Perbandingan Keberhasilan Obat Kumur Ketamin dan Aspirin dalam Mencegah Nyeri Tenggorok dan Suara Serak Akibat Intubasi Endotrakeal

(1)

TESIS

Perbandingan Keberhasilan Obat Kumur Ketamin

dan Aspirin dalam Mencegah Nyeri Tenggorok dan

Suara Serak Akibat Intubasi Endotrakeal

Oleh :

dr. Kulsum

NIM.087114012

Pembimbing :

dr. SOEJAT HARTO, SpAn, KAP

dr. YUTU SOLIHAT, SpAn, KAKV

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /

RSUP. HAJI ADAM MALIK MEDAN – 2012


(2)

Judul Tesis

:

Nama

:

Kulsum

NIM

:

087114012

Program Magister

:

Magister Kedokteran Klinik

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Tanggal lulus

:

22 Oktober 2012

Perbandingan Keberhasilan Obat Kumur Ketamin

dan Aspirin dalam Mencegah Nyeri Tenggorok dan

Suara Serak Akibat Intubasi Endotrakeal

Dekan,

Prof.dr.Gontar A.Siregar,SpPD-KGEH Ketua Program Studi,

Prof.dr.Chairuddin P,Lubis,DTM&H,SpA(K) dr. Soejat Harto, SpAn. KAP

Pembimbing 1

dr. Yutu Solihat, SpAn, KAKV Pembimbing 2


(3)

Telah Diuji pada tanggal

:

22 Oktober 2012

PENGUJI TESIS

1. Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn, KIC

2. dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC


(4)

Perbandingan Keberhasilan Obat Kumur

Ketamin dan Aspirin dalam Mencegah Nyeri

Tenggorok dan Suara Serak Akibat Intubasi

Endotrakeal

TESIS

Oleh

dr. KULSUM

NIM : 087114012

Pembimbing I : dr. Soejat Harto, SpAn, KAP

Pembimbing II : dr. Yutu Solihat, SpAn, KAKV

Tesis Ini Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran

Klinik di Bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif pada Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK / SPESIALIS

DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Hipotesa ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.4.1 Tujuan Umum ... 5

1.4.2 Tujuan Khusus ... 5

1.5 Tujuan Penelitian ... 6

1.5.1 Manfaat Akademis ... 6

1.5.2 Manfaat Praktis ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Intubasi Endotrakeal ... 7

2.2 Nyeri Tenggorok Setelah Intubasi Endotrakeal ... 9

2.3 Suara Serak ... 11

2.4 Faktor Yang Mempengaruhi dan Patofisiologi Nyeri Tenggorok dan Suara Serak Akibat Intubasi Endotrakeal ... 11

2.5 Pencegahan Nyeri Tenggorok dan Suara Serak Akibat Intubasi Endotrakeal ... 12

2.6 Penilaian Nyeri Tenggorok dan Suara Serak Akibat Intubasi Endotrakeal ... 14

2.7 Ketamin ... 16

2.7.1 Farmakokinetik ... 16

2.7.2 MekanismeKerja ... 17

2.7.3 Efek Ketamin pada Berbagai Organ ... 17

2.7.4 Ketamin Kumur Untuk Mencegah Nyeri Tenggorok dan Suara Serak . 19 2.8 Aspirin (AsamAsetilSalisilat) ... 20

2.8.1 Farmakokinetik ... 20


(6)

2.8.4 Efek Aspirin Terhadap Berbagai Organ ... 22

2.8.5Aspirin Sebagai Obat Kumur ... 23

2.9 KerangkaTeori ... 24

2.10 Kerangka Konsep ... 25

2.11 Kerangka Kerja ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

3.1 Desain Penelitian ... 27

3.2 Tempat Penelitian ... 27

3.3 Waktu Penelitian ... 27

3.4 Populasi Penelitian ... 27

3.5 Sampel... 27

3.6 Kriteria Inklusi ... 28

3.7 Kriteria Eksklusi ... 28

3.8 Kriteria Drop Out ... 28

3.9 BesarSampel ... 29

3.10 Infomed Consent ... 30

3.11 Bahan dan Cara Kerja ... 30

3.11.1Bahan ... 30

3.12 Cara Kerja ... 31

3.13 Identifikasi Variabel... 32

3.14 Batasan Operasional ... 32

3.15 Analisis Data ... 34

3.16 Masalah Etika... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1 Hasil Penelitian ... 36

4.2 Pembahasan ... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

5.1 Kesimpulan ... 57

5.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

LAMPIRAN ... 61


(7)

LAMPIRAN III Persetujuan Komisi Etik... 63

LAMPIRAN IV Penjelasan Mengenai Penelitian ... 64

LAMPIRAN V Lembar Persetujuan (Informed Consent) ... 66

LAMPIRAN VI Lembaran Observasi Perioperatif Pasien ... 67

LAMPIRAN VII Randomisasi blok sampel dan daftar sampel ... 69


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Murphy Tracheal Tube ... 07 Gambar 2 Visual Analogue Score ... 15


(9)

DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM

Tabe 1 dan Diagram 1 ... 37 Karakteristik jenis kelamin, ASA, Mallampati, Umur dan Lama Operasi Tabe 2 dan Diagram 2 ... 39

Derajat nyeri tenggorok pada jam ke – 0

Tabel 3 dan Diagram 3 ... .40 Derajat nyeri tenggorok pada jam ke – 2 Tabel 4 dan Diagram 4 ... 41

Derajat nyeri tenggorok pada jam ke – 24

Tabel 5 dan Diagram 5 ... 42 Perbandingan nyeri atau tidak nyeri pada kedua kelompok

Tabel 6 dan Diagram 6 ... 43 Perbandingan nyeri atau tidak nyeri pada tiap waktu penilaian

Tabel 7 dan Diagram 7 ... .45 Derajat suara serak jam ke-0

Tabel 8 dan Diagram 8 ... 46 Derajat suara serak jam ke-2

Tabel 9 dan Diagram 9 ... 47 Derajat suara serak jam ke – 24 Tabel 10 dan Diagram 10 ... 48

Perbandingan serak atau tidak serak pada kedua kelompok

Tabel 11 dan Diagram 11 ... 49 Perbandingan serak atau tidak serak pada tiap waktu penilaian


(10)

(11)

ABSTRACT

Background. Post Operative Sore Throat (POST) and hoarseness are common complications of general anaesthesia with endotracheal intubation that affects patient satisfaction. Various non-pharmacological and pharmacological methods have been used to prevent these complications, but some have it own advantages and disadvantages. We compared the efficacy of ketamine gargle with aspirin gargle for prevention of POST and hoarseness after using endotracheal tube.

Methods. We studied 84 patients 18 – 60 years old, ASA I or II, Mallampati Class I or II with endotracheal intubation supine position with the periode surgery 60 – 240 minutes. In double blind randomized, divided into two equalgroups. First group received 40 mg ketamine gargle in 30 ml normal saline and 300 mg aspirin gargle in 20 ml normal saline. Patients were asked to gargle during 30 seconds before induction of anesthesia. Premedication using midazolam 0,05 mg/kgBB and fentanyl 2 ug/kg. Tracheal intubation was facilitated by rocuronium 1 mg/kgBB. Anesthesia was maintained with N2O : O2 = 2:2 and isofluran 1%. Evaluation of POST and hoarseness were done at 0, 2, 24 hours postoperative with Visual Analogue Score.

Results. At the end of study 84 completed the study. The withdrawal 8 patients. Incident sorethroat after endotracheal intubation ketamine group of found sorethroat 38,1%, no sorethroat 61,9%. In the aspirin group found sorethroat 45,2%, no sorethroat 54,8% with a value of P> 0,05 is not significantly different then the incidence of sorethroat in the two groups. Incidence of hoarseness after endotracheal intubation ketamine group found 11,9%, no hoarseness 88,1%. In the aspirin group found hoarseness 21,4%, no hoarseness 78,6% with a value of P> 0,05 is not significantly different then the incidence of hoarseness in the two groups. Ketamine group found no sorethroat and no hoarseness 59,5%, sorethroat and hoarseness 28,6%, not 2,4% sorethroat and hoarseness, sorethroat and hoarseness 9,5%. In the aspirin group found no sorethroat and no hoarseness 50%, sorethroat and hoarseness 28,6,%, not 4,8% sorethroat and hoarseness, sorethroat and hoarseness 6,3% of the value of P>0,05 is not significantly different comparison sorethroat and hoarseness between two groups.

Conclusions. There are no outcome differences between ketamine and aspirin in reducing pain in throat and hoarseness after endotracheal intubation.

Keywords. Intubation endotracheal, ketamine gargle, aspirin gargle, post operative sorethroat, hoarseness.


(12)

Kata Pengantar

Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, saya sampaikan rasa syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai syarat untuk memperoleh spesialis dalam bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan.

Saya menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna baik isi maupun bahasanya, namun demikian saya berharap bahwa tulisan ini dapat menambah perbendaharaan bacaan tentang Perbandingan Keberhasilan Obat Kumur Ketamin Dan Aspirin Dalam Mencegah Nyeri Tenggorok dan Suara Serak Akibat Intubasi Endotrakeal.

Pada kesempatan berbahagia ini, perkenankan saya menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis di Fakultas Kedokteran ini.

Direktur RSUP. Haji Adam Malik Medan yang telah mengizinkan dan memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar, bekerja dan melakukan penelitian di lingkungan rumah sakit ini.

Dengan penuh rasa hormat, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dr. Soejat Harto,SpAn,KAP dan dr. Yutu Solihat,SpAn, KAKV sebagai pembimbing tesis saya dan juga Dr.Ir.Erna Mutiara, M.Kes selaku pembimbing statistik, dimana telah banyak memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini.

Yang terhormat Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC sebagai Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-USU/RSUP H. Adam


(13)

Malik, dr. Hasanul Arifin, SpAn. KAP, KIC sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, DR. dr. Nazaruddin Umar, SpAn, KNA sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif serta dr. Akhyar Hamonangan Nasution, SpAn, KAKV sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr.Ade Veronica, SpAn, KIC sebagai Kepala Instalasi Anestesiologi dan Terapi Intensif yang telah banyak memberi petunjuk, pengarahan serta nasehat dan keikhlasan telah mendidik selama saya menjalani program ini sebagai guru bahkan orangtua, selama saya mengikuti pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat guru-guru saya di jajaran Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. A. Sani P. Nasution, SpAn, KIC, dr. Asmin Lubis DAF, SpAn, KAP, KMN, dr. Nadi Zaini Bakri, SpAn, dr. Soejat Harto, SpAn, KAP, dr. Yutu Solihat,SpAn, KAKV, dr. Muhammad AR, SpAn, dr. Tjahaya Indra Utama, SpAn, dr. Syamsul Bahri Siregar, SpAn, dr. Walman Sitohang, SpAn, dr. Tumbur, SpAn, dr. Nugroho Kunto Subagio, SpAn, dr. Dadik W. Wijaya, SpAn, dr. M. Ihsan, SpAn, dr. Guido M. Solihin, SpAn, dr. Qodri F. Tanjung, SpAn. KAKV, dr. Rommy F. Nadeak, SpAn, dr. Rr. Shinta Irina, SpAn, dr. Emmy Lidya Annas, SpAn, dr. Ester R.M, SpAn, dr. Susi Sembiring, SpAn, dan dr.Zuhroh Wardi, SpA yang telah banyak membantu dan memberikan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari.

Sembah sujud, rasa syukur dan terima kasih yang tak terhingga saya sembahkan kepada kedua orangtua saya yang tercinta, Ayahanda H.Syarifudin, BcHk dan Ibunda Hj. Nonoy Kurniati yang dengan segala upaya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing dengan penuh kasih sayang semenjak kecil hingga saya dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada kedua orangtua, agama, bangsa dan negara. Dengan memanjatkan doa kehadirat Allah SWT ampunilah dosa kedua orangtua saya serta sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi saya semenjak kecil. Terima kasih juga saya tujukan kepada


(14)

kakak dan adik saya, yang telah memberikan dorongan semangat selama saya menjalani pendidikan ini.

