Tinjauan Umum Terhadap Aplikasi Teori Kritik Intern/ Matan Model Muhammad al-Ghazali

A. Tinjauan Umum Terhadap Aplikasi Teori Kritik Intern/ Matan Model Muhammad al-Ghazali

Menurut Ghazali, setidaknya ada empat dasar yang dapat dijadikan acuan, untuk kepentingan penilaian suatu matan sehingga dapat dikategorikan sebagai matan yang sahih. Empat hal tersebut adalah; (1) Matan hadis yang sahih disyaratkan tidak memiliki pertentangan dengan isi pokok ajaran Qur'an. (2) Isi dan kandungan sebuah hadis yang sahih, mesti tidak menyalahi ketentuan akal dan logika sehat. (3) Sebuah hadis yang matannya sahih, tidak memiliki pertentangan dengan informasi dari hadis yang lebih sahih, dan. (4) Matan hadis tidak menyalahi fakta historis.

Keempat acuan tolok ukur kesahihan matan tersebut, dalam prakteknya dijalankan oleh Ghazali dengan membandingkan (metode komparasi) setiap matan hadis dengan tolok ukur di atas. Karenanya, ssebuah hadis akan dipandang sahih bila hadis tersebut memeliki kesinkronan ide dengan empat acuan tersebut.

Pada prinsipnya kriteria-kriteria di atas bukanlah hal yang baru, mengingat para pakar hadis sebelumnya, juga telah menyusun berbagai syarat dan tolok ukur yang harus dipenuhi oleh sebuah matan hadis. Kriteria-kriteria serupa yang kurang lebih sama telah lahir dalam berbagai fariasi. Meskipun ada beberapa perbedaan dari sekian banyak kriteria yang disusun oleh para ulama, namun demikian, dalam pandangan penulis perbedaan-perbedaan yang ada hanya menyangkut rincian saja.

Sehingga antara satu jenis tolok ukur dengan tolok ukur yang lainnya dapat saling mengisi dan menyapa.

Khusus mengenai empat kriteria acuan tolok ukur yang digunakan Ghazali dalam menilai suatu hadis, maka berdasarkan kajian penulis terhadap penggunaan kriteria di atas, dapat disimpulkan bahwa tolok ukur pertama yaitu; matan hadis harus tidak bertentangan dengan isi pokok ajaran Qur'an adalah "senjata" utama dan paling sering digunakannya dalam menghukum suatu hadis. Dengan kata lain titik tekan utama Ghazali dalam menilai kesahihan matan hadis bertumpuh pada kriteria ini. Adapun tiga kriteria lainnya terkadang digunakan hanya sebagai penunjang jsutifikasi. Oleh karena itu, kendatipun sebuah hadis setelah dianalisa dan dikaji dinyatakan bertentangan dengan akal yang sehat, namun pada ujung-ujungnya apa yang dimaksud dengan akal sehat tersebut kembali kepada sesuatu yang dirujuk kepada nas Qur'an. Dengan demikian, akal hanya dijadikan bahan “justifikasi” saja terhadap teks Qur'an.

Penggunaan Qur'an sebagai titik sentral pengkajian matan hadis, baik sebagai acuan tolok ukur guna mengklaim sahih tidaknya matan hadis atau sebagai acuan dalam memahami makna hadis, sesungguhnya memiliki akar sejarah yang kuat dalam peta pemikiran kritik hadis. Metode kritik hadis dengan cara demikian telah dilakukan oleh para sahabat nabi pada masa awal, dan inilah yang dirujuk Ghazali.

Dalam kenyataannya Ghazali sendiri mengakui, kalau apa yang dilakukannya, hanyalah merupakan pengulangan sejarah dari cara yang ditempuh

sahabat nabi, dalam hal ini khususnya Aisyah. 1 Metode kritik matan sebagaimana

1 Muslim, Sahih Muslim Juz III ...., h. 229.

yang dipraktekkan oleh sahabat, dalam kasus ini terlebih khusus kepada cara yang ditempuh Aisyah, oleh al-Adlabi dipandang sebagai cara yang terbaik. 2

Bila dibandingkan dengan cara pendekatan kritik matan yang didesain oleh ulama hadis pasca masa sahabat, dalam persoalan tahapan kritik matan tampak ada perbedaan menyolok dengan cara pandang yang digunakan Ghazali dalam mengkritisi matan hadis. Pada umumnya ulama hadis mengharuskan dilakukan kritik sanad terlebih dahulu, kemudian mengkaji perbedaan lafat dari matan hadis yang semakna. Setelah kedua hal ini terselesaikan baru melangkah pada kritik matan

dengan melihat kandungannya. 3 Oleh karena itu, penelitian atau kritik terhadap kandungan matan dengan

menerapkan tolok ukur kesahihan matan hadis, baru dipandang urgen bila penelitian terhadap sanad menunjukkan, bahwa hadis yang akan dikritisi matannya, memiliki sanad yang berkualitas sahih. Tegasnya adalah bila sanad suatu hadis tertolak, maka penelitian terhadap matan tidak perlu lagi dilakukan.

