Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Dan Krisis Ekonomi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Sumatera Utara

(1)

ANALISIS PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN

KRISIS EKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN

EKONOMI DI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

IMOM SALEH RITONGA

047018029/EP

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

ANALISIS PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN

KRISIS EKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN

EKONOMI DI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan Pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

IMOM SALEH RITONGA

047018029/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH PENGELUARAN

PEMERINTAH DAN KRISIS EKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI SUMATERA UTARA Nama Mahasiswa : Imom Saleh Ritonga

Nomor Pokok : 047018029

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Rahmanta M.Si) (Drs. Kasyful Mahalli, M.Si)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Dr.Murni Daulay, M.Si) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 25 Februari 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Rahmanta, M.Si

Anggota : 1. Kasyful Mahalli, SE,M.Si 2. Dr. Murni Daulay, M.Si 3. Irsad Lubis, M.Soc.Sc,Ph.D 4. Drs. Rahmad Sumanjaya, M.Si


(5)

PERNYATAAN

ANALISIS PENGARUH PENGELUARAN

PEMERINTAH DAN KRISIS EKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI SUMATERA UTARA

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah di tulis atau diterbitkan orang lain, atau kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 25 Februari 2010


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Krisis Ekonomi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana pengaruh Pengeluaran Rutin, Pengeluaran Pembangunan untuk sektor Pertanian, Pengeluaran Pembangunan untuk sektor Industri, Pengeluaran Pembangunan untuk sektor Jasa, dan Krisis Ekonomi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara.

Penelitian ini menggunakan data sekunder tahun 1980 – 2008 dan diestimasikan dengan Regresi Linear Berganda dan metode Ordinary Least Square (OLS), serta memakai alat bantu Eviews 5.1.

Hasil estimasi penelitian menunjukkan Pengeluaran Rutin Pemerintah di Sumatera Utara, Pengeluaran Sektor Pertanian, Pengeluaran Sektor Industri, Pengeluaran Sektor Jasa, dan Krisis Ekonomi memiliki pengaruh terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara. Secara parsial Pengeluaran Rutin Pemerintah di Sumatera Utara terbesar pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi, dibandingkan pengeluaran lainnya.


(7)

ABSTRACT

The title of this research is The impact of Government Expenditure and Economic Crisis on Economic Growth in North Sumatra Province, this research main purpose is to analize the impact of government’s routine expenditure, government’s development expenditure of agriculture, industry, and merid sector combined with the economic crises on the economic growth of North Sumatra Province.

Ordinary Least Square method and Multiple Linear Regression are used to analize secondary data from 1980 – 2008, and Eviews 5.1 is used to estimate the data.

The estimation result showed that government’s routine expenditure, government’s development expenditure on agriculture, industry, and merid sector combined with the economic crises had positive and significant impact on economic growth of the North Sumatra Province. Partially, government’s routine expenditure had the strongest impact on economic growth of the North Sumatra Province compare to the other expenses


(8)

KATA PENGANTAR

Pertama saya memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan nikmat-nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini yang berjudul Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Krisis Ekonomi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara.

Dalam mengikuti pendidikan Sekolah Pascasarjana dalam bidang ekonomi pembangunan, saya mengakui banyak pihak-pihak yang telah memberikan dorongan, motivasi, bimbingan dan bantuannya. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya dengan hati yang tulus menyampaikan terima kasih banyak dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr. Rahmanta,M.Si, sebagai Pembimbing I dan Bapak Kasyful Mahalli, SE,M.Si, sebagai Pembimbing II, dimana dengan niat tulus dan ikhlas sepenuh hati telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, bimbingan dan diskusi dari proses penyusunan proposal sampai dengan proses penyempurnaan tesis ini sebagai hasil penelitian dan tulisan.

2. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan dan Bapak Drs. Rahmat Sumanjaya, M.Si, Selaku Sekretaris Program, dimana beliau dengan arif dan bijaksana telah mengarahkan kami sehingga mampu menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Irsad Lubis, M.Soc.Sc,PhD. dan Bapak Drs. Iskandar Syarif, M.A merupakan dosen pembanding sekaligus dosen dan sahabat untuk berdiskusi.

Selama mengikuti perkulihaan di Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, saya merasa nyaman dengan tersedianya fasilitas dalam proses belajar mengajar sehingga penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :


(9)

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM &H, Sp.A (K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B, M.Sc, sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Kepada sahabat-sahabat, teman-teman seperjuangan yang telah banyak memberikan bantuan moril maupun materil untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

Kedua orang tua saya yang tercinta Ayahanda Basri Ritonga dan Ibunda Mahara Harahap, yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang dan Bapak Mertua Legino dan Ibu Mertua Rubiah yang selalu memberikan dorongan, Ananda Junalita Imami Ritonga sebagai penyemangat saya, serta Isteri tercinta Nana Febriana,S.sos.I sebagai inspirator saya dalam menyelesaikan perkuliahan ini.

Akhirnya kepada Allah SWT saya berserah diri dan semoga penelitian ini bermanfaat, baik untuk dunia akademis maupun di pemerintahan

Medan, 25 Februari 2010


(10)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Imom Saleh Ritonga

2. Agama : Islam

3. Tempat & Tgl. Lahir : Sigama, 09 Agustus 1978

4. Alamat : Jalan Titi Pahlawan Gang Manaf No.,3 Kel. Labuhan, Deli Kec. Medan Marelan

5. Nama orang tua :

Ayah : Basri Ritonga

Ibu : Mahara Harahap

6. Nama isteri : Nana Febriana, S.sos.I 7. Pendidikan

a. SD Negeri Aek Sigama, Padang Lawas Utara : Lulus Tahun 1991 b. MTS Sanawiyah Padang Garugur padang Lawas Utara : Lulus Tahun 1994 c. SMU Negri I G.Tua Padang Lawas Utara : Lulus Tahun 1997 d. FT UMA, Medan : Lulus Tahun 2002 e. Sekolah Pascasarjana USU : Lulus Tahun 2010 8. Pekerjaan Sekarang : Staf Ahli DPRD SU


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT ………. ii

KATA PENGANTAR ……….. iii

RIWAYAT HIDUP ………. v

DAFTAR ISI ……… vi

DAFTAR TABEL ………. viii

DAFTAR GAMBAR ……… ix

DAFTAR LAMPIRAN ……… x

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ……… 1

1.2 Perumusan Masalah Penelitian ……… 13

1.3 Tujuan Penelitian ……… 14

1.4 Manfaat Penelitian ……… 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………. 16

2.1 Pertumbuhan Ekonomi ... 16

2.2 Teori Teori Pertumbuhan Ekonomi ………... 17

2.2.1 Teori Pertumbuhan Klasik ... 17

2.2.2 Teori Pertumbuhan Harrod – Domar ... 18

2.2.3 Teori Pertumbuhan NeoKlasik ... 20

2.2.4 Teori Schumpeter ……….. 21

2.2.5 Teori Tahap-Tahap Pertumbuhan Ekonomi ... 23

2.3 Perhitungan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi ... 23

2.4 Kebijakan Fiskal dalam Pembangunan ……….. 30


(12)

2.6 Penelitian Terdahulu ... 42

2.7 Kerangka Pemikiran ... 45

2.8 Hipotesis Penelitian ... 46

BAB III METODE PENELITIAN ………... 47

3.1 Ruang Lingkup Penelitian ……….. 47

3.2 Jenis dan Sumber Data ………... 47

3.3 Tehnik Analisis Data ……….. 48

3.4 Pengujian Statistik ………. 49

3.5 Uji Asumsi Klasik ……….. 50

3.6 Definisi Operasional Variebel Penelitian ………... 52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN …………... 53

4.1 Pembahasan Variabel-Variabel Penelitian ……… 53

4.1.1 Pertumbuhan Ekonomi ……… 53

4.1.2 Pengeluaran Rutin ……… 55

4.1.3 Pengeluaran Pemerintah Sektor Pertanian ………... 57

4.1.4 Pengeluaran Pemerintah Sektor Industri ..………... 59

4.1.5 Pengeluaran Pemerintah Sektor Jasa ….……….. 62

4.2 Pembahasan Pengujian Hipotesis ……….. 65

4.3 Pembahasan Hasil Estimasi Variabel yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara ……….. 67

4.4 Uji Asumsi Klasik ……….. 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 71

5.1 Kesimpulan ……… 71

5.2 Saran ……….. 72

DAFTAR PUSTAKA ……….. 73


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul

Halaman

1.1. Data APBD Tahun 2007 (Dalam Juta Rupiah) …... 10

1.2 Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (Milyar Rupiah) ... 11

1.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 (Persentase) ... 12

4.1 Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara (Rp/Milyar) ... 54

4 2 Pengeluaran Rutin Sumatera Utara (Rp/Milyar) ... 56

4.3 Pengeluaran Pemerintah Sektor Pertanian (Rp/Milyar) ... 58

4.4 Pengeluaran Pemerintah Sektor Industri (Rp/Milyar) …………. 60

4.5 Pengeluaran Pemerintah Sektor Jasa ………... 63

4.6 Estimasi Uji R2 (Hasil Regresi Antar Variabel Bebas) …………... 69


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Kerangka Pemikiran ……….. 45 4.1. Perkembangan PDRB Propinsi Sumatera Utara ……… 55 4.2. Perkembangan Pengeluaran Rutin Propinsi Sumatera Utara ……. 57 4.3. Perkembangan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian …… 59 4.4. Perkembangan Pengeluaran Pembangunan Sektor Industri …….. 61 4.5. Perkembangan Pengeluaran Pembangunan Sektor Jasa …………. 64


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Data Penelitian ………. 75

2. Regresi Linear Berganda ……….. 77

3. Uji Otokorelasi ……….. 79

4. Uji Multikolinearitas ………. 80


(16)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Krisis Ekonomi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana pengaruh Pengeluaran Rutin, Pengeluaran Pembangunan untuk sektor Pertanian, Pengeluaran Pembangunan untuk sektor Industri, Pengeluaran Pembangunan untuk sektor Jasa, dan Krisis Ekonomi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara.

Penelitian ini menggunakan data sekunder tahun 1980 – 2008 dan diestimasikan dengan Regresi Linear Berganda dan metode Ordinary Least Square (OLS), serta memakai alat bantu Eviews 5.1.

