitkan dengan persoalan HAM, maka memperoleh keadilan adalah

merupakan hak manusia yang dibawanya sejak lahir, dan sebagai makhluk Tuhan, hak tersebut terjaga dan dijamin oleh Tuhan. Dalam agama (agama apa saja)

30 Bukhari, Sahih Bukhari, jilid VII ... , h. 210 ; Muslim, Sahih Muslim, jilid II ..., h. 451- 452; hadis yang sama juga diriwayatkan oleh Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jilid IV, h.388/ ; Ibnu

Majah, Sunan Ibnu Majah, jilid I….., h. 3940. 31 Ghazali, al-Sunnah ..., h.34

32 Ibrahim Anis, dkk, Al-Mu'jam al- Wasit (Angkasa; ttp,tth), h. 164 & 196. 33 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus …, h. 246.

keadilan adalah salah satu misi, dalam arti setiap agama mengkampanyekan pemberian keadilan pada manusia dan sekaligus sebagai amanat Tuhan.

Berangkat dari pemahaman seperti di atas, maka Ghazali memandang adalah tidak masuk akal bila ada hadis nabi yang mengabaikan rasa keadilan. Karena itu Ghazali berpendapat, bahwa bagaimanapun sahihnya sanad sebuah hadis, jika muatan informasinya bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan prinsip- prinsip hak azasi manusia, maka hadis tersebut tidak layak pakai (daif). Beranjak dari pandangan tersebut, maka Ghazali tidak segan-segan menolak setiap hadis yang dalam pandangannya tidak memenuhi kriteria prinsip keadilan dan prinsip-prinsip HAM. Sekalipun hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh periwayat sekaliber

Bukhari dan Muslim. 34 Sebagai contoh kasus yang dapat disebutkan, mengenai pandangan Ghazali

dalam masalah ini adalah hadis mengenai peniadaan (tidak wajibnya dikenai) hukum qisas 35 bagi seorang muslim yang membunuh orang kafir.

Bagi Ghazali, hadis tersebut di atas tidak dapat dikategorikan hadis sahih, sekalipun memiliki sanad yang berkualitas. Dasar argument bagi penolakan hadis tersebut, karena kandungan maknanya mengabaikan rasa keadilan dan tidak menghargai jiwa manusia. Lebih lanjut menurut Ghazali, bahwa dalam kaidah kemasyarakatan dan pergaulan hidup dengan kelompok non muslim, bagi mereka

34 Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Nasa'i, yang bersumber dari Ali : "Orang-orang Mukmin sama hak darah mereka, dan orang yang terpandang rendah dari mereka

boleh mengerjakan sesuatu atas tanggungan mereka, dan mereka bersatu tangan dalam melawan orang yang lain dari mereka, dan tidak boleh dibunuh orang Mukmin dengan sebab membunuh orang kafir ... lihat; (Ahmad, Musnad Ahmad jilid II. (Beirut; Dar al- Fikr, 1981), h.178 / Abu Dawud, Sunan Abu Dawud Jilid IV... ., h. 31

35 Ghazali, al-Sunnah .'…., h. 18.

adalah hak yang sama sebagaimana diberlakukannya kewajiban yang sama. Oleh sebab itu, adalah sangat na’if bila mengabaikan darah orang yang terbunuh. 36

Beranjak dari pandangan di atas, terlihat jelas bagaimana isu keadilan dimasukkan oleh Ghazali sebagai tolok ukur dalam menilai sahih tidaknya matan sebuah hadis. Diangkatnya isu keadilan oleh Ghazali, disamping berlatar belakang keagamaan (normatif), juga didasari oleh kenyataan yang didapatinya, bahwa hampir semua serangan-serangan yang ditujukan kepada agama Islam yang dianutnya, diarahkan pada isu-isu keadilan dan hak azasi manusia.

Disamping contoh kasus yang telah disebutkan, masih terdapat sejumlah kasus yang berkaitan dengan informasi hadis, yang dievaluasi oleh Ghazali dengan kriteria prinsip-prinsip keadilan. Misalnya, diyat seorang perempuan yang terbunuh separuh diyat seorang laki-laki, menurutnya hal tersebut tidak rasional dan tidak

bermoral. 37

2) Bertentangan dengan ilmu pengetahuan (temuan ilmu pengetahuan modern)

Kedudukan strategis hadis sebagai sumber otoritatif dalam Islam, adalah salah satu alasan mengapa penelitian terhadap kebenaran informasi hadis menjadi penting. Sebagai suatu informasi yang memuat ajaran-ajaran keagamaan yang tidak saja menyentuh aspek-aspek yang bersifat normatif, tetapi juga terkadang

