Implikasi dan Konsekuensi Pemikiran Gazali terhadap Studi Hadis
C. Implikasi dan Konsekuensi Pemikiran Gazali terhadap Studi Hadis
Sekalipun loncatan berpikir Ghazali belum setinggi dengan loncatan berpikir para pemikir muslim Timur Tengah lainnya (terutama Mesir) seperti yang diperlihatkan oleh Hasan Hanafi dan Nasr Hamid Abu Zaid, tetapi juga tidak dapat dipungkiri bahwa dalam serangkaian pandangan dan pemikiran yang dibentuknya, khususnya tentang kritik hadis, Ghazali telah menyajikan suatu deskripsi pemikiran yang lebih terbuka, bebas dan inovatif.
Pandangan dan pemikirannya yang memberikan peluang bagi terbukanya suatu kajian kritik hadis yang bebas dan tidak terlalu terikat dengan norma-norma kritik hadis yang telah ada, patut diapresiasi, terutama apabila mengingat latar belakang budaya, pendidikan dan organisasi di mana Ghazali melakukan aktifitas. Dalam hubungannya dengan latar belakang kultural, Ghazali secara jelas dapat keluar dari kungkungan pemikiran tradisional budaya Arab. Sebagaimana diketahui pandangan tradisional entitas budaya Arab hampir sepenuhnya didominasi oleh a priori, dimana rekonstruksi fakta-fakta hanya diperkenankan sejauh tidak bertentangan dengan kebenaran-kebenaran “suci” yang telah dibangun oleh mazhab
pemikiran sebelumnya. 17 Dalam pandangan Ghazali, kritik hadis tidak mengenal batasan norma yang
"tabu" untuk dilewati, sepanjang usaha tersebut dimaksudkan untuk menemukan kebenaran. Karenanya tidak ada keharusan yang memutlakkan sebuah kritik
17 Mohammed Arkoun, Arab Thought, a.b Yudian W. Asmin, Pemikiran Arab, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 23.
dilakukan dengan hanya berpegang pada batasan-batasan ‘ilm mustalah al-hadith yang telah ada sebelumnya. Bagi Ghazali, kritik dapat saja dilakukan dengan metode dan pendekatan baru, dengan alat bantu ilmu modern dan atau temuan ilmu pengetahuan kontemporer.
Sekalipun belum semaju Arkoun dalam mengkaji teks-teks keagamaan dengan pendekatan linguistik modern, namun Ghazali telah berusaha membangun pemikirannya sendiri. Karena itu, menurut hemat penulis, sebagai individu yang hidup dan besar dalam suasana kultur budaya Arab yang cenderung determinis, Ghazali telah berusaha menangkap kenyataan dengan cara dan tipikalnya sendiri, khususnya dalam upayanya mengkaji dan mengkritisi hadis. Karena itu, Ghazali
telah membangun: "episteme" dan “discoursus”nya secara mandiri. 18 Dengan melihat realitas pengkajian hadis yang dalam kenyataannya lebih
bersifat sanad oriented dan terkadang hanya berputar sekitar laporan tentang ke- thiqahan seorang periwayat yang dilansir buku-buku hadis, dia mencoba memberikan warna dan alternatif lain dalam menelaah kesahihan hadis dengan cara yang lebih sederhana dan simpel, yaitu dengan menerapkan empat tolok ukur yang telah disebutkan pada Bab III.
Sistem dan penerapan metode yang sederhana dalam menelaah dan menganalisis kesahihan hadis seperti yang diterapkan oleh Ghazali tentunya memiliki pengaruh terhadap kajian hadis masa mendatang. Sekalipun tidak
18 Menurut Michel Foucault (w. 1984), "episteme" adalah usaha manusia yang hidup pada zamannya dalam mengkaji kenyataan yang ada dengan cara tertentu. Cara manusia menangkap
kenyataan dengan jalan memandang, memahami dan membicarakannya dengan cara tertentu disebutnya sebagai "episteme' dan "discoursus". K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Perancis, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 311.
menafikan keberadaan mustalah hadith klasik yang tidak dapat disangkal penerapannya lebih rumit dibanding dengan cara yang ditempuh Ghazali. Pada saatnya nanti para pemerhati kajian hadis, tampaknya akan lebih tertarik menilai kesahihan matan hadis dengan cara yang sederhana dan praktis seperti yang digagas Ghazali.