Hasil estimasi penelitian menunjukkan Pengeluaran Rutin Pemerintah di Sumatera Utara, Pengeluaran Sektor Pertanian, Pengeluaran Sektor Industri, Pengeluaran Sektor Jasa, dan Krisis Ekonomi memiliki pengaruh terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara. Secara parsial Pengeluaran Rutin Pemerintah di Sumatera Utara terbesar pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi, dibandingkan pengeluaran lainnya.


(17)

ABSTRACT

The title of this research is The impact of Government Expenditure and Economic Crisis on Economic Growth in North Sumatra Province, this research main purpose is to analize the impact of government’s routine expenditure, government’s development expenditure of agriculture, industry, and merid sector combined with the economic crises on the economic growth of North Sumatra Province.

Ordinary Least Square method and Multiple Linear Regression are used to analize secondary data from 1980 – 2008, and Eviews 5.1 is used to estimate the data.

The estimation result showed that government’s routine expenditure, government’s development expenditure on agriculture, industry, and merid sector combined with the economic crises had positive and significant impact on economic growth of the North Sumatra Province. Partially, government’s routine expenditure had the strongest impact on economic growth of the North Sumatra Province compare to the other expenses


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi hal yang sangat penting. Secara umum tujuan pembangunan ekonomi adalah mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, menjaga kestabilan harga, mengatasi masalah pengangguran, menjaga keseimbangan neraca pembayaran dan pendistribusian pendapatan yang lebih adil dan merata. Melalui pembangunan ini diharapkan akan terjadi peningkatan kemakmuran masyarakat secara bertahap dan berkesinambungan, yaitu dengan cara meningkatkan konsumsinya.

Untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut, pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan pemerintah dapat diklasifikasikan dalam tiga golongan besar, yaitu: (1) peranan alokasi, mengusahakan agar alokasi sumber-sumber ekonomi dilaksanakan secara efisien; (2) peranan distribusi pendapatan atau kekayaan; dan (3) peranan stabilisasi perekonomian (Mangkoesobroto, 2001)

Peranan stabilisasi perekonomian sangat penting dilakukan karena keadaan perekonomian tidak selalu sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat. Tingkat inflasi yang tinggi, pengangguran dan neraca


(19)

pembayaran luar negeri yang terus menerus defisit merupakan beberapa gejala ekonomi makro yang tidak dikehendaki bangsa manapun di bumi ini. Oleh karena masalah tersebut secara langsung menyangkut variabel-variabel ekonomi agregat dan hanya dapat diatasi dengan mengendalikan jalannya perekonomian sebagai suatu keseluruhan, maka salah satu kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan fiskal.

Kebijakan fiskal yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia ditunjukkan oleh besarnya APBN yang diperlukan sebagai suatu pedoman sehingga kegiatan pemerintah itu dapat mencapai hasil yang optimal dan dapat mengadakan pertimbangan dalam menjalankan aktivitas-aktivitas pemerintah. Kebijakan fiskal meliputi langkah-langkah pemerintah membuat perubahan dalam bidang perpajakan dalam pengeluaran pemerintah dengan maksud untuk mempengaruhi pengeluaran agrerat dalam perekonomian.

Sebagai negara berkembang, dimana peranan pemerintah dalam perekonomian relatif besar, pengeluaran pemerintah praktis dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi Indonesia pada umumnya, bukan saja karena pengeluaran ini dapat menciptakan berbagai prasarana yang dibutuhkan dalam proses pembangunan, tetapi juga merupakan salah satu komponen dari permintaan agregat yang kenaikannya akan mendorong produksi domestik.

Anggaran belanja rutin memegang peranan yang penting untuk menunjang kelancaran mekanisme sistim pemerintahan serta upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas, yang pada gilirannya akan menunjang tercapainya sasaran dan tujuan


(20)

setiap tahap pembangunan. Sedangkan pengeluaran pembangunan ditujukan untuk membiayai program-program pembangunan yang anggarannya selalu disesuaikan dengan besarnya dana yang berhasil dimobilisasi.

Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator besarnya kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah itu dan bagaimana proporsinya terhadap penghasilan nasional. Semakin besar dan banyak kegiatan pemerintah semakin besar pula pengeluaran pemerintah yang bersangkutan. Tapi hendaknya kita sadari bahwa proporsi pengeluaran pemerintah terhadap penghasilan nasional bruto (GNP) adalah suatu ukuran yang sangat kasar terhadap kegiatan peranan pemerintah dalam suatu perekonomian.

Sebagai gambaran, kebijakan fiskal yang diterapkan pemerintah seringkali bersifat virtual dalam jangka pendek atau tidak dirasakan masyarakat karena aktivitas ekonomi dalam jangka pendek relatif tidak berpengaruh, dan dalam jangka panjang, dimensi keadilan sosial ekonomi dari buruknya aransemen kebijakan fiskal jelas akan membebani masyarakat dari berbagai sendi kehidupan.

Persoalannya adalah bahwa rincian kebijakan yang ada di dalam APBN sering kali tidak menunjukkan arah kebijakan dan menjadi program guideliness yang dapat memberikan peluang-peluang stimulasi bagi aktivitas perekonomian dan sektor swasta. Sebagian besar dari komponen kebijakan yang ada di dalamnya justru didominasi oleh unsur-unsur tidak produktif dan tidak dinamis seperti, pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri serta penyisihan anggaran untuk keperluan dan rekapitalisasi perbankan.


(21)

Alokasi anggaran tidak memberikan arah perubahan besar bagi terciptanya suatu nuansa keadilan sebagai stimulasi pertumbuhan ekonomi, dan justru menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk sektor-sektor vital dalam membangun suatu bangsa yang maju dan beradab seperti pada sektor pendidikan, kesehatan, dan peningkatan kualitas hidup seluruh bangsa Indonesia.

Dalam kondisi yang demikian pemerintah melalui kebijakan anggaran negara perlu memberikan perlindungan dan memulihkan kondisi sosial ekonomi masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah. Kebijakan dimaksud dilakukan dengan mengarahkan alokasi belanja rutin yang ditujukan pada upaya peningkatan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat, sedangkan pengeluaran pembangunan diarahkan untuk program proyek prasarana sosial dan program pemulihan kegiatan perekonomian nasional.

Sebelum era otonomi daerah diterapkan, sistem pemerintahan di Indonesia menganut azas dekonsentrasi, desentralisasi, dan pembantuan (medebewind). Dengan demikian, sistem anggaran di Indonesia juga mencerminkan ketiga azas tersebut di atas. Perencanaan dan penganggaran dilakukan melalui pendekatan dan mekanisme perencanaan pembangunan dari atas ke bawah (top down planning) dan dari bawah ke atas (bottom up planning). Perencanaan pembangunan tahunan dituangkan dalam Repeta (Rencana Pembangunan Tahunan) yang nilai dananya dituangkan kedalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan mengacu kepada GBHN


(22)

Seperti yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah juga menuangkan perencanaan pembangunan tahunan daerah (repetada) ke dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) pada setiap propinsi di Indonesia yang mengacu pada propedanya masing-masing. APBN maupun APBD secara prinsip hampir sama yaitu berbentuk neraca yang menggambarkan alokasi penerimaan dan pengeluaran baik secara rutin maupun pembangunan. Kebijakan pemerintah daerah dapat tercermin dari pengalokasian pengeluaran pemerintah yang memperhatikan prioritas pembangunannya, kebutuhannya, aspirasi masyarakat dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah.

Penyelenggaraan otonomi daerah bagi setiap daerah tingkat propinsi maupun kabupaten diwujudkan oleh pemerintah pusat dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang pelaksanaannya sendiri dimulai sejak bulan Januari 2001. Penyelenggaraan otonomi daerah ini memuat dua aspek penting, yaitu pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun tugas pembangunan dan pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang meliputi penggalian sumber-sumber penerimaan dan pengalokasian pengeluaran sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerahnya masing-masing.

Dari aspek ekonomi, kebijakan otonomi daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan


(23)

pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui otonomi daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global.

Sebelum berlakunya otonomi daerah, dana penyelenggaran pembangunan daerah selain diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak/bukan pajak dan sisa lebih perhitungan tahun lalu, pemerintah pusat memberikan sumbangan dan bantuan dalam bentuk Subsidi Daerah Otonom (SDO) yang merupakan perimbangan keuangan dari pemerintah pusat atas pembiayaan gaji dan tunjangan lainnya bagi pegawai negeri sipil di daerah. Subsidi lainnya antara lain untuk biaya operasional rumah sakit daerah, biaya pra jabatan dan subsidi pembiayaan penyelenggaraan otonomi daerah. Selain itu sebagai azas pemerataan pembangunan di daerah pemerintah pusat mengalokasikan dana untuk pengeluaran pembangunan melalui bantuan dana Inpres yang berbentuk block grant, yang meliputi Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II atau yang dikenal dengan Inpres Dati I dan Dati II. Selain dana block grant tersebut pemerintah pusat juga memberikan dana specific grant antara lain untuk pembangunan jalan dan jembatan yang biasa di kenal dengan BPJK (Bantuan Pembangunan Jalan Dan Jembatan Kabupaten), BPJK (Jalan Dan Jembatan Propinsi). Sumber-sumber dana yang


(24)

berasal dari pemerintah pusat tersebut di atas masuk dalam penerimaan daerah dalam APBD-nya masing-masing.

Sementara itu, pemerintah pusat melalui departemen / non-departemen yang terkait juga memberikan bantuan langsung kepada daerah untuk pelaksanaan pembangunan dalam bentuk proyek sektoral, misalnya sektor perhubungan, pertanian, pariwisata, dan lain lain. Bantuan ini dikenal dengan istilah dana sektoral DIP (Daftar Isian Proyek) dari berbagai departemen / non-departemen kepada pemerintah daerah. Jenis bantuan ini tidak dimasukkan dalam sebagai sumber penerimaan daerah pada APBD Tingkat I maupun II, namun dampaknya sangat besar dirasakan manfaatnya bagi masing-masing daerah tersebut.

Pengeluaran pemerintah (baik pusat maupun daerah) yang digambarkan pada APBN dan APBD pada prinsipnya bertujuan untuk sebesar-besarnya dimanfaatkan bagi pelayanan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengeluaran pemerintah Indonesia seperti yang tercermin dalam APBN maupun APBD dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.

Diantara kedua jenis pengeluaran tersebut di atas, pengeluaran terbesar adalah berupa pengeluaran rutin, yaitu sekitar 60% terhadap total pengeluaran sementara sekitar 40% dari total pengeluaran digunakan untuk pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin meliputi belanja pegawai, barang, pemeliharaan, perjalanan dinas, pinjaman beserta bunga dan subsidi yang mana semua jenis pengeluaran tersebut sifatnya merupakan pengeluaran konsumsi. Sedangkan pengeluaran pembangunan


(25)

terbagi menurut sektor-sektor pembangunan yang lebih bersifat sebagai akumulasi stok kapital. Kondisi tersebut di atas diharapkan dapat menjadi perhatian bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan alokasi pengeluaran pembangunan agar mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi.

