Gugatan Wanprestasi akibat Pemutusan Perjanjian yang dilakukan oleh Para Tergugat
3. Gugatan Wanprestasi akibat Pemutusan Perjanjian yang dilakukan oleh Para Tergugat
Gugatan wanprestasi diajukan oleh pihak kedua yang selanjutnya akan disebut Penggugat terhadap pihak pertama yang selanjutnya disebut Para Tergugat pada tanggal 28 Desember 2011 kepada Ketua Pengadilan Negeri Denpasar melalui kuasa hukumnya dengan dalil bahwa tergugat telah melakukan wanprestasi karena batal menjual tanah obyek perjanjian pengikatan jual beli.
Untuk mendukung gugatannya Penggugat juga mendalilkan bahwa setelah terbit sertipikat terhadap tanah sengketa Para Tergugat tidak pernah memberitahukan kepada Penggugat dan setelah Penggugat mengetahui sendiri bahwa terhadap tanah sengketa telah terbit sertipikat, Penggugat langsung mendatangi Para Tergugat dengan tujuan untuk melanjutkan sisa pembayaran, sehingga proses jual beli dapat dilakukan, akan tetapi Penggugat malah menyatakan tidak jadi menjual tanahnya. Atas perbuatan Para Tergugat tersebut, Penggugat tidak dapat mengalihkan tanah sengketa kepada Penggugat atau kepada pihak lain sebagaimana diuraikan dalam Akta Kuasa tanggal 10 Mei 2002 nomor 16.
Mengacu kepada kriteria penggolongan wanprestasi menurut Subekti 56 , berdasarkan dalil- dalil yang diutarakan oleh Penggugat dalam posita gugatannya perbuatan Para Tergugat ini
termasuk ke dalam wanprestasi dalam hal melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Dalam pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli terkandung ketentuan yang menyatakan bahwa penjual berkewajiban membayar dua kali lipat sebagai ganti kerugian apabila pihak pertama membatalkan perjanjian tersebut. Jika ditafsirkan redaksi pasal ini menyatakan bahwa kedua belah pihak sepakat bahwa pihak penjual atau pihak pertama tidak
56 Subekti I, Op.Cit., h.45.
diperbolehkan membatalkan perjanjian, dan apabila kesepakatan ini dilanggar maka sebagai konsekuensinya pihak pertama wajib membayar ganti rugi sebesar dua kali uang muka kepada pihak pembeli.
Penggugat sebagai pihak yang mengajukan perkara ke depan sidang guna menunjuk pada suatu peristiwa (wanprestasi) memiliki kewajiban untuk membuktikan adanya peristiwa tersebut. Kewajiban untuk melakukan suatu pembuktian ini diatur dalam pasal 1865 BW. Suatu pembuktian ini dapat dilakukan dengan memajukan alat-alat bukti dalam perkara. Menurut pasal 1866 BW atau pasal 164 RIB (pasal 283 RDS) alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas :
a. Bukti tulisan;
b. Bukti dengan saksi-saksi;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan; dan
e. Sumpah. Dari apa yang telah disebutkan diatas, dapat dilihat bahwa dalam suatu perkara perdata alat
bukti (alat pembuktian) yang utama adalah tulisan. Tulisan merupakan alat bukti yang utama karena dalam lau lintas keperdataan, yaitu dalam jual beli, sewa-menyewa dan lain sebagainya, alat-alat bukti memang sengaja dibuat berhubungan dengan kemungkinan diperlukannya bukti- bukti tersebut di kemudian hari, dan lazimnya bukti-bukti ini dituangkan dalam suatu hitam
diatas putih atau berupa tulisan 57 . Bukti tulisan atau bukti surat yang diajukan oleh Penggugat adalah fotocopy salinan Akta Pengikatan Jual Beli No.15 tanggal 10 Mei 2002 serta fotocopy
salinan Akta Kuasa No.16 tanggal 10 Mei 2002.
57 Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985 (selanjutnya disebut Subekti III), h. 22.
