Epidemiologi Penyakit Kusta 1. Distribusi dan Frekuensi Penderita Kusta Menurut Orang Distribusi dan Frekuensi Menurut Jenis Kelamin Lesi Kelainan kulit yang mati rasa Penebalan saraf tepi Pencegahan Kecacatan

2.3. Epidemiologi Penyakit Kusta 2.3.1. Distribusi dan Frekuensi Penderita Kusta Menurut Orang

a. Distribusi dan Frekuensi Menurut Jenis Kelamin

Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1, 12 kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak daripada laki-laki. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. 2 Menurut penelitian yang dilakukan Posmaria Naibaho 2001 di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara ditemukan 108 penderita kusta, dengan proporsi penderita laki-laki 61,10 dan penderita perempuan 38,90. 8 Hasil penelitian yang dilakukan Nurlaya Hutahayan 2008 di Rumah Sakit Kusta Hutasalem Laguboti terdapat 125 penderita kusta, dengan proporsi penderita laki-laki 58,40 dan penderita perempuan 41,60. 9

b. Distribusi dan Frekuensi Menurut Umur

Penyakit kusta dapat menyerang semua umur. 12 Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan ± 13 , tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun. 17 Menurut penelitian yang dilakukan Posmaria Naibaho 2001 di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara ditemukan 108 penderita kusta dengan golongan umur terbanyak adalah golongan umur 17-24 tahun proporsi 30,60. 8 Universitas Sumatera Utara Hasil penelitian yang dilakukan Nurlaya Hutahayan 2008 di Rumah Sakit Kusta Hutasalem Laguboti ditemukan 125 penderita kusta dengan golongan umur terbanyak adalah golongan umur 20-39 tahun proporsi 56,80 9

2.3.2. Distribusi dan Frekuensi Penyakit Kusta Menurut Waktu dan Tempat

Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu angka prevalensi 110.000 penduduk. Lebih dari 10.000.000 penderita telah disembuhkan dengan Multidrug Therapy MDT pada akhir tahun 1999 dan 641.091 kasus masih dalam pengobatan pada tahun 2000. 2 Pada tahun 2003, Penderita terdaftar di Indonesia pada akhir Desember 2003 sebanyak 18.312 penderita yang terdiri dari 2.814 penderita kusta tipe PB proporsi 15,36 dan 15.498 penderita kusta tipe MB proporsi 84,64 dengan angka prevalensi 86 per 1.000.000 penduduk yang terdapat di 10 propinsi, yaitu : Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, NAD, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur. 2 Pada tahun 2005 di Sumatera Utara terdapat 286 kasus tercatat penderita kusta yang terdiri 254 orang yang terdiri dari 32 penderita kusta tipe PB proporsi 11,19 dan 254 penderita kusta tipe MB proporsi 88,81. 6 Menurut penelitian yang dilakukan Posmaria Naibaho 2001 di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara ditemukan 108 penderita kusta yang terdiri dari 33 penderita kusta tipe PB proporsi 30,60 dan 75 penderita kusta tipe MB proporsi 69,40. 8 Universitas Sumatera Utara Hasil penelitian yang dilakukan Nurlaya Hutahayan 2008 di Rumah Sakit Kusta Hutasalem Laguboti ditemukan 125 penderita kusta yang terdiri dari 48 penderita kusta tipe PB proporsi 38,40 dan 77 penderita kusta tipe MB proporsi 61,60. 9

