Pandangan hukum islam terhadap tata cara poligami bagi PNS dan waraga sipil di Indonesia (PP No. 45 TH 1990, KHI dan UU No. 1 TH 1974)

(1)

i Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

K A H F I

106043201275

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

ii Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh: K A H F I 106043201275

Di Bawah Bimbingan,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. KH. A. Juaini Syukri, Lcs, MA Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH NIP. 195507061992031001 NIP. 196911211994031001

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

iii

dan UU No. 1 Th 1974) ”. Telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 22 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada program study Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH).

Jakarta, 22 Desember 2010 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA (...) NIP. 195703121985031003

Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, SAg, MSi (...) NIP. 197412132003121002

Pembimbing I : Dr.H.A. Juaini Syukri, Lcs, MA (...) NIP. 195507061992031001

Pembimbing II : Drs.H.Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH (...) NIP. 196911211994031001

Penguji I : Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA (...) NIP. 150294051

Penguji II : Dr. Euis Amalia, MAg (...) NIP. 197107011998032002


(4)

iv Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (SI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil karya orang lain atau menjiplak dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 Desember 2011


(5)

v

Syukur alhamdulullah saya panjatkan kehadirat-Nya Allah SWT. Akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselasaikan oleh penulis dengan kerja keras dan diiringi do’a, dan berkat rahmat dan hidayah dari Allah SWT yang telah memberikan kesehatan kepada penulis. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa risalah kepada kebenaran untuk umat Islam khususnya.

Skripsi ini merupakan sebuah karya penulis dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak pengalaman yang sangat berharga dan mendapatkan bantuan baik meteril maupun non materil.

Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga yang telah berjasa dan yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.

2. Dr. H. Muhammad Taufiki, MAg, selaku ketua program study Perbandingan Mazhab dan Hukum, serta bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, SAg, Msi, selaku sekretaris program study Perbandingan Mazhab dan Hukum.

3. Dr. H. A. Juaini Syukri, Lcs, MA dan Drs. H. Asep Syarifudin Hidayat, SH. MH, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis.

4. Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA dan Dr. Euis Amalia, MAg, selaku penguji sidang munaqasyah yang telah memberi arahan dan saran kepada penulis.


(6)

vi

do’a yang tak putus-putus dan dukungan secara terus-menerus dalam penyusunan skripsi ini

sehingga dapat terselesaikan saya ucapkan banyak-banyak terima kasih.

7. Untuk nyai saya em’me Hj.Suryanah dan Hj.Hapsah yang telah memberikan doa yang tak putus-putus saya ucapkan banyak-banyak terima kasih.

8. Untuk mpok dan adik-adikku wabil khusus Jundiah yang telah memberikan bantuan materi dan non materi, selalu memberikan dukungan dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. 9. Untuk istri Nenk Lie yang rela mengorbankan waktunya serta ego-nya dan telah memberikan

doa dan dukungannya, sehingga skripsi ini terselesaikan saya ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya dan kecupan sayang.

10.Untuk mertua saya Bapak dan Ibu, Drs. Suhendar & Minarni yang telah memberikan doa serta dukungannya saya ucapkan banyak-banyak terima kasih.

11.Untuk kawan-kawan seperjuangan yang telah membantu Lay, Kicunk, Fajrul, Ros, Boyo dan kawan-kawan yang turut membantu dalam kelancaran penyusunan skripsi ini yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu.

12.Untuk pihak-pihak yang telah membantu yang tidak dapat saya sebutkan semua saya ucapkan terima kasih.