Yang terhormat kedua mertua saya, H.Ismail Yus (alm) dan Hj.Khalifah yang telah memberikan dorongan semangat kepada saya sehingga laporan penelitian ini dapat diselesaikan.

Kepada Suami tercinta dr.Taufik Suryadi,SpF dan anak-anakku tersayang Habibie Arzt Forensa dan Azizi Bioethic Humaniora yang selalu menyayangi serta dengan penuh cinta kasih mendampingi saya selama ini. Tiada kata yang lebih indah diucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya, sehingga dengan ridho Allah SWT akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Yang tercinta dan tersayang teman-teman PPDS anestesi yang tidak bisa saya sebutkan namanya disini, yang telah bersama-sama baik dalam suka maupun duka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat dengan harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah SWT selalu memberkahi kita semua.

Kepada seluruh paramedis dan pegawai Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak membantu dan banyak kerjasama selama saya menjalani pendidikan ini.

Dan saya ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pasien yang secara sukarela berperan serta didalam penelitian ini dan semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu disini.

Akhirnya izinkanlah saya memohon maaf yang setulus-tulusnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini. Semoga bantuan dan dorongan serta petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan


(15)

kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan maha Penyayang. Amin, Amin Ya Rabbal’alamin.

Medan, Oktober 2012

Penulis

dr. Kulsum


(16)

ABSTRACT

Background. Post Operative Sore Throat (POST) and hoarseness are common complications of general anaesthesia with endotracheal intubation that affects patient satisfaction. Various non-pharmacological and pharmacological methods have been used to prevent these complications, but some have it own advantages and disadvantages. We compared the efficacy of ketamine gargle with aspirin gargle for prevention of POST and hoarseness after using endotracheal tube.

Methods. We studied 84 patients 18 – 60 years old, ASA I or II, Mallampati Class I or II with endotracheal intubation supine position with the periode surgery 60 – 240 minutes. In double blind randomized, divided into two equalgroups. First group received 40 mg ketamine gargle in 30 ml normal saline and 300 mg aspirin gargle in 20 ml normal saline. Patients were asked to gargle during 30 seconds before induction of anesthesia. Premedication using midazolam 0,05 mg/kgBB and fentanyl 2 ug/kg. Tracheal intubation was facilitated by rocuronium 1 mg/kgBB. Anesthesia was maintained with N2O : O2 = 2:2 and isofluran 1%. Evaluation of POST and hoarseness were done at 0, 2, 24 hours postoperative with Visual Analogue Score.

Results. At the end of study 84 completed the study. The withdrawal 8 patients. Incident sorethroat after endotracheal intubation ketamine group of found sorethroat 38,1%, no sorethroat 61,9%. In the aspirin group found sorethroat 45,2%, no sorethroat 54,8% with a value of P> 0,05 is not significantly different then the incidence of sorethroat in the two groups. Incidence of hoarseness after endotracheal intubation ketamine group found 11,9%, no hoarseness 88,1%. In the aspirin group found hoarseness 21,4%, no hoarseness 78,6% with a value of P> 0,05 is not significantly different then the incidence of hoarseness in the two groups. Ketamine group found no sorethroat and no hoarseness 59,5%, sorethroat and hoarseness 28,6%, not 2,4% sorethroat and hoarseness, sorethroat and hoarseness 9,5%. In the aspirin group found no sorethroat and no hoarseness 50%, sorethroat and hoarseness 28,6,%, not 4,8% sorethroat and hoarseness, sorethroat and hoarseness 6,3% of the value of P>0,05 is not significantly different comparison sorethroat and hoarseness between two groups.

Conclusions. There are no outcome differences between ketamine and aspirin in reducing pain in throat and hoarseness after endotracheal intubation.

Keywords. Intubation endotracheal, ketamine gargle, aspirin gargle, post operative sorethroat, hoarseness.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tindakan pembedahan memerlukan tindakan anestesi. Penggunaan anestesi umum dengan teknik intubasi endotrakeal merupakan teknik yang sering dipakai, namun dapat menimbulkan komplikasi atau keluhan bagi pasien setelah operasi. Keluhan ini bersifat sementara dan dapat sembuh sendiri dalam beberapa hari, namun kurang etis apabila penderita selain harus menahan nyeri akibat pembedahan, juga harus menerima penderitaan pada saluran nafas bagian atas.

Nyeri tenggorok (Post Operative Sore Throat) dan suara serak (hoarseness) merupakan komplikasi intubasi endotrakeal yang paling sering terjadi karena menyebabkan trauma mukosa jalan nafas. Komplikasi ini bisa menyebabkan ketidakpuasan dan ketidaknyamanan pasien serta meningkatkan morbiditas. Komplikasi ini menyebabkan nyeri yang sulit dikontrol walaupun nyeri pembedahan dikontrol dengan baik. Komplikasi ini belum dapat dicegah sepenuhnya dan masih dicari cara penanganannya.

1

Insiden nyeri tenggorok dan suara serak akibat intubasi endotrakeal berkisar antara 5,7 – 90%. Dikatakan 14,4 – 50% keluhan nyeri tenggorok dan suara serak tersebut muncul segera pada masa setelah operasi. Dari data yang di kumpulkan oleh American Society of Anesthesiology (ASA) yang didapatkan dari perusahaan asuransi profesional ditemukan bahwa trauma mukosa jalan nafas yang paling sering terjadi adalah di laring (33%), faring (19%) dan esophagus (18%). Pasien yang mengalami nyeri tenggorok dan suara serak akan pulih dalam waktu 72 jam. Nyeri tenggorok dan suara serak bisa terjadi sendirian ataupun bersamaan

2


(18)

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui insiden nyeri tenggorok dan suara serak dengan desain deskriptif prospektif telah dilakukan oleh Rina Novia Di RSUPNCM pada tahun 2006. Kesimpulan pada penelitian ini dengan teknik intubasi endotrakeal yang dilakukan pada 180 pasien dengan didapati insiden nyeri tenggorok sebesar 51,1%, suara serak 52,8%, nyeri tenggorok dan suara serak yang terjadi bersamaan sebesar 38,3%.

Penelitan yang bertujuan untuk mengurangi nyeri tenggorok akibat pemasangan pipa endotrakeal sudah pernah dilakukan oleh I Nyoman Adnyana di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta pada tahun 2008. Penelitian ini menggunakan obat kumur ketamin dibandingkan dengan kontrol. Lama operasi pada penelitian ini pada rentang 75 – 255 menit. Penelitian ini mendapatkan bahwa penggunaan obat kumur ketamin efektif secara bermakna mengurangi insiden nyeri tenggorok dengan besarnya pengurangan resiko absolut sebesar 47% (pada kelompok ketamin nyeri tenggorok 31,9%, tidak nyeri 68,1%, sedangkan pada kelompok kontrol nyeri tenggorok 78,6%, tidak nyeri 21,4%, dan perbedaan insiden nyeri tenggorok pada kedua kelompok 0,47). Derajat nyeri tenggorok dengan penggunaan obat kumur ketamin hanya sampai derajat sedang. Pada penelitian ini obat kumur ketamin yang digunakan adalah 40 mg ketamin dilarutkan dalam 30 ml NaCl 0,9 %.

1

Berdasarkan penelitian Rudra dkk bahwa dengan menggunakan obat kumur ketamin dari 40 relawan,

2

8 pasien (40%) mengeluhkan nyeri tenggorok pada 4 jam, 7 pasien (35%) mengeluhkan nyeri tenggorok pada 8 jam dan 5 pasien (25%) selama 24 jam dari 40 relawan.

Berdasarkan penelitian Cabay dkk pada populasi orang Turkey dan dikaitkan dengan potensi efek protektif dan efek antiinflamasi yang dimiliki obat kumur ketamin efektif mengurangi insiden dan derajat nyeri tenggorok sebesar 40% dan dilaporkan tidak ada efek samping pada penggunaan obat ini.

2,4


(19)

Penelitan yang bertujuan untuk mengurangi nyeri tenggorok sudah pernah dilakukan oleh Nugraha AJ di IBP RSUPNCM Jakarta pada Nopember 2007 sampai dengan Maret 2008. Penelitian ini menggunakan obat kumur aspirin yang diberikan sebelum pemasangan pipa endotrakeal. Penelitian ini mendapatkan bahwa penggunaan obat kumur aspirin efektif mengurangi insiden nyeri tenggorok dengan penurunan resiko absolut sebesar 63,5% (Pada kelompok aspirin nyeri ringan 17,46%, tidak nyeri 82,54%, pada kelompok kontrol nyeri tenggorok 80,96%, tidak nyeri 19,04%). Obat kumur aspirin dapat mengurangi nyeri tenggorok akibat intubasi endotrakeal dengan lamanya operasi di bawah 4 jam. Pada penelitian ini obat kumur aspirin yang digunakan adalah tablet aspirin 300 mg yang dilarutkan dalam 20 ml NaCl 0,9% 5

Berdasarkan penelitian Argawal yang membandingkan obat kumur aspirin dengan benzamide hydrochloride mendapatkan penurunan resiko absolut nyeri tenggorok jam ke 0 sebesar 59%. Argawal menyebutkan aspirin obat yang aman, sederhana, namun efektif dalam mengurangi insiden dan beratnya nyeri tenggorok serta bereaksi lebih cepat dibandingkan benzamide hydrochlorida.

.

2,4

Mencke, Thomas dkk mendapatkan insiden suara serak akibat pembedahan berkisar antara 14,4 – 50%. Ayoub CM dkk mendapatkan insiden nyeri tenggorok , suara serak dan batuk sebesar 21 – 65%.

Ketamin adalah salah satu obat anestesi intravena yang sering dan sudah lama digunakan dalam bidang anestesiologi. Akhir-akhir ini data eksperimental menunjukkan bahwa ketamin dengan reseptor N-Methyl-D-aspartate (NMDA) terdapat di Susunan Saraf Pusat dan di Saraf Perifer, maka pemberian secara perifer antagonis reseptor NMDA seperti ketamin mempunyai efek analgetik dan antiinflamasi. Ketamin merupakan obat anestesia yang mudah didapat di kamar operasi dan harganya relatif murah dibandingkan dengan obat lain. Dengan potensi analgetik dan antiinflamasi pemberian ketamin kumur sebelum intubasi


(20)

endotrakeal dapat mencegah nyeri tenggorok. Ketamin aman digunakan, efek samping minimal, ditoleransi dengan baik, dan tersedia di kamar operasi.2

Aspirin digunakan sebagai analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi. Efek analgetik aspirin berperan terutama di perifer. Efek antiinflamasi aspirin dapat berkontribusi terhadaf efek analgetik. Aspirin memiliki dosis efektif minimal yang lebih kecil pada pemberian obat secara lokal dibandingkan dengan peroral.

Pemberian obat kumur adalah langsung pada tempat kerjanya dan membuat konsentrasi menjadi maksimum pada tempat kerja dan menghindari efek firstpass seperti pemberian topikal obat antiinflamasi pada membran mukosa atau kulit. Dengan berkumur diharapkan dengan efek lokal sehingga dapat menghindari efek sistemik.

5

Berdasarkan latar belakang dan referensi penelitian diatas, peneliti berkeinginan untuk membandingkan keberhasilan obat kumur ketamin dengan obat kumur aspirin untuk mengurangi nyeri tenggorok dan suara serak akibat intubasi endotrakeal karena belum ada penelitian sebelumnya.


(21)

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: apakah ada perbedaan keberhasilan antara obat kumur ketamin dan aspirin dalam mencegah nyeri tenggorok dan suara serak akibat intubasi endotrakeal?

1.3.Hipotesa

Ada perbedaan keberhasilan antara obat kumur ketamin dan aspirin dalam mencegah nyeri tenggorok dan suara serak akibat intubasi endotrakeal.