36 QS. 5:45, 48 dan 50. 37 Ghazali, al-Sunnah ...., h. 19.

menyinggung aspek kehidupan yang lain, maka menurut Ghazali penelitian terhadap hadis harus melibatkan berbagai ahli dalam berbagai bidang. 38

Dengan demikian untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang lebih tepat dan komprehensip terhadap suatu hadis, baik untuk mengetahui benar tidaknya suatu hadis ataupun untuk menemukan makna sebuah hadis yang lebih memenuhi sasaran bukanlah monopoli ahli hadis dan ahli fiqhi saja. Tujuannya agar suatu hadis yang berkaitan atau berhubungan dengan persoalan-persoalan tertentu misalnya mengenai masalah; sosial kemasyarakatan, penyakit atau obat-obatan, tidak serampangan dinilai sahih, lantaran sanad nya dipandang berkualitas.

Sikap seperti di atas ditunjukkan Ghazali dalam menyikapi hadis yang berkaitan dengan persoalan "lalat". Menanggapi hadis yang berkaitan dengan persoalan "lalat" tersebut. Ghazali menyatakan; bila hasil penelitian dari pakar ilmu pengetahuan terkait, menyebutkan bahwa pada serangga (lalat) membawa penyakit dan pada saat yang sama juga dapat memberikan penangkal seperti dalam kasus yang disebutkan dalam sebuah hadis, maka hal itu haruslah diterima. Akan tetapi bila berdasarkan penelitian para pakar yang ahli dibidang terkait menyebutkan hal yang

sebaliknya, maka hadis tersebut haruslah ditolok. 39

38 Ibid ., h. 28. 39 Ghazali, Qazaif al- Haq ... op.cit., h. 181; Adapun hadis yang dimaksud, menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda; "Apabila seekor lalat menghinggapi wadah (tempat makan atau minuman kalian, hendaklah lalat tersebut dibenamkan, karena sayapnya yang satu mengandung penyakit dan sayapnya lain mengandung obat." Hadis riwayat Bukhari, bersumber dari Abu Hurairah. Oleh Bukhari hadis ini dimasukkan dalam, Kitab al-Marda wa al-Tib, Juz IV, ….., h. 33.

c. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih

Tolok ukur ketiga yang dijadikan sandaran oleh Ghazali dalam menilai kualitas matan hadis, bahwa hadis yang dijadikan dasar argumen diharuskan tidak

bertentangan dengan hadis mutawatir dan hadis lainnya yang lebih sahih. 40 Atas dasar pandangan ini, Ghazali menolak pijakan hadis yang dijadikan argumen oleh

sekelompok ulama yang mewajibkan penggunaan cadar bagi para wanita. Adapun hadis yang dijadikan dasar oleh sekelompok ulama yang mewajibkan penggunaan cadar bagi wanita, adalah hadis yang bersumber dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadis tersebut menyebut- kan; para wanita mengulurkan jilbabnya dari kepala hingga wajah mereka ketika

berpapasan dengan beberapa penunggang kuda. 41 Menurut Ghazali, hadis ini bertentangan dengan sejumlah riwayat hadis

sahih, yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan lain-lain yang disampaikan oleh sejumlah sahabat nabi. Di mana ditemukan sejumlah indikasi yang hidup dalam masyarakat pada waktu itu yang menunjukkan, bahwa wanita tidak

menggunakan cadar pada masa Rasulullah. 42

40 Pengujian hadis dengan hadis lainnya, dalam pembahasan ilmu hadis berkait dengan persoalan shadh. Dalam pengertian ilmu hadis sebagaimana pendapat Imam Syafi'i, sebuah hadis

dikatakan shadh, adalah riwayat hadis yang disampaikan oleh periwayat thiqah, tetapi bertentangan dengan riwayat lain yang disampaikan oleh sejumlah periwayat, yang juga thiqah (lihat; Ibnu Sallah, 'Ulum al-Hadith ..., h. 48).

41 Lihat antara lain, Ahmad, Musnad Ahmad Juz III ..., h. 287; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud Juz II ... .., h. 163.

42 Lihat antara lain, Bukhari, Sahih Bukhari, Juz II ... ., h. 156; Muslim, Sahih Muslim Juz II ..., h. 176.

Dengan alasan bahwa hadis yang menyebutkan penggunaan cadar bertentangan dengan hadis yang lebih sahih, maka Ghazali secara tegas menolak

setiap peristiwa yang berkaitan dengan masalah tersebut. 43

d. Tidak Menyalahi Fakta Historis

Sebagai sebuah tumpuan dari rekaman kejadian atau peristiwa masa lalu yang didasarkan atas suatu fakta, sejarah memiliki kedudukan penting sebagai alat untuk menilai benar tidaknya suatu riwayat yang dinisbatkan kepada nabi. Oleh karena itu, antara hadis dan sejarah memiliki hubungan sinergis yang saling menguatkan satu sama lain, sehingga dengan adanya kecocokan antara hadis dengan fakta sejarah akan semakin menjadikan hadis tersebut memiliki sandaran validitas yang semakin kokoh. Demikian pula sebaliknya, bila terjadi penyimpangan antara hadis dengan sejarah, maka salah satu diantara keduanya perlu diragukan kebenarannya.