Selain bukti tulisan atau bukti surat Penggugat juga mengajukan bukti dengan saksi-saksi. Menurut Subekti 58 seorang saksi akan menerangkan tentang apa yang dilihat dan dialaminya
sendiri, dan lagi tiap kesaksian itu harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang diterangkan itu. Pendapat maupun perkiraan-perkiraan yang diperoleh dengan jalan pikiran bukanlah suatu kesaksian. Dalam mempertimbangkan nilai suatu kesaksian, hakim harus
memberikan perhatian khusus pada persamaan kesaksian-kesaksian satu sama lain 59 ; pada persamaan antara kesaksian-kesaksian itu dengan apa yang diketahui dari sumber lain tentang hal
yang menjadi perkara, pada alasan-alasan yang kiranya telah mendorong seorang saksi untuk mengutarakan perkaranya, pada cara hidup, kesusilaan dan kedudukan para saksi, dan pada umumnya pada segala apa yang mungkin ada pengaruhnya terhadap lebih atau kurang dapat dipercayainya para saksi itu.
Penggugat mengajukan dua orang saksi, yaitu I Made Rangkep yang merupakan penghubung atau makelar dalam transaksi jual beli tanah yang terjadi antara Penggugat dan tergugat, serta I Wayan Sutarga yang berprofesi sebagai sopir Penggugat.
Menurut keterangan saksi I Made Rangkep setelah sertipikat selesai Para Tergugat mengatakan tidak jadi menjual tanahnya tersebut dan terhadap uang muka Penggugat akan diberikan tanah pengganti seluas 40 (empat puluh) are yaitu di depan 20 (dua puluh) are dan di belakang 20 (dua puluh) are.
Jika dirujuk pada kesaksian di atas pembeli atau dalam perkara ini tergugat telah beritikad baik memenuhi isi Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli pasal 6 ayat (1) yang menyatakan apabila tenggang waktu enam bulan dari selesainya sertipikat pihak kedua belum juga memenuhi
58 Ibid, h. 40. 59 Ibid, h.40,41.
kewajibannya untuk melanjutkan pembayaran dari harga jual beli tanah, maka jumlah uang yang telah dibayarkan oleh pihak kedua tidak akan dikembalikan oleh pihak pertama kepada pihak kedua akan tetapi pihak kedua akan memperoleh tanah sesuai jumlah uang yang telah dibayarkan atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi.
Dalam kesimpulan dari kuasa hukum tergugat, sampai sertipikat selesai yang diketahui oleh pembeli setelah diberitahu oleh saksi I Made Rangkep yaitu sekitar tahun 2003 dan setelah Penggugat mendatangi dan menanyakan langsung kepada Para Tergugat yang diantar oleh saksi I Wayan Sutanta sekitar tahun 2008, Penggugat tidak melunasi sisa pembayaran sebesar Rp 4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta rupiah) yang seharusnya sudah dibayar oleh pihak kedua atau dalam perkara ini sebagai Penggugat kepada pihak pertama atau Para Tergugat selambat-lambatnya setelah hak atas tanah tersebut bersertipikat, sesuai ketentuan pasal 3 huruf b Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Oleh karena Penggugat tidak memenuhi kewajibannya untuk melunasi sisa pembayaran setelah sertipikat selesai sesuai ketentuan pasal 3 huruf b Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, maka Para Tergugat memutus kesepakatan yang dimungkinkan oleh ketentuan pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang menentukan “apabila pihak pertama membatalkan perjanjian ini, maka pihak pertama harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada
pihak kedua.” Tetapi ketika Para Tergugat hendak mengembalikan dua kali dari uang muka yang telah dibayarkan oleh Penggugat kepada Para Tergugat, Penggugat tidak mau menerima
pengembalian uang muka tersebut dan tetap bersikeras untuk melanjutkan jual beli atau meminta ganti rugi sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
Jika poin dari kesimpulan ini sesuai dengan fakta hukum yang sebenarnya terjadi maka Para Tergugat dalam menghadapi gugatan dari Penggugat dapat mengajukan pembelaan berupa
exceptio non adimpleti contractus 60 . Mengenai Exceptio non adimpleti contractus ini Subekti berpendapat :
Dengan pembelaan ini si debitur yang dituduh lalai dan dituntut membayar ganti rugi itu mengajukan di depan hakim bahwa kreditur sendiri juga tidak menepati janjinya. Dalam setiap perjanjian timbal balik, dianggap ada suatu asas bahwa kedua pihak harus sama- sama melakukan kewajibannya. Masing-masing pihak dapat mengatakan kepada pihak
lawannya, „Jangan menganggap saya lalai, kalau kamu sendiri juga sudah melalaikan kewajibanmu!‟.