Dalam kasus pemikiran Ghazali, tampaknya tidak ada keharusan yang demikian, baginya penelitian matan hadis adalah suatu yang urgen, sebab setinggi apapun kualitas sanad sebuah hadis jika matannya bertentangan dengan Qur'an, akal, hadis yang lebih sahih dan tidak sesuai dengan fakta historis, maka hadis tersebut tidak berguna. Sebagai konsekuensinya kritik matan tetap terbuka, sekalipun tanpa meneliti sanad terlebih dahulu. Oleh karena itu, adalah wajar bila dalam pandangan dan pendapat Ghazali, banyak sekali hadis yang dinilai daif atau tertolak sekalipun memiliki sanad yang berkualitas sahih.

2 al-Adlabi, Manhaj ...., h. 365. 3 Syuhudi Ismail, Metodologi ...., h. 122.

Sekalipun pendekatan kritik matan model Ghazali, dalam prakteknya dilakukan secara lansung tanpa mengikuti tahapan metodologis (yaitu meneliti sanad terlebih dahulu sebelum meneliti matan), tetapi tidak berarti Ghazali memandang keberadaan sanad hadis sebagai hal yang dapat diabaikan begitu saja (atay tidak memiliki nilai penting). Dari pelacakan terhadap sejumlah tulisan Ghazali, dapat

ditemukan penegasannya tentang nilai penting sanad dalam sebuah hadis. 4 Dalam buku al-Sunnah al-Nabawiyah, Ghazali mengakui secara tegas bahwa lima tolok

ukur kesahihan sebuah hadis yang terdiri dari tiga hal yang menyangkut sanad dan dua hal yang menyangkut matan, menunjukkan betapa telitinya sistem kritik hadis, yang dibangun oleh para ahli hadis masa awal.

Dengan kelima kriteria yang ada para ulama telah melakukan penyeleksian hadis dengan maksud mencari hadis yang dipandang sahih untuk dapat diamalkan dan menyisihkan yang lain yang tidak layak diamalkan. Dari seleksi tersebut kemudian muncullah kategori hadis sebagaimana yang kita kenal dengan istilah sahih, hasan dan daif.

Dan ketika kita mempersoalkan suatu hadis, maka yang dipersoalkan sebanarnya adalah hadis yang berstatus ahad, sedangkan hadis yang berstatus mutawatir tampaknya telah ada kesepakatan, bahwa hadis yang mutawatir adalah ma’ mul bih.

4 Satu karya Ghazali yang diberinya judul Fiqh al-Sirah , yang merupakan deskripsi sejarah kehidupan Nabi, ditulis oleh Ghazali dengan melalui penyeleksian sanad dan matn hadis, sehingga

menjadikan buku ini berbeda dengan buku sejarah lainnya. Dalam buku ini terlihat jelas seleksi sanad yang menginformasikan suatu peristiwa sejarah benar-benar dilakukan secara ketat oleh Ghazali. Buku ini secara khusus diedit oleh seorang ahli hadis terkemuka zaman ini yaitu Nasiruddin al- Albani. Karena nya banyak sekali cerita atau riwayat sejarah yang ditampilakan dalam buku-buku sejarah, dalam Fiqh al-Sirah tidak dimuat oleh Ghazali karena dinilai oleh Ghazali sanad nya tidak berkualitas

Dari data sejarah diketahui, bahwa penelitian hadis yang berkaitan dengan sanad telah dilakukan sejak masa awal (pasca sahabat), yaitu dengan cara meneliti

dan menelusuri kredibilitas 5 para periwayat berikut kapasitas intelektualnya, sehingga muncullah cabang ilmu hadis yang disebut ilm al-jarh wa al-ta dil.