Jakarta, 22 Desember 2010


(7)

vii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Study Review ... 8

E. Manfaat Penelitian ... 9

F. Metode Penelitian ... 10

G. Teknik Penulisan ... 10

H. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II : SEKILAS MENGENAI POLIGAMI DAN PNS A. Pengertian Poligami ... 12

B. Sejarah Tentang Poligami ... 15

C. Dalil-dalil Poligami ... 20


(8)

viii

BAB III : PANDANGAN HUKUM TENTANG CARA BERPOLIGAMI

A. Poligami Menurut Hukum Islam dan Konsep Adil Menurut

Imam Empat Madzhab ... 28

B. Poligami Menurut PP No 45 Thn 1990 ... 36

C. Poligami Menurut KHI ... 39

D. Poligami Menurut UU No 1 Thn 1974 ... 42

E. Perbedaan dan Persamaan Cara Poligami Menurut Hukum Islam, PP No 45 Th 1990, KHI dan UU No 1 Thn 1974 ... 46

F. Kenapa Ada Perbedaan Tentang Cara Poligami Bagi PNS Warga Sipil ... 57

BAB IV : HASIL PENELITIAN A. Analisa Penelitian ... 58

B. Sanksi Melakukan Poligami Menurut Hukum Islam Diluar Peraturan Pemerintah 1. PNS ... 62

2. Warga Sipil ... 63

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 64


(9)

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Di indonesia banyak pelaku poligami sebagaimana poligami merupakan salah satu isu yang disorot tajam kalangan feminis, tak terkecuali feminis islam, feminis sendiri adalah suatu gerakan untuk mendapatkan hak untuk perempuan dengan prinsip bahwa perempuan mempunyai hak dalam politik, sosial, dan ekonomi yang setara dengan laki-laki. Feminisme juga berarti suatu kesadaran terhadap penindasan dan perampasan terhadap perempuan ditengah masyarakat, tempat kerja, dan keluarga. Dan kesadaran oleh perempuan atau laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.1 Sedangkan kata Poligami adalah isyarat islam yang merupakan sunah Rasulullah SAW tentunya dengan syarat sang suami memiliki kemampuan untuk adil diantara para isteri dan terbatas empat saja.

Poligami merupakan sistem yang manusiawi, karena dapat meringankan beban masyarakat yaitu dengan melindungi wanita yang tidak bersuami dan menempatkannya ke shaf para isteri yang terpelihara dan terjaga.2

Oleh karena itu disyariatkan perkawinan dalam Islam agar ketika manusia telah sampai pada masa untuk saling mengenal antar lawan jenis tidak sampai

1

M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, (Malang:UIN Malang Pers, 2008), h. 247

2 Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), h. 5


(11)

terjerumus ke dalam hal-hal yang dilarang oleh agama. Oleh karena itu Islam memberikan pengaturan yang benar terhadap masalah keluarga, yakni tiga puluh persen dari ayat mengatur tentang hukum kemasyarakatan berjumlah 229 ayat.3

Dalam pembahasan tentang poligami ini banyak orang yang salah paham tentang poligami ini, banyak orang yang mengira bahwa poligami itu baru dikenal setelah Islam ada, mereka menganggap bahwa Islamlah yang membawa ajaran tentang poligami. Bahkan ada yang menganggap bahwa kalau bukan karena Islam poligami tidak akan dikenal dalam sejarah kehidupan manusia, padahal sudah berabad-abad lamanya sebelum Islam diwahyukan masyarakat dibelahan dunia sudah mengenal dan mempraktikkan poligami.4

Sebagian orang berbicara tentang poligami, seakan-akan Islam merupakan yang pertama kali mensyari'atkan itu. Ini adalah suatu kebodohan dari mereka atau pura-pura tidak tahu tentang sejarah. Sesungguhnya banyak dari umat dan agama-agama sebelum Islam yang memperbolehkan menikah dengan lebih dari satu wanita, bahkan mencapai berpulah-puluh orang atau lebih, tak ada persyaratan dan tanpa ikatan apa pun.

Di dalam Injil Perjanjian Lama diceritakan bahwa Nabi Dawud mempunyai istri tiga ratus orang, dan Nabi Sulaiman mempunyai tujuh ratus orang istri.

3

Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, ( Malang: UIN Malang Pers, 2008), h. 5

4


(12)

Ketika Islam datang, maka dia meletakkan beberapa persyaratan untuk bolehnya berpoligami, antara lain dari segi jumlah adalah maksimal empat. Sehingga ketika Ghailan bin Salamah masuk Islam sedang ia memiliki sepuluh isteri, maka Nabi SAW bersabda kepadanya, "Pilihlah dari sepuluh itu empat dan ceraikanlah sisanya." Demikian juga berlaku pada orang yang masuk Islam yang isterinya delapan atau lima, maka Nabi SAW juga memerintahkan kepadanya untuk menahan empat saja.