Selain pembelaan exceptio non adimpleti contractus Para Tergugat juga dapat mengajukan gugatan dengan dasar Penggugat tidak beritikad baik dalam memenuhi perjanjian. Menurut
Subekti 61 pelaksanaan suatu perjanjian dengan itikad baik harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi ukuran obyektiflah yang digunakan untuk menilai
pelaksanaan tadi. Pengaturan mengenai itikad baik dalam analisis obyektif ini dapat dilihat pada ketentuan pasal 1338 ayat (3) BW. Ketentuan pasal ini harus dipandang sebagai suatu tuntutan keadilan. Tujuan dari hukum adalah dua, yaitu menjamin kepastian (ketertiban) dan memenuhi tuntutan keadilan. Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang dijanjikan harus dipenuhi. Namun dalam pemenuan tuntutan perjanjian tersebut, norma-norma keadilan atau kepatutan
60 Subekti I, Op.Cit., h. 57,58. 61 Lihat Ibid, h.41, 42
sebaiknya tidak ditinggalkan, dan sebaiknya para pihak dapat berlaku adil dalam pemenuhan perjanjian tersebut.
Perbuatan Penggugat yang tidak patut jika melihat kesaksian dari kedua saksi yaitu saksi I Made Rangkep yang telah memberitahu Penggugat bahwa sertipikat telah selesai sekitar tahun 2003 dan setelah Saksi I Wayan Sutanta yang mengantar Penggugat mendatangi Para Tergugat sekitar tahun 2008 dengan kondisi telah mengetahui sertipikat telah terbit. Dari keterangan kedua orang saksi tersebut dapat dilihat rentang waktu kurang lebih lima tahun sejak Penggugat mengetahui sertipikat telah terbit dan tidak melanjutkan sisa pembayaran, hal ini berlawanan dengan norma-norma kepatutan, dimana seharusnya setelah sertipikat terbit Penggugat memiliki tenggang waktu enam bulan untuk melunasi pembayaran harga yang telah disepakati.
Lebih jauh mengenai itikad baik Agus Yudha Hernoko 62 berpendapat :
Sebagaimana dipahami bahwa pemahaman substansi itikad baik dalam Pasal 1338 (3) BW tidak harus diinpretasikan secara gramatikal, bahwa itikad baik hanya muncul sebatas pada tahap pelaksanaan kontrak. Itikad baik harus dimaknai dalam keseluruhan proses kontraktual, artinya itikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap pra kontraktual, kontraktual, dan pelaksanaan kontraktual. Dengan demikian, fungsi itikad baik dalam pasal 1338 ayat (3) BW mempunyai sifat dinamis melingkupi keseluruhan proses kontraktual tersebut.
62 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., H, 139
Gugatan wanprestasi dari Penggugat terjadi karena Para Tergugat lebih memilih membatalkan perjanjiannya secara sepihak dengan konsekuensi membayar ganti kerugian dua kali dari uang muka yang telah dibayarkan oleh Penggugat daripada menggunakan ketentuan syarat putus yang terkandung dalam pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Syarat untuk berlakunya syarat putus seagusbenarnya telah terpenuh saat Penggugat tidak berhasil memenuhi prestasinya untuk membayar sisa harga jual beli dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan setelah sertipikat selesai, pemenuhan syarat putus ini kurun waktu 5 (lima) tahun Penggugat tidak melanjutkan pembayaran harga atas tanahnya yang dapat dilihat dari kesaksian saksi I Made Rangkep yang telah memberi tahu Penggugat bahwa sertipikat telah selesai yaitu sekitar tahun 2003 dan setelah Penggugat mendatangi dan menanyakan langsung kepada Para Tergugat yang diantar oleh saksi I Wayan Sutanta sekitar tahun 2008.
