Bagaimana Cara Poligami Menurut Hukum Islam

BAB III PANDANGAN HUKUM TENTANG CARA POLIGAMI

A. Bagaimana Cara Poligami Menurut Hukum Islam

Poligami dalam Islam merujuk kepada Al-Quran yang menjadi legalitas seseorang berpoligami yaitu surat An-Nisa ayat 3 dan ayat 129 56 . Dimana ayat 3 berbunyi;                                ء اسنلا  :  ٣ Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. An-nisa:3 57 Ayat di atas tersebut memberikan syarat untuk berlaku adil bagi laki- laki yang ingin berpoligami, serta memberi batas berpoligami yaitu hanya sampai empat saja. Dalam islam seseorang yang ingin beristri lagi hanya 56 Evi Muafiah, Poligami Dalam Tafsir Ulama, Ponorogo: Stain Ponorogo Press, 2008, Cet. Ke-1, h. 25. 57 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2007, Cet. Ke-1, h. 133. dibebankan dengan dua syarat yang mutlak yaitu pertama mampu atau yakin dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya. Kedua jumlahnya dibatasi sampai empat saja. 58 Dalam syarat pertama yaitu mampu berlaku adil dalam surat An-Nissa ayat 3 dimana berlaku adil dalam ayat ini yaitu berlaku adil bagi anak yatim, berlaku adil disini yaitu berlaku adil dalam urusan harta seperti yang telah diriwayatkan bahwa turunnya surat An-Nissa ayat 3 ini dikisahkan dalam tafsir Aisyah r.a. 59 , ayat ini turun karena menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair kepada Aisyah istri Nabi Saw, “ Wahai anak saudara perempuanku, yatim disini dimaksudnya anak perempuan yatim yang berada di bawah asuhan walinya mempunyai harta kekayaan bercampur dengan harta kekayaan serta kecantikannya membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya,lalu ia ingin menjadikannya sebagai istri, tetap tidak mau memberikan mas kawin dengan adil, yaitu memberikan mas kawin yang sama dengan perempuan lainnya.. oleh karena itu pernikahan seperti itu dilarang kecuali kalau mau berlaku adil. 60 Namun syarat yang pertama itu juga terdapat dalam surat An-Nissa ayat 129 yang berbunyi: 58 Rodli Makmun, DKK, Poligami Dalam Tafsir Muhammad Syahrur, Ponorogo: Stain Ponorogo Press, 2009, Cet. Ke-1, h. 19. 59 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, h. 142. 60 M.A. Tihami, Fikih Munakahat, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2009, h. 368.                         ءاسنلا : ۲۱٩ Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. An-Nissa: 129 61 Dalam ayat 129 di atas yang dimaksud berlaku adil ialah berlaku adil dalam urusan hati. Abu Bakar bin Araby mengatakan bahwa memang benar apabila keadilan dalam cinta itu berada diluar kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu adanya didalam genggaman Allah Swt, yang mampu membolak baliknya menurut kehendaknya. 62 Jadi dapat diambil kesimpulan dari surat An-Nissa ayat 3 dan ayat 129 bahwa dalam mampu berlaku adil yang menjadi syarat berpoligami itu ialah mampu berlaku adil dalam urusan harta seperti pembagian jatah uang kepada istri-istri, namun dalam masalah hati manusia tidak mungkin bisa berlaku adil karena masalah hati urusan Allah Swt. 61 Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rosulullah Saw, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993, Cet. Ke-1. h. 14 62 M.A. Tihami, Fikih Munakahat, h. 363. Di kalangan para ahli hukum Islam fuqaha, seperti Malik ibn Anas, asy- Syafi`i , as-Sarakhsi, Ibn Mas`ud al-Kasani Ulama Hanafiyah dan Ibn Qudamah Ulama Hanabilah poligami diperbolehkan bagi seorang suami yang hendak melakukannya, dengan syarat sebagaimana ditetapkan al- Qur’an, yaitu; 1 tidak melebihi dari empat orang isteri sebagai batas maksimal toleransinya. 