Perkembangan poligami dalam sejarah kehidupan manusia mengikuti pola pandangan masyarakat terhadap kedudukan perempuan, dan dalam tumbuh berkembangnya tentang permasalahan poligami tergantung pada keadaan yang tumbuh di dalam masyarakat dan hal tersebutlah yang kebanyakan menjadi alasan seseorang untuk melakukan poligami, dan maraknya pelaku poligami di lihat dari pola pikir masyarakat yang menilai masalah poligami dan menilai tentang keberadaan perempuan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. ketika masyarakat menganggap perempuan itu hina maka poligami akan menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat yang manganggap perempuan secara terhormat praktek poligamipun berkurang.

Jadi perkembangan poligami itu pasang surut mengikuti cara pandang masyarakat terhadap poligami.5

5

Anik Faridha, Menimbang Dalil Poligami, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008), h. 6-7


(13)

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar banyak orang membicarakan tentang poligami, banyak masyarakat indonesia yang melakukan poligami tidak pandang usia para pelaku poligami mulai dari usia muda sampai yang tua, baik orang kaya maupun orang miskin hampir tidak bisa kita pungkiri sampai para pejabat publik maupun pemerintahan dan dari kalangan artis, yang semua itu merupakan publik pigur dalam masyarakat. Sebenarnya yang utama di dalam masalah pernikahan adalah cukup dengan satu isteri karena ingin menjaga ketergelinciran, dan karena takut dari kepayahan di dunia dan siksaan di akhirat, maka sesungguhnya di sana ada pertimbangan-pertimbangan yang manusiawi, baik secara individu ataupun dalam skala masyarakat sebagaimana yang kami jelaskan. Islam memperbolehkan bagi seorang Muslim untuk menikah lebih dari satu (berpoligami), karena Islam adalah agama yang sesuai dengan fithrah yang bersih, dan memberikan penyelesaian yang realistis dan baik tanpa harus lari dari permasalahan.6

Melakukan poligami seperti yang dilakukan oleh K.H Abdullah Gymnastiar di ujung tahun 2006, dimana masyarakat yang mendukung poligami berkelit dengan argumen yang demikian bahkan tidak mengherankan bila kemudian dalil-dalil agama pun dijadikan sebagai dasar legitimasi, terhadap praktek poligami pada bagian masyarakat yang lain terutama kaum ibu-ibu yang menjadi pendengar setia ceramah K.H Abdullah Gymnastiar, merasa terkhianati dengan memprotes keras praktek


(14)

poligami yang dilakukan oleh da’i kondang tersebut, sebelumnya da’i kondang tersebut menyebutkan bahwa poligami dapat dilakukan dalam kondisi atau keadaan yang darurat, ibarat kapal yang mengalami kerusakan mesin maka ia harus mendarat secara darurat tentunya lewat pintu darurat, padahal waktu itu rumah tangga K.H Abdullah Gymnastiar belum masuk katagori dalam keadaan yang darurat, di Indonesia sudah banyak para pelaku poligami dari semua kalangan, memang poligami dalam ajaran islam tidak dilarang sehingga menyebabkan masyarakat di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim yang merupakan negara islam terbesar di dunia sehingga banyak masyarakatnya yang melakukan poligami. Baru– baru ini di Indonesia telah ada klub komunitas poligami yang dimana para anggotanya wajib harus berpoligami.7

Padahal di Indonesia masih banyak yang menentang para pelaku poligami khususnya para kaum wanitanya, sehingga banyak para pelaku poligami melakukannya secara diam-diam agar bisa terlaksananya poligami itu, bila para pelaku poligami melakukannya secara diam-diam ini apakah tidak melanggar sistem hukum di indonesia.8 Dimana para pelaku poligami ini bisa melakukan penipuan berupa memalsukan identitas, akta perkawinan dan lain-lain yang dimana bisa dijerat dengan pidana, namun masyarakat awam masih banyak yang belum mengetahui

7

www.poligamiindonesia.com/

8

Setiati, Eni, Hitam Putih Poligami; Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah Fenomena, (Jakarta:Cisera Publishing, tth), h. 12


(15)

seperti apa sistem yang mengesahkan seorang itu berpoligami baik dalam islam maupun hukum positif.