2.3.3. Faktor Determinan Penyakit Kusta

2 a. Host Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada Armadillo, Simpanse dan pada telapak kaki tikus yang mempunyai kelenjar Thymus Athymic nude mouse. Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh host sampai saat ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernafasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. Suatu kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatosa yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10 4 -10 7 . Dan telah terbukti bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita tipe Lepromatosa merupakan sumber kuman yang terpenting di dalam lingkungan. Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta 95. Dari hasil penelitian Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Penyehatan Lingkungan Ditjen P2M PL 1996 menunjukkan gambaran sebagai berikut: Dari 100 orang yang terpapar: 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa diobati, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan. Universitas Sumatera Utara Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam satu dari tiga kelompok berikut ini, yaitu : a. Host yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi yang merupakan kelompok terbesar yang telah atau akan menjadi resisten terhadap kuman kusta. b. Host yang mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman kusta, bila menderita penyakit kusta bisanya tipe PB. c. Host yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta yang merupakan kelompok terkecil dan bila menderita kusta biasanya tipe MB. b. Agent Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang pertama kali ditemukan oleh Gerhard Amaeur Hansen pada tahun 1873. Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf Schwan Cell dan sel dari system retikulo endothelial. Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia dalam kondisi tropis kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal dari kuman kusta adalah pada suhu 27 -30 C. Universitas Sumatera Utara

2.4. Klasifikasi Penyakit Kusta

Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka tahap selanjutnya menentukan tipeklasifikasi penyakit kusta yang diderita. Penentuan tipe penyakit kusta pada seorang penderita disebut klasifikasi penyakit kusta. Klasifikasi penyakit kusta bertujuan untuk menentukan jenis dan lamanya pengobatan penyakit, waktu penderita dinyatakan Release from Treatment RFT. 2

2.4.1. Klasifikasi Internasional Madrid,1953:

18 a. Indeterminate I Terdapat kelainan kulit berupa makula berbentuk bulat yang berjumlah 1 atau 2. batas lokasi dipantat, kaki, lengan, punggung pipi. Permukaan halus dan licin. b. Tuberkuloid T Terdapat makula atau bercak tipis bulat yang tidak teratur dengan jumlah lesi 1 atau beberapa. Batas lokasi terdapat di pantat,punggung, lengan, kaki, pipi. Permukaan kering, kasar sering dengan penyembuhan di tengah. c. Borderline B Kelainan kulit bercak agak menebal yang tidak teratur dan tersebar. Batas lokasi sama dengan Tuberkuloid. d. Lepromatosa L Kelainan kulit berupa bercak-bercak menebal yang difus, bentuk tidak jelas. Berbentuk bintil-bintil nodule, macula-makula tipis yang difus di badan, merata di seluruh badan, besar dan kecil bersambung simetrik. Universitas Sumatera Utara

2.4.2. Klasifikasi Ridley-Jopling 1962

18 Klasifikasi ini banyak dipakai pada bidang penelitian yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologi, dan imunologis. a. Tipe Tuberkuloid tuberkuloid TT Lesi berupa bercak makuloanestetik dan hipopigmentasi yang terdapat di semua tempat terutama pada wajah dan lengan, kecuali: ketiak, kulit kepala scalp, perineum dan selangkangan. Batas lesi jelas berbeda dengan warna kulit disekitarnya. Hipopigmentasi merupakan gejala yang menonjol. Lesi dapat mengalami penyembuhan spontan atau dengan pengobatan selama tiga tahun. 19 b. Tipe Borderline Tuberkuloid BT Gejala pada lepra tipe BT sama dengan tipe TT, tetapi lesi lebih kecil, tidak disertai adamya kerontokan rambut, dan perubahan saraf hanya terjadi pembengkakan. 19 c. Tipe Mid Borderline BB Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan beberapa hasil, dan tes lepromin memberikan hasil negatif. Lesi kulit berbentuk tidak teratur, terdapat satelit yang mengelilingi lesi, dan distribusi lesi asimetris. Bagian tepi dari lesi tidak dapat dibedakan dengan jelas terhadap daerah sekitarnya. Gejala-gejala ini disertai adanya adenopathi regional. 19 Universitas Sumatera Utara d. Tipe Borderline Lepromatous BL Lesi pada tipe ini berupa macula dan nodul papula yang cenderung asimetris. Kelainan syaraf timbul pada stadium lanjut. Tidak terdapat gambaran seperti yang terjadi pada tipe lepromatous yaitu tidak disertai madarosis, keratitis, uslserasi maupun facies leonine. 19 e. Tipe Lepromatosa LL lesi menyebar simetris, mengkilap berwarna keabu-abuan. Tidak ada perubahan pada produksi kelenjar keringat, hanya sedikit perubahan sensasi. Pada fase lanjut terjadi madarosis rontok dan wajah seperti singa, muka berbenjol-benjol facies leonine 19 Berikut ini adalah gambar penderita kusta menurut Ridley-Jopling : Gambar 2.2. Penderita Kusta Tipe Tuberkuloid Bordeline Universitas Sumatera Utara Gambar 2.3.Penderita Kusta Tipe Lepramatosa Gambar 2.4. Penderita Kusta Tipe L.L dan B.L. Gambar 2.5. Penderita Kusta Tipe B.B dan B.T. Universitas Sumatera Utara