1.4.Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan keberhasilan antara obat kumur ketamin dan aspirin dalam mencegah nyeri tenggorok dan suara serak akibat intubasi endotrakeal.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui insiden nyeri tenggorok dan suara serak terjadi sendirian atau bersamaan menggunakan obat kumur ketamin akibat intubasi endotrakeal.

2. Untuk mengetahui insiden nyeri tenggorok dan suara serak terjadi sendirian atau bersamaan menggunakan obat kumur aspirin akibat intubasi endotrakeal.

3. Untuk membandingkan insiden dan derajat nyeri tenggorok dan suara serak menggunakan obat kumur ketamin dan obat kumur aspirin akibat intubasi endotrakeal.


(22)

1.5.Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan tambahan dalam penelitian lanjutan tentang usaha-usaha mengurangi insiden nyeri tenggorok dan suara serak akibat intubasi endotrakeal.

1.5.2. Manfaat Praktis

1. Hasil dari penelitian ini diharapkan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan sehari hari.

2. Menjadi alternatif obat untuk mengurangi nyeri tenggorok dan suara serak akibat intubasi endotrakeal dan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya. 3. Penelitian ini akan memperkuat landasan teori serta menambah data

tentang kemampuan obat kumur ketamin dan aspirin dalam mengurangi insiden nyeri tenggorok dan suara serak akibat intubasi endotrakeal.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Intubasi Endotrakeal

Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum diperlukan teknik intubasi endotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah suatu tehnik memasukkan suatu alat berupa pipa ke dalam saluran pernafasan bagian atas.

Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan saluran trakeobronkial.

9

Komplikasi akibat intubasi endotrakeal antara lain nyeri tenggorok, suara serak, paralisa pita suara, edem laring, laring granuloma dan ulser, glottis dan subglotis granulasi jaringan, trachealstenosis, tracheamalacia, tracheoesophagial fistula.

9

Pipa endotrakeal digunakan untuk menghantarkan gas anestesi langsung ke trakea dan memfasilitasi ventilasi dan oksigenasi. Pipa endotrakeal terbuat dari plastik Polyvinyl Chlorida yang merupakan cetakan dari bentukan jalan nafas. Bahan dari ETT harus bersifat radioopaq untuk mengetahui posisi ujung distal ke karina dan transparan agar dapat dilihat sekresi atau aliran udara yang dibuktikan oleh adanya pengembungan uap air pada lumen pipa selama ekshalasi. Pipa Murphy memiliki lubang (Murphy eye) untuk menurunkan resiko oklusi bagian bawah pipa yang berbatas langsung dengan carina atau trakea.

9,10


(24)

Gambar 1 : Murphy Tracheal tube (Morgan Clinical Anesthesiology)

Faktor dari pipa endotrakeal seperti ukuran pipa endotrakeal, desain pipa endotrakeal, desain kaf pipa endotrakeal, tekanan intrakaf, lubrikasi pipa endotrakeal, zat aditif bahan pembuat pipa endotrakeal, pasien batuk saat masih memakai pipa endotrakeal, suctioning faring yang berlebihan selama ekstubasi, insersi pipa lambung (NGT), bahan pembersih pipa endotrakeal yang digunakan dapat menyebabkan nyeri tenggorok dan suara serak.

Keterampilan pelaku intubasi seperti intubasi yang dilakukan oleh orang yang belum berpengalaman sering menyebabkan trauma pada bibir sering terjadi di sisi kanan bibir atas terjepit diantara bilah laringoskop dan gigi atas. Keberhasilan intubasi pada laringoskopi pertama juga dikatakan mempengaruhi insiden komplikasi intubasi endotrakeal. Kesulitan intubasi / intubasi berulang mempengaruhi timbulnya komplikasi intubasi endotrakeal. Pada pasien dengan kesulitan intubasi, penatalaksanaan jalan napas menjadi lebih sulit sehingga lebih mudah terjadi cedera pada jalan napas yang menyebabkan nyeri tenggorok. Prosedur intubasi dengan menekankan krikoid selama laringoskopi memfasilitasi visualisasi pita suara sehingga manuver ini bisa membantu menghindari kerusakan sekitar pita suara yang disebabkan oleh intubasi yang dipaksakan.

2,11,12,13


(25)

2.2 Nyeri Tenggorok Akibat Intubasi Endotrakeal

Nyeri tenggorok akibat intubasi endotrakeal termasuk urutan ke-8 pada daftar hasil akhir akibat operasi yang paling dihindari oleh pasien akibat mual, tersadar selama operasi, batuk saat masih dengan pipa endotrakeal, menggigil, muntah, kelemahan yang tersisa dan somnolen. Komplikasi minor ini belum dapat dicegah sepenuhnya dan masih dicari cara penanganannya. Walaupun bukan suatu yang gawat dan tidak menimbulkan kecacatan, nyeri tenggorok ini bisa menjadi keluhan utama jika nyeri pada luka operasi bisa terkontrol dengan baik. Komplikasi ini bisa menyebabkan ketidakpuasan dan ketidaknyamanan pasien serta bisa memperlambat kembalinya aktifitas rutin pasien akibat pulang dari rumah sakit.

Nyeri tenggorok akibat intubasi endotrakeal adalah nyeri inflamasi yang menyebabkan rasa tidak nyaman, rasa gatal di tenggorok dan dapat menimbulkan rasa sakit pada saat menelan akibat intubasi endotrakeal. Hal ini terjadi karena trauma pada tonsil, faring, lidah, laring dan trakea. Pada keluhan nyeri tenggorok yang terjadi adalah trauma mukosa trakea akibat intubasi endotrakeal.

2

Trauma merupakan faktor etiologi yang penting pada nyeri tenggorok dan suara serak akibat intubasi, dan ditemukan adanya edema dan memar tenggorok pada penderita yang mengeluh nyeri tenggorok akibat intubasi. Tenggorok dapat luka waktu intubasi karena manipulasi. Trauma dapat terjadi waktu laringoskopi langsung dan intubasi yang dilakukan karena kurang relaksasi otot. Sebab lain trauma faring mungkin disebabkan karena pergeseran yang berlebihan antara pipa endotrakeal dan mukosa faring. Gerakan kepala yang berlebihan ini dihubungkan dengan lokasi pembedahan di kepala dan leher.

1

Patofisiologi nyeri tenggorok dan suara serak disebabkan oleh berbagai faktor yaitu:

1,14

1. Laringoskopi, pemasangan pipa lambung atau suctioning yang bersifat traumatik yang bisa melukai mukosa faring-laring. 2, 14


(26)

2. Tekanan intrakaf dan desain kaf mengurangi perfusi kapiler mukosa trakea sehingga menyebabkan iskemia pada mukosa trakea.

RD Seegobin dalam tulisannya menilai aliran darah mukosa trakea dalam hubungannya dengan tekanan kaf yang berbeda. Pada tekanan diatas 30 cmH2O sudah cukup menyebabkan perubahan histologi pada mukosa trakea. Pada tekanan 30 cmH2O mukosa anterior di atas cincin trakea lebih merah dibandingkan daerah interkartilago yang artinya sudah ada daerah yang iskemik sehingga dapat menyebabkan nyeri tenggorok. Dipertimbangkan 20 cmH2O dapat dibuat menjadi batas bawah tekanan kaf untuk dewasa.

2

Kaf yang high pressure memiliki hubungan dengan iskemik dan kerusakan mukosa trakea sehingga kurang cocok untuk intubasi yang lama. Keuntungan dari kaf low pressure yaitu tekanan yang kira-kira sama dengan tekanan pada dinding trakeal sehingga dengan pemantauan tekanan kaf maka tekanan dinding trakeal dapat diatur sesuai dengan tekanan kaf sehingga tipe ini lebih dianjurkan dalam pemakaiannya karena kurang menyebabkan kerusakan mukosa trakea.

3. Kontak pipa endotrakeal dengan pita suara dan dinding faring bagian posterior serta jaringan disekitarnya bisa mengakibatkan iritasi atau trauma pada tonsil, faring, laring atau trakea.

15,16

Difusi Nitrous Oxide (N

2,17

2O) ke dalam kaf pipa endotrakeal

mengakibatkan peningkatan tekanan intrakaf. Tekanan intrakaf yang berlebihan akan mengganggu perfusi mukosa meyebabkan kerusakan trakea sehingga menimbulkan nyeri tenggorok. 18


(27)

2.3 Suara serak

Definisi suara serak menggambarkan kelainan memproduksi suara ketika mencoba berbicara, atau ada perubahan nada suara. Suaranya terdengar lemah, terengah-engah, kasar dan serak.

Pada intubasi endotrakeal trauma pada laring menyebabkan inflamasi laring sehingga menyebabkan suara serak. Peningkatan tekanan kaf karena difusi N2O juga memberikan kontribusi terhadap kerusakan pita suara, terutama jika

posisi kaf tepat di bawah pita suara. Kompresi kaf pipa endotrakeal terhadap nervus laringeus rekurens ke lamina kartilago tiroid. Posisi dari kaf pipa endotrakeal tepat di bawah atau mengenai pita suara dapat meningkatkan insiden tersebut.

Penyebab timbulnya suara serak salah satunya adalah paralisis pita suara. Paralisis pita suara dapat terjadi bilateral atau unilateral. Paralisis pita suara yang unilateral dapat menjadi penyebab terjadinya suara serak yang menetap akibat ekstubasi. Paralisis pita suara bilateral dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas atas. Paralisis pita suara ini berhubungan dengan timbulnya suara serak , yang biasanya muncul segera setelah operasi. Biasanya paralisis pita suara terjadi sekunder dari cedera nervus laringeus rekurens.

1

1

2.4 Faktor yang mempengaruhi dan patofisiologi nyeri tenggorok dan suara serak akibat intubasi endotrakeal.

Faktor yang mempengaruhi terjadinya nyeri tenggorok dan suara serak yaitu:

1. Jenis kelamin.

Dari beberapa penelitian didapatkan insiden pada wanita lebih besar daripada laki-laki. Hal ini disebabkan karena lapisan mukosa pada wanita lebih tipis sehingga lebih mudah mengalami edema.

2. Umur.


(28)

Semakin bertambahnya umur kemungkinan timbulnya kelainan atau penurunan fungsi organ tubuh makin meningkat, seperti adanya diabetes mellitus atau penyakit vaskuler. Berdasarkan penelitian Ahmed dkk mendapatkan bahwa insiden nyeri tenggorok lebih sering ditemukan pada usia yang lebih tua (>60 tahun) daripada usia di bawahnya (18-60 tahun).

3. Pasien dengan penyakit kronis yang berat

1,13

Pada hal ini terjadi penurunan perfusi jaringan, sehingga intubasi pada pasien ini mudah sekali mengalami trauma jaringan, mudah terjadi nekrosis dan ulserasi jaringan.

4. Kebiasaan merokok.

1,20,21

Merokok meningkatkan resiko terjadinya komplikasi jalan nafas pada pasien akibat operasi.

5. Hal - hal yang berhubungan dengan intubasi endotrakeal seperti prosedur, intubasi, keterampilan pelaku intubasi, kesulitan intubasi, pipa endotrakeal dan obat -obatan anestesi.

1,22

6. Faktor pembedahan.

1,11,13,21

Christensen dkk melaporkan insiden nyeri tenggorok lebih besar akibat operasi tiroid disebabkan oleh pergerakan yang lebih besar dan pipa endotrakeal dalam trakea.2,13,19,20,22

2.5. Pencegahan Nyeri Tenggorok dan Suara Serak Akibat Intubasi Endotrakeal.

Berbagai macam usaha pencegahan telah dilakukan baik nonfarmakologik maupun farmakologik untuk mengurangi insiden dan derajat nyeri tenggorok dan suara serak dengan hasil yang bervariasi.