Bahkan dari data departemen agama tingkat perceraian dengan alasan poligami dari tahun ketahun meningkat, mulai tahun 2004 dengan 813 kasus perceraian, tahun 2005 879 kasus perceraian dan pada tahun 2006 dengan 983 kasus perceraian, ini membuktikan bahwa tingginya perceraian dengan alasan poligami.9

Namun dalam kenyataannya di masyarakat banyak fenomena masyarakat yang melakukan poligami, tidak sesuai dengan hukum positif yang berlaku tentang poligami. Apakah ada sangsi bagi para pejabat yang melakukan poligami diluar sistem hukum positif, apa dampak yang timbul dengan menggunakan sistem poligami hukum positif bagi hukum islam serta sebalikanya dampak yang timbul dalam hukum islam bagi pelaku yang menggunakan poligami yang diberlakukan menurut hukum positif di Indonesia serta dampak yang timbul dalam masyarakat itu seperti apa .10

Berdasarkan uraian tertulis di atas serta pentingnya mengetahui bagaimana cara berpoligami yang benar menurut syariat Islam dan hukum poositif dan berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi yang berjudul: “ Pandangan Hukum Islam Terhadap Tata Cara Poligami Bagi

9“ Data DEPAG tentang poligami dari tahun ketahun” diakses pada tanggal 15 januari 2011

dari www.bimaislam.net

10


(16)

PNS dan Warga Sipil di Indonesia (PP No. 45 Th 1990, KHI, dan UU No. 1 Th 1974 ).

B. Batasan dan Rumusan Masalah Batasan Masalah

Agar peneliti tidak mengalami perluasan dalam pembahasan yang akan diteliti maka penulis membatasi penelitiannya pada masalah tentang pandangan hukum Islam dalam pelaksanaan izin poligami bagi PNS (pegawai negeri sipil) dan warga sipil, dalam kajian PP No. 45 Tahun 1990, UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI (kompilasi hukum Islam).

Rumusan Masalah

Agar dalam melakukan penelitian masalah ini lebih mudah dan terarah kepada permasalahannya, maka penulis perlu merumuskan permasalahannya ke dalam beberapa hal sebagai berikut:

1. Bagaimana prosedur melakukan poligami menurut hukum islam, KHI, PP No. 45 Tahun 1990 dan UU No. 1 Tahun 1974?.

2. Apa perbedaan dan persamaan prosedur poligami menurut hukum islam dengan KHI, PP No 45 Tahun 1990 dan UU No1 Tahun 1974.

3. Apa sanksi PNS yang melakukan poligami diluar PP No.45 Tahun 1990 C. Tujuan Penelitian


(17)

1. Untuk mengetahui cara melakukan poligami menurut hukum islam, KHI, PP No.45 Tahun 1990 dan UU No.1 Tahun 1974.

2. Untuk mengetahui Kenapa PNS yang ingin berpoligami diatur khusus.

3. Untuk mengetahui Bagaimana sanksi orang yang melakukan poligami baik warga sipil dan PNS diluar KHI dan PP No. 45 Tahun 1990.

4. Untuk mengetahui Apa perbedaan poligami menurut hukum islam dengan KHI, PP No 45 Tahun 1990 dan UU No1 Tahun 1974.

D. Study Review

Syahroni, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul Pembagian Harta Warisan dalam Perkawinan PoligamiMenurut KHI dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Dalam hasil penelitiannya bahwa dalam melakukan poligami seorang suami harus memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi, apakah suami tersebut dapat memenuhinya atau tidak, apabila suami tersebut merasa tidak mampu maka harus dipertimbangkan kembali untuk melakukan poligami.

