Akibat Hukum Pemberlakuan Suatu Syarat Putus Terhadap Perjanjian
1. Akibat Hukum Pemberlakuan Suatu Syarat Putus Terhadap Perjanjian
Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, dalam perjanjian pengikatan jual beli antara para pihak, terdapat klausul yang menyatakan perjanjian tersebut dapat putus dengan berlakunya suatu syarat putus yang termuat dalam redaksi pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli untuk pemutusan akibat wanprestasi pihak kedua, dan pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli untuk pemutusan akibat pemutusan perjanjian secara sepihak oleh pihak pertama yang menyebabkan pihak pertama wanprestasi. Ketentuan mengenai berlakunya syarat putus ini dapat dilihat pengaturannya dalam pasal 1266 ayat (2) BW menyatakan bahwa “dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pemutusan harus dimintakan kepada Hakim.” Redaksi pasal 1266 ayat (3) BW menambahkan “permintaan itu harus dilakukan, meskipun syarat putus mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian.”
Apabila diterapkan ke dalam perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini, kedua pasal dalam BW tersebut menyatakan bahwa suatu perjanjian yang menyertakan syarat putus secara tertulis di dalamnya tidak dapat secara langsung menyatakan bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum setelah salah satu pihak melakukan wanprestasi. Pihak penjual jika ingin memutus perjanjian harus meminta pemutusan terlebih dahulu kepada hakim setelah pembeli atau pihak
kedua tidak memenuhi kewajibannya melunasi pembayaran atas tanah setelah lewat 6 (enam) bulan dari waktu yang ditentukan, yaitu setelah hak atas tanah yang menjadi obyek perjanjian bersertipikat sebagaimana diatur dalam pasal 3 huruf (b) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Begitu pula dengan wanprestasi dari pihak penjual, salah satu pihak harus memintakan pemutusan perjanjian terlebih dahulu kepada hakim karena pemutusan tidak bersifat batal demi hukum.
Permohonan pemutusan dapat dimintakan baik oleh pihak pertama maupun oleh pihak kedua, karena ketentuan dalam pasal 1266 ayat (2) BW tidak menerangkan pihak mana yang harus mengajukan permohonan kepada hakim untuk memutus suatu perjanjian. Secara logika pihak yang mengajukan permohonan pemutusan perjanjian kepada hakim biasanya adalah pihak yang merasa dirugikan oleh wanprestasi pihak lawannya, karena pemutusan oleh hakim ini akan menjadi dasar hukum oleh pihak yang memohon pemutusan dalam menuntut hak-haknya dari perjanjian yang telah putus.
Dalam praktik para pihak sering mencantumkan suatu klausula dalam perjanjian bahwa mereka sepakat untuk melepaskan atau mengesampingkan ketentuan pasal 1266 ayat (2) BW. Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Ada beberapa alasan yang mendukung pencantuman klausula ini, misalnya berdasarkan pasal 1338 ayat (1) BW, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sehingga pencantuman klausula yang melepaskan ketentuan pasal 1266 ayat (2) BW, harus ditaati oleh para pihak. Selain itu jalan yang ditempuh melalui pengadilan
akan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama sehingga hal ini tidak efisien bagi pelaku bisnis. 41
Di lain sisi terdapat ahli-ahli hukum maupun praktisi hukum yang berpendapat bahwa wanprestasi tidak secara otomatis mengakibatkan putusnya perjanjian, tetapi harus dimintakan kepada hakim. Hal ini didukung oleh alasan bahwa jika pihak debitur wanprestasi, maka kreditur masih berhak mengajukan gugatan agar pihak debitur memenuhi perjanjian, sedangkan apabila wanprestasi dianggap sebagai suatu syarat putusnya perjanjian, maka kreditur hanya dapat menuntut ganti rugi. Selain itu, berdasarkan ketentuan pasal 1266 ayat (4) BW, hakim berwenang untuk memberikan kesempatan kepada debitur dalam jangka waktu paling lama satu bulan untuk memenuhi perjanjian meskipun sebenarnya debitur sudah wanprestasi atau cidera janji. Dalam hal ini hakim mempunya diskresi untuk menimbang berat ringannya kelalaian debitur dibandingkan kerugian yang diderita jika perjanjian diputus.
Dari ketentuan pasal 1266 dan 1267 BW dapat disimpulkan hal sebagai berikut 42 :
1. Kedua pasal tersebut hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik, bukan perjanjian sepihak.
2. Wanprestasi merupakan syarat telah dipenuhinya syarat putus dalam perjanjian timbal balik, dan wanprestasi tersebut terjadi bukan karena keadaan memaksa atau keadaan di luar kekuasaan (force majeure atau overmacht), tetapi karena kelalaian pihak tergugat.