Karena itu salah satu bagian yang menjadi tolok ukur dalam menilai matan hadis, adalah sejauh mana hadis tersebut memiliki hubungan dengan fakta sejarah yang terpelihara dan dikenal secara umum. Ghazali sebagaimana ulama lainnya juga menjadikan sejarah sebagai salah satu alat untuk menilai kebenaran matan sebuah hadis. Karena itu, dia secara tegas menolak setiap riwayat yang menurut hasil analisisnya bertentangan dengan fakta historis yang terpelihara dan dikenal secara umum.

Berangkat dari alasan di atas, maka hadis Nafi' (mawla Umar bin Khattab) yang menginformasikan tentang "terjadinya serangan yang dilakukan oleh kaum

43 Ghazali, al-sunnah ...., h. 40.

Muslim kepada kelompok Bani Musthaliq yang dilakukan secara tiba-tiba, tanpa didahului dengan dakwah agar mereka memeluk Islam", ditolok oleh Ghazali,

sekalipun secara faktual hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. 44 Lebih lanjut menurut Ghazali, bahwa berdasarkan fakta dan pengalaman

sejarah, Rasulullah SAW., dikenal sebagai seorang yang memiliki perilaku kehidupan yang sangat mulia. Oleh karena itu, segala tindakannya mesti dilandasi atas sesuatu yang berdimensi etis, yaitu menghormati hak-hak sesama manusia sekalipun terhadap kelompok non Muslim, sehingga yang tampak dan dikenal dalam sejarah kehidupannya, apabila harus terjadi pergesakan antara komunitas muslim dengan yang lainnya, yang ujung-ujungnya mesti diselesaikan dengan pengerahan pasukan, maka satu hal yang menjadi kebiasaan Rasulullah ketika melepas pasukan perangnya, dipesankan akan tiga hal yaitu;

(i) Serulah mereka kepada agama Islam, jika mereka menerima seruan tersebut, terimalah mereka dan jangan memeranginya. (ii) Ajaklah mereka untuk bersatu pada perkampungan kaum Muhajirin, bila mereka menyetujui, maka kedudukan mereka menjadi sama dengan kaum muslim lainnya dalam semua hak dan kewajiban.

(iii) Jika mereka menolak untuk berpindah tempat, maka mereka disamakan dengan kaum muslim dari kalangan bangsa Arab pengembara dan berlaku kepada mereka hukum-hukum Allah yang berlaku atas kaum muslim secara keseluruhan.

44 Bukhari, Sahih Bukhari, Juz III ..., h. 129 / Muslim, Sahih Muslim, Juz V ....,. h.139

Jika ketiga seruan di atas, belum dipenuhi, maka tetaplah jizyah, jika disetujui maka terimalah dan peliharalah keamanan mereka. Tetapi bila mereka menolaknya,

mintalah pertolongan Allah lalu perangilah mereka. 45 Demikianlah fakta historis yang menjadi kebiasaan Rasulullah SAW.,

sehingga menurut Ghazali, hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Nafi' tidak dapat diterima. Penolakan Ghazali terhadap riwayat tersebut, tidak hanya didasari oleh fakta historis, tetapi muatan informasi riwayat tentang penyerangan terhadap Bani Musthaliq yang dilakukan "secara tiba-tiba", juga bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan antara sesama manusia dan prinsip-

prinsip ajaran Qur'an yang terdapat dalam surat al-Anbiya' ayat 109. 46 Dari pembahasan mengenai tolok ukur kesahihan matan dalam perspektif

Ghazali, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, dapat dijelaskan bahwa acuan-acuan tersebut diterapkan dengan metode perbandingan. Metode tersebut dijalankan dengan cara menelaah dan mengkaji keterkaitan muatan informasi hadis dengan dengan acuan atau tolok ukur yang ada, yang menjadikan Qur’an sebagai acuan sentral dan penalaran sebagai sebagai unsur perekat.