Metode nonfarmakologik yang dilakukan untuk mengurangi insiden nyeri tenggorok dan suara serak akibat intubasi endotrakeal seperti

1. Menghindari trauma baik yang terjadi pada saat laringoskopi, intubasi, dan selama pipa endotrakeal terpasang maupun pada saat ekstubasi.


(29)

Trauma yang timbul karena pergeseran pipa yang berlebihan dengan mukosa jalan nafas mungkin dapat dikurangi dengan memakai pipa endotrakeal yang licin, pipa endotrakeal sesuai ukuran, dan fiksasi pipa endoktrakeal yang baik, tidak menggunakan stylet, dan mencegah ekstensi atau fleksi kepala dan leher yang berlebihan.

2. Tekanan kaf yang menetap dan kuat pada dinding trakea dapat dicegah dengan kaf tekanan rendah yang diinflasi di bawah kartilago krikoid.

2,11,12,13

Kaf harus dikempiskan tiap jam dan pipa endotrakeal yang digunakan tidak terlalu besar sehingga iskemia yang timbul pada dinding trakea dapat dicegah.

3. Sebelum ekstubasi suctioning orofaring dengan hati-hati, meminimalkan tekanan intrakaf dan ekstubasi apabila kaf pipa endotrakeal benar-benar kempes.

2,15,16,17,18

4. Untuk pasien perokok berat perlu persiapan pra anastesi yang baik karena komplikasi pada jalan nafas atas, insidennya 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak merokok.

2,11,12

5. Intubasi endotrakeal dilakukan oleh orang yang berpengalaman.

1,20,21

Metode farmakologik yang dilakukan untuk mengurangi insiden nyeri tenggorok dan suara serak akibat intubasi endotrakeal seperti :

1,13

1. Menghindari pemakaian obat-obat premedikasi golongan antikolinergik, karena dapat menyebabkan berkurangnya sekresi kelenjar sehingga mukosa tenggorok menjadi lebih kering. Memperhatikan kelembaban gas anestesi karena jika kelembabannya kurang dapat mengakibatkan keringnya mukosa.

2. Menghindari pemakaian pelumas maupun semprot yang mengandung lidokain dengan tujuan untuk mengurangi trauma waktu intubasi. Beberapa peneliti menganjurkan untuk menghindari pemakaian pelumas maupun semprot yang mengandung lidokain karena lidokain spray mengandung adiktif etanol dan mentol yang bisa menyebabkan nyeri tenggorok dan tidak ada kemampuan antiinflamasi intrinsik. Christine


(30)

menganjurkan untuk mengurangi insiden nyeri tenggorok dan suara serak sebaiknya tidak digunakan pelumas.1,23,24,25

3. Menggunakan obat pelumpuh otot saat intubasi endotrakeal. Hal yang perlu diperhatikan yaitu bila pasien mengedan/melawan pada saat pipa endotrakeal terpasang perlu induksi yang cukup sebelum intubasi, pemberian pelumpuh otot yang adekuat sehingga relaksasi penuh pada waktu intubasi dan selama pemeliharaan. Combes dkk mendapatkan penggunaan pelumpuh otot untuk intubasi endotrakeal mengurangi insiden keluhan efek samping jalan nafas atas dan membuat kondisi intubasi lebih bagus. Pada penelitian yang lain insiden dan derajat nyeri tenggorok tidak berbeda secara signifikan antara penggunaan pelumpuh otot suksinilkolin, rokuronium dan atrakurium.2,24,26

2.6. Penilaian Nyeri Tenggorok dan Suara Serak

Penilaian nyeri tenggorok dapat dilakukan dengan anamnesis secara langsung maupun tidak langsung, atau dari keluhan spontan penderita post-operative. Penilaian dapat dilakukan dengan Visual Analogue Score (VAS). Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya.VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya mudah hanya menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan.Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 1 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS


(31)

> 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesik penyelamat (rescue analgetic). 27,28

Gambar 2. Visual Analogue Score

(Williamson A, a review of three commonly used Visual Analogue Score)

Derajat Nyeri Tenggorok Akibat Intubasi Endotrakeal. Nilai 0 : Tidak ada nyeri tenggorok (VAS 0).

2

Nilai 1 : Nyeri tenggorok ringan adalah dijumpai nyeri tenggorok, rasa tidak nyaman, gatal di tenggorok namun tidak nyeri saat menelan (VAS 1 – 3).

Nilai 2 : Nyeri tenggorok sedang adalah dijumpai nyeri tenggorok dan nyeri saat menelan (VAS 4 – 6).

Nilai 3 : Nyeri tenggorok berat adalah dijumpai nyeri tenggorok disertai susah atau tidak dapat menelan (VAS 7 – 10).

Penilaian terhadap suara serak : Nilai 0 : Tidak didapatkan suara serak.

1

Nilai1 : Suara serak ringan hanya dirasakan oleh penderita, namun tidak terdengar oleh pemeriksa.


(32)

Nilai 3 : Suara serak berat yaitu afonia

2.7. Ketamin

Ketamin merupakan molekul yang larut dalam air dengan pKa 7,5. Ketamin tersedia dalam larutan cair dengan konsentrasi 1%, 5% dan 10% dan mengandung pengawet benzetonium klorida. Molekul ketamin mengandung atom karbon asimetrik sehingga mengakibatkan adanya 2 isomer optikal yaitu S(+) dan R(-) isomer dalam jumlah yang seimbang dan saling berhubungan dengan rangsangan yang spesifik. Isometri yang S(+) menghasilkan analgesia yang 2 – 3 kali lebih poten, kesadaran lebih cepat, dan lebih rendahnya insiden reaksi terbangun dibandingkan isomer R(-). Kedua isometri ketamin mampu menghalangi pengambilan kembali katekolamin ke saraf simpatik postganglion.

2.7.1. Farmakokinetik

Pada pemberian intravena, mulai masa kerja adalah dilihat dalam 30 detik, 1- 5 menit jika disuntikkan intramuskuler, 5 – 10 menit per nasal dan 10 – 15 menit per oral. Masa kerja ketamin biasanya berlangsung 30 – 45 menit bila diberi intravena, per nasal 45 – 60 menit, dan 1 – 2 jam akibat pemberian peroral. Ikatan ketamin dengan protein plasma tidak bermakna dan dengan cepat meninggalkan darah untuk didistribusikan ke jaringan. Pada awalnya ketamin didistribusikan ke jaringan dengan perfusi yang tinggi seperti otak, dengan konsentrasi puncaknya sekitar 4-5 kali konsentrasi dalam darah. Ketamin diredistribusi dari otak dan jaringan dengan tingkat perfusi tinggi ke jaringan dengan perfusi yang rendah seperti otot dan lemak. Metabolisme ketamin di hepar secara ekstensif oleh enzim sitokrom P-450 melalui proses demetilasi membentuk norketamin. Metabolit ini mempunyai potensi 1/3-1/5 ketamin dan dapat menyebabkan pemanjangan efek ketamin terutama bila diberikan secara dosis bolus berulang atau infus kontinyu. Ketamin mempunyai rasio pengambilan obat


(33)

oleh hepar yang tinggi 1 L/menit dan volume distribusi yang besar 3 L/kgBB yang menyebabkan waktu paruh yang singkat 2 – 3 jam, sehingga perubahan aliran darah hepar dapat mempengaruhi kecepatan bersihan ketamin. Produk hidroksinorketamin terkonjugasi dengan derivat glukoroid menjadi senyawa yang tidak aktif dan larut dalam air selanjutnya diekskresikan melalui ginjal.2,29,30,31

2.7.2. Mekanisme Kerja

Ketamin berinteraksi dengan reseptor NMDA, merupakan neurotransmiter pemacu terbesar dalam Susunan Saraf Pusat. Ketamin juga dilaporkan dapat berinteraksi dengan reseptor opioid yakni antagonis pada reseptor mu, delta dan agonis pada reseptor kappa. Toleransi silang antara ketamin dan opioids suatu reseptor umum untuk induksi analgesia ketamin. Efek antinosiseptif mungkin juga akibat penghambatan jalur monoaminergik. Fakta bahwa ketamin menghasilkan gejala antikolinergik (delirium, bronkodilatasi, reaksi simpatomimetik) menunjukan bahwa ketamin menyebabkan efek antagonis pada reseptor muskarinik. Ketamin pada konsentrasi subanestetik merupakan analgetik poten. Efek anestesia ketamin secara parsial dapat dihilangkan oleh obat-obat antikolinesterase. 2,29,30,31

2.7.3. Efek Ketamin pada Berbagai Organ

Efek pada Sistem Saraf Pusat yaitu ketamin dapat menimbulkan anestesia disosiatif yang ditandai dengan katatonia, amnesia dan analgesia. Pasien yang mendapat ketamin tampaknya berada pada status kataleptik, dimana pasien akan mendapatkan analgesia yang kuat namun matanya tetap terbuka dan refleks kornea, batuk dan menelan yang masih positif. Efek amnesianya tidak sekuat benzodiazepin. Kelarutan lemak yang sangat tinggi membuatnya dapat melewati sawar darah otak dengan cepat. Ditambah lagi dengan peningkatan aliran darah otak yang disebabkan oleh ketamin dapat memfasilitasi penghantaran obat dan meningkatkan kecepatan tercapainya konsentrasi dalam otak yang tinggi. Ketamin meningkatkan konsumsi oksigen serebral (CMRO2), aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Namun pada penelitian-penelitian terbaru dilaporkan adanya


(34)

efek neuroprotektif dari ketamin. Efek ketamin pada sistem kardiovaskular yaitu ketamin memperlihatkan stimulasi kardiovaskular akibat sekunder dan perangsangan langsung dari sistem saraf simpatis, pelepasan katekolamin dan hambatan pengambilan kembali norepinefrin. Induksi anestesia dengan ketamin memperlihatkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan curah jantung. Perubahan variabel hemodinamik ini menyebabkan kerja jantung dan konsumsi oksigen jantung meningkat. Pemberian obat golongan benzodiazepin sebagai premedikasi dapat mengurangi efek ketamin pada sistem kardiovaskular. Efek ketamin pada sistem respirasi yaitu ketamin mempunyai efek yang minimal terhadap pusat pernapasan. Ketamin adalah bronkodilator poten, menjadikannya sebagai agen induksi yang baik untuk pasien asma bronkial. Ketamin untuk induksi dan pemeliharaan anestesia yaitu pasien dengan resiko tinggi dengan gangguan respirasi (gangguan jalan napas bronkospastik) dan kardiovaskular (gangguan hemodinamik baik akibat hipovolemia atau kardiomiopati, bukan penyakit arteri koroner), merupakan sebagian besar kandidat untuk induksi cepat ketamin. Ketamin untuk sedasi dan analgesia yaitu ketamin yang diberikan secara oral atau intranasal cukup berhasil untuk premedikasi anestesia yang memberikan efek sedasi dan analgesia yang memuaskan. Premedikasi ketamin intranasal dosis 3mg/kgBB memberikan efek sedasi dalam waktu 10 – 15 menit. Dosis ketamin intranasal untuk mengobati nyeri sedang sampai berat rerata 1/6 dosis induksi ketamin intravena. Mula kerja ketamin intranasal 2 – 10 menit dan lama kerja 60 – 90 menit. Pemberian ketamin intranasal ini juga terbukti mengurangi nyeri dengan cepat, aman dan efektif. Ketamin dosis kecil (dosis subanestetik) secara intravena dengan dosis 0,1- 0,5mg/kgBB atau intramuskuler 2-4 mg/kgBB dapat mengurangi nyeri akibat pembedahan. Saat ini ketamin dengan dosis subanestetik merupakan pilihan ketiga akibat obat golongan opioid dan NSAID untuk mengatasi nyeri akibat pembedahan.2,29,30,31


(35)

2.7.4 Ketamin Kumur Untuk Mencegah Nyeri Tenggorok dan Suara Serak Akibat Intubasi Endotrakeal.

Beberapa penelitian melaporkan bahwa ketamin memegang peranan sebagai protektif terhadap lung injury, karena kemampuan antiinflamasi yang dimilikinya. Ketamin bekerja dengan mengurangi aktifitas TNF kappa B, mengurangi produksi TNF-alpa dan mengurangi sintesis nitric oxide. Penelitian Zhu dkk pada binatang yang menderita asma mendapatkan bahwa inhalasi ketamin mengurangi beberapa komponen sentral dan inflamasi. Penelitian Zhu dkk pada tikus yang lain melaporkan efek protektif ketamin pada trauma inflamasi jalan napas yang disebabkan oleh alergen dan reaktifitas jalan napas yang tinggi pada asma. Penelitian pada pemberian ketamin secara nasal, oral dan rektal juga diyakini bahwa penggunaan lokal obat ini efektif dan memungkinkan.

