Urgensi Kritik Matan

C. Urgensi Kritik Matan

Dalam hubungannya dengan sumber otoritatif Islam, antara Qur'an dan hadis nabi memiliki suatu perbedaan yang mendasar. Umat Islam dalam hal ini menyepakati, bahwa dari segi sistim periwayatannya, Qur'an bersifat qat'i al-wurud, Dalam hubungannya dengan sumber otoritatif Islam, antara Qur'an dan hadis nabi memiliki suatu perbedaan yang mendasar. Umat Islam dalam hal ini menyepakati, bahwa dari segi sistim periwayatannya, Qur'an bersifat qat'i al-wurud,

Perbedaan dari segi wurud dan dilalat antara Qur'an dan hadis, sebagaimana disebutkan di atas memiliki implikasi yang sangat besar dari segi hokum, antara mereka yang meragukan Qur'an dan hadis. Karena itu, seorang individu atau sebuah komunitas yang meragukan Qur'an sebagai wahyu Allah, dapat mengakibatkan seseorang menjadi “kafir”. Sedangkan meragukan sebuah hadis, sebagai sebuah informasi yang bersumber dari nabi tidaklah mengakibatkan orang tersebut menjadi kafir.

Berangkat dari kondisi faktual, bahwa hadis nabi pada umumnya atau sebagian terbesar sampai kepada kita melalui, sistem periwayatan yang hanya sampai pada kategori zanny atau diduga kuat, maka kita menemukan titik kepentingan mengapa penelitian terhadap hadis menjadi urgen. Letak kepentingan bagi upaya penelitian hadis paling tidak didasarkan atas beberapa alasan pokok dan mendasar.Yaitu; berkaitan langsung dengan eksistensi hadis sebagai salah satu sumber otoritatif dalam ajaran Islam, maupun dari segi kesejarahan yang berada disekeliling hadis. Faktor-faktor pokok yang mendasari pentingnya kritik matan hadis, antara lain :

(1) Hadis sebagai salah satu sumber otoritatif (2) Sebagian besar hadis belum tercatat di zaman Nabi (3) Telah terjadi pemalsuan hadis

32 al-Adlabi, Manhaj... op.cit., hh. 32-35.

1. Kedudukan hadis sebagai sumber otoratif Sebagian besar ummat Islam sepakat, bahwa ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi (hadis), memiliki kedudukan sebagai sumber otoritaf dalam ajaran Islam setelah Qur'an. Oleh karenanya hadis yang disampaikan melalui periwayatan yang sahih merupakan dalil Agama.

Sepanjang sejarah ummat Islam, golongan yang tidak mengakui eksistensi hadis nabi sebagai dasar dalam menjalankan ajaran Agama, dikenal dengan nama “ingkar sunnah”. Golongan ini bukanlah golongan yang baru muncul, tetapi sudah muncul sejak zaman Imam Syafi'i (w. 204 H). Secara khusus al-Syafi'i telah menulis bantahan terhadap golongan ini, sekaligus menjelaskan tentang keabsahan dan kehujjahan hadis nabi.

Pada prinsipnya argumen yang menyebutkan kedudukan penting hadis Nabi, dapat ditemukan pada beberapa ayat-ayat Qur'an, yang menjelaskan tentang perintah mentaati Allah dan Rasul-Nya, sebagai berikut:

"Katakanlah : Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". 33

"Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak

mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka". 34 "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi

perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada lagi bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan

33 QS. 2:32 34 QS. 4:80 33 QS. 2:32 34 QS. 4:80

Berangkat dari ayat-ayat Qur'an yang disebutkan diatas sekalipun ungkapannya bervariasi, tetapi memiliki makna dan pengertian yang sama, yaitu; perintah mentaati untuk Allah dan mentaati ajaran Rasul-Nya, tentunya yang dimaksud dalam hal ini adalah Qur'an dan hadis Nabi yang sahih.

Perintah mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam Qur'an terulang sebanyak 19 (sembilan belas) kali. Menurut Quraish shihab, kadang-kadang perintah tersebut digabung antara ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (Ati'u Allah wa al-Rasul) seperti dalam QS. 3:32, 132; QS. 8:1 dan sebagainya, atau terkadang keduanya dipisahkan dengan kata "ati’u “ : ”ati'u Allah wa al-Rasul”, seperti yang dapat dilihat pada QS 4:59 ; QS. 24:54; QS. 4:23, dan sebagainya. Kesemua hal ini merupakan isyarat, bahwa perintah-perintah Nabi Muhammad SAW., harus diikuti, baik yang bersumber langsung dari Qur'an, maupun perintah-perintahnya berupa

kebijaksanaannya. 36 Dari penjelasan-penjelasan yang dikemukakan di atas, jelas memberikan keterangan yang secara tegas dan meyakinkan tentang kedudukan

penting hadis nabi dalam ajaran Islam. Selain dari dasar-dasar yang terdapat dalam Qur'an yang menerangkan tentang posisi hadis nabi sebagai sumber otoritatif, keterangan tentang posisi penting