Bila ternyata sebuah hadis yang ditelaah, menunjukkan adanya korelasi atau memiliki kesamaan ide dengan acuan yang ada (Qur’an, rasio (akal sehat), hadis yang lebih sahih dan fakta historis), maka disimpulkan hadis tersebut bersatatus

45 Muslim, Sahih Muslim Juz. II ...., h. 69, 46 Sekaitan dengan riwayat mengenai peperangan yang terjadi dengan Bani Musthaliq

seperti yang dikemukakan di atas sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Ghazali mengatakan: ... Saya tidak dapat memastikan kebenaran riwayat Bukhari dan Muslim, mengenai cara yang ditempuh oleh Rasulullah dalam peperangan melawan Bani Musthaliq. Cara peperangan seperti ini tidak dapat dibenarkan dalam pandangan Islam dan mustahil dilakukan Rasulullah. Oleh karena itu saya tidak yakin kalau cara demikian dilakukan oleh Rasulullah. Saya lebih merasa tenang meyampaikan riwayat yang bersumber dari Ibnu Jarir, walaupun menurut hasil pemeriksaan dan penelitian Syaikh Nashiruddin al-'Albani, hadis tersebut dipandang lemah, namun apa yang disampaikan oleh Ibnu Jarir (Lebih lanjut baca, Tarikh Ibnu Jarir Juz II, h. 160-162) tersebut sejalan dengan akidah Islam yang telah diyakini kebenarannya, yaitu : peperangan tidak boleh dilancarkan kecuali kepada orang yang zalim (Ghazali, Fiqh ...., h. 16-17).

sahih. Demikian pula sebaliknya, bila setelah ditelaah ternyata muatan informasi sebuah hadis tidak memiliki korelasi atau bertentangan secara diametral dengan tolok ukur yang ada, maka disimpulkan sebagai hadis yang daif.

Sementara itu dalam hubungannya dengan tolok ukur ke empat, yaitu penilaian matan hadis dengan fakta historis, yang dijalankan oleh Ghazali, (dalam hal ini kasus penyerangan Bani Mustaliq, yang dalam informasi Nafi’, penyerangan tersebut dilakukan secara “tiba-tiba”), maka setelah memperhatikan dan menelaah pola kritik sejarah yang dilakukannya, menurut penulis tampaknya Ghazali menggeneralisasi suatu persoalan.

Asumsi dasar Ghazali adalah, jika dalam peristiwa-peristiwa terdahulu (peperangan-peperangan yang dilakukan sebelumnya oleh kaum muslimin) ditemukan satu budaya yang hidup dan diperaktekkan oleh Rasulullah SAW., yaitu ketika melepas pasukannya selalu menganjurkan untuk mengadakan negosiasi terlebih dahulu terhadap pihak lawan, kecuali bila dalam negosiasi ditemukan jalan buntu, dan perang adalah satu-satunya jalan keluar, maka perang itupun harus dijalankan dengan sarat tetap menjaga dan memlihara serta menghormati hak-hak asazi manusia. Karena pola ini adalah merupakan pola umum dari budaya Rasul, maka pola iniipun diyakini oleh Ghazali akan terjadi dan terulang dalam peristiwa yang lain.

Berangkat dari pola pandang Ghazali yang demikian, maka bila ditinjau dari sudut teori ilmu sejarah, maka pola pemahaman tersebut dalam ilmu sejarah dikenal

dengan pola pemahaman yang bersifat spiral. 47 Pola pemahaman sejarah demikian

47 Dalam kaitannya dengan pola pemahaman sejarah, maka dikenal tiga pola pemahaman, yaitu pola pemahaman yang bersifat linear, siklus dan spiral. Jika dalam pola pemahaman yang

bersifat spiral, berpandangan bahwa terjadi pasang surut dalam peristiwa sejarah dan akan terjadi pengulangan pada polanya yang umum, maka dalam pola pemahaman yang linear berpandangan ,bahwa dalam sejarah tidak terjadi pengulangan meskipun dalam bentuk polanya yang umum.

mendasai pandangan kesejarahannya atas pandangan yang menganggap, bahwa suatu peristiwa sejarah memiliki saling keterkaitan dan dalam perjalanannya akan terjadi pasang surut, sehingga dalam sejarah terjadi pengulangan didalamnya, di mana pengulangan tersebut bukan pada peristiwanya yang sama tetapi terletak pada polanya yang umum.