Apabila poin kesimpulan tersebut di atas sesuai dengan fakta hukum yang sebenarnya maka seharusnya Para Tergugat dapat meminta pemutusan perjanjian seperti yang diatur dalam pasal 1266 ayat (2) BW setelah Penggugat tidak memenuhi kewajiban berprestasinya untuk membayar sisa harga jual beli dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak sertipikat selesai sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Apabila langkah permintaan pemutusan perjanjian ini yang dimintakan kepada hakim oleh Para Tergugat maka Para Tergugat tidak perlu untuk membatalkan perjanjian dan membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada pihak Penggugat karena pemutusan perjanjian tersebut terjadi karena wanprestasi oleh Penggugat dan akta perjanjian jual beli yang berlaku selayaknya undang- undang bagi para pihak menyatakan sah langkah pemutusan tersebut.
Walaupun dalam hukum dikenal adanya adagium Rechtfictie yang apabila diterjemahkan secara bebas memiliki arti bahwa setiap orang dianggap tahu hukumnya, sebaiknya penuangan perjanjian pengikatan jual beli dalam suatu akta pengikatan jual beli tersebut lebih merinci substansi dari perjanjian agar para pihak dapat lebih jelas mengetahui apa saja hak dan kewajiban mereka yang harus dipenuhi menurut perjanjian yang mengikat mereka selaku pembuat selayaknya undang-undang dan upaya-upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan apabila terjadi kelalaian dalam pemenuhan prestasi dari pihak lawan. Pengetahuan para pihak yang minim tentang hukum membuat mereka bertindak hanya berdasar kepada pasal-pasal yang terkandung dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanpa mengetahui terdapat pengaturan yang lebih khusus terhadap tindakan hukum yang dapat diambil menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Para Tergugat untuk mendukung dalilnya mengajukan bukti surat berupa foto copy salinan akta pengikatan jual beli, dan juga mengajukan dua orang ahli yaitu I Wayan Wiryawan dan I
Ketut Westra. Mengenai keterangan ahli ini Sudikno Mertokusumo 63 berpendapat bahwa “Keterangan ahli ialah keterangan pihak ketiga yang obyektif dan bertujuan untuk membantu
hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri.”. Namun dari keterangan ahli-ahli yang dihadirkan ke dalam persidangan tersebut terdapat
beberapa keterangan yang tidak sesuai dengan teori-teori atau norma hukum yang berlaku. Ahli Wayan Westra memberi keterangan bahwa perikatan tidak sama dengan pengikatan. Perikatan adalah istilah hukum yang mempunyai konsekuensi yuridis atau saksi, sedangkan pengikatan tidak. Pengikatan merupakan istilah yang lahir dari pergaulan sehari-hari dan perikatan adanya konotasi hak dan kewajiban sedangakan pengikatan hanya merupakan norma.
63 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., H.195
C. Asser 64 berpendapat bahwa ciri utama perikatan adalah hubungan hukum para pihak, dimana dengan hubungan itu terdapat hak (prestasi) dan kewajiban (kontra prestasi) yang saling
dipertukarkan para pihak. Apabila dibandingkan dengan pendapat ahli I Wayan Wiryawan yang menyatakan bahwa perikatan tidak sama dengan pengikatan, keterangan ahli tersebut kurang tepat, karena suatu pengikatan jual beli merupakan suatu perjanjian dimana dalamnya terdapat hubungan hukum berupa hak dan kewajiban para pihak yang saling dipertukarkan para pihak yang tunduk di dalamnya. Selain itu pasal 1233 BW menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian maupun karena undang-undang, dengan memperhatikan ketentuan pasal tersebut pengikatan jual beli yang dituangkan dalam suatu perjanjian menerangkan kedudukan perjanjian pengikatan jual beli sebagai suatu perjanjian yang melahirkan perikatan.
Ahli kedua yang dihadirkan oleh Para Tergugat adalah I Ketut Westra, Ahli kedua berpendapat bahwa apabila perjanjian tersebut mengandung klausula waktu dan setelah lampau waktu tersebut perjanjian belum dilaksanakan maka perjanjian tersebut gugur dan karena perjanjian tersebut gugur, maka tidak ada wanprestasi.
Klausula waktu dalam perjanjian pengikatan jual beli ini dapat ditemukan pada klausul syarat putus yang terkandung dalam pasal 6 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Merujuk pada ketentuan pasal 1266 ayat (2) BW yang menyatakan bahwa suatu syarat putus tidak batal demi hukum, tetapi harus dimintakan pembatalannya kepada hakim. Kemudian dalam ketentuan pasal 1266 ayat (3) BW juga diatur bahwa permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat putus mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Jika berpedoman pada
64 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit. h 21, dikutip dari C. Asser, Pengajian Hukum Perdata Belanda, Jakarta, Dian Rakyat, 1991, h. 5
ketentuan pasal 1266 ayat (3) BW pendapat dari ahli kedua tersebut kurang tepat karena perjanijan tidak gugur dengan sendirinya (batal demi hukum) apabila syarat lampaunya waktu dalam syarat putus terpenuh, suatu perjanjian dengan syarat putus tetap memerlukan pemutusan dari hakim.