Saat ini ada peningkatan jumlah data eksperimental yang menunjukan bahwa reseptor NMDA ditemukan tidak hanya di Sistem Saraf Pusat tetapi juga di saraf perifer. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa pemberian secara perifer antagonis reseptor NMDA seperti ketamin melibatkan kaskade antinosisepti dan antiinflamasi.

2

Berkaitan dengan potensi efek protektif dan efek anti inflamasi yang dimiliki ketamin, Cabay dkk melakukan penelitian pada populasi orang Turkey untuk mengurangi nyeri tenggorok dan mendapatkan bahwa berkumur dengan ketamin kumur efektif mengurangi insiden dan derajat nyeri tenggorok. Walaupun mekanisme yang pasti dari ketamin kumur ini belum diketahui, namun diduga karena efek anitinflamasi dan analgetik yang dimiliki ketamin. Dalam penelitian ini dosis ketamin yang digunakan adalah 40 mg yang diencerkan dengan NaCl 0,9% sebanyak 30 ml.

2


(36)

2.8. Aspirin (Asam Asetil Salisilat)

Ilmuwan Yunani Hipokrates menulis pada abad ke 5 sebelum Masehi mengenai sejenis serbuk berasa pahit berasal dan kulit pohon yang dapat mengurangi sakit dan nyeri dan menurunkan demam. Sintesis dan aspirin digolongkan dan reaksi ester, dimana golongan alkohol dan asam salisilat bereaksi dengan asam (acetyl anhydride) membentuk ester. Asam salisilat sangat iritatif, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar. Aspirin digunakan sebagai analgesik, antipiretik dan antiinflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik. Aspirin tersedia dalam bentuk tablet 100 mg untuk anak-anak dan 500 mg untuk dewasa. Di luar negeri terdapat sediaan soluble aspirin 300 mg dan dapat digunakan sebagai obat kumur. Dosis obat kumur untuk dewasa 300-600 mg setiap 6 jam.5,32,33

2.8.1 Farmakokinetik

Secara umum, dosis oral solid aspirin diabsorbsi sebesar 80-100%. Larutan air dan aspirin atau salisilat lainnya secara oral memperlihatkan absorbsi yang sempurna. Salisilat terdeteksi di serum selama 5-30 menit akibat pemberian secara oral dengan bentuk yang cepat diserap (larutan air, uncoated tablet) dengan konsentrasi puncak antara 1-3 jam dan menetap 3-6 jam. Pada pemberian obat kumur aspirin memiliki waktu paruh 8-12 jam. Melalui pemberian secara rectal aspirin suposituria, efek antipiretik secara umum dimulai antara 1-2 jam dengan puncak 4-5 jam dan menetap 4 jam atau lebih.5,33

2.8.2. Mekanisme Kerja Aspirin

Keefektifan aspirin terutama disebabkan oleh kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin, kerjanya menghambat enzim siklooksigenase secara menetap yang mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi senyawa endoperoksida (prostaglandin dan tromboksan). Reaksi siklooksigenase dihambat oleh obat-obat antiinflamasi nonsteroid, terdapat 2


(37)

siklooksigenase (COX 1 dan COX2). Aspirin jauh lebih kuat menghambat COX1 dibandingkan dengan COX2.

2.8.3. Efek Aspirin sebagai Analgesia dan Antiinflamasi

5

Efek analgesia aspirin adalah hasil dari penghambatan sintesis prostaglandin. Prostaglandin tampaknya mensensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik atau mediator kimia lainnya seperti bradikinin, histamin. Efek analgesia salisilat berperan terutama di perifer. Efek antiinflamasi aspirin dapat bekontribusi terhadap efek analgesia.Efek antiinflamasi salisilat dapat berperan dalam menghambat sintesa prostaglandin dan dikeluarkan selama proses inflamasi. Efek antiinflamasi salisilat dan antiinflamasi nonsteroid lainnya secara umum menunjukkan secara positif berkorelasi dengan kemampuannya menghambat sintesis prostaglandin. Selain menghambat sintesis prostaglandin, aspirin juga menghambat perlekatan mediator kini sistem kalikrein, akibatnya aspirin menghambat perlekatan granulosit pada pembuluh darah yang rusak. Menstabilkan membrane lisosom, dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke tempat peradangan. Meskipun aspirin dan salisilat lainnya menghambat siklooksigenase dan oleh karenanya menurunkan produksi prostaglandin, nampaknya tidak menghambat pembentukan leukotrien. Peran yang pasti dari leukotrien pada inflamasi belum terungkap sepenuhnya namun berkontribusi tehadap respon inflamasi. Penghambatan sikloosigenase oleh aspirin dan salisilat lainnya, selama menurunkan sintesis prostaglandin, dapat menghasilkan peningkatan formasi leukotrien. Prostaglandin ada di jaringan dan cairan tubuh, dan mempunyai efek yang bermacam-macam terhadap pembuluh darah, ujung saraf dan terhadap set yang terlibat dalam inflamasi. Prostaglandin ini memudahkan vasodilatasi dengan mengaktifkan adenilsiklase. Pada kondisi demam, PGE1 dan PGE2 meningkatkan suhu tubuh. Pirogen melepaskan interleukin 1 yang memacu sintesis dan pelepasan PGE2. Sintesis ini dihambat oleh aspirin. Pada neurotransmisi, senyawa PGE2 menghambat pelepasan norepinefrin dan ujung-ujung saraf simpatis presinaptik, kemudian obat-obat antlinflamasi nonsteroid meningkatkan pelepasan norepinefrin. Vasokonstriksi yang terjadi akibat pengobatan dengan penghambat siklooksigenase disebabkan


(38)

peningkatan pelepasan norepinefrin serta hambatan terhadap sintesis vasodilator endotel (PGE2 dan PGI2).

2.8.4. Efek Aspirin Terhadap Berbagai Organ

5,34

Efek aspirin terhadap pernafasan yaitu salisilat merangsang pernafasan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan dosis tinggi salisilat mempertinggi konsumsi oksigen dan produksi CO2. Peninggian PCO2 akan

merangsang pernafasan sehingga pengeluaran CO2 melalui alveoli bertambah dan

PCO2 dalam plasma menurun. Lebih lanjut salisilat yang mencapai medula,

merangsang langsung pusat pernafasan sehingga terjadi hiperventilasi dengan pernafasan yang dalam dan cepat. Pada keadaan intoksikasi, hal ini berlanjut menjadi alkalosis respirasi yang dapat berpengaruh pada keseimbangan asam basa. Efek aspirin terhadap saluran pencernaan yaitu komplikasi saluran pencernaan (dispepsia, gangguan perut). Untuk menolong menghindari masalah ini aspirin diberikan saat atau sesudah makan atau diberikan dalam bentuk enteric coated. Pasien yang menerima dosis tinggi dan atau terapi jangka lama diberikan obat pencegahan pada lambung dengan dosis tinggi seperti antasida, ranitidin atau omeperazol. Efek aspirin terhadap Susunan Saraf Pusat bila diberikan dosis tinggi seperti tinitus, vertigo, kehilangan pendengaran, gangguan penglihatan media-sentral, sakit kepala, pusing, berkeringat bila diberikan dosis tinggi. Efek aspirin terhadap hati, ginjal dan kulit yaitu pemakaian jangka lama dengan dosis tinggi sering meningkatkan enzim hati tanpa gejala dan bersifat reversibel. Nepritis kronik pada pemakaian jangka lama, biasanya digunakan bersama dengan obat analgetik yang lain. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Reaksi alergi kulit, angioedema dan bronkospasme tidak sering terjadi.5,32,33,34


(39)

2.8.5 Aspirin sebagai obat kumur

Ditinjau dari farmakokinetik, aspirin memiliki onset dengan konsentrasi plasma terdeteksi dalam waktu 5 menit dan memiliki konsentrasi puncak 1 – 3 jam serta lama kerja 8 – 12 jam. Absorpsi yang cepat dari aspirin menunjukkan onset analgesia yang lebih cepat untuk mengatasi nyeri. Pengurangan nyeri diakibatkan oleh intervensi pemberian obat kumur aspirin yang diberikan sebelum intubasi endotrakeal dapat memblok stimulasi nosiseptif selama dan pascaoperasi. Akibatnya proses modulasi menuju sel–sel kornu dorsalis medula spinalis terhambat dan transmisi ke otak (talamus) tidak tercapai sehingga nyeri tidak terjadi.

Aspirin sebagai obat kumur topikal berperan dalam:

a. Proses penghambatan nyeri oleh aspirin akibat dari penghambatan sintesis prostaglandin, sehingga terjadi hambatan sensitisasi nyeri terhadap stimulus mekanik atau dengan mengurangi sensitisasi mediator kimia lainnya yang terlibat pada proses nyeri seperti bradikinin dan histamin.

b. Obat kumur aspirin juga bersifat anti inflamasi dengan menghambat sintesis prostaglandin dan tromboksan, menghambat sistem kalikrein sehingga terjadi penghambatan perlekatan granulosit pada pembuluh darah yang rusak, dan menstabilkan membran lisosom, menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke tempat peradangan yang dapat dicapai dengan pemberian obat topikal.

Pemberian obat topikal adalah langsung pada tempat kerjanya seperti pemberian topikal obat antiinflamasi pada membran mukosa atau kulit. Pemberian obat topikal membuat konsentrasi menjadi maksimum pada tempat kerja dan menghindari efek firstpass.5


(40)

2.9 KERANGKA TEORI

Intubasi Endotrakeal - Ukuran,tekanan intrakaf

- Umur

- Jenis kelamin

- Penyakit Kronis berat - Operasi tiroid

- Insersi pipa lambung (NGT) - Suctioning

- ekstubasi

Lama operasi/ETT eksposure

- pelaku intubasi - prosedur intubasi - kesulitan intubasi

Cedera mukosa: Iskemia dan inflamasi mukosa

ObatKumurAspirin Menghambat biosintesis

prostaglandin dan enzim COX 1 Obat kumur ketamin:

Efek analgetik:

Bekerja pada reseptor NMDA Efek antiinflamasi:

Mengurangi aktifitas TNF alpha, sintesis nitric oxide, kappa B

Nyeri tenggorok Suara serak


(41)

2.10 KERANGKA KONSEP

Obat Kumur Ketamin Obat Kumur Aspirin

General Anestesi Intubasi Endotrakeal

Nyeri tenggorok Suara Serak


(42)

2.11 KERANGKA KERJA

Populasi

Sampel

masuk kamar operasi dipasang alat monitoring TD,HR,EKG,SpO

Kumur Ketamin 40mg dalam atau Kumur Aspirin 300mg dalam NaCl 0,9% 30ml NaCl 0,9% 20ml

2

(berkumur dgn kepala tengadah selama 30 detik)

Premedikasi :Midazolam 0,05 mg/kgBB dan fentanil 2ug/kgBB

Induksi Propofol 2mg/kgBB, Rocuronium 1mg/KgBB

Intubasi endotrakeal

(ETT sdh dilubrikasi dgn water soluble jelly dan diukur tekanan intracuff)

Pemeliharaan : Isofluran O,5 – 1 %, O2 : N2O = 2 : 2

Operasi selesai

Ketorolac 30 mg , suction, kaf dikempiskan

Ekstubasi

Penilaian nyeri tenggorok konversi dengan VAS dan suara serak pada jam ke 0, 2, dan 24 Kriteria eksklusi Kriteria inklusi

5 Menit


(43)

Analisis data

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan uji klinis acak tersamar ganda untuk mengetahui perbedaan keberhasilan obat kumur ketamin dan obat kumur aspirin dalam mengurangi nyeri tenggorok dan suara serak akibat intubasi endotrakeal.