Dan yang paling utama adalah dalam pelaksanaan poligami di Indonesia adalah pengadilan dapat mengambil keputusan apakah seorang suami tersebut dapat atau boleh berpoligami atau tidak.

Skripsi selanjutnya adalah ”Poligami Tanpa Izin Istri Pertama menurut

Perspektif Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974” yang di susun oleh Islamiyah pada tahun 2006. Kajian skripsi ini membahas urgensitas izin poligami dari pihak istri terdahulu dalam perbandingan perspektif hukum positif dan hukum Islam.


(18)

Pembahasan skripsi karya Islamiyah ini terbatas pada suatu konsep bagaimana kedudukan hukum apabila istri pertama tidak memberikan persetujuan menurut hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974.

Karya tulis selanjutnya adalah skripsi yang di susun oleh Tajun Nasruoh Qurhi tahun 2006, dengan judul ”Esensi dan Eksistensi UU No. 1 Tahun 1974

Terhadap poligami” (Study Kasus di KUA Kec. Rumpin Bogor). Isi dari skripsi ini adalah suatu kajian tentang keadilan dari pengaturan poligami dalam UU No. 1 Tahun 1974. Pada kajian ini terlihat perbedaan mencolok antara judul ataupun esensi yang dibangun pada kajian tersebut dengan apa yang penulis teliti saat ini.

E. Manfaat penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, hasil penelitian ini sangat diharapkan bermanfaat untuk:

1. Sec ara akademis penelitian ini berguna untuk menambah referensi difakultas syariah dan hukum serta memberikan gambaran secara mendetail mengenai sistem poligami dalam hukum positif dan hukum islam.

2. Agar masyarakat awam dapat mengetahui bagaimana cara melakukan poligami yang sah atau legal menurut hukum positif di Indonesia serta legal dalam hukum islam.

F. Metode penelitian

Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian skripsi ini, karena metode penelitian dapat menentukan langkah-langkah dari suatu


(19)

penulisan.11 Adapun metode penelitian yang dipakai sebagai dasar penulisan ini adalah sebagai berikut :

Penelitian ini menggunakan penelitian normatif yang dilengkapi dengan penelitian lapangan , penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder.12 Data primer diperoleh dari keterangan para pelaku poligami sedangkan data sekunder diperoleh melalui kajian pustaka dengan cara penelusuran bahan-bahan hukum yang bersifat primer, sekunder, dan tersier. Keseluruhan data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif.13

G. Teknik penulisan

Teknik penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada buku pedoman

penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

H. Sistematika penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub-sub yang secara logis saling berhubungan dan merupakan satu kebulatan dari masalah yang diteliti. adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 ( lima ) bab yaitu sebagai berikut :

11

Moleog, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Kencana, 1988) h. 101

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), cet Ke-3, h. 5

13


(20)

Bab I : Pendahuluan berisikan latar belakang masalah, batasan masalah rumusan masalah, tujuan penelitian, study review, manfaat

penelitian, metode penelitian, teknik penulisan, sistematika penulisan.

Bab II : Sekilas mengenai poligami dan PNS berisikan tentang definisi poligami, sejarah dan dalil-dalil yang berhubungan dengan poligami serta pengertian tentang PNS dan pembagian jenis PNS.

Bab III : Cara poligami menurut hukum islam , cara poligami menurut menurut PP No. 45Th 1990, KHI dan UU No. 1 Th 1974 dan perbedaan cara poligami menurut Islam dan aturan di atas, alasan kenapa dalam berpoligami PNS diatur khusus dan dibedakan dengan warga sipil.

Bab IV : Alasan para pelaku berpoligami menurut hukum Islam dan serta sanksi melakukan poligami poligami menurut hukum islam dan diluar hukum yang ada di Indonesia.