2.4.3. Klasifikasi WHO 1982 yaitu;

2 a. Tipe PB Pausibasiler Kusta tipe PB adalah penderita kusta dengan Basil Tahan Asam BTA pada sediaan apus, yakni tipe I Indeterminate, TT tuberculoid dan BT borderline tuberculoid menurut kriteria Ridley dan Jopling dan hanya mempunyai jumlah lesi antara 1-5 pada kulit. Kusta tipe PB adalah tipe kusta yang tidak menular. b. Tipe MB Multibasiler Kusta MB adalah semua penderita kuta tipe BB mid borderline, BL borderline lepromatous dan LL lepromatosa menurut kriteria Ridley dan Jopling dengan jumlah lesi 6 atau lebih dan skin smear positif. Kusta tipe MB adalah tipe yang dapat menular. Berikut ini adalah gambar penderita kusta tipe PB dan MB Gambar 2.6. Penderita Kusta Tipe PB Gambar 2.7. Penderita Kusta Tipe MB Universitas Sumatera Utara Dalam menentukan klasifikasi tipe PB dan MB pada kriteria seperti pada table di bawah ini : No. Kelainan kulit hasil pemeriksaan Pausi Basiler PB Multi Basiler MB 1. Bercak makula mati rasa a. Jumlah 1-5 5 b. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil c. Distribusi Unilateral dan bilateral asimetris Bilateral dan simetris d. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat e. Batas Tegas Tidak tegas f. Kehilangan rasa pada bercak Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, Jika ada, terjadi pada yang sudah lanjut g.Kehilangan kemampuan berkeringat, bulu rontok pada bercak Bercak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada bercak Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok pada bercak. 2. Infiltrat a. kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang tidak ada b. Membran mukosa hidung tersumbat, Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang tidak ada Universitas Sumatera Utara perdarahan di hidung 3. Ciri-ciri Central healing penyembuhan di telinga Punched out lesion lesi bentuk donat, madarosis, ginekomasti, hidung pelana, dan suara sengau 4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada 5. Deformitas cacat Biasanya terjadi dini Terjadi pada stadium lanjut 6. Apusan BTA negatif BTA positif 2.5. Reaksi Kusta 2.5.1. Pengertian 2 Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan seluler respon atau reaksi antigen-antibodi humoral respon dengan akibat merugikan penderita, terutama pada saraf tepi yang menyebabkan gangguan fungsi cacat. Reaksi ini dapat terjadi pada penderita sebelum mendapat pengobatan maupun sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai 1 tahun sesudah memulai pengobatan. Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta, misalnya : 1. Penderita dalam kondisi lemah 2. Kurang gizi Universitas Sumatera Utara