Yaitu; ilmu yang mengakaji segala persyaratan yang harus dipenuhi oleh periwayat hadis dalam kaitannya dengan diterima tidaknya hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat. Dalam istilah ilmu hadis al-jarh mengandung makna kecacatan seorang periwayat yang mengakibatkan hadis yang disampaikan menjadi tertolak. Adapun al-ta dil mengandung pengertian tentang keadilan dan kejujuran seorang periwayat sehingga riwayat yang disampaikan dapat diterima.

Dengan berbagai kitab rijal yang ada, yang memuat keterangan tentang sejarah para periwayat hadis baik yang menyangkut kapasitas intelektual dan kredibilitas pribadi seorang periwayat, tidak dapat dipungkiri sebagai karya dan warisan intelektual yang patut dihargai. Apalagi bila mengingat berbagai kriteria yang telah disusun dan diberlakukan untuk menilai dan menelaah kapasitas intelektual dan kredibilitas pribadi seorang periwayat yang terdapat dalam berbagai kitab rijal, tingkat ketelitiannya cukup representatif bila ditinjau dari sudut ilmu sejarah (penelitian biografi tokoh sejarah) .

Maka bukanlah suatu hal yang berlebihan, bila dikatakan tajrih dan ta’dil, rasanya telah selesai dilakukan, dalam pengertian bahwa segala hal yang menyangkut kredibilitas periwayat telah dibukukan secara baik dan ketat oleh para ahli hadis sebelumnya, sehingga untuk melacak kredibilitas seorang periwayat, para

5 Penelitian-penelitian tersebut dimaksudkan agar hadis benar-benar memiliki sumber dan dasar pijakan yang jelas, sehingga orang tidak dengan mudah mengatakan bahwa setiap informasi 5 Penelitian-penelitian tersebut dimaksudkan agar hadis benar-benar memiliki sumber dan dasar pijakan yang jelas, sehingga orang tidak dengan mudah mengatakan bahwa setiap informasi

Tetapi tidak demikian halnya dengan kritik matan, sekalipun telah dirintis oleh generasi sahabat dan ulama-ulama terdahulu, namun sinar kritik matan tidaklah seterang sinar kritik sanad, sehingga menimbulkan kesan dalam tubuh umat Islam kalau kriteria sahihnya sebuah hadis semata-mata terpaku pada sanad saja.

Untuk itu progresivitas Ghazali dalam menerapkan berbagai tolok ukur kesahihan matan hadis yang terkesan mengabaikan pentingnya penelitian sanad, bila ditinjau dari perspektif paparan di atas dapat dimengrti, apalagi bila mengingat umumnya hadis yang dikritisi oleh Ghazali adalah hadis-hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, yang secara faktual kualitas sanad nya diakui memilki tingkat validitas yang tinggi. Dalam kerangka inilah, mungkin Ghazali memandang penelitian sanad khususnya ketika mengkrtisi hadis-hadis Bukhari dan Muslim, hanyalah membuang waktu dan energi.

Dalam perspektif uraian di atas dapat nyatakan, bahwa baik penelitian sanad maupun matan bagi Ghazali sebenarnya memiliki nilai yang sama pentingnya. Dan kalaupun dalam kenyataannya hal itu (penelitian sanad) jarang atau nyaris tidak dilakukan oleh Ghazali, hal itu lebih disebabkan, karena penelitian sanad dalam rangka menelusuri mata rantai periwayat “dianggap” telah selesai atau paling tidak telah dilakukan oleh para ulama terdahulu dengan cara yang sistematis dan sangat ketat.

yang berisi nasihat dan wejangan keagamaan dengan mudah dan secara serampangan disebut sebagai hadis.

Karena itulah dapat ditegaskan, bahwa penelitian sanad diperlukan adalah sebagai upaya untuk membuktikan, bahwa hadis atau informasi yang berkaitan dengan sunnah nabi memiliki nilai kesejarahan yang otentik dan dapat ditelusuri hingga masa awal. Karenanya informasi hadis bukan hanya rekaan atau karangan para ulama sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian orientalis. Dalam perspektif inilah Ghazali menganggap pentingnya kedudukan sanad hadis.