3. Akibat wanprestasi tersebut Penggugat dapat menuntut pemutusan perjanjian di depan hakim, dengan demikian perjanjian tersebut tidak batal demi hukum.
41 Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2004, h.63,64. 42 Elly Herawati, Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, Nasional Legal Reform
Program, Jakarta, 2010, h.26,27.
Pasal 1266 dan 1267 BW yang menempatkan wanprestasi sebagai syarat putus, sebagaimana pengertian syarat putus dalam pasal 1253 BW, dianggap tidak tepat. Alasannya adalah kepatutan dan logika, yakni tidak akan selalu adil menghukum debitur yang wanprestasi karena kelalaiannya dengan pemutusan perjanjian. Terhadap kritik ini Subekti justru
menjelaskan bahwa ketentuan kedua pasal tersebut sebenarnya tidak salah. 43 Sebab sekalipun wanprestasi dianggap sebagai syarat putus sehingga menyebabkan perjanjian berakhir,
berakhirnya perjanjian tersebut bukan karena demi hukum, melainkan harus melalui pernyataan pembatalan o leh hakim. Hal ini terlihat jelas dari pasal 1266 ayat (2) BW : “dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pemutusan harus dimintakan kepada pengadilan.” Bahkan ayat (3) pasal ini juga menegaskan bahwa perjanjian itu tetap bukan batal demi hukum, melainkan dapat dibatalkan, sekalipun di dalam perjanjian itu dicantumkan soal wanprestasi sebagai syarat putus. Kemudian, ayat (4) menambahkan bila wanprestasi sebagai syarat putus tidak dicantumkan dalam perjanjian, hakim memiliki kebijaksanaan berdasarkan pertimbangan keadaan memberi jangka waktu maksimum 1 (satu) bulan bagi pihak yang wanprestasi untuk
memenuhi kewajibannya. Dalam konteks terakhir ini, bahkan menurut Subekti 44 , hakim berhak pula untuk mempertimbangkan dan menilai besar kecilnya kelalaian debitur yang wanprestasi itu
dibandingkan dengan akibat pemutusan perjanjian yang akan menimpa debitur itu. Dengan kata lain, ketika hakim harus memutuskan gugatan pembatalan perjanjian karena wanprestasi sebagai syarat batal, ia harus memperhatikan berbagai asas hukum perjanjian yang lazim, salah satunya adalah asas itikad baik.
43 Ibid, h.27 dikutip dari Subekti I,Op.Cit., h.48. 44 Ibid, Dikutip dari Subekti I, Op.Cit., h.49.
Pendapat Subekti di atas tampaknya kini justru dikesampingkan oleh para sarjana maupun ahli-ahli hukum, menurut Herlien Budiono 45 misalnya, pasal 1266 dan 1267 BW bukan
ketentuan hukum yang bersifat memaksa sehingga dapat disimpangi oleh para pihak yang membuat perjanjian, n amun penyimpangan itu tampaknya hanya untuk soal “perantaraan putusan hakim‟, bukan tentang soal wanprestasi sebagai syarat putusnya perjanjian. Artinya para pihak dengan tegas dapat mengesampingkan pasal 1266 ayat (2) hingga ayat (4) sehingga pemutusan perjanjian akibat terjadinya wanprestasi dari salah satu pihak tidak perlu dimintakan kepada hakim, akibatnya perjanjian seperti itu akan otomatis batal demi hukum. Pengesampingan pasal 1266 ayat (2) hingga ayat (4) yang berakibat pelepasan hak para pihak untuk menuntut pemutusan perjanjian di depan hakim, secara tegas harus dicantumkan di dalam akta perjanjian yang bersangkutan.
Dasar berpikir praktis dari tindakan pengesampingan pasal 1266 BW tersebut pada umumnya berasal dari kekhawatiran dalam masyarakat, dimana bila pemutusan melalui pengadilan merupakan syarat formal yang mutlak yang harus dipenuhi, maka selain akan menimbulkan ketidakpastian dalam hukum bisnis di Indonesia, syarat tersebut juga akan
menimbulkan konsekuensi biaya tinggi serta inefisiensi waktu. 46
Walaupun dalam suatu kontrak telah secara tegas disepakati pengesampingan dari kewenangan pengadilan dalam memutuskan apakah tindakan wanprestasi terjadi atau tidak, serta juga kewenangan pengadilan untuk memutuskan kontrak sebagai akibat dari tindakan wanprestasi tersebut, apabila ternyata dalam penerapannya pihak yang dinyatakan wanprestasi menolak tuduhan tersebut dan tidak dapat menerima tindakan pemutusan sepihak yang dilakukan
45 Herlien Budiono I, Op.Cit., h.199,200. 46 Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak Bisnis,Kontan Publishing,
Jakarta,2011, h 233.