Bagi penulis, pengaplikasian kritik hadis seperti pola yang dibangun Gazali (mengukur kesahihan matan berdasarkan kriteria-kriteria yang disebutkan sebelumnya) dapat dinyatakan sebagai suatu cara yang praktis, tetapi satu hal yang perlu diingat bahwa cara demikian jangan sampai dijadikan sebagai "harga mati" dan secara serta-merta membuang sistem yang telah ada.
Dengan demikian akan menghindarkan kita dari suatu sikap, yang di satu sisi membuang acuan lama yang dianggap telah mengalami proses ortodoksi, tetapi pada sisi yang lain kita membangun norma dan sistem yang secara tidak sadar kita "patenkan", dengan menganggap bahwa acuan yang datang kemudian lebih ilmiah dan mendekati kebenaran.
Berangkat dari pandangan tersebut, kiranya tidak satu pun para pemikir yang membangun suatu pemikiran dalam bidang agama khususnya, bertujuan untuk menjadikan pendapat dan pikirannya, sebagai pandangan yang baku dan paten. Dalam hal ini tidak terkecuali pada Ghazali, Arkoun dan Rahman. Melainkan apa yang mereka gagas, tentunya dimaksudkan sebagai upaya untuk membuka dan mendidik generasi setelahnya, tentang arti penting mengadakan telaah ulang atau menyoal kembali tanpa henti-hentinya berbagai model yang dapat digunakan untuk Berangkat dari pandangan tersebut, kiranya tidak satu pun para pemikir yang membangun suatu pemikiran dalam bidang agama khususnya, bertujuan untuk menjadikan pendapat dan pikirannya, sebagai pandangan yang baku dan paten. Dalam hal ini tidak terkecuali pada Ghazali, Arkoun dan Rahman. Melainkan apa yang mereka gagas, tentunya dimaksudkan sebagai upaya untuk membuka dan mendidik generasi setelahnya, tentang arti penting mengadakan telaah ulang atau menyoal kembali tanpa henti-hentinya berbagai model yang dapat digunakan untuk
Oleh sebab itu, menurut penulis, Ghazali secara transparan telah mendorong perlunya pengkajian ulang terhadap hadis nabi, yang dapat dipandang sebagai usaha mengoptimalkan proses dinamisasi pemikiran Islam. Pentingnya memberikan corak baru dalam kajian hadis sangatlah beralasan, mengingat jarak waktu yang memisahkan alam kenyataan dewasa ini dengan masa ketika sebuah hadis muncul sudah sangat berbeda.
Tuntutan dan perubahan kehidupan pada era sekarang dengan lahirnya berbagai macam hasil dan temuan teknologi sebagai hasil loncatan berpikir manusia yang sangat maju, mengandaikan perlunya pengkajian ulang terhadap proses pembakuan hadis, tanpa harus mengikis nilai otentisitas dan nilai spiritualitas Islam yang terdapat dalam kitab suci Qur'an dan sunnah nabi. Jika kita merujuk kepada ungkapan yang selalu didengungkan oleh umat Islam, bahwa Islam adalah agama yang berlaku secara universal (al-Islam salih- li-kull zaman- wa makan-), dalam artian berlaku untuk setiap kurun masa dan keadaan, maka secara substansial formulasi tersebut mengisyaratkan tentang fleksibilitas ajaran Islam bukan sebaliknya (sistem yang kaku dan serba ketat).
