Anekdot Perjuangan Gender PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

jawabnya, mekanisme partisipasi dalam proses pemabangunan, dan mekanisme tanggung-gugat perlu sekali diperhatikan dalam pengembangan akuntabilitas PUG.

6. Anekdot Perjuangan Gender

“Perempuan dan laki-laki memang beda, namun jangan dibeda-bedakan” adalah motto sederhana agar mudah difahami oleh masyarakat yang telah dikembangkan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Untuk mewujudkannya perlu perjuangan keras, tidak hany dari kaum perempuan tapi juga laki-laki. Kunci utamanya adalah perubahan mindset pola pikir kaum laki-laki. Sebagaimana diamanatkan Sekretaris Jenderal PBB, perjuangan kesetaraan dan keadilan gender merupakan tanggumng jawab bersama, bukan hany kaum perempuan. Upaya-upaya sosialisasi, advokasi, dan capacity building tentang konsep gender dan segala sesuatu yang menyangkut harkat dan martabat perempuan masih sering diterjemahkan secara sepihak dari sudut pandang budaya patriarkhi. Praktisi gender laki- laki sering dianggap sebagai penjilat kaum perempuan dan diragukan kemaskulinannya atau kelelakiannya. Banyak ynag berolok-olok telah terjadi perubahan kelamin pada diri laki-laki pejuang gender itu. Begitulah pandangan sebagian masyarakat yang masih menerjemahkan “gender” sebagai jenis kelamin perempuan. Orang bersorak-sorak “Huu”, “Gender Lagi”, “Hidup Gender”, “Disini semua sudah gender” seakan itu lucu, bahkan kata-kata bijak seperti “Surga itu berada di telapak kaki ibu” sering dipelesetkan untuk melecehkan kaum perempuan. Sudah jelas, perjuangan gender masih berat dan panjang. Hal ini juga disampaikan oleh Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan Provinsi DIY Ny. Dra. Hj. Tri Astuti Haryanti dalam wawancaranya mengatakan : “Untuk itu tidak boleh bosen-bosen menyampaikan. Kadang-kadang di instansi sendiri masih ada yang agak gimana… Tapi kita pokoknya tiap kali masih ada anggapan bahwa kalau kita bicara masalah gender-gender berarti perempuan. Biar dikira promosi sosialisasi terus tidak apa-apa. Yang penting orang bisa faham. Memang perjuangan itu perlu waktu”. Wawancara tanggal : 12-07-2008 Meski demikian kadang-kadang berembus angin menyejukkan yang memberi semangat pada perjuangan gender, seperti yang pernah diungkapkan seorang pejabat daerah dengan tulus: “Perempuan bagi saya adalah manusia yang harus mendapat penghormatan tinggi, saya hadir di dunia ini karena perempuan. Ibu bagi saya adalah sosok yang paling saya kagumi, dan itu mendasari komitmen saya untuk selalu mendukung setiap program pemberdayaan perempuan di daerah ini”. “Kita harus ingat, harkat dan martabat perempuan dan laki-laki hanyalah konstruksi sosial yang dapat berubah dan diubah sesuai dengan kemajuan pengetahuan, budaya, dan zaman. Kita tidak boleh sekalipun patah semangat dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender di negeri tercinta ini” Baca: Jurnal Perempuan Edisi 50 Hal. 43 Konteks ini apabila dihubungkan dengan kondisi riil di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, masih terlihat kesenjangan yang cukup besar antara peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan. Kesenjangan ini terjadi hampir pada berbagai kesenjangan yang ada. Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka dari data yang diperoleh berdasarkan wawancara dengan tokoh perempuan, tokoh agama dan tokoh masyarakat, dikatakan bahwa faktor krusial sebagai penyebabnya adalah karena pengaruh budaya dan adat istiadat masyarakat Yogyakarta itu sendiri. Jika kita mengembalikannya pada konteks, kita juga menemukan situasi dimana diskriminasi politik serta ketimpangan gender dalam representasi di lembaga politik di Daerah Istimewa Yogyakarta juga terjadi. Menurut sensus yang dilaksanakan oleh Biro Pusat Statistik BPS tahun 2007 jumlah penduduk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 3.459.432 jiwa yang terdiri 50,54 persen adalah perempuan atau 1.711.042 dari seluruh populasi. Tapi jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan dalam lembaga-lemabga pembuat pengambil keputusan politik DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain representasi yang timpang, diskriminasi politik terhadap perempuan juga didapati secara meluas. Ilustrasi bagaimana keberadaan perempuan dalam partai politik dan bagaimana partai politik sangat antipati pada gagasan untuk peningkatan partisipasi yang lebih adil dari perempuan yang diperlihatkan dengan penolakan yang keras terhadap kuota. Sistem Pemilu diketahui mempunyai dampak yang besar untuk meningkatkan keterwakilan. Persoalan ini juga dikomentari oleh responden kami, yang mengemukakan pandangan-pandangan mereka mengenai tentang system Pemilu yang paling baik untuk peningkatan keterwakilan perempuan sekaligus yang bisa diterima untuk saat ini di Indonesia. Sistem Pemilu akan sangat menentukan. Kalau kita menganut sisitem distrik perempuan tidak akan terwakili.Bahkan kuota tidk akan efektif jika Pemilunya system distrik. Kita perempuan bisa bermain dan berperan dalam sistem proporsional atau kombinasi keduanya. Jalan panjang dan berliku harus dilalui oleh politisi perempuan berawal ketika pertama kali mereka menyatakan keinginannya untuk memasuki dunia politik, sampai dengan berhasil tidaknya ia bergabung dalam partai politik dengan mengikuti proses pencalonan partai tersebut sebelum kemudian maju untuk mengikuti Pemilu.

7. Konsep Gender dalam Islam