3.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada RSUP. H. Adam Malik, RS.Haji Medan dan RS.Putri Hijau.

3.3 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dimulai pada bulan januari sampai dengan september 2012.

3.4 Populasi penelitian

Populasi penelitian adalah seluruh pasien yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum intubasi endotrakeal posisi supines.

3.5 Sampel

Sampel penelitian adalah bagian dari populasi penelitian yang telah melewati kriteria inklusi dan eksklusi.

Akibat dihitung secara statistik, seluruh sampel dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok A menggunakan obat kumur ketamin dan kelompok B menggunakan obat kumur aspirin. Randomisasi dilakukan dengan memakai tabel angka random dengan menjatuhkan pena pada kertas random, ujung pena merupakan angka mulai urutan. Pilih 2 angka dengan digit ke-11 ke kanan


(44)

membentuk pola berurut dari angka pertama tadi sampai diperoleh sesuai besar sampel yang telah ditentukan. Sesuaikan sekuens pada angka yang terpilih.

3.6 Kriteria Inklusi

a. Pasien berusia 18 - 60 tahun. b. Pasien status fisik ASA 1 atau 2. c. Pasien dengan Mallampati 1-2

d. Akibat mendapat penjelasan bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani informed consent.

e. Lama operasi berkisar 60 menit sampai 240 menit.

3.7 Kriteria Eksklusi

a. Pasien yang telah mendapat analgetik sebelumnya secara teratur.

b. Pasien menderita nyeri tenggorok dan suara serak ataupun infeksi saluran nafas atas sebelum dilakukan operasi.

c. Pasien yang menjalani operasi di rongga mulut dan leher. d. Penggunaan NGT dan atau throatpacks.

e. Pasien yang diketahui alergi terhadap ketamin dan aspirin.

3.8 Kriteria Drop Out

a. Pasien dengan usaha intubasi lebih dari 2 kali.

b. Terjadi luka sewaktu tindakan intubasi yang diketahui secara langsung saat intubasi


(45)

3.9 Besar Sampel

Estimasi besar sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

=

n₁ = n₂ = besar sampel untuk masing-masing kelompok Zα

Z

= nilai Z untuk kesalahan tipe 1 (α) (bila kesalahan tipe 1 (α) = 0,05 untuk hipotesa dua arah), maka Zα = 1,96 (ditetapkan)

β

P₁ = proporsi nyeri tenggorok pasca operasi pada kelompok ketamin (0,264)

= nilai Z untuk kesalahan tipe II (β) (bila β = 0,20 / power penelitian 0,08) maka Zβ = 0,84 (ditetapkan)

P2

P₁ - P₂ = beda proporsi nyeri tenggorok pasca operasi antara kelompok ketamin dan aspirin (0,219)

= proporsi nyeri tenggorok pasca operasi pada kelompok aspirin (0,045)

Dari perhitungan dengan rumus diatas, maka diperoleh besar sampel : n1

=n2

Karena penelitian ini mempunyai kriteria drop out maka sampel ditambah 10-15 % dari keseluruhan sampel. 10 % dari 84 adalah 8,4 maka besar sampel adalah 84 + 8 = 92 orang, dimana 46 orang untuk kelompok obat kumur ketamin dan 46 orang untuk kelompok obat kumur aspirin.

= 42 orang. Sehingga ditetapkan jumlah keseluruhan sampel penelitian ini adalah 84 orang.


(46)

3.10 Informed Consent

Akibat mendapat persetujuan dari Komite Etik, pasien mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang akan dijalani serta menyatakan secara tertulis kesediaannya dalam lembar informed consent.

3.11 Bahan dan Cara Kerja 3.11.1 Bahan

1. Obat kumur ketamin merek Ketalar produksi phzer yang didapat dari 40 mg dalam 30 ml NaCl 0,9% produksi B Braun dan dimasukkan dalam botol berwarna gelap.

2. Obat kumur aspirin 300 mg dalam 20 ml NaCl 0,9% . Pegawai apotik yang membuat obat aspirin tablet 300 mg yg sudah digerus dan dibuat dalam bentuk puyer. Ketika akan digunakan dilarutkan dengan NaCl 0,9% produksi B Braun lalu dimasukkan dalam botol berwarna gelap.

3. Obat-obat yaitu midazolam produksi PT.Dexa Medica , fentanyl produksi Janssen , propofol 1% produksi B Braun, rokuronium produksi PT.Kalbe Farma, ketorolac produksi Hexpharm , prostigmin produksi PT.Kalbe Farma, Sulfas Atropin produksi Indo Farma, dan obat-obatan lain sesuai standar pelaksanaan anestesia umum teknik intubasi.

4. Pipa endotrakeal produksi Rusch, ETT steril ukuran ID 7 mm (untuk perempuan) dan ID 7,5 mm (untuk laki - laki)

5. Laringoskop merek Riester dengan ukuran yang sesuai dengan pasien. 6. Alat pengukur tekanan intrakaf pipa endotrakeal merek Rusch.

7. Stetoskop merek Littmann.

8. Suction kateter l2F merek Pansco.


(47)

3.12. Cara Kerja

1. Semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi, diberikan informed consent. 2. Pasien yang setuju ikut serta dalam penelitian ini selanjutnya dilakukan

randomisasi untuk menentukan pasien masuk kelompok A (obat kumur ketamin) atau kelompok B (obat kumur aspirin).

3. Di ruang operasi pasien dipasang monitor pengukur tekanan darah, nadi, EKG dan saturasi oksigen. Pasien diminta berkumur dengan salah satu obat kumur yang sesuai kelompok selama 30 detik hingga mencapai daerah orofaring.

Kelompok A: Obat kumur ketamin sebanyak 40 mg dilarutkan dalam NaCl 0,9 % 30 ml.

Kelompok B : Obat kumur aspirin sebanyak 300 mg dilarutkan dalam NaCl 0,9% 20 ml.

Kedua obat dikemas dalam botol berwarna dan bernomor. Peneliti tidak mengetahui isi botol tersebut.

4. Akibat selesai berkumur, pasien dipremedikasi dengan menggunakan midazolam 0,05 mg/kgBB dan fentanyl 2ug/kgBB secara intravena.

5. Akibat 5 menit, pasien diinduksi dengan propofol 1% 2 mg/kgBB IV. 6. Intubasi difasilitasi dengan menggunakan rokuronium1 mg/kgBB IV. 7. Bantuan ventilasi dilakukan dengan bantuan sungkup muka.

8. Akibat 1 menit atau akibat pelumpuh otot bekerja sempurna dilakukan intubasi.

9. Tindakan intubasi dilakukan oleh peneliti sendiri, menggunakan pipa endotrakeal yang baru high volume low pressure berukuran ID 7 mm (untuk perempuan) dan ID 7,5 mm (untuk laki-laki).

10.Kedalaman pipa endotrakeal ditentukan dengan mendengarkan suara napas paru kanan sama dengan paru kiri menggunakan stetoskop.

11.Kaf pipa endotrakeal dibasahi dengan water soluble jelly, kaf diisi udara kamar dengan tekanan < 30 cmH2O dan difiksasi dengan plester.


(48)

12.Selama operasi dilakukan kontrol ventilasi dan menjelang akhir operasi pasien sudah bernapas spontan. Pemeliharaan anestesia dilakukan dengan menggunakan N20: 02 = 2 : 2, isofluran 0,5 – 1 % (sesuai dengan kedalaman anestesia), bila diperlukan dapat diberikan tambahan fentanil dan/atau rokuronium.

13.Tiga puluh menit sebelum operasi selesai, pasien diberikan ketorolac 30 mg IV untuk analgetik setelah pembedahan.

14.Penghisapan lendir di trakea dan orofaring dilakukan dengan perlahan dan hati-hati, rnenggunakan suction catheter 12 F tanpa laringoskopi ketika pasien masih dalam pengaruh anestesia. Akibat bersih kaf pipa endotrakeal dikempiskan dan diekstubasi.

15.Jafan napas tetap dijaga dan pasien dibawa ke ruang pemulihan dan diberikan oksigen melalui sungkup muka 8 liter permenit.

16.Penilaian nyeri tenggorok dengan menggunakan derajat nyeri tenggorok dikonversikan dengan VAS dan dinilai juga skor suara serak yang dilakukan tiga kali, pertama di ruang pemulihan akibat pasien ekstubasi (jam ke-0), 2 jam (jam ke-2) dan 24 jam (jam ke-24) seteiah selesai operasi.

17.Bila nilai VAS di ruang pemulihan 4 pasien, maka pasien akan diberikan tambahan analgetik.

3.13 Identifikasi Variabel Variabel Bebas 1. Obat kumur ketamin 2. Obat kumur aspirin

Variabel Tergantung 1. Nyeri tenggorok 2. Suara serak


(49)

3.14 Batasan Operasional

1. Obat kumur ketamin adalah obat kumur ketamin 40 mg dalam 30 ml NaCl 0,9% merupakan obat anestesi yang mempunyai reseptor NMDA dan bekerja efek analgetik dan antiinflamasi di perifer.

2. Obat kumur aspirin adalah obat kumur aspirin 300 mg dalam 20 ml NaCl 0,9% yang mempunya efek analgetik, antiinflamasi, dan antipiretik golongan NSAID yang bekerja menghambat COX-1.

3. Nyeri tenggorok akibat intubasi endotrakeal adalah nyeri inflamasi yang menyebabkan rasa tidak nyaman, rasa gatal di tenggorok dan dapat menimbulkan rasa sakit saat menelan akibat intubasi endotrakeal.

Skor derajat nyeri yang menggunakan VAS akan dikonversikan menjadi Nilai 0 :Tidak ada nyeri tenggorok (VAS 0).

Nilai 1 :Nyeri tenggorok ringan adalah dijumpai nyeri tenggorok, rasa tidak nyaman, gatal ditenggorok namun tidak nyeri saat menelan (VAS 1 – 3).

Nilai 2 :Nyeri tenggorok sedang adalah dijumpai nyeri tenggorok dan nyeri saat menelan. (VAS 4 – 6).

Nilai 3 :Nyeri tenggorok berat adalah dijumpai nyeri tenggorok disertai susah atau tidak dapat menelan. (VAS 7 – 10).

4. Suara serak adalah kompresi kaf pipa endotrakeal terhadap nervus laringeus rekurens ke lamina kartilago tiroid dan bisa juga terjadi paralisis pita suara yang terdengar suara serak .

Penilaian suara serak

Nilai 0 : Tidak didapatkan suara serak

Nilai 1 : Suara serak ringan hanya dirasakan oleh penderita, namun tidak terdengar oleh pemeriksa.

Nilai 2 : Suara serak sedang dapat didengar oleh pemeriksa Nilai 3 : Suara serak berat yaitu afonia


(50)

5. Intubasi endotrakeal adalah teknik memasukkan alat berupa pipa endotrakeal ke dalam saluran pernafasan bagian atas.

6. Berkumur adalah proses berkumur yang dilakukan dengan kepala tengadah yang dilakukan selama 30 detik.

7. Kelas Mallampati adalah merupakan salah satu cara untuk menilai adanya kesulitan saat melakukan tindakan intubasi endotrakeal. Semakin tinggi nilai kelas mallampati, maka kemungkinan terjadinya kesulitan intubasi semakin besar.

Mallampati I : pilar, palatum molle, uvula terlihat.