(21)

BAB II

SEKILAS MENGENAI POLIGAMI DAN PNS

A. Pengertian Poligami

Kata poligami berasal dari bahasa yunani. Menurut etimologi, kata poligami berasal dari kata ”poly” atau ”polus” yang berarti banyak, dan kata

”gamein” atau ”gamis” yang berarti kawin/perkawinan. Jika dirangkaikan,

maka poligami berarti perkawinan yang lebih dari seorang isteri dalam waktu yang bersamaan. 14

Dalam buku ensiklopedi Hukum Islam, terminologi poligami adalah:

ikatan perkawinan di mana salah satu pihak memiliki atau mengawini lawan

jenisnya dalam waktu yang bersamaan”.

Walaupun pengertian di atas ditemukan salah satu pihak akan tetapi karena perempuan yang memiliki suami banyak dikenal dengan sebutan poliandri, maka yang dimaksud dengan poligami adalah ikatan perkawinan seorang suami yang mempunyai beberapa orang isteri (poligami) sebagai

pasangan hidupnya dalam waktu yang bersamaan.15

14

Humaidi Tatapangansa, Hakekat Poligami Dalam Islam, (Surabaya: Usaha Nasional, 1999), h. 17-18.

15

Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Jilid IV, h. 1186.


(22)

Pengertian poligami, menurut bahasa indonesia adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya diwaktu yang bersamaan16

Hanya saja yang berkembang pergeseran sehingga poligami dipakai untuk makna beristeri banyak, sedangkan kata poligami sendiri tidak layak dipakai.17

Namun dalam pandangan musdah mulia poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu bersamaan.18 Poligami sering dimaknai dengan pernikahan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan.19

Poligami dalam ilmu fikih lebih umum dipahami sebagai pengumpulan dua sampai empat istri dalam waktu yang bersamaan oleh seorang suami. Dalam ilmu Antropologi poligami dibedakan dalam dua bentuk, yaitu poliandri berartikan perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang

16

Anton Muliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. Ke-3, h. 779.

17

Ahmad Kuzairi, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h. 159.

18

Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama & Gender, 1999), Cet. Ke-1, h. 2.

19

Anik Farida, Menimbang Dalil-Dalil Poligami, (Jakarta: Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama, 2008), h. 15.


(23)

laki, dan poligami berartikan perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan.20

Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini berasal dari kata polus berartikan banyak dan gune berartikan perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata polus yang berartikan banyak dan andros berartikan laki-laki.21

Jadi kata yang tepat bagi seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan poligami. Meskipun demikian, dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan. Yang dimaksud poligini itu, menurut masyarakat umum adalah poligami.22

Sebenarnya arti poligami dan poligini sama-sama mempunyai arti seorang suami yang mempunyai istri lebih dari satu, namun karena berdasarkan pendahulu kita arti makna tersebut lebih dikenal dengan poligami.

20

Ibid, h. 1.

21

Zakiah Drajat, Membina Nilai-Nilai Moral Di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 17.

22


(24)

B. Sejarah Tentang Poligami

1.Poligami sebelum datangnya Islam

Timbulnya poligami sebagaimana dicatat oleh sejarah, bukan semata- mata diseponsori oleh islam. Poligami ada sejak manusia mendiami planet bumi ini, yang ditemui oleh hampir semua kebudayaan manusia 23

Eksistensi perkawinan sebelum Islam lahir sangat menyedihkan dan merendahkan harkat dan derajat kaum perempuan. Mereka dianggap sebagai

khaddam (pembantu), sumber bencana, diperjual belikan, dan dianggap sebagai

benda mati yang dapat diwariskan bagi ahli waris bila suaminya telah meninggal dunia.24

Dapat disimpulkan bahwa dalam pernikahan seringkali merendahkan dan merugikan kaum perempuan. Kemudian Islam datang membawa aturan dan syariat yang luwes, adil dan bijaksana untuk mengatur kehidupan rumah tangga yaitu dengan menghapuskan pemberlakuan hukum-hukum pernikahan yang dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam.25

Agama memang mempunyai ketentuan terhadap poligami, tetapi para pendukung poligami itu berlainan penafsirannya dengan golongan yang anti poligami. Ada yang mengatakan bahwa perkawinan nenek kita Adam dan Hawa,

23

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), Cet. Ke-1, h.35.