Sedangkan bila ditinjau dari segi metode dan pendekatan Ghazali dalam memahami sejarah, menurut penulis tokoh ini dapat dikategorikan menggunakan metode pendekatan antropologi sejarah yang bersifat generalisasi kultural yang sistematik . Yaitu suatu pendekatan yang dimaksudkan guna menemukan pengertian tentang prinsip-prinsip dasar kebusayaan manusia dalam kerangka budaya yang

hidup dalam satu bentangan waktu. 48 Untuk itulah peristiwa penyerangan secara “tiba-tiba” terhadap Bani

Mustaliq, tidak diterima oleh Ghazali sebagai informasi yang valid, karena pola penyerangan tersebut bertentangan dengan pola umum yang menjadi kebiasaan Rasulullah SAW., yang dikenal dalam sejarah. Karena sebagaimana diketahui pola umum dari budaya Rasulullah yang dikenal dalam sejarah adalah, bahwa setiap kali Rasulullah melepas pasukan tempurnya selalu menganjurkan untuk menjaga dan

memperhatikan hak-hak orang lain. 49 Berangkat dari pola pandang sejarah seperti yang disebutkan di atas, maka Ghazali menganggap informasi Nafi’ tentang sistem

Sedangkan pola pemahaman yang bersifat siklus berpandangan, bahwa sejarah itu lahir, tumbuh,berkembang kemudian mati.

48 Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah (Yogyakarta; Logos, 1999), h. 15; Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta; Benteng Budaya, 1995), h.154

49 Anjuran-anjuran Rasullah kepada para sahabatnya ketika melepas pasukannya ke medan tempur selengkapnya dapat dilihat pada halaman 98 tesis ini. Pola anjuran tersebut tampaknya tetap

dijalankan oleh sahabat nabi ketika Nabi telah wafat, hal ini dapat dilihat pada masa KhalifahAbu- Bakar dan Umar, sebagai contoh kasus adalah ketika ekspedisi penaklukan Persia yang dipimpin oleh Salman al-Farisi pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Lihat, Ibnu Jarir, Tarikh Ibnu Jarir juz. IV…, h. 173 dijalankan oleh sahabat nabi ketika Nabi telah wafat, hal ini dapat dilihat pada masa KhalifahAbu- Bakar dan Umar, sebagai contoh kasus adalah ketika ekspedisi penaklukan Persia yang dipimpin oleh Salman al-Farisi pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Lihat, Ibnu Jarir, Tarikh Ibnu Jarir juz. IV…, h. 173

2. Metode dan Pendekatan Muhammad al-Ghazali dalam Memahami Hadis

Pada dasarnya metode dan pendekatan dalam memahami hadis dan sunnah nabi muncul mengiringi kelahiran hadis. Pada era nabi dan para sahabatnya, metode dan pendekatan pemahaman terhadap hadis, sudah muncul di kalangan para sahabat. Hanya saja para sahabat belum atau tidak menemukan kendala yang berarti dalam menafsirkan makna sebuah teks hadis yang mereka dengar, mengingat semua kendala atau kontroversi pemahaman terhadap teks hadis di kalangan sahabat, dengan mudah dapat terpecahkan dengan langsung merujuk kepada sumber primer yang melahirkan teks tersebut, yaitu Rasulullah. Akan tetapi keadaan ini segera berubah, ketika nabi yang menjadi sumber rujukan dari segala persoalan yang mereka hadapi telah tiada, dan secara otomatis segala persoalan yang dirujuk kepada hadis intrepretasinya harus mereka tangani sendiri.

Dalam sejarah diketahui, bahwa sahabat nabi generasi pertama menjadikan teks-teks Qur'an dan hadis sebagai fondasi dari fatwa-fatwa keagamaan mereka. Sementara ijtihad dengan melakukan analogi, baru mereka lakukan manakala ditemui jalan buntu. Dengan demikian, pendekatan rasional ditempuh oleh para sahabat ketika mereka tidak menjumpai dalil Qur'an dan hadis yang menunjukkan masalah terkait.

Setelah masa sahabat berlalu dan umat Islam semakin mengalami perkembangan yang pesat, baik dari segi jumlah pemeluk Islam maupun daerah kekuasaan Islam yang semakin melebar dan luas, maka lahirnya kelompok- Setelah masa sahabat berlalu dan umat Islam semakin mengalami perkembangan yang pesat, baik dari segi jumlah pemeluk Islam maupun daerah kekuasaan Islam yang semakin melebar dan luas, maka lahirnya kelompok-

Secara umum kelompok-kelompok tersebut dapat dipilah mejadi dua aliran besar, yaitu kelompok yang mengapresiasi intervensi akal atau pendekatan rasional dalam memahami dan menafsirkan teks-teks keagamaan, dan pada sisi lain adalah

kelompok yang setia mempertahankan "kekuasaan" teks. 50 Dibanding dengan kelompok yang disebutkan pertama, kelompok yang

disebut belakangan ini mengkonsentrasikan penuh perhatiannya pada teks-teks hadis dalam berbagai masalah, sehingga terkadang mengabaikan sebab-sebab terkait yang berada di sekeliling teks, ketika teks itu dilahirkan. Dalam suasana dan kultur yang masih sezaman dengan nabi, tampaknya sikap demikian "sah-sah" saja, mengingat hampir belum terjadi perubahan yang signifikan dalam gerak budaya manusia, demikian pula gesekan antara kebudayaan lokal dan luar belum terlalu terasa.

