Mengapa Birokrasi Publik tidak Responsif Gender?

diberikan pada perempuan yang aktif juga menyulitkan perempuan, semakin susah baginya untuk melanggar rambu-rambu yang telah ditetapkan masyarakat.

E. PEMBAHASAN PENELITIAN YANG RELEVAN

Penelitian mengenai Pengarusutamaan Gender telah banyak dilakukan. Menurut Muhadjir Darwin dan Bevaola Kusumasari berdasarkan hasil penelitian. Pengembangan Kapasitas Kantor Mentri Negara Pembaerdayaan Perempuan 2000 yang mengacu pada Gender Mainstreaming Conceptua lFrame Work, Methodology and Presentation of Good Practices. 1998 tentang Sensitive Gender pada Birokrasi Publik menyoroti bahwa : Pengakuan hak-hak perempuan sebagai bagian integral dari hak-hak asasi manusia belum banyak diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkanoleh pemerintah. Hal ini semakin diperburuk dengan kenyataan bahwa pemerintah sampai saat ini juga belum mampu memberikan akses yang sama bagi perempuan di bidang politik atau untuk menduduki posisi strategis dalam pengambilan keputusan di sektor publik. Pemerintah telah berusaha merespon masalah tersebut dengan mengeluarkan Inpres No 9 tahun 2000 tentang Pengerusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Kementerian Pemberdayaan Perempuan didudukkan dalam posisi strategis untuk sosialisasi Inpres tersebut. Namun, tampaknya pengarusutamaan gender masih menemui berbagai kendala, baik yang bersifat sosio-kultural maupun struktural. 1. Mengapa Birokrasi Publik tidak Responsif Gender? Isu perempuan dalam birokrasi publik belum menjadi isu utama yang dapat disejajarkan dengan isu kemiskinan dan isu-isu lainnya. Isu perempuan masih menempati posisi marginal dalam pembangunan nasional. Kondisi ini tampak secara jelas dalam Gender Development Index GDI tahun 2001 mengenai posisi Indonesia yang berada pada urutan 92 jauh dibawah Malaysia yang berada di urutan 55. Fakta ini semakin jelas menunjukan bahwa masalah pemberdayaan perempuan belum mendapatkan tempat yang penting dalam pembangunan. Proporsi perempuan dalam menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan masih bagitu rendah. Hal tersebut membuktikan bahwa birokrasi pemerintahan belum sensitif gender karena masih menempatkan perempuan pada posisi marjinal. Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan penyebab rendahnya sensitifitas gender dalam birokrasi publik. Pertama; rendahnya alokasi dana yang dianggarkan birokrasi publik untuk pemberdayaan perempuan. Rendahnya prioritas anggaran untuk pemberdayaan perempuan tersebut pada gilirannya telah membatasi kapasitas pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan pengerusutamaan gender ke dalam program-program pembangunan yang relevan. Kedua, belum adanya kesadaran dari pembuat kebijakan ataupun pimpinan birokrasi publik akan pentingnya pengarusutamaan gender dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat. Lebih parah lagi, ada reduksi pemaknaan gender sebagai urusan ekskutif perempuan dan label “perempuan” kemudian dianalogkan sebagai “pinggir” atau “tidak sentral”. Pernyataan seorang birokrat dilingkungan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam upaya mengembangkan networking dengan instansi-instansi lain dalam penanganan masalah pengarusutamaan gender. Ketiga, masalah koordinasi antar instansi terhadap program pemberdayaan perempuan seringkali tumpang tindih. Sampai saat ini, birokrasi publik belum bersifat koordinatif terhadap instansi-instansi pemerintah lainnya, baik dalam bentuk perencanaan, implementasi, sampai pada evaluasi kebijakan dan program pemerintah, terutama yang ada kaitannya dengan pemberdayaan perempuan. Keempat, terbatasnya kemampuan sumber daya manusia di bidang pemberdayaan perempuan. Akibatnya, seringkali peletihan-pelatihan tentang pemberdayaan perempuanhanya diikuti olehorang-orang yang sama dan program-program yang dapat dilaksanakan di daerah juga amat terbatas. Kelima, aparat birokrasi yang bekerja di bagian pemberdayaan perempuan seringkali merasa inferior karena mempunyai konotasi domestic. Laki-laki yang bekerja dibagian tersebut sering dilecehkan oleh koleganya walaupun hany sekedar gurauan. Perasaan inferior tersebut secara individual tidak jarang ikut memicu ketidakberdayaan bagian Pemberdayaan Perempuan secara institusional ketika harus menjalin hubungan kerja dengan pihak luar.

2. Keterwakilan Perempuan Indonesia dalam Lembaga Politik Formal