Mallampati II : palatum molle terlihat, uvula tertutup oleh dasar lidah,

Mallampati III : palatum molle terlihat. Mallampati IV : palatum molle tidak terlihat.

8. Pipa endotrakeal yang dipakai adalah pipa endotrakeal steril terbuat dari bahan polyvinyl chloride dengan tipe kaf high volume low pressure. Untuk laki-laki menggunakan pipa endotrakeal ID 7,5 mm dan perempuan dengan pipa endotrakeal ID 7 mm. Setiap pasien menggunakan ETT yang baru.

9. Ekstubasi yaitu dilakukan dengan syarat subjective yaitu pasien sadar penuh, ikut perintah, dapat mengangkat kepala 5 detik, mencengkram tangan, ada reflek muntah, mendapat analgetik setelah pembedahan, tidak ada perdarahan orofaringeal. Syarat objective kontraksi otot bertahan > 5 detik, Tidal Volume > 6 cc/kg.

10.Jam ke-O adalah saat pasien sudah sesuai untuk dilakukan kriteria ekstubasi dan dapat dilakukan penilaian nyeri tenggorok dan suara serak dimana pasien masih di kamar operasi.

11.Jam ke-2 adalah saat pasien di ruang pemulihan dan dapat dilakukan penilaian nyeri tenggorok dan suara serak.


(51)

3.15.Analisis Data

a. Data yang terkumpul akan diperiksa kembali tentang kelengkapannya sebelum ditabulasi dan diolah kemudian dianalisis dengan program software SPSS versi 15 dan disajikan dalam bentuk tabel, kalimat dan grafik.

b. Data yang terkumpul ditabulasi kedalam master tabel dengan menggunakan software Microsoft office excel 2007

c. Data numerik ditampilkan dalam nilai rata-rata ± standar deviasi, sedangkan data kategorik ditampilkan dalam jumlah (persentase)

d. Hipotesis penelitian diuji dengan menggunakan metode Chi Square. e. Batas kemaknaan yang ditetapkan : 5 %.

f. Interval kepercayaan yang dipakai : 95 % dengan nilai p < 0.05 dianggap bermakna secara signifikan.

3.16. Masalah Etika

1. Sebelum anestesi dan proses penelitian dimulai dipersiapkan alat kegawat daruratan (orofaringeal dan nasofaringeal airway, ambu bag, sumber oksigen, laringoscope, Endotrakeal sesuai ukuran pasien, suction), alat monitor (tekanan darah, EKG, Heart Rate, saturasi oksigen), obat kegawat daruratan (adrenalin, atropine sulfas, lidokain, aminophillin, dexamethason).

2. Bila terjadi kegawatdaruratan jalan nafas, jantung paru dan otak selama anestesi dan proses penelitian berlangsung, maka langsung dilakukan antisipasi dan penanganan sesuai dengan teknik alat dan obat standar seperti yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

3. Sebelum penelitian dilakukan, diberi penjelasan kepada pasien tentang tujuan, manfaat serta resiko dari hal yang terkait dengan penelitian. Akibat itu pasien diminta mengisi formulir kesediaan menjadi subjek penelitian.


(52)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENELITIAN

Metode penelitian dengan desain acak tersamar ganda, dilakukan selama 8 (delapan) bulan dari Januari sampai September 2012 di RSUP.H.Adam Malik Medan, RS.Putri Hijau, RS.Haji Medan, dan RSU.Aceh Singkil. Pasien yang dilakukan dalam penelitian adalah pasien dengan intubasi endotrakeal posisi supines, umur 18 -60 tahun, status fisik ASA 1-2, kelas mallampati 1-2, lama operasi 60 – 240 menit. Diambil 92 pasien dan terdapat 8 pasien yang dikeluarkan dari penelitian karena intubasi lebih dari dua kali sehingga jumlah sampel penelitian 84 pasien. Dari 84 pasien tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok 42 pasien kelompok ketamin kumur dan 42 pasien kelompok aspirin kumur . Pada akhir penelitian sejumlah 84 pasien ini diteruskan dan dianalisis dalam penelitian.

Penilaian nyeri tenggorok yaitu:

Nilai 0 : Tidak ada nyeri tenggorok (VAS 0).

Nilai 1 : Nyeri tenggorok ringan adalah dijumpai nyeri tenggorok, rasa tidak nyaman, gatal ditenggorok namun tidak nyeri saat menelan (VAS 1 – 3). Nilai 2 : Nyeri tenggorok sedang adalah dijumpai nyeri tenggorok dan nyeri saat

menelan. (VAS 4 – 6).

Nilai 3 : Nyeri tenggorok berat adalah dijumpai nyeri tenggorok disertai susah atau tidak dapat menelan. (VAS 7 – 10).

Penilaian suara serak yaitu: Nilai 0 : Tidak didapatkan suara serak

Nilai 1 : Suara serak ringan hanya dirasakan oleh penderita, namun tidak terdengar oleh pemeriksa.


(53)

Nilai 3 : Suara serak berat yaitu afonia

Tabel 1. Karakteristik jenis kelamin, ASA, Mallampati, Umur dan Lama Operasi.

Variabel Ketamin Aspirin Nilai P N % N %

Jenis kelamin Laki-Laki 13 31.0 19 45.2

0.18 Perempuan 29 69.0 23 54.8

ASA 1 13 31.0 15 35.7

0.64 2 29 69.0 27 64.3

Mallampati 1 27 64.3 26 61.9

0.82 2 15 35.7 16 38.1

Rerata SD Rerata SD Umur (Tahun) 38.3 13.5 38.9 14.1 0.69 Lama Operasi (Menit) 139 49.9 125 44.5 0.27

Diagram 1. Karakteristik jenis kelamin, ASA, Mallampati, Umur dan Lama Operasi.


(54)

Dari tabel 1 dan diagram 1 menunjukkan yang mengikuti penelitian berdasarkan jenis kelamin didapati pada kelompok ketamin laki-laki jumlah 13 orang (31%), perempuan jumlah 29 orang (69%). Pada kelompok aspirin laki-laki jumlah 19 orang (45,2%), perempuan jumlah 23 orang (54.8%). Berdasarkan jenis kelamin dengan nilai P = 0,64 berarti secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05). Berdasarkan ASA pada kelompok ketamin ASA 1 jumlah 13 orang (31%) , ASA 2 jumlah 29 orang (69%). Pada kelompok aspirin ASA 1 jumlah 15 orang (35,7%), ASA 2 jumlah 27 orang (64,3%). Berdasarkan ASA dengan nilai P = 0,64 berarti secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05).

Berdasarkan Mallampati pada kelompok ketamin mallampati 1 jumlah 27 orang (64,3%) , mallampati 2 jumlah 15 orang (35,7%). Pada kelompok aspirin mallampati 1 jumlah 26 orang (61,9%) , mallampati 2 jumlah 16 orang (38,1%) Berdasarkan mallampati dengan nilai P = 0,82 berarti secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05).

31,00 69,00 31,00 69,00 64,300 35,700 13,500 49,900 45,200 54,800 35,700 64,300 61,900 38,100 14,100 44,500 00 10 20 30 40 50 60 70 80 La k i-La k i P er em p u a

n 1 2 1 2

Jenis kelamin (P= 0.18)

ASA (P= 0.64)Mallampati (P= 0.82)Umur (Tahun) (P= 0.69) Lama Operasi (Menit) (P= 0.27) P e rse nt a se

Karakteristik Jenis Kelamin, ASA, Mallampati, Umur, & Lama Operasi

Ketamin Aspirin


(55)

Berdasarkan umur pada kelompok ketamin rerata 38,3 (simpang deviasi 13,5), kelompok aspirin rerata 38,9 (SD 14,1) dengan nilai P = 0,69 berarti secara statistik tidak berbeda bermakna (P>0,05).

Berdasarkan lama operasi pada kelompok ketamin rerata 139 menit (simpang deviasi 49,9) dan kelompok aspirin rerata 125 menit (SD 44,5) dengan nilai P = 0,27 maka secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05).

Jadi berdasarkan Chi Square Test menurut karakteristik jenis kelamin, ASA, mallampati, umur maka secara statistic tidak berbeda bermakna (P>0,05) berarti sampel yang diambil adalah homogen dan layak untuk dibandingkan.

Tabel 2. Derajat nyeri tenggorok pada jam ke-0

Derajat Nyeri Tenggorok Jam ke- 0

Ketamin Aspirin

F % F % Nilai P Tidak nyeri 26 61,9 23 54,8 0,278 Nyeri ringan 13 31 10 23,8

Nyeri sedang 3 7,1 8 19,0 Nyeri berat 0 0.0 1 2,4


(56)

Dari tabel 2 dan diagram 2 menunjukkan insiden nyeri tenggorok akibat intubasi endotrakeal pada jam ke -0 bahwa pada kelompok ketamin didapati tidak nyeri 26 orang (57,6%), nyeri ringan 13 orang (51,3%), nyeri sedang 3 orang (7,1%) , tidak ada yang nyeri berat. Pada kelompok aspirin tidak nyeri 23 orang (42,4%), nyeri ringan 10 orang (51,3%), nyeri sedang 8 orang (75%) , tidak ada yang nyeri berat. Pada jam ke-0 dengan nilai P = 0,278 maka secara statistik tidak berbeda bermakna insiden nyeri tenggorok pada kedua kelompok (P>0,05%).

Tabel 3. Derajat nyeri tenggorok jam ke-2

Derajat Nyeri Tenggorok Jam ke

2

Ketamin Aspirin

F % F % Nilai P Tidak nyeri 37 88,1 31 73,8 0,202 Nyeri ringan 5 11,9 10 23,8

Nyeri sedang 0 0.0 1 2,4 Nyeri berat 0 0.0 0 0.0

Diagram 3. Derajat nyeri tenggorok jam ke-2

61,9 54,8 31,00 23,8 7,1 19,00 ,00 2,4 0 10 20 30 40 50 60 70 Ketamin Aspirin P e rse nt a se

Derajat Nyeri Tenggorok pada Jam ke-0

Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat


(57)

Tabel 3 dan diagram 3 menunjukkan insiden nyeri tenggorok akibat intubasi endotrakeal pada jam ke-2 bahwa pada kelompok ketamin didapati tidak nyeri 37 orang (88,1%), nyeri ringan 5 orang (11,9%), tidak dijumpai nyeri sedang dan nyeri berat. Pada kelompok aspirin tidak nyeri 31 orang (73,8%), nyeri ringan 10 orang (23,8%), tidak dijumpai nyeri sedang dan nyeri berat. Pada jam ke-2 dengan nilai P = 0,202 maka secara statistik tidak berbeda bermakna insiden nyeri tenggorok pada kedua kelompok (P>0,05%).

Tabel 4. Derajat nyeri tenggorok jam ke-24

Derajat Nyeri Tenggorok Jam ke

24

Ketamin Aspirin

F % F % P

Tidak nyeri 42 100 41 97,6 0,314 Nyeri ringan 0 0.0 1 2,4

Nyeri sedang 0 0.0 0 0.0 Nyeri berat 0 0.0 0 0.0

Diagram 4. Derajat nyeri tenggorok jam ke-24

88 74 11,900 23,8 ,00 2,400 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Ketamin Aspirin P e rse nt a se

Derajat Nyeri Tenggorok pada Jam ke-2

Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang


(58)

Tabel 4 dan diagram 4 menunjukkan insiden nyeri tenggorok akibat intubasi endotrakeal pada jam ke-24 bahwa pada kelompok ketamin didapati tidak nyeri 42 orang (100%), tidak dijumpai nyeri ringan, sedang dan berat. Pada kelompok aspirin tidak nyeri 41 orang (97,6%), nyeri ringan 1 orang (2,4%) dan tidak dijumpai nyeri sedang dan berat. Pada jam ke-24 dengan nilai P = 0,314 maka secara statistik tidak berbeda bermakna insiden nyeri tenggorok pada kedua kelompok (P>0,05%).

