Partisipasi Anggota DPRD Propinsi DIY terhadap Kesetaraan Gender

masih terbatas bahwa pengertian gender itu adalah ke perempuan saja. Bahkan DPRD sendiri pun sebagian masih punya pikiran yang bias gender”. Wawancara Tanggal 12-07-2008 Dari pernyataan diatas sebenarnya baru sebatas wacana saja, karena dalam memutuskan suatu kebijakan tentunya dibutuhkan dukungan dan partisipasi dari seluruh anggota dewan yang notabene kebanyakan anggota legislatif ini adalah laki-laki. Hasil wawancara dengan ketua DPRD Propinsi DIY menyebutkan : “Kalau Inpres ni ya ndak kuat ya, kalau menurut temen-temen dewan itu bisa dikesampingkan tapi kalau sudah perundang-undangan kami harus tahu itu.. Ya memang kembali tadi sebenarnya yang memberikan peluang untuk perempuan adalah partai.” Wawancara : Tanggal 23-07-2008 “Yaa selama masih bentuk inpres saya kira belum begitu kuat, jadi perlu ditingkatkan menjadi undang-undang yang baku, begitu supaya dapat dijadikan dasar hukum bagi para pembuat kebijakan.” Wawancara : Tanggal 23-07-2008 Dan pada hakekatnya, memang dalam merubah persepsi anggota dewan terhadap kesetaraan gender yang semula masih bias gender itu tidak mudah seperti membalik telapak tangan, perlu kerja keras dan usaha serta dukungan semua pihak tidak hanya dari anggota legislatif saja, tapi juga dukungan dan kebijakan dari partai-partai politik, karena setiap kebijakan partai akan diakui oleh wakilnya di legislatif.

