sampai batas waktu melebihi satu tahun, kesepakatan itu baru terealisasi. Fakta diatas menunjukkan bahwa adanya rasa egoisme dari individu sehingga enggan untuk
melepaskan sesuatu yang telah memberikan kepadanya fasilitas yang dinikmati selama ini. Atau juga enggan untuk mengundurkankan dan tidak rela legowo untuk
menyerahkan keanggotaan itu karena faktor lain, misalnya karena yang akan menggantikan adalah berjenis kelamin perempuan. Meskipun akhirnya status
keanggotaan di DPRD Propinsi DIY itupun beralih kepada kesepakatan semula. Faktor penghambat lainnya yang mengakibatkan perempuan Yogyakarta sulit
untuk terlibat dalam berbagai aspek kehidupan adalah dipengaruhi oleh faktor psikologis, dimana kaum perempuan Yogyakarta merasa tidak percaya diri atau tidak
mampu untuk bersaing dengan kaum laki-laki dan terlebih lagi dengan sesama perempuan yang telah mengenyam pendidikan tinggi. Fenomena ini menimbulkan
tidak adanya keberanian dalam diri perempuan Yogyakarta untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki, sehingga mereka tidak dapat untuk mencoba atau
melakukan sesuatu sebagai suatu cambukpelajaran dalam membina dan membekali diri mereka untuk dapat maju dalam berbagai bidang bersama-sama bersaing dengan
kaum laki-laki.
E. Kesamaan Kesempatan Bagi Kaum Perempuan
Kesamaan kesempatan pada hakekatnya merupakan suatu pengakuan atas persamaan kesempatan atau peluang antara perempuan dan laki-laki dalam
bermasyarakat diberbagai aspek kahidupan baik sosial, politik, ekonomi, pemerintahan dan lain-lain.
Hal ini sudah diatur secara tegas dalam UUD 1945 pasal 27, yang mengatakan bahwa setiap warga bersamaan kedudukannya didalam hokum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hokum dan pemerintahan tanpa terkecuali serta mengatur bahwa warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Berkaitan dengan itu maka perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama denagn laki-laki di berbagai bidang, dimana perempuan mempunyai peranan yang
penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Peranan yang dimaksud tidak saja untuk dipimpin tetapi untuk memimpin dan harus diakui dan diperjuangkan untuk
mendapat pengakuan yang positif dan pasti, baik dari kaum perempuan sendiri maupun dari kaum laki-laki.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa kesempatan yang diberikan kepada kaum perempuan diberbagai sektorbidang kegiatan masih sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat
dari kondisi riil yang ada, bahwa kesempatan yang dimiliki perempuan untuk mengenyam pendidikan, memperoleh pekerjaan dan memimpin berbagai organisasi baik
itu di organisasi sosial, politik, ekonomi dan pemerintaha hany menduduki posisi yang kecil di dalam jajaran kepemimpinan.
Fenomena ini terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana kesempatan yang diberikan kepada kaum perempuan masih sangat terbatas. Keterbatasan
ini dapat dilihat dari keberadaan perempuan yang menduduki posisi-posisi penting baik pada bidang pemerintahan, publik bahkan politik yang ada prosentasenya sangat kecil
sekali. Dan memang kenyataan yang ada selama ini adalah dominasi kaum laki-laki terutama di ranah publik pada keanggotaan DPRD Provinsi DIY. Selain karena kaum
laki-laki itu merasa takut tergusur posisinya, juga karena isi dan bunyi dari Undang-
Undang No 12 Tahun 2003 tentang Keterwakilan Perempuan Minimal 30 Persen dalam Parlemen hanyalah sebagai aksesoris politik belaka karena implementasinya belum
nampak secara signifikan. Disamping itu telah terbit pula Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pengajuan calon legislatif dari 3 calon salah 1 diantaranya adalah
perempuan. Untuk memperoleh jawaban yang lebih mendalam, dapat dilihat dari hasil wawancara
dengan Wakil Ketua DPRD Propinsi DIY Ny. Isti’anah Z.A, SH, M.Hum yang menyebutkan bahwa :
“Dan saya kira menjadi wajah umum di Indonesia, tidak hanya di legislatif, tetapi di ekskutif juga demikian, karena saya melihat di DPRD itu sendiri masih kita
lihat apa.. situasi seperti itu masih kita saksikan. Apalag“Sebetulnya undang- undangnya sudah agak menolong ya, meskipun saya kecewa karena dengan
undang-undangnya. Kalau dulu UU yang lama hanya menegaskan agar partai- partai itu dapat mencalonkan perempuan di daftar caleg perempuan dapat. Dalam
agama itu kan kata-kata dapat hukumnya mubah. Mau menempatkan terserah, nggak terserah, la wong dapat kok. Kalau sekarang UU No 10 itu sebetulnya tidak
ada kata-kata dapat, tetapi juga tidak ada sanksi yang tegas kalau partai tidak memenuhi kuota 30 itu sanksinya apa. Nah itulah saya melihat bahwa UU ini
tidak terlalu banyak menolong, gitu. Meskipun di UU itu ada sanksi moral, nanti, sanksinya bentuknya apabila partai tidak memenuhi 30 akan diumumkan di
media massa. Tapi sanksi administratif, sanksi hukum itu tidak ada. Tapi itu juga lebih baik dibanding dengan UU yang lama”.
“Dari faktor jumlah kita memang tidak signifikan sama sekali. Kita hanya 6 yah, sementara laki-laki ada 49, jadi kan bukan faktor keseimbangan. Ini masih sangat
senjang dari aspek jumlah, ee.. terus kemudian dari aspek kualitas ini sering juga anggota perempuan itu dipandang sebelah mata. Sering mereka melecehkan
perempuan, perempuan dikategorikan tidak punya kapasitas memadai dan sebagainya. Dan itu saya kira merupakan senjata laki-laki untuk memojokkan
kaum perempuan, karena di legislatif ini kan perempuan dianggap sebagai saingan”.
Wawancara tanggal : 21-7-2008
Fenomena ini menunjukkan bahwa sebenarnya secara tidak langsung diskriminasi yang diperjuangakan dan didengungkan oleh kaum perempuan di Indonesia termasuk di
Yogyakarta untuk dihilangkan masih terlihat.
F. Hambatan Bagi Perempuan Dalam Proses Rekrutmen Politik