Karena itu, bersikap kritis dalam memahami pesan hadis dengan jalan memperhatikan proses pergumulan hadis, hendaknya tidak diartikan sebagai upaya melemahkan titik-tumpu ajaran Islam. Tetapi justeru gerakan tersebut adalah usaha untuk memberikan ruang gerak yang lentur dan dinamis, sekaligus memberikan ruang gerak yang lebih leluasa terhadap pertumbuhan ajaran Islam pada masa-masa Karena itu, bersikap kritis dalam memahami pesan hadis dengan jalan memperhatikan proses pergumulan hadis, hendaknya tidak diartikan sebagai upaya melemahkan titik-tumpu ajaran Islam. Tetapi justeru gerakan tersebut adalah usaha untuk memberikan ruang gerak yang lentur dan dinamis, sekaligus memberikan ruang gerak yang lebih leluasa terhadap pertumbuhan ajaran Islam pada masa-masa
Lantaran pekat-kentalnya pemikiran terhadap hadis, maka wajar saja jika Maurice Bucaille mengatakan bahwa perbandingan studi kritis terhadap hadis adalah seperti halnya studi kritis terhadap Bible. Dalam pandangannya, Bible tidak bisa dibandingkan dengan Qur'an, tetapi hanya dapat dibandingkan dengan hadis. Intensifnya studi kritik terhadap Bible sehingga memungkinkan munculnya beragam teologi tanpa harus mengurangi inti ajaran Kristen tersendiri. Sedang studi kritis tentang hadis boleh dikata mengalami kemandekan. Hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran yang berlebihan dari pihak peneliti jangan sampai menjadi
tertuduh sebagai ingkar sunnah. 19 Menyimpulkan sunnah sebagai patokan mati dalam beragama dengan
mengabaikan unsur penalaran, menjadikan kita sulit untuk membedakan antara hadis yang bersifat mutlak yang bebas dari ikatan ruang dan waktu seperti hadis yang berhubungan dengan persoalan keimanan dan ibadah mahdhah, dengan hadis yang bernuansa temporal yang terkait dengan ruang dan waktu, seperti hadis yang mengatur hubungan antara sesama makhluk.
Dalam tahap inilah, Ghazali sangat menekankan untuk memperhatikan dan mengkaji hadis secara cermat, sehingga dapat dipisahkan antara hadis yang bersifat
19 M. Amin Abdullah, Studi Agama,... op. cit., h. 310; selanjutnya lihat juga Maurice Bucaille, Bibel, al-Qur'an dan Sains Modern, a.b Prof. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 17;
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis... op. cit., h. 193.
temporal dan yang bersifat mutlak. Ia juga menganalisis perbedaan antara media atau wasilah 20 yang berubah-ubah dengan tujuan hadis yang tetap.
Dengan demikian aspek budaya sama sekali tidak bisa diabaikan dalam kajian hadis, sebab pertemuan Islam dengan wilayah baru yang memiliki ciri khas lokalnya sendiri-sendiri, tidak dapat disangkal menimbulkan proses akulturasi. Karenanya mengabaikan keterikatan antara satu budaya dengan budaya yang lain dalam memahami hadis adalah merupakan tindakan a historis yang sama sekali tidak ilmiah. Karena itulah himbauan kembali kepada Qur'an dan sunnah hendaknya dipahami hanya pada hal-hal yang bersifat keimanan (akidah) dan persoalan- persoalan disekitar ‘ibadah mahdah.
Studi kritis terhadap hadis dalam kaitannya dengan upaya untuk tetap menjadikan pesan Islam sebagai agama yang salih li-kull zaman wa makan, mesti berjalan beriringan dengan usaha memahami nilai-nilai dan khazanah budaya yang terus tumbuh dalam arus deras perkembangan dunia yang semakin mengglobal. Kenyataan bahwa masa kini telah terjadi interkoneksi antara ragam budaya dan peradaban manusia membawa pengaruh terhadap perluasan, pengembangan dan peningkatan wawasan berpikir.
Untuk itu, sekalipun masih pada tahap yang sederhana, Ghazali telah menyumbangkan suatu tipikal kajian hadis yang lebih terbuka dengan mengakomodasi perkembangan budaya dan ilmu pengetahuan modern. Hal ini ditunjukkan dengan telaahnya yang selalu memperhatikan aspek-aspek sosio kultural suatu permasalahan.
20 Ghazali, al-Sunnah... op.cit., h. 79.