35 QS. 33:36 36 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an (Fungsi dan Peran Wahyu Dalam

Masyarakat ) Ed. Ihsan Ali Fawzi, (Bandung, Mizan, 1992), h. 128.

hadis nabi tersebut, juga dapat ditemukan dari keterangan nabi sendiri, yang secara eksplisit menerangkan untuk berpegang kepada sunnahnya. 37

Kedudukan penting hadis nabi, juga didukung oleh argumen aql atau jalan pikiran dan logika manusia. Mengingat Qur'an sebagai sumber utama dari Islam tidaklah merinci seluruh hal yang berkaitan dengan masalah teknis, dan praktek Agama. Hal ini dapat dirujuk pada berbagai perintah yang berkaitan dengan ibadah- ibadah mahdah. Misalnya perintah menjalankan shalat, melaksanakan puasa, mengeluarkan zakat, menjalankan haji dan lain-lain. Perintah tersebut dalam Qur'an tidak dijelaskan secara terperinci syarat dan rukunnya, sehingga untuk melaksanakannya niscaya untuk merujuk pada keterangan yang bersumber dari praktek yang telah dijalankan oleh Nabi SAW. , dalam hal ini hadis atau sunnah.

Dengan demikian, bila hadis ditolak sebagai dasar dalam beragama, konsekuensinya umat Islam kini tidaklah dapat menjalankan praktek agama/ritual, seperti tata cara dalam salat, mulai dari takbir hingga salam. Umatpun tidak dapat menjalankan ibadah haji sebagaimana praktek yang kini terlihat, juga umat tidak dapat mengeluarkan zakat, karena Qur'an tidak merinci tentang bahan dan barang apa saja yang dapat dikeluarkan zakatnya dan berapa besar yang harus dikeluarkan.

Dari sekian hal yang telah disebutkan tersebut, menunjukkan secara nyata fungsi hadis terhadap Qur'an, yaitu menjelaskan dan menjabarkan konsep-konsep yang masih bersifat global. Dengan fungsi tersebut, menguatkan pandangan yang menyebutkan, bahwa hadis-hadis nabi merupakan pijakan atau salah satu rujukan

37 Abu Abdi Allah al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak al-Sahihain fi 'l-Hadith, jilid I, (Beirut, Dar l-Fikr, 1978) h. 93.

dan dasar dalam beragama. Kedudukan penting hadis nabi tersebut, sekaligus menunjukkan betapa pentingnya menelaah dan menelitinya, tentu saja dengan tujuan untuk memisahkan hadis yang maqbul (dapat dijadikan hujjah) dan hadis-hadis yang mardud (hadis yang ditolak).

Usaha meneliti dan memisahkan hadis yang maqbul dan mardud ternyata tidak dapat dilepaskan dengan teori dan metodologi kritik matan yang merupakan bagian dari pembahasan ilmu kritik hadis. Hal tersebut sekaligus menunjukkan betapa pentingnya kritik matan.

2. Sebagian besar hadis Nabi belum tercatat di zaman Nabi Sekalipun terdapat sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan hadis, akan tetapi di samping jumlah mereka (sahabat) yang menulis sangat sedikit juga apa yang dilakukan oleh para sahabat tersebut, baru sampai pada tahap penghimpunan secara pribadi. Misalnya, catatan hadis yang dimiliki Abu Hurairah, jumlah hadis yang disalin oleh beliau mencapai 1236 hadis, demikian pula dengan catatan yang dimiliki oleh sahabat lainnya, seperti; Ibnu Umar, Anas bin Malik, Aisyah dan Ibnu

Abbas. 38 Minimnya sahabat yang menulis hadis-hadis nabi antara lain disebabkan oleh

karena banyak di antara para sahabat yang belum pandai menulis, juga karena perhatian umat pada masa itu lebih diarahkan kepada pemeliharaan Qur'an, oleh

karena pada zaman Nabi SAW., Qur'an belum dibukukan dalam bentuk Mushaf. 39

38 Azami, Studies ... op.cit., h. 32. 39 Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan ... op.cit., h. 52.

Data sejarah menunjukkan, bahwa pembukuan hadis secara resmi dan massal, baru dimulai pada zaman Khalifah Umar bin Aziz (berkuasa antara th. 99 H-101 H), pembukuan hadis pada zaman ini adalah merupakan kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Dikatakan demikian, karena sebelumnya belum ada satu orangpun khalifah yang secara resmi mengeluarkan perintah bagi

penghimpunan hadis secara massal. 40 Bila diperhatikan, maka pembukuan tersebut berlangsung tahun 99 Hijriyah,

berarti sebelumnya periwayatan hadis lebih banyak berlangsung dari lisan ke lisan dengan mengandalkan kemampuan menghafal para periwayat. Mengingat bahwa para periwayat hadis adalah seorang manusia biasa yang tetap mempunyai kemungkinan untuk bersalah, di samping adanya kemungkinan-kemungkinan lain- nya, seperti bercampur baurnya antara hadis-hadis nabi, dengan perkataan-perkataan ulama (dalam hal ini para periwayat hadis), maka kebijakan Umar bin Abdul Aziz jelas bertujuan untuk memelihara hadis-hadis tersebut dari penyimpangan yang bukan mustahil terjadi tanpa disengaja, ataupun kesalahan dan penyimpangan yang telah direncanakan oleh golongan lain.