Mengenai pendapat atau keterangan kedua ahli yang tidak sesuai dengan ajaran hukum atau norma-norma yang berlaku, majelis hakim bebas untuk mendengar atau tidak pendapat ahli
tersebut. Sebagaimana pendapat Sudikno Mertokusumo 65 “Hakim terikat untuk mendengar saksi yang akan memberikan keterangan tentang peristiwa yang relevan, sedangkan mengenai ahli,
hakim bebas untuk mendengar atau tidak.” Akibat dari wanprestasi Para Tergugat yang dirasa merugikan Penggugat dalam dalil-dalil
gugatannya, maka Penggugat dalam petitumnya menuntut Para Tergugat agar dihukum untuk membayar ganti kerugian secara tunai dan seketika terhitung sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Penggugat sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyat rupiah) dengan perincian:
1. Kerugian materiil sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Kerugian immateriil sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Mengenai ganti kerugian menurut Abdulkadir Muhammad 66 ialah “ganti kerugian yang
timbul karena debitur melakukan wanprestasi karena lalai ”. Ganti kerugian itu terdiri dari tiga unsur yaitu (pasal 1246 BW)
a) Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost).
65 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., H.197 66 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h.39,40.
b) Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian di sini adalah yang sungguh-sungguh diderita.
c) uang atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur kehilangan keuntungan yang diharapkannya.
Ketiga unsur diatas tidak harus selalu ada dalam ganti kerugian. Minimal ganti kerugian itu adalah kerugian yang sesungguhnya diderita oleh kreditur (unsur b).
Walaupun debitur yang telah melakukan wanprestasi (lalai) diharuskan membayar ganti kerugian kepada kreditur, namun undang-undang masih memberikan pembatasan-pembatasan yaitu ; dalam hal ganti kerugian yang bagaimana seharusnya dibayar oleh debitur atas tuntutan kreditur. Pembatasan-pembatasan itu sifatnya sebagai perlindungan undang-undang terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak kreditur. Pembatasan-pembatasan tersebut dapat dibaca dalam ketentuan pasal 1247 dan 1248 BW.
Pasal 1247 BW menyatakan bahwa Debitur hanya diwajibkan membayar ganti kerugian yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu daya yang dilakukan olehnya, dan Pasal 1248 BW menyatakan jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu daya debitur, pembayaran ganti kerugian sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh kreditur dan keuntungan yang hilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perikatan.
Dari ketentuan dua pasal ini dapat diketahui bahwa ada dua pembatasan kerugian :
a. kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan.
b. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi (lalai).
Dua macam kerugian inilah yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur akibat dari wanprestasi.
Dengan pembatasan kriteria kerugian ini maka gugatan wanprestasi Penggugat yang dalam petitumnya menuntut Para Tergugat agar dihukum untuk membayar ganti kerugian secara tunai dan seketika terhitung sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Penggugat sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyat rupiah) dengan perincian kerugian materiil sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), dan Kerugian immateriil sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) tidak dapat diterima karena kerugian tersebut bukanlah merupakan akibat langsung dari wanprestasi.
Selain ganti kerugian Penggugat dalam petitumnya juga memohon kepada majelis hakim agar Para Tergugat dihukum membayar uang paksa kepada Penggugat sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) sehari, setiap lalai melaksanakan isi putusan terhitung sejak putusan diucapkan sampai dilaksanakan oleh Para Tergugat.
Terhadap uang paksa (dwangsom ) Pasal 606a Rv menentukan : “Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada pembayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan, bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa.”. Berdasarkan ketentuan tersebut
Para Tergugat baru dapat dikenakan dwangsom apabila telah majelis hakim dalam amarnya menyetujui petitum gugatan Penggugat dan menghukum Para Tergugat untuk membayar dwangsom atau uang paksa tersebut.