2. Partisipasi Anggota DPRD Propinsi DIY terhadap Kesetaraan Gender

Partisipasi anggota DPRD Propinsi DIY terhadap kesetaraan gender dapat dipengaruhi banyak faktor. Faktor-faktor ini sulit terwujud jika tidak didukung sebuah faktor eksternal yaitu terbukanya ruang politik bagi warga negara, khususnya kaum perempuan yang selama ini termarginalkan. Dan salah satu factor tersebut dapat saja memberikan kontribusi dalam mempengaruhi partisipasi anggota DPRD Propinsi DIY terhadap kesetaraan gender. Berikut hasil wawancara dengan salah satu anggota DPRD perempuan Ny. Isti’anah ZA, SH, M.Hum tentang bagaimana partisipasi anggota legislatif terhadap kesetaraam gender: “Dan saya kira menjadi wajah umum di Indonesia, tidak hanya di legislatif, tetapi di ekskutif juga demikian, karena saya melihat di DPRD itu sendiri masih kita lihat apa.. situasi seperti itu masih kita saksikan. Apalagi dari faktor jumlah kita memang tidak signifikan sama sekali. Kita hanya 6 yah, sementara laki-laki ada 49, jadi kan bukan faktor keseimbangan. Ini masih sangat senjang dari aspek jumlah, ee.. terus kemudian dari aspek kualitas ini sering juga anggota perempuan itu dipandang sebelah mata. Sering mereka melecehkan perempuan, perempuan dikategorikan tidak punya kapasitas memadai dan sebagainya. Dan itu saya kira merupakan senjata laki-laki untuk memojokkan kaum perempuan, karena di legislatif ini kan perempuan dianggap sebagai saingan.” “Yah itu saya kira memang salah satu sikap laki-laki yang memang sengaja ditunjukkan, barangkali mungkin kalau di dalam hatinya ada pengakuan, tetapi kan mungkin merasa gengsi, perasaan takut tersaing, dan lain sebagainya. Karena memandang perempuan itu bukan sebagai mitra, perempuan itu sebagai lawan gitu. Sehingga tidak layak untuk didukung. Saya yakin kalau laki-laki mendukung kiprah perempuan di area politik ini juga menjadi salah satu dorongan yah untuk mewujudkan kesetaraan gender.” Wawancara : Tanggal 21-07-2008 Dari pernyataan yang disampaikan oleh salah satu anggota dewan tersebut maka dapat dilihat bahwa partisipasi anggota dewan terutama anggota dewan yang laki-laki memang masih sangat minim. Belum menunjukkan adanya dukungan yang serius untuk mewujudkan kesetaraan gender. Hal itu sebagaimana yang disampaikan oleh Bp H.Djuwarto Ketua DPRD Propinsi DIY : “Tapi semua itu tergantung pula dengan wanitanya itu sendiri, apakah mereka berupaya atau tidak untuk maju. Jangan sampai kami laki-laki sudah mendorong tapi perempuannya sendiri yang tidak mau maju. Itu kan bukan kesalahan dari kami. Ya kan?” Wawancara : Tanggal 23-07-2008 “Dan saya lihat di Kantor Pemberdayaan Perempuan konsentrasi ke perempuannya sudah meningkat gitu. Sehingga bisa menggerakkan aksen sendiri. Dan itu memang harapan kita semacam itu..” Wawancara : Tanggal 23-07-2008 Dari hasil wawancara diatas tampak jelas memang pada dasarnya anggota legislatif belum betul-betul memberi perhatian yang serius. Mereka masih masa bodoh, dan seakan-akan berpartisipasi hanya sekedarnya saja. Bukan karena dari tuntutan program kesetaraan gender. Memang berbeda tanggapan mengenai partisipasi anggota legislatif terhadap perempuan, tokoh masyarakat Peneliti Pusat Studi Wanita UGM Ny. Herminningsih, M.Si ini mengatakan bahwa : “Kalau dalam lingkup sini bisa, tapi untuk ke pemda itu masih dirasa sulit. Meski disini sudah ada kantor PP Pemberdayaan Perempuan cara pandang pimpinan dan partisipasinya masih terbatas bahwa pengertian gender itu adalah ke perempuan saja. Bahkan DPRD sendiri pun sebagian masih punya pikiran yang bias gender.“ “Harus ya, itu tuntutan. Pada praktiknya terjadi perbedaan antara persepsi keluarga yang hidup di pedesaan dengan keluarga yang hidup di perkiotaan. Pandangan keluarga di pedesaan kurang memungkinkan kaum perempuan untuk berkiprah diluar lingkungan keluarga atau rumah tinggal. Biasanya kaum perempuan hanya bergerak dibidang lingkungan sendiri, termasuk ke sawah atau menyiapkan semua kebutuhan pangan bagi keluarga. Sedangkan keluarga yang ada di perkotaan telah memiliki nilai-nilai dan pandangan yang memungkinkan kaum perempuan untuk terjun dan terlibat dalam berbagai kegiatan atau organisasi yang ada, baik organisasi sosial maupun organisasi politik.” Wawancara :Tanggal 12-07-2008 Dari fenomena diatas menunjukkan bahwa persepsi maupn partisipasi dari institusi baik dari kantor Pemberdayaan Perempuan maupun dari kalangan anggota DPRD itu sendiri masih bias gender. Karena terbatasnya pemahaman mengenai arti gender dan persoalan-persoalan gender yang selama ini menimbulkan ketidakadilan gender. Guna melihat sejarah perbedaan gender gender difference antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses sosialisasi, penguatan dan konstruksi sosial kultural, keagamaan, bahkan melalui kekuasaan negara. Melalui proses yang cukup paling panjang, sehingga gender lambat laun menjadi seolah-olah ketentuan Tuhan atau kodrat dan ketentuan biologis yang tidak dapat diubah lagi. Karena itu saat orang sering menyebutnya dengan kodrat. Misalnya : sifat lemah lembut, sifat memelihara dan sifat emosional yang dimiliki oleh kaum perempuan dikatakan sebagai kodrat perempuan. Akan tetapi sebaliknya, sosialisasi konstruksi sosial tentang gender ini secara evolusi akhirnya mempengaruhi perkembangan masing-masing jenis kelamin. Misalnya : sifat gender laki-laki harus kuat dan agresif sehingga konstruksi sosial itu membuat lelaki terlatih dan termotifasi menuju dan mempertahankan sifat yang ditentukan tersebut yang memang laki-laki lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya, karena konstruksi sosial bahwa akum perempuan harus lemah lembut, maka sejak kecil, sosialisasi tersebut memperngaruhi perkembangan emosi, visi dan ideology kaum perempuan, serta perkembangan fisik biologis mereka. Krena proses sosialisasi yang berjalan secara mapan, akhirnya sulit dibedakan apakah sifat gender tersebut dikonstruksi atau sifat biologis ketentuan Tuhan Persoalannya, jika kostruksi gender dianggap sebagai kodrat, akibatnya gender mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan berpikir, bertindak sesuai dengan ketentuan sosial tersebut. Pembedaan yang dilakukan oleh aturan masyarakat dan bukan perbedaan biologis itu dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Masyarakat sebagai kelompoklah yang menciptakan perilaku pambagain gender untuk menentukan berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai keharusan, untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Keyakinan pembagian itu selanjutnya diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya penuh dengan proses, negoisasi, restensi maupun dominasi. Akhirnya lama kelamaan pembagian keyakinan gender tersebut dianggap alamiah, normal dan kodrat sehingga bagi mereka yang mulai melanggar dianggap tidak normal dan melanggar kodrat. Oleh karena itu diantara bangsa- bangsa dalam kurun waktu yang berbeda, pembagian gender tersebut berbeda-beda.

3. Pengarusutamaan Gender PUG