2 memiliki kemampuan untuk menafkahi para isterinya dan kemampuan berlaku adil di antara mereka. Adapun konsep adil dalam poligami menurut Imam empat Madzhab adalah, menurut Imam Syafe’i adil dalam poligami yaitu Dalam hal keadilan, asy- Syafi`i menambahkan bahwa keadilan itu bersifat materi bukan immateri cinta dan kasih sayang yang terkait dengan perasaan hati. Karena keadilan immateri sangat sulit diwujudkan maka keadilan yang mungkin dapat direalisasikan oleh manusia adalah bersifat fisik, yaitu perbuatan dan perkataan. Penafsiran yang demikian ini dibenarkan oleh ayat yang lain; Al-Ahzab 33:50 dan An- Nisa’ 4:19. Menurut Imam Hambali, konsep adil dalam poligami adil berkonsisten dengan ajaran agama, dalam perkataan dan perbuatan. Menurut Imam Hanafi konsep adil adalah konsisten menjalankan perintah agama, lebih dahulu mempertimbangkan akal dalam mengambil suatu keputusan dibandingkan hawa nafsu. Sedangkan menurut Imam Maliki, adil adalah melakukan kebaikan tanpa harus ada yang dirugikan. 63 Berbeda dengan pandangan para ahli hukum Islam di atas, kalangan mufassir kontemporer, seperti Mahmoud Muhamed Taha, Muhammad Abduh, Qasim Ahmad modernis Mesirdan lainnya justru mengarah pada larangan poligami. Menurut Taha, ajaran murni dalam Islam adalah monogami, dengan tanpa perceraian. Larangan poligami sebenarnya sudah tersirat pada An-Nisa ayat 3 yang dipertegas dengan ayat 129 yang menyat akan: “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berbuat adil, maka kawinilah seorang perempuan saja”. Namun karena Islam turun pada masyarakat yang tidak menghargai perempuan dan seorang laki-lakinya dapat menikahi lebih dari sepuluh perempuan, maka syariah Islam membolehkan poligami secara terbatas, meskipun tidak secara langsung menganjurkan monogami karena kondisi masyarakat yang tidak memungkinkan Berbeda dengan keduanya, Syahrur ulama dari kairo justru berpendapat bahwa sesungguhnya Allah tidak hanya sekedar memperbolehkan poligami, akan tetapi sangat menganjurkannya dengan dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, istri kedua, ketiga dan keempat harus seorang janda yang memiliki anak yatim. Kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak yatim. Bila kedua syarat di atas tidak dipenuhi maka gugurlah perintah poligami atas dirinya. Syahrur tidak setuju bila konsep adil dalam ayat ini dimaksudkan 63 “ Konsep Adil Menurut Imam Empat Madzhab “ diakses pada tanggal 12 Januari 2011 dari harysaputrapaw.blogspot.com sebagai adil dalam menggilir nafkah batin al-qasam li ad-dukhul. Ayat ini menurutnya, berkenaan dengan konsep keadilan sosial kemasyarakatan yang terkait dengan anak yatim, bukan keadilan pembagian jatah kebutuhan biologis. Dengan demikian, poligami itu tidak hanya berarti menjadikan ibu-ibu anak yatim sebagai isteri kedua dan seterusnya, tetapi juga berarti menjadikan anak- anak yatim sebagai anak yang berhak mendapatkan pendidikan dan nafkah finansial. Asghar Ali Engineer, dalam bukunya, The Rights of Women in Islam, menyatakan bahwa poligami bersama pergundikan adalah sarana pelampiasan nafsu seksual yang bernaung di bawah hak kepemilikan milk al-yamin. Keduanya bukan ajaran murni Islam tetapi sudah menjadi tradisi umat manusia selama berabad-abad sebelum kedatangan Islam. Menurut Asghar, poligami merupakan pintu darurat bagi sekelompok laki-laki yang benar-benar terdesak untuk mendapatkan sesuatu dalam perkawinan yang tidak diperoleh dari isterinya yang pertama. Ia tidak mendapatkan kesenangan