Jika kita kembali kepada latar belakang kehidupan social dan politik yang melingkupi Ghazali, dapat ditemukan indikasi, bahwa "ngotot" nya Ghazali mempraktekkan cara yang ditempuhnya tidak lepas dari upayanya untuk mengimbangi kecendrungan pengkajian hadis yang ia temukan dalam masyarakatnya, yang dalam batas-batas tertentu hanya menekankan kesahihan hadis dari segi sanad saja. Konsekuensinya adalah, tidak sedikit hadis yang kemudian diamalkan dan dipandang sebagai sunnah nabi, tetapi dalam kenyataannya berseberangan dengan makna dan kandungan Quran, nilai-nilai keadilan dan hak asasi. Akibatnya menurut Ghazali, Islam menjadi tertuduh dan didakwa sebagai agama yang tidak universal.

Dengan demikian, menurut penulis apa yang dilakukan oleh Ghazali dalam upayanya mengkritisi dan memberikan pemahaman terhadap hadis dengan sejumlah pendekatan, tidak lepas dari misi ideologis yang juga memiliki dimensi politis. Kesimpulan ini bukan tanpa alasan, khususnya bila melihat sosok Ghazali sebagai aktivis Ikhwan ‘l-Muslimin.

Bahwa sebagaimana diketahui dalam percaturan peta kehidupan politik di Mesir, gerakan Ikhwan selalu mengambil bahkan diposisikan sebagai kelompok kontara kemapanan dan oposan pemerintah. Sebagai suatu gerakan Islam, Ikhwan Bahwa sebagaimana diketahui dalam percaturan peta kehidupan politik di Mesir, gerakan Ikhwan selalu mengambil bahkan diposisikan sebagai kelompok kontara kemapanan dan oposan pemerintah. Sebagai suatu gerakan Islam, Ikhwan

Pada saat yang bersamaan, Islam yang oleh kelompok Ikhwan dipandang sebagai agama yang akomodatif dan universal, mendapat tuduhan sebagai agama yang kurang menghormati nilai kebebasan, keadilan, hak azasi dan sebaginya. Hal yang sebaliknya terlihat pada sistem sekuler, didudukkan sebagai system nilai yang memberikan penghargaan terhadap nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia dan sebagainya. Timbulnya kesalahan persepsi terhadap Islam, menurut sinyalemen Ghazali salah satunya disebabkan dari pemahaman sunnah yang sangat tekstual dikalangan umat Islam.

Kondisi tersebut memicu semangat Ghazali untuk mengangkat hakikat Islam dengan bersandar pada pemahaman sunnah yang orisinil, dan

kemudian menkampanyekan sebagai ideologi yang mengakomodasi kebebasan, anti penindasan, menjungjung tinggi harkat manusia. Dan hal itu dilakukan Ghazali salah satunya dengan mengkritisi hadis-hadis atau memberikannya pemahaman pesan-pesan suci nabi sesuai dengan kondisi terkini dengan menggunakan berbagai pendekatan.

Oleh karena itulah, bagi Ghazali kritik matan secara langsung bukan suatu yang terlarang, kendatipun demikian bukan berarti, Ghazali mengabaikan arti penting sanad bagi sebuah hadis. Sebagai bukti bagaimana Ghazali memandang penting arti sebuah sanad, dapat dilihat dalam pembelaannya terhadap otentitisitas Oleh karena itulah, bagi Ghazali kritik matan secara langsung bukan suatu yang terlarang, kendatipun demikian bukan berarti, Ghazali mengabaikan arti penting sanad bagi sebuah hadis. Sebagai bukti bagaimana Ghazali memandang penting arti sebuah sanad, dapat dilihat dalam pembelaannya terhadap otentitisitas

jelas dan terpercaya. 6 Walaupun demikian ia berpandangan bahwa matan yang sahih betapapun sanadnya lemah adalah tetap lebih utama dari hadis yang sanad dan matan

nya lemah. Meskipun secara eksplisit Ghazali membolehkan kritik matan secara langsung, namun tidak berarti setiap orang bebas melakukannya. Menurutnya kritik matan, hanya dapat dilakukan oleh mereka yang benar-benar telah memahami ber-

bagai cabang ilmu-ilmu Qur'an. 7 Adanya syarat tersebut, dapat dimengerti, apabila mengingat usaha kritik matan dalam kenyataannya lebih sulit dan ruwet bila

dibanding dengan kritik sanad, di samping itu kritik matan sangat berpeluang terhadap terbukanya unsur-unsur subyektivitas.

Pada prinsipnya unsur subyektivitas tidak akan mungkin hilang seratus persen pada diri seorang peneliti, yang mungkin terjadi adalah meminimalisasi sifat subyektivitas tersebut. Dalam kaitannya dengan penerapan kritik matan dengan memanfaatkan tolok ukur yang ada, selanjutnya melahirkan dua sikap, yang tentunya tidak lepas dari unsur subyektif, sekalipun kita percaya bahwa para kritikus hadis telah berusaha untuk bersikap obyektif.