Persoalannya kemudian menjadi lain, ketika hadis-hadis tersebut melintasi banyak generasi dan lintas kultural, serta berhadapan dengan berbagai loncatan kemajuan ilmu pengetahuan yang setiap sat mengalir dengan deras, yang berimplikasi terhadap semakin kompleksnya persoalan kehidupan. Maka pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana hadis-hadis tersebut menaungi dan mengatasi sekian banyak persoalan tersebut ?, menjadi mengedepan. Dan, apakah

50 Secara geografis, kelompok Ahl al-hadith mendiami wilayah Hijaz, sedangkan Ahl al-ra'y berada atau menempati wilayah Irak dan wilayah-wilayah yang jauh dari Irak.

hadis-hadis nabi yang diluncurkan 14 abad silam, masih memadai untuk menampung dinamika dan arus deras persoalan kehidupan manusia dari zaman ke zaman?

Menjawab pertanyaan di atas, nampaknya jalan yang ampuh dan tepat untuk tetap mengaktualkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam teks hadis, ialah dengan mengembangkan pendekatan yang bercorak rasionalistik dengan segala ragamnya dalam memahami hadis. Pendekatan rasional dalam memahami teks keagamaan bukanlah hal yang baru. Sebagaimana dikatakan sebelumnya corak berpikir rasionalistik dalam memahami teks, telah terlihat bentuknya pada masa-masa awal, yang sekaligus sebagai anti tesa dari kelompok yang lebih cenderung menggunakan pendekatan tekstual. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok yang lebih mementingkan makna lahiriyah dari teks sebuah hadis disebut dengan ahl al-hadith. Sedangkan kelompok yang mengembangkan penalaran terhadap faktor-faktor yang berada dibelakang teks disebut ahl al-ra'y.

Dalam wacana fiqhi, istilah ahl al-ra'y mengacu pada mazhab Abu Hanifa, sedangkan dalam khazanah kalam klasik istilah ini diorientasikan pada kalam Muktazilah. Dalam perkembangan lebih lanjut, ahl al-ra'y digolongkan sebagai kelompok yang memeliki semangat pembaruan. Kelompok ini mengakui eksistensi akal fikiran sebagai perangkat yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan hukum dan etika. Sedangkan kelompok ahl 'l-hadith dalam mazhab fiqhi dirujuk pada mazhab Ahmad bin Hanbal, yang berpandangan bahwa segala hal harus diujuk pada teks yang ada.

Akan tetapi sekalipun kelompok ahl al-ra'y mengakui eksistensi akal fikiran, namun pemanfaatan akal fikiran tidaklah semaksimal para filosof dalam menggunakan akal. Karena itu, serasional-rasionalnya ahl 'l-ra'y penggunaan akal Akan tetapi sekalipun kelompok ahl al-ra'y mengakui eksistensi akal fikiran, namun pemanfaatan akal fikiran tidaklah semaksimal para filosof dalam menggunakan akal. Karena itu, serasional-rasionalnya ahl 'l-ra'y penggunaan akal

Dari kecenderungan yang disebutkan diatas, maka Ghazali tampaknya lebih cenderung untuk memilih dan berada pada kelompok yang mengapresiasi penggunaan rasio dalam memahami teks hadis. Kecenderungan demikian ditunjukkan dengan pola kajiannya terhadap hadis yang selalu berusaha melihat kembali pada kenyataan-kenyataan historis yang berada dibalik sebuah riwayat hadis. Hal tersebut dilakukan oleh Ghazali dengan cara menganalisa faktor-faktor historis, sosiologis maupun antropologis. Oleh karena itu, dia lebih mengarahkan kajiannya pada penemuan makna konteks dari sebuah riwayat, ketimbang makna teks itu sendiri.

Dalam banyak hal, kecenderungan berfikir dengan pendekatan kontektual mewarnai kajian-kajian Ghazali terhadap hadis. Hal ini dapat dilihat pada ketidak setujuan Ghazali terhadap larangan kepada wanita untuk bertindak sebagai pemimpin, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang bersumber dari

Abu Bakar. 52 Dalam mengomentari hadis di atas, Ghazali mengatakan bahwa hadis tersebut

memiliki kualitas sanad yang sahih demikian pula dengan matan nya. Akan tetapi untuk menemukan makna sebenarnya yang dituju oleh hadis tersebut, maka kaitan sejarah dan konteks sosial masyarakat yang dituju oleh hadis harus diperhatikan dengan seksama.