dan ketenangan jiwa sakinah sebagaimana disebutkan dalam al- Qur’an. Sehingga ia terdorong untuk mencari kepuasan dan kesenangan di luar cara-cara yang legal dan sah, yaitu perkawinan. Dengan demikian, poligami tidak dianjurkan atau diwajibkan, tetapi juga tidak dilarang oleh Islam. Asghar menolak pandangan kalangan tradisionalis yang melegalkan hubungan seksual tanpa akad nikah dengan budak- budak perempuan dan tawanan perang perempuan yang dimiliki seseorang pergundikan. Setiap hubungan seksual harus diperoleh dengan cara legal dan sah, yaitu dengan akad. 64 Menengahi perdebatan di atas, seorang mufassir Indonesia, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa al- Qur’an tidak pernah membuat peraturan tentang poligami, baik mewajibkan atau pun menganjurkannya. Karena praktek poligami telah berjalan jauh sebelum Islam datang. Dispensasi poligami tidak lain merupakan sebuah darurat kecil yang hanya bisa dilalui pada saat sangat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak mudah. Jika demikian halnya, maka pernyataan al- Qur’an tentang poligami hendaknya tidak dilihat terbatas pada segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi juga harus dilihat dari sudut pandangan pengaturan hukum, dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi. Maka dari itu, wajar bagi satu perundang-undangan terlebih Islam sebagai agama universal dan berlaku setiap waktu dan kondisi untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh jadi terjadi pada satu ketika, walaupun kejadian itu hanya merupakan kemungkinan. Dalam pandangan Quraish Shihab, menutup rapat melarang poligami atau sebaliknya membuka lebar-lebar peluang poligami adalah kurang bijaksana kurang logis. Ada beberapa alasan atau kondisi poligami diperbolehkan, seperti mandul, sakit parah yang tidak memungkinkan hubungan biologis, dan kondisi-kondisi lain yang menyerupai hal itu. 64 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al- Qur’an, cet. 1 Jakarta: Paramadina, 1999, h. 94 Fazlur Rahman mengatakan poligami merupakan perkawinan yang bersifat kasuistik dan spesifik untuk menyelesaikan masalah yang ada saat itu, yakni tindakan para wali yang tidak rela mengembalikan harta kekayaan anak yatim setelah anak itu menginjak usia cukup umur balig. Rahman tidak setuju dengan formulasi para modernis lain yang menggunakan QS. 4:3 dan 129 sebagai dasar asas perkawinan Islam adalah monogami, yakni dengan logika berpikir, al- Qur’an membolehkan poligami dengan syarat berlaku adil, tetapi disebut bahwa manusia tidak mungkin dapat berlaku adil terhadap para isterinya. Mungkin esensinya benar, bahwa al- Qur’an menghendaki asas monogami, tetapi formulasi modernis kurang meyakinkan. Sebab dengan konsep demikian terkesan ditemukan kontradiksi dalam al- Qur’an. Menurut Rahman, bolehnya poligami hanya bersifat temporal, dan tujuan akhirnya adalah menghapuskannya. Hal ini sejalan dengan tujuan al- Qur’an untuk menegakkan keadilan sosial social justice, umumnya kepada masyarakat secara menyeluruh, dan terutama komunitas perempuan. Atas dasar itu, pengakuan dan kebolehan poligami hanya bersifat ad hoc, untuk menyelesaikan masalah yang terjadi saat itu. 65 Dengan demikian laki-laki yang akan beristri lebih dari seorang atau bahasa populernya poligami dengan cara islam hanya harus memenuhi syarat utama yaitu berlaku adil dalam urusan harta dan syarat kedua yaitu hanya dibatasi empat istri saja. 65 Haifa A. Jawad, The Rights of Women in Islam: An Authentic Approach, h. 146.

B. Cara Poligami Menurut PP No. 45 Tahun 1990