Selain dari pemeliharaan hadis nabi yang dilakukan dengan cara menghimpunnya, upaya lain yang dilakukan dalam usaha pemeliharaan hadis-hadis beliau, adalah dengan jalan melakukan kajian dan penelitian yang mendalam terhadap setiap riwayat, tentunya menggunakan kaidah-kaidah yang telah disusun oleh ulama-ulama Islam di masa lampau.

40 TM. Hasbi Ash-Shiddieqi, Sejarah Perkembangan Hadis (Jakarta, Bulan-Bintang, 1973), hh. 69-70.

Pentingnya penelitian tersebut, karena para penghimpun hadis, dalam hal ini para ulama hadis masa awal, belum memisahkan (secara keseluruhan) antara hadis yang maqbul dengan hadis yang mardud. Kenyataan yang menunjukkan belum dilembagakannya seluruh hadis pada zaman nabi dan adanya waktu yang panjang antara kegiatan periwayat secara lisan ke lisan dengan penghimpunan ke dalam suatu kitab hadis, menunjukkan terhadap pentingnya kritik matan.

3. Telah terjadi pemalsuan terhadap hadis Nabi Sahabat Rasulullah SAW., dimasa awal Islam, sesungguhnya telah menghidupkan ajaran-ajaran Nabi SAW., dengan jalan mengamalkan dan menyebarluaskan sunnah beliau ke tengah masyarakat di masa itu. Akan tetapi, setelah masa para sahabat berlalu dan terjadinya fitnah di kalangan kaum muslimin, yang mengakibatkan terbunuhnya Usman ra., maka mulailah terlihat gejala-gejala yang mengarah kepada pertentangan politik di antara kaum muslimin.

Akibat dari pertentangan politik yang terjadi, melahirkan kelompok-atau sekte-sekte dalam Islam, seperti Syi'ah, Khawarij dan Jumhur. Konsekuensi logis dari kelahiran berbagai sekte teologi, menjadikan pertentangan dalam tubuh intern umat Islam semakin ”memanas”. Dan salah satu akibatnya adalah, tidak jarang diantara pendukung masing-masing kelompok tertarik menciptakan hadis-hadis yang disandarkan atas nama nabi, hanya untuk melegalisasi kepentingan-kepentingan

politik yang mereka jalankan. 41

41 Ibid , h. 59.

Menurut Mustafa as-Siba'i, bahwa th. 40 H., merupakan awal dari terciptanya hadis palsu, pertentangan politik antara Ali dengan Muawiyah menimbulkan akibat yang sangat mengerikan, yaitu terjadinya perang terbuka dan menelan korban manusia yang sangat banyak. Hal yang paling disesalkan adalah pertentangan politis kemudian merembet kepada masalah keagamaan, yang pada akhirnya mendorong

beberapa pihak untuk menciptakan hadis-hadis palsu. 42 Pengkultusan individu juga menjadi salah satu faktor mengapa hadis

diproduksi, sehingga pencampuran antara riwayat hadis yang benar-benar bersumber dari nabi dengan konsep-konsep palsu tidak dapat dihindari. 43 Merebahnya hadis-

hadis palsu di tengah-tengah kaum Muslimin yang diakibatkan oleh beberapa faktor yang telah disebutkan, mendorong ulama untuk menyeleksi hadis-hadis secara ketat. Sebagai realisasi dari keinginan luhur para ulama dalam bidang hadis, maka mereka berjuang sekuat tenaga untuk membongkar segala kebohongan yang disandarkan kepada nabi. Hasil dari perjuangan tersebut, melahirkan ilmu kritik hadis serta berbagai kaidah-kaidah yang terdapat di dalamnya, termasuk didalamnya kritik matan hadis.

Pembahasan landasan teori yang telah dijelaskan di atas akan ditindak-lanjuti dengan memotret pemikiran Ghazali tentang kritik matan yang akan diuraikan lebih lanjut pada Bab III. Pada Bab ini akan dijelaskan tentang teori kritik matan yang diajukan oleh Ghazali. Dan apakah teori-teori yang dikemukakannya masih berpegang pada kaidah kritik matan yang telah disepakati oleh jumhur ulama hadis

42 al-Siba'i, al-Sunnah…, op.cit., h. 75. 43 Ibid .

atau ia menawarkan metode kritik tersendiri atas ijtihadnya sendiri. Hal ini penting untuk melihat sejauh mana orisinalitas pemikiran Ghazali dalam kritik matan.