Karakteristik dan Tipologi Pemikiran Muhammad al-Ghazali

B. Karakteristik dan Tipologi Pemikiran Muhammad al-Ghazali

10 Muhammad Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadith 'Ulumuhu wa Mustalahuh (Beirut; Dar al- Fikr, tt.h), h. 513

Setelah menelaah dan mengkaji pemikiran dan pandangan Ghazali tentang hadis, khususnya mengenai kritik matan, dapat dinyatakan bahwa secara eksplisit tokoh ini meletakkan Qur’an sebagai premis mayor, dan gejala-gejala kemasyarakatan yang ada disekelilingnya dijadikan sebagai premis minor. Sistem berfikir yang demikian tentunya tidak lepas dari keyakinan Ghazali terhadap kebenaran nash, yang proses transmisinya dipercayai mengandung kebenaran, karena terseleksi dengan ketat dan teliti.

Bila ditelaah lebih lanjut dapat dinyatakan, bahwa sistem berfikir Ghazali jelas menggunakan sistem pemaknaan yang mendudukkan keterkaitan antara yang sentral dan perifer. Pemaknaan yang sentral disini adalah Qur’an sedangkan yang perifer adalah penalaran rasio atas gejala dan fenomena yang lahir dan timbul dalam budaya manusia. Sistem berpikir yang demikian ini selalu mendasai titik tolak pemikirannya atas dasar keimanan, sedangkan rasio atau penalaran dijadikan sebagai alat bantu untuk mendukung kesimpulan yang diambil. Hal ini berbeda dengan sistem berpikir rasionalisme yang dikenal dalam dunia filsafat, dimana sistem berpikir rasionalisme ini membangun kerangka pemikirannya atas dasar kemampuan argumentasi yang logik, dan tidak tergantung pada wahyu.

Dengan demikian dapat disebutkan, bahwa bila dalam sistem berpikir yang ditunjukkan oleh kalangan rasionalis bersifat induktif, maka model dan sistem berpikir Ghazali adalah bersifat deduktif. Sistem dan model berpikir yang kedua ini dalam logika formal menggunakan struktur premis mayor dan premis minor. Dalam Dengan demikian dapat disebutkan, bahwa bila dalam sistem berpikir yang ditunjukkan oleh kalangan rasionalis bersifat induktif, maka model dan sistem berpikir Ghazali adalah bersifat deduktif. Sistem dan model berpikir yang kedua ini dalam logika formal menggunakan struktur premis mayor dan premis minor. Dalam

Dalam konteks cara berpikir Gazali, wahyu dan akal tidak dipandang dalam hubungan yang fungsional, tetapi hubungannya bersifat struktural, dan hal ini menyiratkan adanya hubungan atas bawah yang bersifat subordinatif dan reduktif. Hubungan wahyu dan akal yang dipandang secara struktural seperti di atas memiliki konsekuensi yang dapat “merugikan”, karena hasil-hasil penelitian para ahli yang dilakukan dengan kajian yang mengandalkan rasio yang dijalankan atas dasar kaidah keilmuan yang benar akan dipandang keliru bila tidak sesuai dengan premis mayor.

Padahal secara prinsipil di dalam Qur’an terdapat banyak ayat yang secara eksplisit memerintahkan untuk menggunakan akal dalam memahami gejala-gejala kehidupan yang ada di alam ini. Banyaknya ayat Qur’an yang demikian, seharusnya dipahami bahwa Qur’an dan akal berada dalam hubungan yang dialektik, sehingga dalam konteks ini akal memiliki otonomi penuh untuk bekerja dengan semangat Qur’ani, yang didasari atas komitmen yang berada pada landasan wawasan moralitas yang bersumber dari Qur’an.

Dengan posisi akal yang otonom, maka akal akan dapat secara leluasa menjalankan fungsinya untuk memecahkan berbagai masalah yang berkembang dalam dunia kenyataan, sedangkan Qur’an memberikan wawasan moralitas atas hasil dari pemecahan masalah yang disimpulkan, karena itu hubungan yang dialektik ini bersifat fungsional. Jadi hubungan wahyu (kebenaran wahyu) dan akal disini seharusnya tidak didudukkan sebagai premis mayor dan minor, melainkan dipakai

11 Noeng Muhajir, “Wahyu dalam Paradigma Penelitian Ilmiah, Pluralisme Metodologik; Metodologi Kualitatif”, dalam, Taufik Abdullah dan M.Rusli karim, (ed.), Metodologi Penelitian ,….,

h. 61 ; Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta ; Rakeh sarasin, 1990), h.178 h. 61 ; Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta ; Rakeh sarasin, 1990), h.178

Berangkat dari karakteristik yang demikian, maka sistem berfikir Ghazali tersebut, bila ditinjau dari sudut espistemologi masuk dalam kerangka epistemologi

bayani 13 , yaitu epistemologi yang berpijak kepada teks, baik secara langsung atau tidak, dalam cara memperoleh pengetahuan. 14

Kesimpulan di atas selain berpijak atas dasar karakteristik sistem berfikir yang ditunjukkan Ghazali, tentunya tidak lepas dari latar belakang pendidikan Ghazali, selain itu lingkungan tempat Ghazali menjalankan aktivitasnya, sangat akrab dengan jargon kembali kepada Qur'an dan sunnah.