Pada Tabel 1.1 dapat dilihat besarnya pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dari total APBD setiap propinsi di Indonesia. Secara total pengeluaran rutin memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran pembangunan, demikian halnya untuk propinsi-propinsi di Kawasan Barat Indonesia. Hal ini mengingat semakin kuat struktur ekonomi suatu propinsi, semakin lengkap pula struktur organisasi pemerintahan yang diperlukan, sehingga jumlah pegawai semakin besar yang otomatis membutuhkan biaya pengeluaran rutin yang lebih besar pula. Sedangkan propinsi-propinsi di Kawasan Timur Indonesia memiliki prosentase yang lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah berusaha menitikberatkan pengeluaran pembangunan di daerah-daerah tersebut untuk mengejar ketertinggalan dari propinsi-propinsi di wilayah Kawasan Barat Indonesia. Propinsi yang memiliki pengeluaran pembangunan terkecil adalah DIY sedangkan untuk kawasan Indonesia Timur yang memiliki pengeluaran pembangunan terkecil adalah Sulawesi Barat.

Pengeluaran pemerintah ini secara tidak langsung merupakan investasi pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Berkaitan dengan hal tersebut masalah pemilihan prioritas pengeluaran pembangunan tersebut merupakan hal yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun rencana anggaran pembangunannya.


(26)

Sejalan dengan semakin luas dan jangkauan lingkup pembangunan di daerah maka Pengeluaran Pemerintah baik berupa Pengeluaran Pembangunan maupun pengeluaran rutin secara total terus meningkat. Total Pengeluaran Pemerintah meningkat sebesar 1,89 kali yaitu dari 38165,4 juta rupiah pada awal Repelita V (1989/90) menjadi 72342,8 juta rupiah pada awal Repelita VI (1994/95), bahkan Pengeluaran Pemerintah dari tahun ke tahun terus meningkat hingga saat ini


(27)

Tabel 1.1. Data APBD Tahun 2007 (Dalam Juta Rupiah)

No Daerah Belanja Belanja Belanja Belanja Belanja Belanja

Pegawai

Barang

Dan Jasa Modal

Bantuan Sosial

Tidak Terduga

1 Prop. N Aceh Darussalam 4.047.191 696.234 621.303 1.117.171 279.116 50 2 Prop. Sumatera Utara 2.717.859 583.394 445.851 757.771 191.335 10 3 Prop. Sumatera Barat 1.203.934 406.996 266.915 208.121 30.015 3.934 4 Prop. Riau 4.187.692 996.056 726.294 1.780.941 312.27 10 5 Prop. Jambi 1.419.094 422.532 346.848 464.898 21.525 5 6 Prop. Sumatera Selatan 2.302.940 524.397 411.37 918.295 61.497 16.958 7 Prop. Bengkulu 699.101 278.197 122.982 221.696 11.753 141 8 Prop. Lampung 1.555.600 398.694 345.096 302.601 102.41 17.402

9 Prop. DKI Jakarta 0 0

10 Prop. Jawa Barat 5.272.060 1.007.771 906.089 411.615 250.762 60 11 Prop. Jawa Tengah 4.090.554 1.847.606 828.651 453.677 297.767 71.3 12 Prop. DI Jogjakarta 1.067.388 345.101 261.715 121.976 66.46 45.059 13 Prop. Jawa Timur 5.046.445 1.228.910 1.165.049 592.441 727.563 24.563 14 Prop. Kalimantan Barat 1.081.137 303.243 248.803 261.403 107.35 4 15 Prop. Kalimantan Tengah 1.082.945 234.681 194.213 470.203 46.578 12.814 16 Prop. Kalimantan Selatan 1.262.709 364.915 231.885 321.501 53.108 3 17 Prop. Kalimantan Timur 4.113.195 530.002 615.014 1.620.333 203.473 5 18 Prop. Sulawesi Utara 778.838 314.75 181.86 147.579 55.7 6 19 Prop. Sulawesi Tengah 695.859 267.413 181.704 107.44 32.844 4 20 Prop. Sulawesi Selatan 1.718.116 443.132 339.427 302.171 68.284 15 21 Prop. Sulawesi Tenggara 685.098 252.873 160.02 179.526 23.226 5 22 Prop. Nusa T. Barat 868.221 371.285 188.733 163.733 37.959 8.84 23 Prop. Nusa T. Timur 948.415 264.308 238.129 276.954 27.83 12 24 Prop. Maluku 636.206 224.304 180.31 136.845 33.937 28.681 25 Prop. Papua 5.856.893 590.876 608.611 1.803.426 468.119 81.244 26 Prop. Maluku Utara 516.707 141.529 195.151 125.286 44.191 4.5 27 Prop. Banten 1.927.221 357.054 321.604 399.638 38.04 9.066 28 Prop. Bangka Belitung 825.741 139.031 173.812 268.103 94.425 5 29 Prop. Gorontalo 449.066 155.704 112.641 135.376 3.7 1.695 30 Prop. Kepulauan Riau 1.536.767 351.362 375.012 603.795 51.828 3 31 Prop. Papua Barat 620.138 145.233 179.989 200.754 43.312 11 32 Prop. Sulawesi Barat 356.661 98.862 135.561 82.375 15.991 4.5

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan 2009

Masalah pengalokasian pengeluaran publik ini merupakan pilihan yang cukup sulit, khususnya pada masa krisis yang tengah dialami oleh negara-negara asia yang mana pemerintah harus menentukan komponen mana saja dari pengeluaran tersebut


(28)

yang harus dikurangi atau ditambah dalam menciptakan anggaran pembangunan yang efektif dan efisien, dengan berlakunya sistem otonomi daerah, kabupaten dan propinsi memiliki wewenang untuk menyusun anggaran terutama pengeluaran pembangunan menurut sektor yang kini pengalokasiannya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing daerah tersebut.

Propinsi Sumatera Utara adalah propinsi yang paling padat penduduknya di luar pulau Jawa dan perekonomiannya termasuk yang terbesar di Republik Indonesia. Perekonomian Sumatera Utara terbuka dan mempunyai hubungan perdagangan yang luas, baik dengan pasaran dunia, maupun dengan pusat pusat perdagangan dalam negeri dan merupakan salah satu propinsi yang mempunyai karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan propinsi lain. Memiliki sumber daya alam yang relatif cukup besar dengan kondisi geografis yang spesifik.

Tabel 1.2 Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (Milyar Rupiah)

Tahun Penerimaan Pengeluaran Sisa

1995 / 1996 613,4 584 29,4

1996 / 1997 673,8 660,8 13

1997 / 1998 772,6 771 1,6

1998 / 1999 347,8 342,5 5,2

1999 / 2000 600,3 416,8 183,5

2001 1066,8 916,2 150,6 2002 1179,9 1021,3 158,6 2003 1572 1352 220 2004 1882,7 1501,5 381,2 2005 1742,5 1646,4 96,1

2006 2 517,3 2 184,7 332,6

2007 2 737,8 2 717,9 19,9


(29)

Propinsi Sumatera Utara memiliki 33 Kabupaten / Kota yang dengan memiliki realisasi penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang cukup besar, seperti yang terlihat pada Tabel 1.2. Penerimaan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara terus mengalami kenaikan setiap tahunnya kecuali untuk periode masa krisis ekonomi, dan pengeluaran pemerintah juga mengalami hal yang sama. Tabel 1.2 juga menunjukkan adanya surplus dari selisih besarnya penerimaan dengan pengeluaran yang diperoleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, sehingga dapat dipergunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Utara.

Tabel 1.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 (Persentase)

Lapangan Usaha 2003 2004 2005 2006 2007

Pertanian 2,51 3,75 3,38 22, 72 23, 85

Pertambangan dan Galian

-1,35 -10,68 6,42 1, 11 1, 22

Industri Pengolahan 4,29 5,38 4,76 22, 47 23 ,61

Listrik, Gas, & Air Minum

5,42 3,09 5,15 7,38 7.39

Bangunan 6,01 7,65 12,96 6, 08 6,55

Perdagangan, Hotel & Restoran

2,88 6,11 4,95 7, 09 8,38

Pengangkutan &Komunikasi

10,45 13,49 10,11 8,25 9.07 Keuangan,

Persewaan, dan Jasa Perusahaan

6,84 6,9 7,15 7.97 8,20

Jasa – jasa 11,55 6,16 4,36 8, 87 9,60

Sumber: BPS Sumatera Utara

Tabel 1.3 menunjukkan pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Utara didukung oleh hampir semua sektor ekonomi. Pertumbuhan tertinggi berasal dari


(30)

sektor pertanian, diikuti sektor industri pengolahan, sedangkan sektor yang mengalami pertumbuhan yang lambat adalah sektor Pertambangan dan Galian.

Berdasarkan uraian diatas penulis beranggapan perlu untuk meneliti lebih dalam sejauh mana pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, serta bagaimana arah hubungan tersebut jika dikaji pada ketiga sektor utama ekonomi (pertanian, industri, dan jasa), maka judul yang diajukan penulis tentang penelitian ini adalah “ Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Krisis Ekonomi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara.”

1.2 Perumusan Masalah Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh Pengeluaran Rutin terhadap Pertumbuhan Ekonomi di

Sumatera Utara?

2. Bagaimana pengaruh Pengeluaran Pembangunan untuk sektor Pertanian terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara?

3. Bagaimana pengaruh Pengeluaran Pembangunan untuk sektor Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara?

4. Bagaimana pengaruh Pengeluaran Pembangunan untuk sektor Jasa terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara?

5. Bagaimana pengaruh Krisis Ekonomi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara?


(31)

1.3 Tujuan Penelitian

Maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

1. Untuk menganalisis pengaruh Pengeluaran Rutin terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara

2. Untuk menganalisis pengaruh Pengeluaran Pembangunan untuk sektor Pertanian terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara

3. Untuk menganalisis pengaruh Pengeluaran Pembangunan untuk sektor Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara

4. Untuk menganalisis pengaruh Pengeluaran Pembangunan untuk sektor Jasa terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara

5. Untuk menganalisis pengaruh Krisis Ekonomi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan kelak berguna bagi;

1. Pemerintah atau pembuat kebijakan, sebagai masukan dalam hal membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan Pengeluaran Rutin, Pengeluaran Pembangunan, maupun Pertumbuhan Ekonomi.

