Pemutusan Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh Penjual dengan Memberlakukan Syarat Putus

3. Pemutusan Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh Penjual dengan Memberlakukan Syarat Putus

Terdapat perbedaan penting terhadap pemahaman antara terminologi pembatalan kontrak dengan pemutusan kontrak, perbedaan tersebut terletak pada fase hubungan kontraktualnya, pada pembatalan kontrak senantiasa dikaitkan dengan tidak dipenuhinya syarat pembentukannya (fase pembentukan kontrak), sedang pemutusan kontrak pada dasarnya mengakui keabsahan kontrak yang bersangkutan serta mengikatnya kewajiban-kewajiban para pihak, namun karena dalam pelaksanaannya bermasalah sehingga mengakibatkan kontrak tersebut diputus (fase pelaksanaan

kontrak) 36 .

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, mengenai syarat putus dari perjanjian pengikatan jual beli ini dapat ditemukan pengaturannya dalam Pasal 6 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang redaksinya sebagai berikut :

- Dalam hal PIHAK KEDUA oleh karena sebab apapun juga tidak dapat melakukan kewajibannya untuk membayar sisa harga jual beli atas TANAH seperti tersebut dalam

36 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit.,h.296.

Pasal 3 akta ini, maka PIHAK KEDUA diberikan tenggang waktu 6 (enam) bulan dan jika selama tenggang waktu 6 (enam) bulan PIHAK KEDUA belum juga membayar sisa harga jual beli atas TANAH tersebut di atas, maka jumlah uang yang telah dibayarkan oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA tidak akan dikembalikan kepada PIHAK KEDUA, tetapi PIHAK KEDUA akan memperoleh tanah sesuai dengan jumlah uang yang telah dibayarkan atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi dengan diberikan kepastian lokasi.

- Apabila PIHAK PERTAMA membatalkan perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada PIHAK KEDUA

Berdasarkan kutipan Pasal 6 ayat (1) di atas, Syarat putus akibat lalainya pembeli baru berlaku apabila setelah tenggang waktu 6 (enam) bulan yang disepakati untuk pihak kedua memenuhi kewajibannya terlewati. pihak kedua belum juga memenuhi kewajibannya membayar sisa tanah sebesar Rp 4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta rupiah). Tidak sanggupnya pembeli untuk melunasi sisa kewajiban pembayarannya setelah tenggang waktu yang ditentukan usai termasuk dalam kriteria kelalaian atau wanprestasi, maka perjanjian memberikan hak kepada pihak pertama untuk memutus perjanjian atau melakukan pemecahan perjanjian sebagai hukuman terhadap wanprestasi pihak kedua.

Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak pembeli atau pihak kedua yang dapat mengaktifkan syarat putus ini termasuk golongan wanprestasi untuk tidak melakukan apa yang disanggupi akan

dilakukannya 37 . Pihak kedua telah menyanggupi atas biaya dan cara pembayaran yang

37 Subekti I, Op.Cit., h.45.

diperjanjikan, akan tetapi karena sebab tertentu pihak kedua belum juga melunasi sisa pembayaran hingga berlalunya tenggang waktu 6 (enam) bulan berakhir.

Pemberlakuan syarat putus akibat pemutusan sepihak dari pihak pertama yang dirumuskan dalam pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli terjadi apabila pihak pertama membatalkan perjanjian secara sepihak, dan atas perbuatannya pihak pertama harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada pihak kedua. Wanprestasi oleh pihak pertama ini

dalam pembagian jenis-jenis wanprestasi menurut Subekti 38 merupakan wanprestasi atau kelalaian debitur dalam hal tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

Jika dicermati baik ketentuan pasal 6 ayat (1) maupun pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli pemberlakuan syarat putus lebih dominan dilakukan oleh pihak pertama atau penjual. Dalam pasal 6 ayat (1) pihak pertama dapat mengaktifkan syarat putus apabila pihak kedua tidak melanjutkan pembayaran sampai lewat tenggang waktu 6 bulan yang telah disepakati, dan ketentuan pasal 6 ayat (2) dapat memutuskan perjanjian dengan konsekuensi yuridis harus membayar ganti rugi sebesar dua kali dari uang muka kepada pihak kedua. Namun jika dilihat substansinya walaupun kedua syarat putus ini lebih dominan dilakukan oleh pihak pertama, alasan pemutusan perjanjian pengikatan jual beli tersebut memiliki substansi yang berbeda. Dalam Pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli alasan diputuskannya perjanjian ialah pihak kedua tidak beritikad baik untuk melanjutkan pembayaran setelah lewat

tenggang waktu yang diperjanjikan. Itikad baik 39 disini adalah itikad baik menurut pasal 1338 ayat (3) BW yang menjelaskan bahwa pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan

mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Kepatutan yang dilanggar di sini adalah

38 Ibid. 39 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h.99

keharusan pihak kedua untuk melanjutkan pembayaran sisa uang jual beli yang telah disepakati dalam pasal 3 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

Pengaturan mengenai syarat putus yang dapat menyebabkan putusnya perjanjian dapat kita temukan dalam Pasal 1265 BW yang rumusannya menyatakan bahwa apabila suatu syarat putus dipenuhi maka akan mengakibatkan penghentian perikatan, dan membawa sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat putus ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan, hanya mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi. Syarat putus ini menurut Herlien

Budiono dikatakan sebagai syarat putus yang “normal” 40 . Menyimpang dari syarat putus yang “normal”, pemutusan karena wanprestasi tidak berlaku demi hukum, tetapi harus dituntutkan

pembatalannya menurut Pasal 1266 ayat (2) BW. Jadi apabila pihak pertama atau penjual ingin memutus perjanjian ini berdasarkan syarat putus maka Ia haruslah terlebih dahulu memohon pemutusan pada hakim dengan dasar wanprestasi dari pihak kedua agar pemutusannya memiliki kekuatan hukum atau ia juga dapat memohon pemutusan kepada hakim dengan kesanggupan untuk membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada pihak kedua. Mengenai perbuatan hukum yang terakhir ini dapat juga dilakukan oleh pihak kedua apabila setelah pemutusan secara sepihak oleh pihak pertama tersebut pihak kedua juga lebih memilih untuk memutus perjanjian dan menerima ganti kerugian yang diberikan oleh pihak pertama.

40 Herlien Budiono II, Op.Cit., h.238.