Sebagaimana diketahui dalam metode bayani ini, terdapat dua cara memperoleh ilmu, yaitu (1). Cara memperoleh pengetahuan dengan berpegang pada lahiriah teks. (2). Dan yang kedua cara yang ditempuh dengan menangkap maksud

atau pesan yang berada di balik teks. 15

12 Ibid 13 Ilmu bayani menurur al-Jabiri, adalah ilmu yang membangun metodologinya dalam

menghasilkan pengetahuan dengan cara analogi (qiyas al-ghaib 'ala shadah) atau hal yang bersifat furu' kepada yang asal dan meletakkan pandangan (ru'ya) atas dasar keterpisahan alam dari Tuhan. Oleh karena itu epistemologi ini berangkat dari pra anggapan, bahwa sumber ilmu adalah teks (nas) atau penalaran terhadap teks. Epistemologi ini menurut al-Jabiri adalah khas bangsa Arab Muslim karenanya dalam diskursus ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, hadis, fiqhi, sangat akrab dengan sistem ini. Secara general dapat disimpulkan bahwa dalam epistemologi bayani, sumber ilmu berasal dari nas, metodologi yang digunakan adalah itidlaliyah,menggunakan pendekatan bahasa, sedangkan peran akal lebih pada upaya justifikasi, sementara pendukung keilmuaannya adalah para fuqaha dan usuliyyin. Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Iskaliyat al-fikri al-'Arab al-Ma'asir,(Beirut: Markaz Dirasat al-Wahbah al-'Arabiy, 1989), h.59

14 M.'Abid al-Jabiri, Bunyat al-'Aql al-'Arabi (Beirut ; al-Markaz 'l-Thaqafi), h.38

15 Al-Jabiri, Bunyat ...,op.cit., h.24, lihat juga; al-Jabiri, Takwin al-'Aql al-'Arabi, (Beirut: Markaz 'l-Thaqafah 'l-'Arabiy,1993),hh.100,339 ; Bernard Weis, The Searc for God's Law:

Islamic Jurisprudensi In the writings of Shaf al-Din al-Amidi ,(Salt lake City: University of Utah Press,1992),hh.45,72.

Adapun posisi Ghazali dari dua kecenderungan di atas, terletak pada posisi kedua, yang dalam hal ini memasukkan penalaran sebagai alat untuk menangkap dan memperluas maksud dan jangkauan teks.

Berangkat dari kenyataan di atas, menurut penulis tipologi pemikiran Ghazali bila ditinjau dari dua trend pemikiran hadis yang ada, termasuk dalam kelompok gugus pemikiran yang mempercayai hadis sebagai sumber otoritatif dalam ajaran Islam (sumber kedua), tetapi dengan menggunakan metode yang kritis dan analitis dalam melihat dan menelaah asal usul hadis. Dalam istilah yang lebih populer tipologi ini dalam memahami hadis berpegang pada konteks permasalahan.

Tipologi di atas dapat dikatakan sebagai antitesa dari sistem berfikir yang juga meyakini hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam, tetapi dalam memahami hadis tidak terlalu memperdulikan proses panjang perjalanan hadis dan proses

pembentukan ortodoksi. 16 Oleh karena itu, bila ingin dipetakan lebih lanjut, maka sistem berfikir

Ghazali dapat disebut sebagai sistem berfikir yang bersifat skriptualis rasional. Di mana dia dalam batas-batas tertentu mengakui peran strategis akal fikiran dalam memberikan kontribusi kreatif terhadap nilai-nilai agama yang dihasilkan dari penalaran terhadap teks yang ada. Karena itulah, tipologi ini memandang penting proses pencairan terhadap nilai-nilai sunnah, dengan melakukan penyempurnaan dan penafsiran kreatif terhadap sunnah, agar diperoleh sebuah sunnah yang hidup, berkembang dan bergerak untuk menghadapi faktor-faktor dan benturan baru dalam bidang kehidupan.

16 M. Quraish Shihab, "Pengantar Studi Kritis.." op.cit., h. 8 / M.Amin Abdullah, Studi Agama..., op.cit .,h.315