2.5.2. Jenis Reaksi

2 Jenis reaksi sesuai proses terjadinya dibedakan atas 2 tipe yaitu: reaksi tipe I dan reaksi tipe II a. Reaksi Tipe I Reaksi reserval, Reaksi Up grading Terjadi pada penderita tipe PB maupun MB dan kebanyakan terjadi pada 6 bulan pertama pengobatan, reaksi tipe I terjadi akibat meningkatnya respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta di kulit dan saraf penderita. Disini terjadi pergeseran tipe kustanya kearah PB. 1 Gejala-gejala Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan lesi kulit, neuritis nyeri tekan pada saraf, gangguan fungsi saraf tepi dan kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita konstitusi. 2 Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipee I ini dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan reaksi berat. 3 Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 6-12 minggu atau lebih. b. Reaksi Tipe II Reaksi ENL= Reaksi Eritema Nodosom Leprosum Terjadi pada penderita tpe MB dan merupakan reaksi humoral, dimana kuman kusta yang utuh maupun tidak utuh menjadi antigen. Tubuh membentuk antibodi dan komplemen Antigen + antibodi + komplemen = immunokompleks. 1 Gejala Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan lesi, neuritis nyeri tekan dan gangguan fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh. Universitas Sumatera Utara 2 Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi berat. 3 Perjalanan reaksi Biasanya berlangsung selama 3 minggu atau lebih. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama.

2.6. Kecacatan Pada Penderita Kusta

2 Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya. Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Namun, orang-orang yang cacat akibat kusta “dicap” seumur hidup sebagai “penderita kusta” walaupun sembuh dari penyakit. Sementara sebenarnya hampir semua cacat dapat dicegah.

2.6.1. Proses terjadinya cacat kusta

2 Terjadinya cacat tergantung dari fungsi saraf, serta saraf mana yang rusak. Kecacatan pada kusta dapat terjadi lewat 2 proses : a. Infiltrasi langsung Mycobacterium leprae kesusunan saraf tepi dan organ misalnya mata b. Melalui reaksi kusta Universitas Sumatera Utara

2.6.2. Tingkat Cacat

2 WHO 1988 membagi tingkat cacat kusta menjadi tiga tingkat, yaitu: a. Tingkat 0 Jika mata , tangan atau kaki tetap utuh, maka dinyatakan tingkat cacat 0 b. Tingkat 1 Jika ada cacat pada mata, tangan atau kaki akibat kerusakan saraf karena penyakit kusta, tetapi cacat itu tidak kelihatan, maka dinyatakan tingkat cacat 1. Anastesi mata tidak dilakukan pemeriksaan. Kelemahan otot masuk cacat 1 kecuali mata. c. Tingkat 2 Jika ada cacat akibat kerusakan saraf dan cacat itu kelihatan borok, luka, jari kiting, lunglai, pemendekan, mata tidak dapat menutup erat, luka pada kornea maka dinyatakan tingkat cacat 2. Yang tidak termasuk hitungan ialah semua cacat atau kelainan pada kulit saja atau yang terjadi bukan akibat penyakit kusta, yaitu : luka biasa pada tangan atau kaki yang tidak mati rasa, alis mata menipis madarosis, hidung pelana, mati rasa selain pada telapak pada kulit umum atau pada bercak; kiting, kelemaham otot atau kehilangan jari yang disebabkan oleh kecelakaan. Universitas Sumatera Utara

2.7. Pencegahan dan Pengawasan

Penyakit kusta adalah penyakit yang memberi stigma yang sangat besar besar pada masyarakat, sehingga penderita kusta menderita tidak hanya kerena penyakitnya saja, juga dijauhi atau dikucilkan oleh masyarakat. Hal tersebut sebenarnya lebih banyak disebabkan karena cacat tubuh yang tampak menyeramkan. Cacat tubuh tersebut sebenarnya lebih banyak disebabkan karena cacat tubuh yang tampak menyeramkan. Cacat tubuh tersebut sebenarnya dapat dicegah apabila diagnosis dan penanganan penyakit dilakukan secara dini. Demikian pula diperlukan pengetahuan berbagai hal yang dapat menimbulkan kecacatan dan pencegahan kecacatan, sehingga tidak menimbulkan cacat tubuh yang tampak menyeramkan. 18 Identifikasi dan pengobatan penderita kusta merupakan kunci pengawasan. Anak- anak dari orang tua yang teinfeksi diberikan kemoprofilaksis dengan sulfon sampai orang tua tidak infeksius lagi. Jika salah satu anggota dalam keluarga menderita lepra lepromatosa, maka profilaksis demikian diperlukan bagi anak-anak dalam keluraga tersebut. 13