2. Penulis, sebagai aplikasi dalam melakukan sebuah kajian ilmiah yang kelak diharapkan bisa dipergunakan oleh penulis khususnya mengenai Pengeluaran Pemerintah maupun mengenai Pertumbuhan Ekonomi


(32)

3. Peneliti / akademisi lainnya, sebagai masukan / rujukan dalam melakukan penelitian lain yang berhubungan dengan Pengeluaran Pembangunan, Pengeluaran Rutin, Pertumbuhan Ekonomi, dan Krisis Ekonomi


(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Secara umum, pertumbuhan ekonomi didefenisikan sebagai peningkatan kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang-barang dan jasa-jasa. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Karena pada dasamya aktivitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output, maka proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oIeh masyarakat (Basri, 2002), dengan adanya pertumbuhan ekonomi maka diharapkan pendapatan masyarakat sebagai pemilik faktor produksi juga akan meningkat.

Perekonomian dianggap mengalami pertumbuhan jika seluruh balas jasa riil terhadap penggunaan faktor produksi pada tahun tertentu lebih besar dari pada tahun sebelumnya. Dengan kata lain perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan jika pendapatan riil masyarakat pada tahun tertentu lebih besar dari pada pendapatan riil masyarakat pada tahun sebelumnya (Basri, 2002).

Dengan perkataan lain bahwa pertumbuhan ekonomi lebih menunjuk kepada perubahan yang bersifat kuantitatif (quantitative change) dan biasanya diukur dengan


(34)

menggunakan data Produk Domestik Bruto (GDP) atau pendapatan atau nilai akhir pasar (total market value) dari barang-barang akhir dan jasa-jasa (final goods and services) yang dihasilkan dari suatu perekonomian selama kurun waktu tertentu (biasanya satu tahun).

Kuznets dalam Hariyanto (2005) mendefenisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara dalam menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya; kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya.

2.2 Teori-teori Pertumbuhan Ekonomi

Teori-teori pertumbuhan ekonomi yang berkembang antara lain:

2.2.1 Teori Pertumbuhan Klasik

Teori ini dipelopori oleh Adam Smith, David Ricardo, Malthus, dan John Stuart Mill. Menurut teori ini pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu jumlah penduduk, jumlah barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta teknologi yang digunakan. Mereka lebih menaruh perhatiannya pada pengaruh pertambahan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi. Mereka asumsikan luas tanah dan kekayaan alam serta teknologi tidak mengalami perubahan. Teori yang menjelaskan keterkaitan antara pendapatan perkapita dengan jumlah penduduk disebut dengan teori penduduk optimal.


(35)

Menurut teori ini, pada mulanya pertambahan penduduk akan menyebabkan kenaikan pendapatan perkapita. Namun jika jumlah penduduk terus bertambah maka hukum hasil lebih yang semakin berkurang akan mempengaruhi fungsi produksi yaitu produksi marginal akan mengalami penurunan, dan akan membawa pada keadaan pendapatan perkapita sama dengan produksi marginal.

Pada keadaan ini pendapatan perkapita mencapai nilai yang maksimal. Jumlah penduduk pada waktu itu dinamakan penduduk optimal. Apabila jumlah penduduk terus meningkat melebihi titik optimal maka pertumbuhan penduduk akan menyebabkan penurunan nilai pertumbuhan ekonomi (Ricardo dalam Hariani, 2008).

2.2.2 Teori Pertumbuhan Harrod-Domar

Teori ini dikembangkan hampir pada waktu yang bersamaan oleh Harrod (1948) di Inggris dan Domar (1957) di Amerika Serikat. Diantara mereka menggunakan proses perhitungan yang berbeda tetapi memberikan hasil yang sama, sehingga keduanya dianggap mengemukakan ide yang sama dan disebut teori Harrod-Damar. Teori ini melengkapi teori Keynes, dimana Keynes melihatnya dalam jangka pendek (kondisi statis), sedangkan Harrod-Damar melihatnya dalam jangka penjang (kondisi dinamis). Teori Harrod-Damar didasarkan pada asumsi :

1. Perekonomian bersifat tertutup.


(36)

3. Proses produksi memiliki koefisien yang tetap (constant return to scale).

4. Tingkat pertumbuhan angkatan kerja adalah konstan dan sama dengan tingkat pertumbuhan penduduk.

Model ini menerangkan dengan asumsi supaya perekonomian dapat mencapai pertumbuhan yang kuat (steady growth) dalam jangka panjang. Asumsi yang dimaksud di sini adalah kondisi dimana barang modal telah mencapai kapasitas penuh, tabungan memiliki proporsional yang ideal dengan tingkat pendapatan nasional, rasio antara modal dengan produksi (Capital Output Ratio / COR) tetap perekonomian terdiri dari dua sektor (y = C + I).

Atas dasar asumsi-asumsi khusus tersebut, Harrod-Domar membuat analisis dan menyimpulkan bahwa pertumbuhan jangka panjang yang mantap (seluruh kenaikan produksi dapat diserap oleh pasar) hanya bisa tercapai apabila terpenuhi syarat-syarat keseimbangan sebagai berikut :

g=K= n Dimana:

g : Growth (tingkat pertumbuhan output) K : Capital (tingkat pertumbuhan modal) n :Tingkat pertumbuhan angkatan kerja

Harrod-Domar dalam Hariani (2008) teorinya berdasarkan mekanisme pasar tanpa campur tangan pemerintah. Akan tetapi kesimpulannya menunjukkan


(37)

bahwa pemerintah perlu merencanakan besarnya investasi agar terdapat keseimbangan dalam sisi penawaran dan sisi permintaan barang.

2.2.3. Teori Pertumbuhan NeoKlasik

Teori pertumbuhan neoklasik dikembangkan oleh Solow (1970) dan Swan (1956). Model Solow-Swan menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi, dan besarnya output yang saling berinteraksi.

Perbedaan utama dengan model Harrod-Domar adalah dimasukkannya unsur kemajuan teknologi dalam modelnya. Selain itu, Solow, dan Swan menggunakan model fungsi produksi yang memungkinkan adanya substitusi antara kapital (K) dan tenaga kerja (L). Dengan demikian, syarat-syarat adanya pertumbuhan ekonomi yang baik dalam model Solow Swan kurang restriktif disebabkan kemungkinan substitusi antara tenaga kerja dan modal. Hal ini berarti ada fleksibilitas dalam rasio modal-output dan rasio modal-tenaga kerja.

Solow-Swan dalam Hariani (2008) melihat bahwa dalam banyak hal, mekanisme pasar dapat menciptakan keseimbangan, sehingga pemerintah tidak perlu terlalu banyak mencampuri/mempengaruhi pasar. Campur tangan pemerintah hanya sebatas kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Tingkat pertumbuhan berasal dari tiga sumber, yaitu akumulasi modal, bertambahnya penawaran tenaga kerja, dan peningkatan teknologi. Teknologi ini terlihat dari peningkatan


(38)

skill atau kemajuan teknik, sehingga produktivitas kapital meningkat. Dalam model tersebut, masalah teknologi dianggap sebagai fungsi dari waktu.

Teori Neoklasik sebagai penerus dari teori klasik menganjurkan agar kondisi selalu diarahkan untuk menuju pasar sempurna. Dalam keadaan pasar sempurna, perekonomian bisa tumbuh maksimal. Sama seperti dalam ekonomi model klasik, kebijakan yang perlu ditempuh adalah meniadakan hambatan dalam perdagangan termasuk perpindahan orang, barang, dan modal. Harus dijamin kelancaran arus barang, modal, tenaga kerja, dan perlunya penyebarluasan informasi pasar. Harus diusahakan, terciptanya prasarana perhubungan yang baik dan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan stabilitas politik. Hal khusus yang perlu dicatat adalah bahwa model neoklasik mengasumsikan I=S. Hal ini berarti kebiasaan masyarakat yang suka memegang uang tunai dalam jumlah besar dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.

Analisis lanjutan dari paham neoklasik menunjukkan bahwa untuk terciptanya suatu pertumbuhan yang mantap (steady growth), diperlukan suatu tingkat saving yang tinggi dan seluruh keuntungan pengusaha diinvestasikan kembali.

2.2.4. Teori Schumpeter

Teori ini menekankan pada inovasi yang dilakukan oleh para pengusaha dan mengatakan bahwa kemajuan teknologi sangat ditentukan oleh jiwa usaha (entrepreneurship) dalam masyarakat yang mampu melihat peluang dan berani


(39)

mengambil risiko membuka usaha baru, maupun memperluas usaha yang telah ada. Dengan pembukaan usaha baru dan perluasan usaha, tersedia lapangan kerja tambahan untuk menyerap angkatan kerja yang bertambah setiap tahunnya.

Didorong oleh adanya keinginan untuk memperoleh keuntungan dari inovasi tersebut maka para pengusaha akan meminjam modal dan mengadakan investasi. Investasi ini akan mempertinggi kegiatan ekonomi suatu negara. Kenaikan tersebut selanjutnya juga akan mendorong pengusaha-pengusaha lain untuk menghasilkan lebih banyak lagi sehingga produksi agregat akan bertambah.

Maka menurut Schumpeter dalam Hariani (2008) penanaman modal atau investasi dapat dibedakan menjadi dua, yakni penanaman modal otonomi (autonomous investment) yakni penanaman modal untuk melakukan inovasi. Jenis investasi kedua yaitu penanaman modal terpengaruh (induced investment) yakni penanaman modal yang timbul sebagai akibat kegiatan ekonomi setelah munculnya inovasi tersebut.

Selanjutnya Schumpeter menyatakan babwa jika tingkat kemajuan suatu perekonomian semakin tinggi maka keinginan untuk melakukan inovasi semakin berkurang, hal ini disebabkan oleh karena masyarakat telah merasa mencukupi kebutuhannya. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi akan semakin lambat jalannya dan pada akhirnya tercapai tingkat keadaan tidak berkembang (stationery state). Namun keadaan tidak berkembang yang dimaksud di sini berbeda dengan pandangan klasik. Dalam pandangan Schumpeter keadaan tidak berkembang itu dicapai pada tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi. Sedangkan dalam pandangan


(40)

klasik, keadaan tidak berkembang terjadi pada waktu perekonomian berada pada kondisi tingkat pendapatan masyarakat sangat rendah.