51 Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Philosophy, terj. M.Amin Abdullah, Pengantar Filsafat Islam , (Jakarta: Rajawali Press, 1989), h. 138.

52 Bukhari, Sahih Bukhari, Juz IV ...., h. 4163.

Lebih lanjut Ghazali menerangkan, fakta sejarah menunjukkan, bahwa hadis tersebut diucapkan oleh nabi terkait dengan peristiwa suksesi di negeri Persia, yang pada waktu itu berada di bawah ambang kehancuran. Dan diketahui pula bahwa sistem pemerintahan mereka menganut paham monarkhi. Keluarga kerajaan tidak mengenal sistim musyawarah dan tidak menghormati pendapat apapun yang ber- lawanan dengan pendapat mereka. Hubungan antara keluarga kerajaan dan rakyat sangat buruk.

Dalam pada itu, ketika pasukan-pasukan Persia telah dipaksa mundur dan luas wilayahnya semakin menyempit, sebenarnya masih ada kemungkinan untuk menyerahkan kepemimpinan negara kepada seorang jenderal yang piawai yang mungkin dapat menghentikan kekalahan demi kekalahan. Namun paganisme politik telah menjadikan rakyat dan negara sebagai harta warisan yang tidak tahu apa-apa. Hal inilah yang menandakan, bahwa negeri Persia sedang menuju ambang kehancuran. Dalam hubungan inilah, nabi mengucapkan hadis tersebut yang benar- benar melukiskan keadaan sesungguhnya waktu itu.

Oleh karena itu, menurut Ghazali, seandainya sistem pemerintahan di Persia berdasarkan musyawarah dan seandainya wanita yang menduduki singgasana kepemimpinan mereka seperti Golda Meir yang memimpin dan memerintah negeri Israel, niscaya komentar dari nabi berbeda dengan apa yang kita temukan pada hadis

tersebut. 53 Pola kajian yang bersifat kritik dan analitik seperti yang disebutkan di atas,

mewarnai kajian-kajian Ghazali dalam upayanya memahami makna dari pesan-pesan hadis. Dengan demikian uraian di atas memberikan gambaran mengenai metode dan mewarnai kajian-kajian Ghazali dalam upayanya memahami makna dari pesan-pesan hadis. Dengan demikian uraian di atas memberikan gambaran mengenai metode dan

Selain menggunakan pendekatan historis dan sosiologis, Ghazali juga memperhatikan aspek antropologis 54 dalam memahami pesan dari teks hadis. Hal ini

dapat dilihat ketika Ghazali mengomentari tentang informasi hadis yang berkaitan dengan medel dan pilihan dalam berpakaian, misalnya sebuah hadis yang

menyebutkan perintah untuk memakai gaun yang berwarna putih. 55 Mengomentari hadis ini Ghazali mengatakan, bahwa memilih jenis dan warna

pakaian tidak memiliki sangkut paut dengan ajaran agama, dalam arti urusan mode maupun warna sangat terkait dengan kondisi budaya dan geografis di mana seorang hidup. Kalaupun dalam kenyataannya nabi terlihat sering menggunakan gaun yang berwarna putih atau kadang juga menggunakan gaun yang berwarna gelap. Hal itu sangat terkait dengan budaya dan kondisi alam di mana nabi bertempat tinggal.

Oleh karena itu, seseorang yang bermukim pada daerah yang cuacanya panas, maka lazimnya mereka memilih untuk menggunakan gaun berwarna putih. Demikian pula sebaliknya, orang yang tinggal pada daerah yang bercuaca dingin, akan cenderung memilih pakaian yang berwarna gelap, hal yang demikian, juga terlihat

pada diri dan kebiasaan nabi. 56 Pandangan Ghazali yang demikian secara jelas menunjukkan kesinkronan

dengan pengertian hadis dan sunnah yang dianutnya, dimana telah disebutkan

53 Ghazali, al-Sunnah.…, h. 48-49. 54 Pendekatan antropologis dalam memahami hadis,dilakukan dengan cara melihat wujud peraktek kehidupan yang tumbuh dalam suatu masyarakat. Lihat, H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam , (Jakarta: Rajawali Press, 1998), h. 108. 55

Di dalam sebuah hadis yang bersumber dari Samurah, disebutkan bahwa, Rasulullah bersabda: Pakailah oleh kalian pakaian yang berwarna putih, karena hal tersebut lebih baik dan lebih suci ... Lihat, Nasa'i, Sunan al-Nasa'i, Juz.III,. (Neirut:.Dar al-Fikr, th. 1989). h. 243.