2.7.1. Pencegahan Primodial

20 Pencegahan primodial yaitu upaya pencegahan pada orang-orang yang belum memiliki faktor resiko penyakit kusta melalui penyuluhan. Penyuluhan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat oleh petugas kesehatan sehingga masyarakat dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Universitas Sumatera Utara

2.7.2. Pencegahan Primer Primary Prevention

Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan seseorang yang telah memiliki faktor resiko agar tidak sakit.. 20 Tujuan dari pencegahan primer adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor resikonya. 21 Untuk mencegah terjadinya penyakit kusta, upaya yang dilakukan adalah memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, personal hygiene, deteksi dini adanya penyakit kusta dan penggerakan peran serta masyarakat untuk segera memeriksakan diri atau menganjurkan orang-orang yang dicurigai untuk memeriksakan diri ke puskesmas.

2.7.3. Pencegahan Sekunder Secondary Prevention

Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan penyakit dini yaitu mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan menghindari komplikasi. 20 Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mengobati penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan. 21 Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan dengan melakukan diagnosis dini dan pemeriksaan neuritis, deteksi dini adanya reaksi kusta, pengobatan secara teratur melalui kemoterapi atau tindakan bedah. Universitas Sumatera Utara Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok atau “cardinal sign” pada badan, yaitu : 2

a. Lesi Kelainan kulit yang mati rasa

Kelainan kulitlesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan hypopigmentasi atau kemerah-merahan eritematousa yang mati rasa anestesi.

b. Penebalan saraf tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi neuritis perifer. Gangguan fungsi saraf ini bias berupa: a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot Parese atau kelumpuhan Paralise c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak.

c. Ditemukan Basil Tahan Asam

2 Adanya kuman tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit BTA Positif. Pemeriksaan kerokan hanya dilakukan pada kasus yang meragukan. Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda- tanda utama di atas. Apabila hanya ditemukan cardinal sign ke-2 dan petugas ragu perlu dirujuk kepada WASOR atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus yang dicurigai suspek. Universitas Sumatera Utara Tanda-tanda tersangka kusta suspek 1. Tanda-tanda pada kulit a. BercakKelainan kulit yang merah atau putih di bagian tubuh b. Kulit mengkilap c. Bercak yang tidak gatal d. Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut. e. Lepuh tidak nyeri. 2. Tanda-tanda pada saraf a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka. b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka c. Adanya cacat deformitas d. Luka ulkus yang tidak mau sembuh

2.7.4. Pencegahan Tertier Tertiary Prevention

Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi. 20 Rehabilitasi adalah upaya yang dilakukan untuk memulihkan seseorang yang sakit sehingga menjadi manusia yang lebih berdaya guna, produktif, mengikuti gaya hidup yang memuaskan dan untuk memberikan kualitas hidup yang sebaik mungkin, sesuai tingkatan penyakit dan ketidakmampuannya. 22 Pencegahan tertier meliputi: Universitas Sumatera Utara

a. Pencegahan Kecacatan

Pencegahan cacat kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis daripada penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh petugas kesehatan, maupun oleh penderita itu sendiri dan keluarganya. 18 Upaya pencegahan cacat terdiri atas : a. Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi : 1 Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis 2 Pengobatan secara teratur dan adekuat 3 Deteksi dini adanya reaksi kusta 4 Penatalaksanaan reaksi kusta b. Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi : 1 Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka 2 Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur. 3 Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan. 4 Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi. 5 Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot. 2,17 Universitas Sumatera Utara

b. Rehabilitasi