24

Humaidi Tatapangansa, Hakekat Poligami Dalam Islam, h. 17.

25

Nurbowo dan Apiko Joko M, Indahnya Poligami-Pengalaman Sakinah Puspo Wardoyo, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003), h. 4.


(25)

dalam keadaan monogami itu peraturan tuhan, yang harus kita ikuti. Tetapi agama Yahudi memperbolehkan poligami, hanya saja pendeta-pendeta membenci poligami. Dan kita mendengar pendapat yang berbeda-beda pula tentang sikap agama kristen tentang poligami. Dan suara yang paling kuat gemanya adalah agama kristen mengharamkan poligami. Dan sudah kita ketahui bahwa agama Islam mengakui adanya peraturan poligami dengan menetapkan syarat-syarat yang tertentu.26

Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum islam datang masyarakatnya telah memperaktekan poligami, malahan poligami yang tak terbatas. Sejumlah riwayat menyebutkan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri , bahkan tidak sedikit kepala suku yang mempunyai sampai ratusan istri.27

Ameer ali menyatakan bahwa pada semua bangsa-bangsa barat dimasa purbakala , poligami dianggap suatu kebiasaan yang diperbolehkan. Karena dilakukan oleh raja-raja yang melambangkan ketuhanan, banyak orang yang menganggapnya sebagai perbuatan suci. Pada orang hindu, poligami dalam kedua aspeknya , dilakukan dengan meluas sejak zaman bahari, seperti juga pada orang median dahulu kala, babilonia, Siria, dan bangsa parsi pun tidak membatasi mengenai jumlah wanita yang boleh dikawini oleh seorang laki-laki. Seorang Brahmana berkasta tinggi, bahkan dizaman modern ini, boleh

26 Abd. Natsir Taufiq Al’attar, Poligami Ditinjau dari Segi Agama, Sosial, dan

Perundang-undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 72-73.

27


(26)

mengawini wanita sebanyak yang disukai. Poligami dialami orang Israel sebelum datangnya nabi Musa a.s. yang meneruskan kebiasaan itu tanpa mengadakan pembatasan mengenai jumlah perkawinan yang boleh dilakukan oleh seorang suami bangsa ibra. Pada zaman kemudian, Talmud di Yerusalem membatasi jumlah istri menurut kemampuan sang suami untuk memelihara istri-istrinya dengan baik.28

Di Athena yang paling beradab dan paling tinggi kebudayaannya diantara semua bangsa zaman purbakala, harga wanita tidak lebih harga hewan, yang bisa dijual dipasar dan diperjualbelikan kepada orang lain, serta diwariskan. Romawi didirikan dalam keaadan yang aneh. itulah sebabnya poligami sah pada awalnya berdiri.29

Perkawinan model seperti ini telah menjadi tradisi yang mendarah daging dikalangan bangsa arab sebelum kedatangan islam, bahkan bukan hanya poligami, poliandri juga merupakan hal yang wajar pada saat itu.30

2.Poligami setelah datangnya Islam Ketika islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun, setelah ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan,

28

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, h. 169.

29

Ibid, h. 170.

30


(27)

nabi lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai dengan petunjuk kandungan ayat.31

Pertama, membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat saja, diriwayat oleh Naufal ibn Muawiyyah. Ia berkata: Ketika aku masuk islam, aku memiliki lima orang istri. Rasullah berkata: ceraikanlah yang satu dan pertahankanlah yang empat. Pada riwayat, lainya dari Qais ibn Tsabit berkata: ketika aku masuk islam, aku punya delapan istri. Aku sampaikan kepada Rosulullah Saw lalu berkata Rosulullah pilih empat dari mereka dan pertahankan.32

Kedua menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu harus mampu berlaku adil kepada istri-istrinya .dengan demikian dapat dilihat bahwa praktek poligami dimasa islam dengan sebelumnya sangat berbeda33. Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan poligami sebagai alternatif ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinya agar tidak sampai pada lembah perzinaan maupun pelajaran yang jelas-jelas diharamkan agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari agar suami tidak terjerumus ke

31

Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, h. 4.