56 Ghazali, al-Sunnah..., h. 75 56 Ghazali, al-Sunnah..., h. 75

mutlak. 57 Dari serangkaian pembahasan mengenai metode dan pendekatan Ghazali dalam

memahami hadis terlihat, bahwa faktor-faktor histotoris sosiologis maupun antropologis selalu mendapat perhatian. Hal tersebut dilakukan oleh Ghazali, guna menemukan dan sekaligus mendekati konteks dari suatu persoalan yang dibahasnya.

Bila ditelaah lebih lanjut dapat dikatakan, bahwa pendekatan kontekstual yang dilakukan oleh Ghazali dalam memahami hadis, secara eksplisit polanya masih merupakan kelanjutan dari sistem dan cara Ghazali dalam mengkritisi matan hadis (kritik dalam rangka memisahkan matan yang sahih dan tidak). Pola yang dimaksud adalah tetap menjadikan Qur’an sebagai elan vital dari asumsi dasarnya. Dengan kata lain Qur’an sebagai sumber ide dan gejala-gejala kemasyarakatan yang dikaji atas dasar analisis rasio dijadikan sebagai unsur perekat.

Untuk itu dalam memahami hadis nabi, Ghazali tidak hanya mendasari pemahamannya atas dasar pendekatan teologi normatif (pendekatan imaniyah), yang mempercayai hadis sebagai panutan normatif dalam baragama dan diterima apa adanya sebagai suatu kebenaran. Tetapi lebih dari itu, hadis harus ditelaah secara kritis dengan meletakkannya dimuka cermin Qur’an yang dilengkapi dengan alat bantu lainnya seperti kajian sejarah, sosiologi maupun antropologi.

57 Rahman, Islamic..., h. 12.

Berangkat dari hal tersebut penulis berkesimpulan, bahwa pada prinsipnya metode yang dterapkan Ghazali dalam memahami hadis adalah metode sintesis, yaitu metode pemahaman yang memadukan antara keyakinan terhadap kedudukan hadis yang dipercayai sebagai salah satu sumber otoritatif dalam ajaran Islam, dengan prinsip-prinsip ilmiah yang berasal dari penalaran rasio manusia. Dengan kata lain Ghazali sebenarnya mengemas sistem pemahmannya dari ketentuan normatif teologis, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan historis, sosiologis dan antropologis yang timbul dalam dalam bentangan sejarah kehidupan manusia.

Untuk menemukan pemahaman hadis yang demikian, maka langkah metodologis yang dilakukan oleh Ghazali adalah, (1) mengumpul atau menghimpun hadis yang berada dalam satu tema, (2) menelaah dan mengkaji asbab al-wurud- nya, atau dengan memperhatikan konteksnya (disini Ghazali bukan mentarjih hadis berdasarkan kesahihan sanad hadis semata-mata) dengan meperhatikan kondisi sosial budaya dan kesejarahan hadis, (3) setelah tahap satu dan dua dilalui, selanjutnya

diambil kesimpulan pemahaman yang terkandung dalam matan hadis. 58 Metode dan pendekatan kajian hadis seperti di atas, umumnya diarahkan oleh

Ghazali untuk menyimpulkan suatu persoalan-persoalan yang bernuansa hukum praktis kemasyarakatan. Dikatakan demikian, karena pada kenyataannya tema-tema pembahasan Ghazali dalam berbagai karyanya selalu menyorot persoalan-persoalan tersebut.

Dari serangkaian pembahasan pada Bab. III, khususnya yang berkaitan dengan pusaran pemikiran Ghazali tentang kritik matan, menunjukkan bahwa selama

58 Muhammad al-Gazali, Laysa min al-Islam, a.b. Muammal Hamidi, Bukan dari Ajaran Islam, (Surabaya ; Buna Ilmu, 1994), hh. 27-30 58 Muhammad al-Gazali, Laysa min al-Islam, a.b. Muammal Hamidi, Bukan dari Ajaran Islam, (Surabaya ; Buna Ilmu, 1994), hh. 27-30

Adapun menyangkut usaha untuk menemukan makna secara proporsianal dari pesan sebuah teks hadis, maka dalam hal ini Ghazali selalu merujuknya pada situasi dan latar belakang kelahiran teks tersebut, dengan memperhatikan kondisi sosio kultural dan budaya dimana teks tersebut diproduksi. Usaha ini dilakukan Ghazali untuk menemukan konteks dari sebuah permasalahan.

Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai sistim dan cara yang digunakan Ghazali dalam menilai matan dan memahami hadis, akan dijelaskan pada uraian analisis,yang terdapat pada Bab IV tesis ini.