oleh mitra berkontraknya, maka pengesampingan pasal 1266 BW dalam kontrak yang disepakati tersebut demi hukum menjadi tidak berlaku. Artinya Pengadilan Negeri akan tetap berwenang untuk memeriksa dan memutuskan setiap sengketa yang timbul dalam kontrak, karena berdasarkan undang-undang kekuasaan kehakiman, kewenangan hakim adalah untuk memeriksa dan memutuskan perkara, bukan untuk sekedar menegaskan isi perikatan dari para pihak
berkontrak. 47
Hak untuk mengesampingkan kewenangan pengadilan dalam mengadili apakah suatu kontrak dapat diputus atau tidak secara logis akan juga meliputi pengesampingan kewenangan pengadilan dalam memutuskan jumlah ganti rugi (damages) yang harus dibayarkan oleh pihak
yang wanprestasi (debitur) sebagai akibat wanprestasi tersebut. 48
Jika diasumsikan pengadilan dapat menerima pengesampingan pasal 1266 BW maka pengadilan sebagai konsekuensinya akan menolak setiap permasalahan yang terjadi akibat dari langkah pembatalan sepihak tersebut dengan pertimbangan hukum Niet Ontvankelijk Weklaard. Ricardo Simanjuntak berpendapat bahwa kewenangan dari pengadilan untuk menyatakan telah terjadi atau tidaknya wanprestasi serta juga kewenangan untuk memutus suatu kontrak dan memutuskan pembayaran ganti rugi, biaya dan bunga seperti yang dimaksudkan oleh pasal 1266 dan 1267 BW, adalah kewenangan yang demi hukum tidak dapat dikesampingkan oleh kebebasan berkontrak, kecuali bila pihak-pihak berkontrak tersebut secara sukarela bersedia
mematuhinya. 49
Apabila diterapkan pada perjanjian pengikatan jual beli yang mengikat para pihak, pihak penjual tidak dapat secara langsung memutus perjanjian pengikatan jual beli dengan syarat putus
47 Ibid., h 234,235. 48 Ibid., h 240. 49 Ibid, h241.
karena klausul mengenai pengesampingan ketentuan pasal 1266 ayat 2 BW mengenai tidak batal demi hukumnya pemutusan akibat berlakunya syarat putus tidak disepakati sebelumnya oleh para pihak saat membuat Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, maka jika pihak penjual ingin memutus perjanjian pengikatan jual beli tersebut dengan berdasar kepada syarat putus yang terpenuhi dengan wanprestasi dari pihak pembeli pihak penjual harus mengajukan permintaan pemutusan kepada hakim terlebih dahulu.
Langkah penjual untuk meminta pemutusan terlebih dahulu kepada hakim ini harus dilakukan selain karena diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan dalam hal ini BW, juga dimaksudkan agar upaya hukum pemutusan yang dilakukan oleh penjual memiliki kekuatan hukum untuk dilakukan. Akibat hukum dari tidak dimintakannya pemutusan perjanjian pengikatan jual beli ini kepada hakim ialah dapat dikenakannya ketentuan pasal 6 ayat 2 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang menyatakan bahwa apabila pihak pertama membatalkan perjanjian tersebut, maka pihak pertama harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada pihak kedua. Akibat hukum ini terjadi karena suatu perjanjian dengan syarat putus tidak berakhir dengan sendirinya atau batal demi hukum tetapi memerlukan pembatalan yang dimintakan kepada hakim sebagaimana dapat dilihat dalam redaksi pasal 1266 ayat 2 BW.
Apabila pada perjanjian timbal balik dengan syarat putus itu hakim mengabulkan gugatan kreditur untuk memutuskan perikatan karena terjadinya wanprestasi, timbul persoalan tentang
sifat dari keputusan hakim tersebut. Dalam hal ini ada dua pendapat 50 , yaitu :
50 Mariam Darus Badrulzaman et al, Op.Cit., h.44.
1. Pendapat yang menyatakan bahwa sifat dari keputusan hakim itu adalah declaratoir. Dalam hal ini berarti putusnya perikatan itu adalah disebabkan karena adanya wanprestasi itu sendiri.
2. Pendapat yang menyatakan bahwa sifat dari keputusan hakim itu adalah konstitutif, artinya ialah bahwa putusannya bukan karena adanya wanprestasi, tetapi karena adanya putusan hakim.