2.2.5 Teori Tahap-Tahap Pertumbuhan Ekonomi

Teori ini dimunculkan oleh Rostow yang memberikan lima tahap dalam pertumbuhan ekonomi. Analisis ini didasarkan pada keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi akan tercapai sebagai akibat dan timbulnya perubahan yang fundamental dalam corak kegiatan ekonomi, juga dalam kehidupan politik dan hubungan sosial dalam suatu masyarakat dan negara.

Rostow dalam Hariani (2008) menyebutkan tahapan tersebut yakni: 1. Tahap masyarakat tradisonil

2. Tahap peletakan dasar untuk tinggal landas 3. Tahap tinggal landas

4. Tahap gerak menuju kematangan 5. Tahap era konsumsi tinggi secara massa

2.3 Perhitungan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi

Salah satu kegunaan penting dari data pendapatan nasional adalah untuk menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai satu negara dari tahun ke tahun.

Dalam penghitungan pendapatan nasional didasarkan pada dua sistem harga yakni harga berlaku dan harga tetap. Pendapatan nasional berdasarkan harga berlaku adalah penghitungan pendapatan nasional berdasarkan pada harga-harga


(41)

yang berlaku pada tahun tersebut. Apabila menggunakan harga berlaku maka nilai pendapatan nasional menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Perubahan tersebut dikarenakan oleh karena pertambahan barang dan jasa dalam perekonomian serta adanya kenaikan harga-harga yang berlaku dari waktu ke waktu.

Pendapatan nasional berdasarkan harga tetap yakni penghitungan pendapatan nasional dengan menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu (tahun dasar) yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun berikutnya. Nilai pendapatan nasional yang diperoleh secara harga tetap ini dinamakan Pendapatan Nasional Riil.

Dalam perhitungan pendapatan nasional atau produk domestik bruto dikenal ada tiga pendekatan yaitu:

2.3.1 Pendekatan Pengeluaran

Pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dimana produk nasional atau produk domestik bruto diperoleh dengan eara menjumlahkan nilai pasar dari seluruh permintaan akhir (final demand) atas output yang dihasilkan di dalam perekonomian, diukur pada harga pasar yang berlaku. Dengan perkataan lain, produk nasional atau produk domestik bruto adalah penjumlahan nilai pasar dari permintaan sektor rumah tangga untuk barang-barang konsumsi dan jasa-jasa (C), permintaan sektor bisnis untuk barang-barang investasi (I), pengeluaran


(42)

pemerintah untuk barang-barang dan jasa-jasa (G), dan pengeluaran sektor luar negeri untuk ekspor dan impor (X -M).

Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : Y = C + I + G + (X-M)

Dimana:

Y = Pendapatan nasional (GNP atau GDP )

C = Nilai pasar pengeluaran konsumsi barang-barang dan jasa-jasa oleh rumah tangga

I = Nilai pasar pengeluaran investasi barang-barang modal

G = Nilai pasar pengeluaran pemerintah untuk barang-barang dan jasa-jasa (pemerintah pusat, daerah tingkat I dan II)

X = Nilai pasar pengeluaran atas barang-barang dan jasa-jasa yang diekspor M = Nilai pasar pengeluaran untuk barang-barang dan jasa-jasa yang diimpor

2.3.2 Pendekatan pendapatan

Pendekatan pendapatan (income approach) adalah suatu pendekatan dimana pendapatan nasional diperoleh dengan eara menjumlahkan pendapatan dari berbagai faktor produksi yang menyumbang terhadap proses produksi yang dijumlahkan dari jenis-jenis pendapatan ;

a. Kompensasi untuk pekerja, yang terdiri atas upah dan gaji plus faktor

rent terhadap upah dan gaji, dan ini merupakan komponen terbesar dari


(43)

b. Keuntungan perusahaan yang merupakan kompensasi kepada pemilik perusahaan, dimana sebagian digunakan untuk membayar pajak keuntungan perusahaan, sebagian lagi dibagikan pada pemegang saham sebagai deviden, dan sebagian lagi ditabung oleh perusahaan sebagai laba perusahaan yang tidak dibagikan.

c. Pendapatan usaha perorangan, yang merupakan kompensasi atas penggunaan tenaga kerja dan sumber-sumber dari selfemployed persons, misalnya petani, Self-employed professional, dan lain-lain.

d. Pendapatan sewa, yang merupakan kompensasi untuk para pemilik tanah, rental business dan residential properties.

Secara matematis pendapatan nasional berdasarkan pendekatan pendapatan dapat dirumuskan sebagai berikut :

NI= Yw +Yr + Yi + Ynr + Ynd Dimana :

1. Yw menunjukkan pendapatan dari upah, gaji, dan pendapatan lainnya setelah pajak,

2. Yr adalah pendapatan dari bunga

3. Ynr ,Ynd adalah pendapatan dari keuntungan perusahaan dan pendapatan lainnya sebelum pengenaan pajak.


(44)

2.3.3 Pendekatan Produksi

Dengan pendekatan produksi (production approach) produk nasional atau produk domestik bruto diperoleh dengan menjumlahkan nilai pasar dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai sektor di dalam perekonomian. Dengan demikian, GNP atau GDP merupakan penjumlahan dari harga masing-masing barang dan jasa-jasa dikalikan dengan jumlah atau kuantitas barang atau jasa yang dihasilkan. Secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Q P t n i i Y    1 Dimana:

Y = Produk nasional atau produk domestik bruto (GNP atau GDP) P = Harga barang dari unit ke-J hingga unit ke-n

Q = Jumlah barang dari jenis ke-I hingga jenis ke-n

Dengan perkataan lain, GNP atau GOP diperoleh dengan menjumlahkan nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh berbagai sektor perekonomian. Dalam hal ini, GDP atau GNP merupakan penjumlahan dari nilai tambah dan sektor pertanian, ditambah nilai tambah di sektor pertambangan, ditambah nilai tambah dari sektor manufaktur, dan seterusnya.

A

V

n i Y atau GNP

  1

VA = nilai tambah (value added) sektor-sektor perekonomian (mulai dari sektor ke-i sampake-i dengan sektor ke-n)


(45)

Untuk menghitung laju pertumbuhan ekonomi (rate of economic growth) dapat dilakukan dengan menggunakan formula sebagai berikut:

g =

y

y

y

t t t

1 1

 

X 100%

Dimana:

g : Pertumbuhan ekonomi

yt : Produk domestik bruto tahun sekarang yt-1 : Produk domestik bruto tahun yang lalu

2.3.4 Faktor-Faktor Pertumbuhan Ekonomi

Proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua macam faktor, faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. (Todaro, 2000)

a. Faktor Ekonomi

Para ahli ekonomi menganggap faktor produksi sebagai kekuatan utama yang mempengaruhi pertumbuhan, jatuh atau bangunnya perekonomian adalah konsekuensi dari perubahan yang terjadi di dalam faktor produksi tersebut

Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan suatu perekonomian adalah sumber daya alam atau tanah. Tanah sebagaimana dipergunakan dalam ilmu ekonomi mencakup sumber daya alam seperti kesuburan tanah, letak dan susunannya, kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber air, sumber lautan, dan sebagainya. Dalam pertumbuhan ekonomi, tersedianya sumber daya alam secara melimpah merupakan hal yang penting.


(46)

Modal berarti persediaan faktor produksi yang secara fisik dapat direproduksi. Apabila stok modal naik dalam batas waktu tertentu, hal ini disebut akumulasi modal atau pembentukan modal. Pembentukan modal merupakan investasi dalam bentuk barang-barang modal yang dapat menaikkan stok modal, output nasional dan pendapatan nasional.

Organisasi merupakan bagian penting dari proses pertumbuhan. Organisasi berkaitan dengan penggunaan faktor produksi dalam kegiatan ekonomi. Organisasi bersifat melengkapi (komplemen) modal, buruh dan membantu meningkatkan produktifitasnya. Dalam ekonomi modern para wiraswastawan tampil sebagai organisator dan pengambil resiko dalam ketidakpastian.

Perubahan teknologi dianggap sebagai sektor paling penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Perubahan ini berkaitan dengan perubahan dalam metode produksi yang telah menaikkan produktivitas buruh, modal, dan sektor produksi lain.

Spesialisasi dan pembagian kerja menimbulkan peningkatan produktivitas. Keduanya membawa prekonomian kearah ekonomi skala besar yang selanjutnya membantu perkembangan industri.

b. Faktor Non Ekonomi

Faktor non ekonomi bersama sektor ekonomi saling mempengaruhi kemajuan perekonomian. Faktor sosial dan budaya juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Misalnya saja pendidikan dan kebudayaan barat yang menanamkan semangat yang menghasilkan berbagai penemuan baru, juga merubah cara pandang, harapan, struktur, dan nilai nilai sosial.


(47)

Sumber daya manusia merupakan faktor terpenting dalam pertumbuhan ekonomi, baik jumlah dan efisiensi mereka. Faktor politik dan administratif yang kokoh juga membantu pertumbuhan ekonomi modern.

2.4 Kebijakan Fiskal dalam Pembangunan

Kesadaran terhadap pengaruh pengeluaran dan penerimaan pemerintah telah menimbulkan gagasan untuk mengubah-ubah pengeluaran dan penerimaan pemerintah guna mencapai kestabilan ekonomi. Teknik mengubah pengeluaran dan penerimaan pemerintah inilah yang dikenal dengan kebijakan fiskal.

Sebelum tahun 1930-an, pengeluaran pemerintah hanya dianggap sebagai alat untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah dan dinilai berdasarkan atas manfaat langsung yang dapat ditimbulkannya tanpa melihat pengaruhnya terhadap pendapatan nasional. Sebaliknya pajak juga dianggap hanya sebagai sumber pembiayaan pengeluaran negara dan belum diketahui pengaruhnya terhadap pendapatan nasional. Akibatnya dalam masa depresi, dimana penerimaan pemerintah menurun, maka pengeluaran pemerintah harus dikurangi pula. Akibatnya pendapatan nasional semakin rendah dan perekonomian semakin lesu.

Dalam masa depresi pada tahun 1930-an itulah teori kebijakan fiskal pertama kali muncul karena tidak mempunyai kebijakan moneter dalam menanggulangi depresi. Karena itu pemerintah harus berani menciptakan proyek-proyek yang menciptakan pengeluaran pemerintah. Tahun 1936 Keynes menerbitkan bukunya


(48)

"The General Theory of Employment Interest And Money" (Teori Umum Tentang kesempatan kerja, bunga dan uang), yang merupakan dasar dari teori kebijakan fiskal.