Sebagai contoh kasus, adalah pendapat Ghazali terhadap penolakan 'Aisyah atas hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar, tentang disiksanya mayit lantaran tangis

keluarganya. 8 Bagi Ghazali penolakan Aisyah tersebut memiliki dasar pijakan yang

6 Ghazali, Fiqh ......, h. 63. 7 Ibid ., h. 64 ; Ghazali, al-Sunnah ....., h.15. 8 Muslim, Sahih Muslim Juz III ……., h. 229.

kuat, mengingat adanya kontradiksi antara pernyataan hadis tersebut dengan informasi ayat Qur'an.

Pandangan Ghazali sangat berbeda dengan Ibnu Hajar al- Asqalani dan ulama lainnya dalam menyikapi hadis Ibnu Umar yang oleh 'Aisyah dinilai bertentangan dengan Qur'an. Pemberi komentar hadis-hadis Bukhari ini menjelaskan secara panjang lebar maksud hadis di atas, yang diolah serta ditambah dengan berbagai argumen hadis lainnya yang semakna, guna menghilangkan ta'arud atau kontradiksi dalam keterangan dimaksud. Kesimpulan kajian Ibnu Hajar terhadap hadis Ibnu

Umar tersebut adalah sahih. 9 Menurut penulis, sering tampaknya Ghazali menolak hadis sekalipun sanad

hadis yang ditolak berkualitas sahih, adalah merupakan implikasi dan konsekuensi dari kritik matan yang dilakukannya secara langsung. Langkah kritik matan secara langsung, tidak dapat disangkal memiliki implikasi dan konsekuensi yang sangat besar terhadap kritik hadis. Karenanya orang akan dengan sangat mudah mengklaim sebuah matan berkualitas daif bahkan palsu dan sulit menghindari subyektivitas.

Oleh karena itu, bagi penulis tanpa bermaksud menyalahkan pola kritik matan secara langsung dan mengidealkan langkah dan tahapan kritik matan seperti yang telah disebutkan, akan lebih baik bila tahapan metodologis tersebut diikuti, yang juga berarti mengukur matan hadis dengan tolok ukur yang ada dilakukan sebagai langkah terakhir tentunya berusaha untuk bersikap obyektif.

Dua sikap ulama dalam usaha mereka menelaah hadis untuk menentukan kesahihan matan adalah; (1). Sikap yang sangat ketat dalam menetapkan kesahihan

9 Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Jilid III (Dar al-Fikr wa Maktabah 'l- Slafiyah, tth) h. 393.

hadis, dan sebaliknya sangat mudah menolak sebuah riwayat serta menyebutnya tidak sahih. (2). Sikap kedua yaitu sikap yang sangat hati-hati dan terlalu longgar dalam menetapkan sebuah hadis berstatus sahih.

Bila dipandang dari dua sikap di atas, berdasarkan yang tampak dari kajian- kajian hadis yang dilakukan Ghazali, menurut penulis tidak terlalu berlebihan bila Ghazali diletakkan sebagai representasi sikap yang pertama. Dan karena itu pulalah, Ghazali banyak mendapat kritikan.

Berangkat dari sikap di atas, bagi Ghazali semua hadis tidak terkecuali yang terdapat dalam sahih Bukhari dan Muslim, harus dianalisis dan dikritisi. Menurut penulis sikap demikian adalah wajar dan tidak "haram", mengingat kedudukan dua tokoh di atas juga adalah manusia yang pasti tidak akan lepas dari keterbatasan- keterbatasan manusiawi. Disamping itu adanya pengakuan dari penyusun kitab tersebut yang menunjukkan bahwa maksud sahih dalam buku tersebut adalah sahih sanad nya, karena itu Bukhari misalnya memberikan judul pada kitabnya; al-Jami' al-

Sahih al-Musnad al Mukhtasar min 'Umur Rasul Allah wa Sunanih wa Ayyamih 10 . Karena itu pengembangan sikap kritis dan analitis dalam mengkaji matan

hadis mendapat tekanan dari Ghazali, sebagai upaya memperoleh dan menemukan ajaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Konsekuensinya dari manapun asal sebuah hadis, bila menyalahi tolok ukur yang diyakininya, harus ditolak.