Tabel 5. Perbandingan nyeri atau tidak nyeri pada kedua kelompok

zDerajat nyeri atau tidak nyeri

Ketamin Aspirin

F % F % P

Nyeri 16 38,1 19 45,2 0,507 Tidak nyeri 26 61,9 23 54,8

Diagram 5. Perbandingan nyeri atau tidak nyeri pada kedua kelompok

100 98

,00 2,4

,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00

Ketamin Aspirin

P

e

rse

nt

a

se

Derajat Nyeri Tenggorok pada Jam ke 24

Tidak nyeri Nyeri ringan


(1)

(2)

DATA HASIL PENELITIAN

NO KELOMPOK NAMA UMUR JK MALLAMPA

TI

ASA DIAGNOSA TINDAKAN LAMA OPERASI NYERI TENGGOROK SUARA SERAK

JAM KE-0 JAM KE-2 JAM KE-24 JAM KE-0 JAM KE-2 JAM KE-24

1 B Salman 29 L 1 1 Open ® LT radius fr. Grade II debridement

+ back slab

Debridement + Back Slab 70 0 0 0 0 0 0

2 A Nur Intan 35 P 2 2 Prolap yeyunum ruptur uterus pervaginam Laparotomi 180 1 1 0 1 0 0

3 A Nur Hayati 34 P 2 2 Open phalank medial digiti o/t ® Manus Debridement + ORIF (K wire) 80 0 0 0 0 0 0

4 B Sadri 18 L 1 1 Kontraktur o/t ® elbow + wrist joint Release Kontraktur 60 0 0 0 0 0 0

5 A Musriani 19 P 1 1 Lipoma o/t manus Eksisi 60 0 0 0 0 0 0

6 B Deni

Suhendra

18 L 1 1 Lacerated o/t zigoma Debridement & hecting 90 0 0 0 0 0 0

7 A Sarno 42 L 1 1 Atheroma Cyst Wide excise 100 0 0 0 0 0 0

8 B Siti Nurma 54 P 2 2 Lacerated o/t abdomen debridement + hecting 120 2 1 0 1 0 0

9 B Lika Asmita 18 P 1 1 Lipoma o/t elbow eksisi 80 0 0 0 0 0 0

10 A Cicin 49 P 2 2 Lipoma o/t ® antebracii Wide excise 120 2 1 0 1 0 0

11 A Gio

Pratama

20 L 1 1 Kista Ateroma Eksisi 60 0 0 0 0 0 0

12 B Amida

Bacin

54 L 2 2 Multiple Lipoma Wide excise 120 0 0 0 0 0 0

13 A Suarno 44 L 1 2 CBD Stone Hemicolectomi 200 1 0 0 1 0 0

14 B Sri Nuraini 40 P 1 2 Atonia Uteri Histerectomi 150 1 1 0 0 0 0

15 B Dermawan 45 L 1 2 Ruptur Tendon Repair Tendon 90 0 0 0 0 0 0

16 B Nurlela 30 P 1 1 Multiple FAM Eksisi FAM 70 0 0 0 0 0 0

17 A Sisti

Ningsih

50 P 2 2 Ca (R) Mamae MRM 200 2 1 0 1 0 0

18 A M Fahmi 24 P 1 1 Ginekomasty Mastektomi 120 0 0 0 0 0 0

19 A Fitri 24 P 1 1 Hemangioma o/t Manus Excisi 90 0 0 0 0 0 0

20 B Agustina 30 P 1 2 Osteomafibroma o/t manus Excisi 120 1 0 0 0 0 0

21 B Agus Salim 35 L 2 2 Susp Sarcoma Wide excise 120 0 0 0 0 0 0 intubasi ≥2

kali

22 B Janter 54 L 1 2 Limpoma Wide excise 70 0 1 0 0 0 0

23 A Supriadi 27 L 1 2 Close ® Clavicula Fx ORIF 150 0 0 0 0 0 0

24 A Rusmini 38 P 2 2 Tumor Palpebra Rek.Kel Mata 150 0 0 0 0 0 0


(3)

26 B Ferdi 18 L 1 2 Fx o/t ® Humerus ORIF 160 0 0 0 1 0 0

27 B Purnama 52 P 2 2 Liver Abses Laparotomy 180 1 1 0 0 0 0 intubasi ≥2

kali

28 A Fitri Rinanti 42 P 1 2 Ca Mamae MRM 200 1 0 0 0 0 0

29 A Samsul

Bahri

38 L 1 2 Adeno o/t Zygomaticum Eksisi Biopsi 60 0 0 0 0 0 0

30 A Gentabo 20 L 1 1 Fx.Radialis debridement 80 0 1 0 1 0 0

31 A Nikmawati 30 P 1 1 Close ® Humerus Fx ORIF 180 0 0 0 0 0 0

32 B Jujuren 40 L 1 2 Close introchanter Fx ORIF 160 1 0 0 0 0 0

33 B Dian Safitri 21 P 1 1 Soft Tissue Tumor Excisi 120 0 0 0 0 0 0

34 A Zuraida 35 P 1 2 Tumor Ovarium Laparatomy 180 1 0 0 0 0 0

35 A Riawan 22 L 1 2 Lipoma o/t manus Excisi 70 0 0 0 0 0 0

36 B Mogano 48 L 2 2 Tumor Oculi dex Semieksentrasi Dex 140 1 0 0 0 0 0

37 B Marta 50 P 2 2 Cholelithiasis Cholesistektomy 200 2 1 0 1 0 0

38 B Hadi 32 L 1 2 Soft Tissue Tumor o/tWrist Joint Abdominal Flap 150 1 0 0 0 0 0

39 A Suryati 57 P 2 2 Ca.Mammae MRM 200 1 0 0 0 0 0

40 A Wagiem 42 P 2 2 Phyloides Tumor Mastectomy 90 0 0 0 0 0 0

41 B Nursatia 54 P 2 2 Basalioma Wide excise Rekonstruksi 150 1 1 0 0 0 0 intubasi ≥2

kali

42 A Zuhendri 38 L 1 2 Tumor Intra Abdomen Laparatomy 180 1 0 0 0 0 0

43 B Samiun 42 L 2 2 Proptosis bulbi Recto Bulbar 120 0 0 0 0 0 0

44 B Erikson 19 L 1 2 Skin Los o/t Manus STSG 150 0 0 0 0 0 0

45 A Thisanah 48 P 2 2 CBD Stone Exp CBD 200 1 0 0 0 0 0

46 A Noel

Fernando

18 L 1 1 Skin Loss o/t abdomen STSG 120 0 0 0 0 0 0

47 B Emi 47 P 2 1 Elbow Joint dislocation Open Reduction 120 0 0 0 0 0 0

48 B Masnun 50 P 2 2 Cholelithiasis Cholesistektomi 210 2 1 0 0 0 0

49 B Riana 60 P 2 2 Open subtrochnter ORIF 160 2 1 0 1 0 0

50 A Ahsiah 60 P 2 2 Cholilithiasis Cholesistektomi 200 2 1 0 2 1 0 intubasi ≥2

kali

51 A Supriynsya

h

32 L 1 2 Fx. Clavicula Dex Removal of Implant KW fx.clv d

100 0 0 0 0 0 0

52 B Risman 22 L 1 1 Fx. Clavicula Dex ROI clav.dex 90 0 0 0 0 0 0

53 A Roni Andika 20 L 1 2 Soft Tissue tumor o/t axilla Insisional Biopsi 60 0 0 0 0 0 0


(4)

55 A Westi 49 P 2 2 Cholelithiasis Cholelitotomy 180 1 0 0 1 0 0 intubasi ≥2

kali

56 A Elvi Warda 52 P 1 2 Cholelithiasis Cholelitotomy 200 2 1 0 0 0 0

57 B Ayu Sagita 16 P 1 2 Giant Fibroadenoma Excicional Biopsy 90 0 0 0 0 0 0

58 B Yessi 24 P 1 2 FAM Eksisi FAM 60 0 0 0 0 0 0

59 B Rahmad

Saleh Lbs

60 L 2 2 Fraktur Klavikula Dextra Orif Clavikula Dextra 90 0 0 0 0 0 0

60 A Ade Yuditia

Soraya

16 P 1 1 Mamali Ambrantas Duplex Eksisi Mamali Ambrantas Duplex

150 1 0 0 0 0 0

61 B Reni

Agustina

57 P 2 2 Tendo Sinusitis Rilis Tendon 60 0 0 0 0 0 0

62 A M Arjuan 18 L 1 1 Feruka Multiple Eksisi 60 0 0 0 0 0 0

63 B Suhendra 24 L 1 1 Ablatio Retina OS Explorasi 80 0 0 0 0 0 0

64 A Rosmaria 48 P 1 2 Tumor Subclavicula Kanan Eksisi Tumor 120 0 0 0 0 0 0

65 B Jumiati 58 P 2 2 Gangren Nefrotis Debridement 100 1 1 0 0 0 0 intubasi ≥2

kali

66 B Samsudin 60 L 2 2 SCC Eksisi Luas 90 2 1 0 2 0 0

67 B Rinim 50 L 2 2 Cholilithiasis Cholesistektomy 220 3 2 1 2 1 0

68 A Ruhani 52 P 1 2 Prolaps iris OD Release Kontraktur 180 1 0 0 0 0 0

69 A Narati 47 P 2 2 Ca.Mammae Dex MRM 180 1 0 0 0 0 0

70 B Hanifah 45 P 2 1 Piloides Tumor Simpel Mastektomy 150 1 0 0 0 0 0

71 A Yanti 37 P 2 2 Ca.Mammae Dex MRM 200 1 0 0 0 0 0

72 B Betti

Ginting

30 P 1 2 Ca.Mammae MRM 100 0 0 0 1 0 0

73 A Doni 18 L 2 1 Electrical Burn STSG 150 0 0 0 0 0 0

74 B Ruhani 52 P 2 2 Perforasi CorneaOD Eviscerasi 100 0 0 0 0 0 0

75 A Syanti 39 P 1 2 Ca.Mammae MRM 200 1 0 0 0 0 0

76 B Dedi Taher 42 L 2 2 Closed ® Radius Ulna Fx ORIF Radius 150 1 0 0 0 0 0

77 B Deny 20 L 1 1 Union ® Radius Ulna ROI 100 0 0 0 0 0 0

78 A Nursiah 60 P 2 2 Ca.Mammae Mastektomi 150 1 0 0 0 0 0

79 A Syamsiah 54 P 2 2 Ca.Vulva Radikal Vulvektomi 120 1 0 0 0 0 0 intubasi ≥2

kali

80 B Ny.Budi 46 P 1 2 Ca.Mammae MRM 200 2 1 0 1 0 0

81 A FitriAriani 49 P 1 1 Cataract OD Eksisi cataract 70 0 0 0 0 0 0

82 B Bahrudin 45 P 1 1 Symblepharon OD Symblepharon OD 80 0 0 0 0 0 0


(5)

84 B Rahma Juna

30 P 1 1 Kista Ovarium Kistektomy 120 1 0 0 0 0 0

85 B Surifa 43 P 1 2 Ca.Mammae MRM 150 1 0 0 0 0 0

86 B Siti Aisyah 40 P 1 1 Ca.Mammae Dex MRM 140 1 0 0 0 0 0

87 A Karyati 60 P 2 2 Kista ovarium Kistektomy 100 0 0 0 0 0 0

88 B Nurbuinah 20 P 1 1 Ca.Mammae MRM 220 2 1 0 0 0 0

89 A Zakiah 60 P 2 2 Mioma Uteri Histerectomi 200 1 0 0 0 0 0 intubasi ≥2

kali

90 A Rahma

Pane

23 P 1 2 Mioma Uteri Histerectomi 180 0 0 0 0 0 0

91 A Tina

Herliana

44 P 2 2 Ca.Mammae Dex MRM 150 0 0 0 0 0 0


(6)