2.4.1 Fungsi Kebijakan Fiskal

Musgrave melihat adanya 3 fungsi utama dari kebijakan fiskal yaitu: 1. Fungsi Alokasi

Merupakan fungsi pemerintah yang mengadakan alokasi terhadap sumber-sumber dana untuk mengadakan barang-barang kebutuhan perorangan dan sarana yang dibutuhkan untuk kepentingan umum. Semuanya itu diarahkan agar terjadi keseimbangan antara uang yang beredar dan barang serta jasa dalam masyarakat.

2. Fungsi distribusi

Merupakan fungsi pemerintah untuk menyeimbangkan, menyesuaikan pembagian pendapatan dan mensejahterakan masyarakat.

3. Fungsi stabilisasi

Merupakan fungsi pemerintah untuk meningkatkan kesempatan kerja serta stabilitas harga, barang-barang kebutuhan masyarakat, dan menjamin selalu meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang mantap.

2.4.2 Tujuan Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal bermaksud mencapai tujuan berikut: (Jhingan, 1996)

1. Untuk meningkatkan laju investasi. Kebijakan fiskal bertujuan meningkatkan laju investasi di sektor swasta dan negara. Ini dapat dicapai dengan


(49)

mengendalikan konsumsi baik aktual maupun potensial dan dengan meningkatkan rasio tabungan marginal. Untuk itu pemerintah pertama sekali harus menerapkan kebijakan investasi di sektor swasta. Hal ini akan meningkatkan volume investasi di sektor swasta.

2. Untuk mendorong investasi optimal secara sosial. Kebijakan fiskal harus mendorong arus investasi ke jalur-jalur yang dianggap diinginkan masyarakat. Ini berkaitan dengan pola optimum investasi dan menjadi tanggung jawab dari negara untuk mendorong investasi pada overhead sosial dan ekonomi. Keduanya cenderung memperluas pasar, meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya produksi.

3. Untuk meningkatkan kesempatan kerja kebijakan fiskal harus ditujukan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi pengangguran. Untuk itu pengeluaran pemerintah harus diarahkan pada penyediaan overhead sosial dan ekonomi. Pengeluaran seperti itu menciptakan lebih banyak pekerjaan dan menaikkan efisiensi produktif perekonomian dalam jangka panjang. Pembangunan ekonomi yang cepat hanya mungkin jika kenaikan kesempatan kerja dan pendapatan lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk.

4. Untuk meningkatkan stabilitas ekonomi di tengah ketidakstabilan internasional Kebijakan fiskal harus meningkatkan usaha mempertahankan stabilitas ekonomi menghadapi fluktuasi siklus internasional jangka pendek. Kebijakan fiskal memegang peranan kunci di dalam mempertahankan stabilitas ekonomi menghadapi kekuatan-kekuatan internal dan eksternal.


(50)

5. Kebijakan fiskal harus bertujuan menganekaragamkan perekonomian yaitu pertumbuhan berimbang antara berbagai sektor perekonomian. Dalam rangka mengurangi dampak gerakan siklus internasional, diperlukan juga suatu kebijakan fiskal kontra-siklus melalui anggaran defisit pada masa depresi dan anggaran surplus pada masa inflasi. Kebijakan inipun harus dilengkapi dengan tindakan moneter yang tepat.

6. Untuk menanggulangi inflasi. Kebijakan fiskal harus bertujuan untuk menanggulangi tendensi inflasi yang melekat pada perekonomian sedang berkembang. Dalam perekonomian semacam itu, selalu terdapat ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran sumber-sumber riil. Pajak langsung progresif yang dilengkapi dengan pajak komoditi merupakan salah satu tindakan fiskal yang efektif untuk menanggulangi tekanan inflasioner dalam perekonomian.

7. Untuk meningkatkan DAU meredistribusikan pendapatan nasional terakhir kebijakan fiskal harus meningkatkan pendapatan nasional dan mendistribusikan kembali pendapatan nasional itu begitu rupa sehingga ketimpangan ekstrim dalam pendapatan dan kesejahteraan di dalam perekonomian dapat berkurang.

Peranan kebijakan fiskal dalam pendistribusian kembali pendapatan ini terdiri dari usaha menaikkan pendapatan nyata masyarakat dan mengurangi tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Investasi pemerintah secara langsung dalam overhead sosial dan ekonomi cenderung untuk menaikkan volume output, lapangan kerja dan


(51)

pendapatan nyata di negara terbelakang. Posisi ekonomi masyarakat luas membaik dan standar kehidupannya meningkat.

Kebijakan ini akan merupakan kebijakan yang lebih efektif dalam meningkatkan standar kehidupan dan mengurangi disparitas dalam pendapatan jika pemerintah melancarkan program pembangunan regional yang berimbang pada berbagai sektor perekonomian.

Keberhasilan kebijakan fiskal dalam mencapai tujuan, menurut Jhingan tergantung pada:

a. Jumlah penerimaan negara yang dapat ditingkatkan b. Jumlah dan arah pengeluaran negara.

Sarana fiskal penting yang dapat dipergunakan oleh pemerintah untuk meningkatan sumber ialah surplus anggaran, pajak, pinjaman dari masyarakat dan bank. Sarana-sarana ini harus dipergunakan sedemikian rupa sehingga membawa ke arah pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.

2.5 Pengeluaran Pemerintah

2.5.1 Teori Pengeluaran Pemerintah

Teori ini dapat digolongkan menjadi dua bagian, diantaranya yaitu Teori Makro yang terdiri dari:(Mangkoesoebroto, 2001)

1. Rostow dan Musgrave, dimana mereka menghubungkan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, menurut mereka rasio rasio pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan


(52)

nasional-relatif besar. Hal itu dikarenakan pada tahap awal ini pemerintah harus menyediakan berbagai sarana dan prasarana. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan guna memacu pertumbuhan agar dapat lepas landas. Bersamaan dengan itu posisi investasi pihak swasta juga meningkat. Tetapi besarnya peranan pemerintah adalah karena pada tahap ini banyak kegagalan pasar yang ditimbulkan perkembangan ekonomi itu sendiri, yaitu kasus eksternalitas negatif, misalnya pencemaran lingkungan.

Dalam suatu proses pembangunan, menurut Musgrave rasio investasi total terhadap pendapatan nasional semakin besar, tetapi rasio investasi pemerintah terhadap pendapatan nasional akan semakin mengecil. Sementara itu Rostow berpendapat bahwa pada tahap lanjut pembangunan terjadi peralihan aktivitas pemerintah, dari penyediaan prasarana ekonomi ke pengeluaran-pengeluaran untuk layanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan. Teori Rostow dan Musgrave adalah pandangan yang timbul dari pengamatan atas pengalaman pembangunan ekonomi yang dialami banyak negara, tetapi tidak didasari oleh suatu teori tertentu. Selain itu tidak jelas, apakah tahap pertumbuhan ekonomi terjadi dalam tahap demi tahap, atau beberapa tahap dapat terjadi secara simultan.

2. Hukum Wagner, Wagner melakukan pengamatan terhadap negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang pada abad ke-19 yang menunjukkan bahwa aktivitas pemerintah dalam perekonomian cenderung semakin meningkat. Wagner mengukur dari perbandingan pengeluaran pemerintah terhadap produk nasional.


(53)

Temuan oleh Richard Musgrave dinamakan hukum pengeluaran pemerintah yang selalu meningkat (law of growing public expenditures). Wagner sendiri menamakannya hukum aktivitas pemerintah yang selalu meningkat (law of ever increasing state activity).

Hukum tersebut dapat dirumuskan dengan notasi: GpCt > GpCt > GpCt-2 > ... > GpCt-n YpCt YpCt-1 YpCt-2 YpCt-n

Dimana:

Gpc = Pengeluaran pemerintah perkapita

YpC = Produk atau pendapatan nasional perkapita t = Indeks waktu

Menurut Wagner ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat yaitu tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, perkembangan demokrasi dan ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintahan.

3. Peacock dan Wiseman, mereka mengemukakan pendapat lain dalam

menerangkan perilaku perkembangan pemerintah. Mereka mendasarkannya pada suatu analisis "dialektika penerimaan-pengeluaran pemerintah ". Pemerintah selalu berusaha memperbesar pengeluarannya dengan mengandalkan penerimaan dari pajak. Padahal masyarakat tidak menyukai pembayaran pajak yang kian besar.


(54)

Mengacu pada teori pemungutan suara (voting), mereka berpendapat bahwa masyarakat mempunyai batas toleransi pajak, yakni suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. Tingkat toleransi pajak ini merupakan kendala yang membatasi pemerintah untuk menaikkan pungutan pajak secara tidak semena-mena atau sewenang-wenang.

Menurut Peacock-Wiseman, perkembangan ekonomi menyebabkan pungutan pajak meningkat yang meskipun tarif pajaknya mungkin tidak berubah, pada gilirannya mengakibatkan pengeluaran pemerintah meningkat pula.

Jadi dalam keadaan normal, kenaikan pendapatan nasional menaikkan pula baik penerimaan maupun pengeluaran pemerintah. Apabila keadaan normal jadi terganggu, katakanlah karena perang atau ekstemalitas lain, maka pemerintah terpaksa harus memperbesar pengeluarannya untuk mengatasi gangguan dimaksud. Konsekuensinya, timbul tuntutan untuk memperoleh penerimaan pajak lebih besar. Pungutan pajak yang lebih besar menyebabkan dana swasta untuk investasi dan modal kerja menjadi berkurang. Efek ini disebut efek penggantian (displacement effict). Postulat yang berkenaan dengan efek ini menyatakan, gangguan sosial dalam perekonomian menyebabkan aktivitas swasta digantikan oleh aktivitas pemerintah. Pengatasan gangguan acap kali tidak cukup dibiayai semata-mata dengan pajak sehingga pemerintah mungkin harus juga meminjam dana dari luar negeri. Setelah gangguan teratasi, muncul kewajiban melunasi utang dan membayar bunga. Pengeluaran pemerintah pun kian membengkak karena kewajiban baru tersebut.


(55)

Akibat lebih lanjut ialah pajak tidak turun kembali ke tingkat semula meskipun gangguan telah usai.

