C. Cara Poligami Menurut KHI
KHI singkatan dari Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Inpres No.1 Tahun 1991, di dalam KHI dibahas tentang
perkawinan pada Bab IX dengan judul beristri lebih dari satu orang atau yang lebih populer disebut poligami, dalam KHI dibahas tentang poligami terdapat
pasal 55, 56, 57, 58 dan 59.
73
Dalam pasal 55 menyebutkan bahwa bagi suami yang akan beristri lebih dari satu terbatas hanya sampai empat orang dan syarat utamanya adalah suami
harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Apabila syarat utama ini tidak dapat dipenuhi, maka suami dilarang beristri lebih dari seorang.
74
Selanjutnya dalam pasal 56 menerangkan, apabila seorang suami yang akan beristri lebih dari satu orang, maka ia wajib mengajukan secara tertulis ke
Pengadilan Agama dan harus mengikuti prosedur yang diatur dalam bab VIII Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Apabila perkawinan yang dilakukan
tanpa izin dari pengadilan agama maka tidak mempunyai kekuatan hukum.
75
Dapat dilihat dari pasal 55 dan 56 di atas, KHI sepertinya tidak berbeda dengan undang-undang perkawinan serta termasuk didalamnya semangat fiqih.
73
Ahmad Kuzairi, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. Ke-1, h. 120.
74
Pasal 55 KHI
75
Pasal 56 KHI
Namun pada dasarnya peluang yang diberikan untuk poligami juga terbuka lebar. Demikian, kontribusi KHI hanya sebatas tata cara prosedurnya
permohonan poligami.
76
Di dalam pasal 57 menjelaskan tentang alasan-alasan pengadilan agama mengizinkan seorang suami melakukan poligami. Terdapat pada pasal 57 KHI,
pengadilan agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari satu apabila terdapat alasan-alasan sebagai seberikut:
1. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dapat dilihat dalam pasal 57 ini syarat untuk mendapat izin dari pengadilan agama harus memenuhi syarat yang diatas dimana syarat tersebut sama persis
dengan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan.
77
Dalam pasal 58 yang berbunyi sebagai berikut: 1 Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat 2 maka untuk
memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
76
Amiur Nuruddin Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2004, Cet. Ke-4, h. 167.
77
Pasal 57 KHI
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister- isteri dan anak-anak mereka.
2 Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara
tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang
Pengadilan Agama. 3 Persetujuan dimaksud pada ayat 1 huruf a tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian karena istri
tersebut menghilang atau tidak ada kabar sekurang-kurangnya dua tahun, atau sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
78
Apabila seorang istri tidak memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk suami beristri lagi maka berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur
dalam pasal 55 ayat 2 dan pasal 57, pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di
persidangan pengadilan agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
79
78
Pasal 58 KHI
79
Pasal 59 KHI
Terlihat pada pasal 59 di atas mengisyaratkan betapa besarnya wewenang pengadilan agama dalam memberikan suatu izin, sehingga istri yang tidak mau
memberikan persetujuan kepada suami yang ingin berpoligami dapat diambil alih oleh pengadilan agama. Namun dapat dilihat dari pasal-pasal di atas yang
hampir semuanya isi mengadopsi dari Undang-Undang No.1 tahun 1974.
80
D. Cara Poligami Menurut UU No.1 Tahun 1974