Jika pada saat terjadinya gangguan sosial dalam perekonomain timbul efek penggantian, maka sesudah gangguan berakhir timbul pula sebuah efek lain yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Postulat efek ini menyatakan, gangguan sosial menumbuhkan kesadaran masyarakat akan adanya hal-hal yang perlu ditangani oleh pemerintah sesudah redanya gangguan sosial tersebut. Kesadaran semacam ini menggugah kesediaan masyarakat untuk membayar pajak lebih besar, sehingga memungkinkan pemerintah beroleh penerimaan yang lebih besar pula. Inilah yang dimaksudkan dengan analisis dialektika penerimaan-pengeluaran pemerintah.

Suatu hal yang perlu dicatat dari Teori Peacock dan Wiseman adalah bahwa mereka mengemukakan adanya toleransi pajak, yaitu suatu limit perpajakan, akan tetapi mereka tidak menyatakan pada tingkat berapakah toleransi pajak tersebut. Clarke menyatakan bahwa limit perpajakan sebesar 25% dari pendapatan nasional. Apabila limit tersebut dilampaui maka akan terjadi inflasi dan gangguan sosial lainnya.

2.5.2 Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah dapat dinilai dari berbagai segi sehingga dapat dibedakan menjadi: (Suparmoko, 2000)

1. Pengeluaran itu merupakan investasi yang menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi di masa-masa yang akan datang.


(56)

2. Pengeluaran itu langsung memberikan kesejahteraan dan kegembiraan bagi masyarakat.

3. Merupakan penghematan pengeluaran yang akan datang.

4. Menyediakan kesempatan kerja lebih banyak dan penyebaran tenaga beli yang lebih luas.

Berdasarkan atas penilaian ini kita dapat membedakan bermacam-macam pengeluaran negara seperti:

1. Pengeluaran yang self liquiditing sebagian atau seluruhnya, artinya pengeluaran pemerintah mendapatkan pembayaran kembali dari masyarakat yang menerima jasa-jasa barang-barang yang bersangkutan. Misalnya pengeluaran untuk jasa-jasa perusahaan negara, atau untuk proyek-proyek produktif barang ekspor.

2. Pengeluaran yang reproduktif, artinya mewujudkan keuntungan-keuntungan ekonomis bagi masyarakat, yang dengan naiknya tingkat penghasilan dan sasaran pajak yang lain akhirnya akan menaikkan penerimaan pemerintah. Misalnya pengeluaran untuk bidang pengairan, pertanian, pendidikan, kesehatan masyarakat (public health).

3. Pengeluaran yang tidak self liquditing maupun yang tidak reproduktif yaitu pengeluaran yang langsung menambah kegembiraan dan kesejahteraan masyarakat misalnya untuk bidang-bidang rekreasi, pendirian monumen, obyek-obyek tourisme dan sebagainya. Dan hal ini dapat juga mengakibatkan naiknya penghasilan nasional dalam arti jasa-jasa tadi.


(57)

4. Pengeluaran yang secara langsung tidak produktif dan merupakan pemborosan misalnya untuk pembiayaan pertahanan/perang meskipun pada saat pengeluaran terjadi penghasilan perorangan yang menerimanya akan naik.

5. Pengeluaran yang merupakan penghematan di masa yang akan datang misalnya pengeluaran untuk anak-anak yatim piatu. Kalau hal ini tidak dijalankan sekarang, kebutuhan-kebutuhan pemeliharaan bagi mereka di masa mendatang pada waktu usia yang lebih lanjut pasti akan lebih besar.

Di Indonesia, pengeluaran pemerintah dapat dibedakan menurut dua klasifikasi, yaitu:(Dumairy, 2001)

1. Pengeluaran rutin yaitu, pengeluaran untuk pemeliharaan atau penyelenggaraan roda pemerintahan sehari-hari, meliputi belanja pegawai; belanja barang; berbagai macam subsidi (subsidi daerah dan subsidi harga barang); angsuran dan bunga utang pemerintah; serta jumlah pengeluaran lain. Anggaran belanja rutin memegang peranan yang penting untuk menunjang kelancaran mekanisme sistem pemerintahan serta upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas, yang pada gilirannya akan menunjang tercapainya sasaran dan tujuan setiap tahap pembangunan. Penghematan dan efisiensi pengeluaran rutin perlu dilakukan untuk menambah besarnya tabungan pemerintah yang diperlukan untuk pembiayaan pembangunan nasional. Penghematan dan efisiensi tersebut antara lain diupayakan melalui penajaman alokasi pengeluaran rutin, pengendalian dan koordinasi pelaksaanan


(58)

pembelian barang dan jasa kebutuhan departemen / lembaga negara non departemen, dan pengurangan berbagai macam subsidi secara bertahap.

2. Pengeluaran pembangunan, yaitu pengeluaran yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan baik prasarana fisik dan non fisik Dibedakan atas pengeluaran pembangunan yang dibiayai dengan dana rupiah dan bantuan proyek. Pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk membiayai program-program pembangunan sehingga anggarannya selalu disesuaikan dengan dana yang berhasil dimobilisasi. Dana ini kemudian dialokasikan pada berbagai bidang sesuai dengan prioritas yang telah direncanakan.

Sementara itu ada tiga pos utama pada sisi pengeluaran yaitu: (Budiono, 1999:) 1. pengeluaran pemerintah untuk untuk pembelian barang dan jasa 2. pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawainya.

3. pengeluaran pemerintah untuk pembayaran transfer (transfer payments) Pembayaran transfer pemerintah adalah pembayaran pemerintah kepada individu yang tidak dipakai untuk menghasilkan barang dan jasa sebagai imbalannya (Samuelson dan Nordhaus, 1994). Pengeluaran pemerintah berupa pembayaran subsidi atau bantuan langsung kepada berbagai golongan masyarakat.

Pemerintah mampu mempengaruhi tingkat pendapatan keseimbangan menurut dua cara yang terpisah. Pertama, pembelian pemerintah atas barang dan jasa (G) yang merupakan komponen dari permintaan agregat. Kedua, pajak dan transfer mempengaruhi hubungan antara output dan pendapatan( Y) dan Transfer ke Daerah


(59)

adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. pendapatan disposibel (pendapatan bersih yang siap untuk dikonsumsi dan ditabung), yang didapat oleh sektor swasta. (Dornbusch dan Fischer, 1999)

Perubahan dalam pengeluaran pemerintah dan pajak akan mempengaruhi tingkat pendapatan. Hal ini menimbulkan kemungkinan bahwa kebijakan fiskal dapat digunakan untuk menstabilkan perekonomian. Jika perekonomian berada dalam resesi, pajak harus dikurangi atau pengeluaran ditingkatkan untuk menaikkan output. Jika sedang berada dalam masa makmur (booming) pajak seharusnya dinaikkan atau pengeluaran pemerintah dikurangi agar kembali ke penggunaan tenaga kerja penuh.

2.6 Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang pengaruh Pengeluaran Pemerintah telah banyak dilakukan, Menariknya, pengaruh dari Pengeluaran Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi adalah kunci utama pada studi teori yang konvensional dan pada studi empiris yang dilakukan baru-baru ini oleh :

Zhang dan Zou (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Fiscal Decentralization, Public Spending, and Economic Growth in China, penelitian yang dilakukan di China ini menggunakan panel data yang periodenya dimulai pada akhir tahun 1970-an saat pertumbuhan ekonomi sedang tinggi. Pada periode tersebut pemerintahan pada tingkat yang lebih tinggi wajib menyediakan investasi publik yang


(60)

menyebabkan eksternalitas yang besar pada tahap awal pembangunan ekonomi. Hasil dari penelitian ini adalah desentralisasi fiskal mengurangi pertumbuhan ekonomi propinsi di China.

Hariyanto (2005) dalam penelitian yang berjudul Analisis Pengeluaran Pemerintah Daerah di Propinsi Jawa Tengah Periode Tahun Anggaran 2000-2002, penelitian bertujuan untuk menganalisa pengaruh PAD, Dana Perimbangan, dan Jumlah Penduduk dalam menentukan besaran nilai pengeluaran pemerintah di Propinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2000-2002. Hasil penelitian adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan serta Jumlah Penduduk mempengaruhi nilai pengeluaran pemerintah pada masing-masing daerah se Jawa Tengah.

Ragayani (2006) dalam penelitian yang berjudul Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Investasi Swasta di Indonesia Periode 1978 -2003, menggunakan model analisis regresi berganda dicoba untuk melihat pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta di Indonesia selama periode 1978-2003 bersama-sama dengan Produk Domestik Bruto dan suku bunga riil dengan menggunakan metode OLS. Hasil uji asumsi klasik menunjukkan bahwa model analisis tidak mengalami gejala multikolinearitas, heterokedastisitas dan autokorelasi. Hal ini berarti bahwa koefisien regresi diperoleh dengan metode OLS merupakan pemikiran linier terbaik dan tidak bias. Perhitungan regresi menunjukkan bahwa konsumsi pemerintah memiliki pengaruh yang positif terhadap investasi swasta di Indonesia, pengaruh positif ini disebabkan karena konsumsi pemerintah (public consumtion) bersifat substitusi terhadap konsumsi swasta (private consumtion), maka


(61)

pembelian dari pemerintah akan meningkatkan investasi. Investasi pemerintah memiliki pengaruh yang positif terhadap investasi swasta karena investasi pemerintah memiliki sifat yang komplementer (crowding in) terhadap investasi swasta di Indonesia. Dampak crowding in dari investasi pemerintah ini disebabkan karena sebagian besar dari investasi pemerintah ini digunakan untuk pembangunan infrastruktur baik itu fisik maupun sosial. PDB memiliki pengaruh yang positif terhadap investasi swasta di Indonesia. Variabel tingkat suku bunga rift tidak berpengaruh terhadap investasi swasta di Indonesia.

Hariani (2008), dalam penelitian yang berjudul Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun 1977-2005, Penelitian ini bertujuan untuk mengukur seberapa besar pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur selama periode 1977-2005 dengan menggunakan metode regresi sederhana Ordinary Least Square (OLS). Hasil penelitian membuktikan bahwa pengeluaran pemerintah berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari hasil estimasi regresi yaitu pada uji t dan uji F yang signifikan pada α 5%. Selain itu, pada hasil penelitian juga membuktikan bahwa variabel pengeluaran rutin mempunyai pengaruh yang dominan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Timur tahun 1977-2005.

Desiyanto (2009), dalam penelitian yang berjudul Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Surabaya Tahun 1975-2006, penelitian ini bertujuan untuk mengukur seberapa besar pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap Pendapatan Asli Daerah Surabaya selama tahun


(62)

1975-2006 dengan menggunakan metode regresi sederhana Ordinary Least Square (OLS). Dimana terdapat juga uji stasioner. Dalam penelitian data ternyata stasioner pada tingkat first difference dan hasil penelitian membuktikan bahwa pengeluaran pemerintah berpengaruh signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah Surabaya. Hal ini dapat dilihat dari hasil estimasi regresi yaitu pada uji t dan uji F yang signifikan pada α 5%. Selain itu, pada hasil penelitian juga membuktikan bahwa variabel pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan memiliki pengaruh positif terhadap Pendapatan Asli Daerah.

2.7. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini memakai kerangka pemikiran seperti yang tertera berikut ini:

Pengeluaran Rutin

Pengeluaran Pembangunan sektor Pertanian

Pertumbuhan Ekonomi Pengeluaran Pembangunan

sektor Industri

Pengeluaran Pembangunan sektor Jasa

Krisis Ekonomi


(63)

2.8 Hipotesis Penelitian

Penelitian ini menggunakan hipotesis sebagai berikut:

1. Pengeluaran Rutin berpengaruh positip terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara, ceteris paribus.

2. Pengeluaran pembangunan sektor Pertanian berpengaruh positip terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara, ceteris paribus.

3. Pengeluaran pembangunan sektor Industri berpengaruh positip terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara, ceteris paribus.

4. Pengeluaran pembangunan sektor Jasa berpengaruh positip terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara, ceteris paribus.

5. Krisis Ekonomi berpengaruh negatip terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara


(64)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Analisis penelitian dibatasi pada pembentukan variabel mana yang berlaku sebagai variabel dependen dan variabel independen. Variabel-variabel yang diteliti adalah variabel Pengeluaran Rutin, Pengeluaran Pembangunan untuk sektor Pertanian, Pengeluaran Pembangunan untuk sektor Industri, dan Pengeluaran Pembangunan untuk sektor Jasa terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara. Penulis melakukan penelitian di Pemerintah Propinsi Sumatera Utara.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data jasa mulai dari tahun 1980 – 2008 dan dibatasi hanya pada data dari Pemerintah Propinsi Sumatera Utara yang bersumber dari:

1. Direktorat Jenderal Perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, Departemen Keuangan Republik Indonesia.

2. RAPBD Sumatera Utara


(65)

4. Berbagai sumber lainnya yang relevan seperti jurnal, internet, buletin, buku, artikel, surat kabar, majalah dan hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

3.3 Tehnik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan periode tahun 1980 – 2008, dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS), untuk mengestimasi data penelitian digunakan Regresi linear berganda dibantu dengan menggunakan software eviews 5.1, adapun model yang dipakai dalam penelitian ini adalah:

PDRB = f { PRTN, PERT, INDUST, JASA, DUM} ... (3.1)

Selanjutnya dispesifikasikan ke dalam model ekonometrika sebagai berikut :

PDRB = α0 + α 1PRTN + α 2 PERT + α 3 INDUST

+

α 4 JASA + α 5DUM +

ε

...(3.2)

etelah dilakukan estimasi, ternyata model ekonometrika yang paling baik dalah:

:

estik

Sektor Industri (Milyar Rupiah) S

a

LogPDRB = α0 + α1LogPRTN + α2 LogPERT + α3 LogINDUST + α 4 LogJASA + α 5DUM + ε ...(3.3)

Dimana

PDRB = Pertumbuhan ekonomi yang diproxi dengan Pendapatan Dom Regional Bruto Harga konstan 2000 (Milyar Rupiah)

PRTN = Pengeluaran Rutin (Milyar Rupiah)

PERT = Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian (Milyar Rupiah) INDUST = Pengeluaran Pembangunan


(1)

Lampiran 2: Regresi Linear Berganda

1. Regresi Linear Berganda Sebelum di Logaritmakan

Dependent Variable: PDRB

Method: Least Squares

Sample: 1980 2008

Included observations: 29

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C 31309.16

24523.14

1.276719

0.2139

PRTN 350.8019

62.59763

5.604076

0.0000

PERT 1432.783

2397.722

0.597560

0.5557

INDUST -2672.135

2853.569

-0.936419

0.3584

JASA 10464.46

9900.676

1.056944

0.3011

R-squared

0.868465 Mean dependent var

187664.2

Adjusted R-squared

0.846542 S.D. dependent var

130341.7

S.E. of regression

51059.61 Akaike info criterion

24.67496

Sum squared resid

6.26E+10 Schwarz criterion

24.91070

Log likelihood

-352.7869 F-statistic

39.61522

Durbin-Watson stat

0.735081 Prob(F-statistic)

0.000000


(2)

2. Regresi Linear Berganda setelah di logaritmakan

Dependent Variable: LOGPDRB

Method: Least Squares

Sample: 1980 2008

Included observations: 29

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C 12.418087

5.785116

2.146558

0.0411

LOGPRTN 3.016641

1.420752

2.123271

0.0129

LOGPERT 2.655396

1.423561

1.865320

0.0127

LOGINDUST 0.992555

0.356122

2.787122

0.0011

LOGJASA 1.441996

0.745520

1.934216

0.0142

DUM 0,967775

0.521901

1.854327

0.0323

R-squared

0.745116 Mean dependent var

10.81544

Adjusted R-squared

0.712115 S.D. dependent var

3.179744

S.E. of regression

1.810321 Akaike info criterion

4.206877

Sum squared resid

75.37701 Schwarz criterion

4.489765

Log likelihood

-54.99971 F-statistic

14.67672

Durbin-Watson stat

1.316454 Prob(F-statistic)

0.000000


(3)

Lampiran 3: Uji Otokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 3.447494 Probability 0.347612 Obs*R-squared 6.701512 Probability 0.335058 Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Sample: 1980 2008 Included observations: 29

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 2.457097 7.149205 0.343688 0.7345

LOGPRTN -0.284145 1.140438 -0.249154 0.8057 LOGPERT -0.634117 1.067353 -0.594103 0.5588 LOGINDUST 0.638456 0.845842 0.754817 0.4587

LOGJASA -0.137404 0.494450 -0.277893 0.7838

DUM -0.054224 1.661850 -0.032629 0.9743

RESID(-1) 0.539764 0.222374 2.427281 0.0243

RESID(-2) -0.063250 0.230122 -0.274854 0.7861 R-squared 0.226568 Mean dependent var 1.73E-15

Adjusted R-squared -0.031242 S.D. dependent var 1.640743 S.E. of regression 1.666176 Akaike info criterion 4.087890 Sum squared resid 58.29898 Schwarz criterion 4.465075 Log likelihood -51.27440 Hannan-Quinn criter. 4.206020 F-statistic 0.878817 Durbin-Watson stat 1.890159


(4)

Lampiran 4: Uji Multikolinearitas

Dependent Variable: LOGPRTN Method: Least Squares

Sample: 1980 2008 Included observations: 29

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 6.109224 0.150009 40.72581 0.0000

LOGPERT -0.044815 0.117338 -0.381934 0.7059 LOGINDUST 0.268716 0.072360 3.713610 0.0011

LOGJASA 0.219974 0.057062 3.855025 0.0008

DUM -0.836953 0.164700 -5.081679 0.0000

R-squared 0.608169 Mean dependent var 5.628762 Adjusted R-squared 0.580297 S.D. dependent var 0.707654 S.E. of regression 0.299985 Akaike info criterion 0.585414 Sum squared resid 2.159777 Schwarz criterion 0.821154 Log likelihood -3.488500 Hannan-Quinn criter. 0.659245 F-statistic 32.95308 Durbin-Watson stat 0.859001

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: LOGPERT Method: Least Squares

Sample: 1980 2008 Included observations: 29

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 1.560281 0.902103 1.729604 0.0965

LOGPRTN -0.054401 0.146507 -0.371321 0.7137 LOGINDUST 0.534251 0.159145 3.357008 0.0026

LOGJASA 0.142485 0.084488 1.686459 0.1047

DUM 0.281660 0.452598 0.622318 0.5396

R-squared 0.302184 Mean dependent var 1.229620 Adjusted R-squared 0.255648 S.D. dependent var 1.569394 S.E. of regression 0.330514 Akaike info criterion 0.779249 Sum squared resid 2.621745 Schwarz criterion 1.014989 Log likelihood -6.299108 Hannan-Quinn criter. 0.853080 F-statistic 151.8275 Durbin-Watson stat 1.149891


(5)

Dependent Variable: LOGINDUST Method: Least Squares

Sample: 1980 2008 Included observations: 29

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -4.899974 1.488432 -3.292037 0.0031

LOGPRTN 0.574803 0.253129 2.270791 0.0324

LOGPERT 0.941432 0.126791 7.425074 0.0000

LOGJASA -0.015765 0.090184 -0.174804 0.8627

DUM 0.875330 0.357737 2.446855 0.0221

R-squared 0.547066 Mean dependent var -0.170469 Adjusted R-squared 0.460178 S.D. dependent var 2.198605 S.E. of regression 0.438744 Akaike info criterion 1.345785 Sum squared resid 4.619916 Schwarz criterion 1.581526 Log likelihood -14.51389 Hannan-Quinn criter. 1.419616 F-statistic 169.7801 Durbin-Watson stat 0.913636

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: LOGJASA Method: Least Squares Sample: 1980 2008 Included observations: 29

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -8.500803 2.565026 -3.314120 0.0029

LOGPRTN 1.278215 0.420861 3.037141 0.0057

LOGPERT 0.682058 0.423570 1.610261 0.1204

LOGINDUST -0.042824 0.241759 -0.177136 0.8609

DUM 0.468824 0.915062 0.512341 0.6131

R-squared 0.231009 Mean dependent var -0.282229 Adjusted R-squared 0.178677 S.D. dependent var 2.076081 S.E. of regression 0.723128 Akaike info criterion 2.345125 Sum squared resid 12.54994 Schwarz criterion 2.580866 Log likelihood -29.00431 Hannan-Quinn criter. 2.418956 F-statistic 51.69737 Durbin-Watson stat 0.862416


(6)

Lampiran 5: Perkembangan PDRB Propinsi Sumatera Utara

Produk Domestik Regional menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga

konstan Tahun 2000. (Miliar Rp)

Lapangan

Usaha

2003 2004 2005

1 Pertanian

20.689,49 21.465,42 22.191,30

2 Pertambangan dan Penggalian

1.130,65

1.009,92

1.074,75

3 Industri

19.928,24 20.337,03 21.305,57

4 Listrik, gas, air minum

660,80

681,20

716,25

5

Bangunan

4.536,03 4.883,08 5.515,98

6 Perdagangan, Hotel & Restoran 14.353,39 15.230,32 15.984,93