32

Ibid, h. 5

33

Musyfir Al-Jahrani, Poligami Dalam Berbagai Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. Ke-1, h. 52.


(28)

jurang kemaksiatan yang dilarang islam dengan mencari jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi (Poligami) dengan syarat berlaku adil.34

Namun laki-laki dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, yang menyangkut masalah-masalah lahiriah seperti pembagian nafkah sedangkan masalah batin, tentu saja selamanya manusia tidak mungkin dapat berbuat adil secara hakiki.35

Untuk dapat memahami makna poligami Nabi Saw secara benar, seseorang harus memahami dan menghayati perjalanan hidup pribadi nabi Muhammmad Saw. Nabi menikah pertama kali dengan Khadijah binti khuwailid ketika berusia 25 tahun sementara khodijah berumur 40 tahun, data-data sejarah mencatat betapa bahagianya perkawinan Nabi saat itu karena dikarunia anak 4 perempuan dan 2 laki-laki ,namun anak laki-lakinya meninggal kedua-duanya ketika masih anak-anak. Sampai khadijah wafat nabi tidak menikah dengan perempuan lain. Selama 28 tahun, Nabi menjalankan monogami, 17 tahun dijalani semasa nabi belum diangkat menjadi rosulullah dan 11 tahun setelah menjadi rosulullah.36

Setelah dua tahun dari khadijah wafat, barulah Nabi menikah lagi yaitu dengan Saudah binti Zamah namun usia Saudah agak lanjut lalu Nabi menikah lagi dengan Aisyah binti Abu Bakar. Sejarah mencatat nabi melakukan poligami

34

M.A. Tihami, Fikih Munakahat, h. 358.

35

Ibid, h. 357.

36


(29)

setelah berumur 54 tahunan yang biasanya pada usia itu kemampuan laki-laki dalam seksual menurun, jika ditelusuri motif Nabi menikah dengan Saudah adalah untuk melindungi saudah karena suaminya wafat dalam perang jihad yang dimana agar Saudah tidak terlantar dan melindungi dari tekanan keluarganya yang masih pada musyrik.37

C. Dalil-dalil Poligami

Dasar pokok Islam yang membolehkan poligami ialah firman Allah Swt :

























































































(

ء اسنلا

:

٣ ) Artinya:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada

tidak berbuat aniaya. (An-nisa :3)38

Dari ayat diatas merupakan kelanjutan tentang memelihara anak yatim yang kemudian disebut sebagai dasar kebolehan beristri lebih dari satu sampai empat. Karena erat hubungan pemeliharaan anak yatim dan beristri lebih dari satu sampai empat, yang terdapat dalam ayat diatas maka akan dipaparkan

37

Ibid, h. 23

38


(30)

dahulu tentang asal mula turunnya ayat ini menurut tafsir Aisyah r.a., ayat ini turun karena menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair kepada Aisyah istri Nabi Saw, “ Wahai anak saudara perempuanku, yatim disini dimaksudnya anak perempuan yatim yang berada di bawah asuhan walinya mempunyai harta kekayaan bercampur dengan harta kekayaan serta kecantikannya membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya,lalu ia ingin menjadikannya sebagai istri, tetap tidak mau memberikan mas kawin dengan adil, yaitu memberikan

mas kawin yang sama dengan perempuan lainnya”. oleh karena itu pernikahan

seperti itu dilarang kecuali kalau mau berlaku adil.39

Menurut para ulama sepakat bahwa siapa yang yakin dapat berlaku adil terhadap anak perumpuan yatim, maka ia berhak untuk menikahi wanita lebih dari satu, sebaliknya apabila takut tidak dapat berlaku adil maka ia dibolehkan menikah dengan perempuan lain.40

Selanjutnya dalil yang kedua mengenai masalah poligami menyangkut masalah keadilan yaitu, Allah berfirman

:







































































(

: ءاسنلا

۲۱٩

)

39

M.A. Tihami, Fikih Munakahat, h. 368.

40


(31)

Artinya:

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang. (An-Nissa: 129)41

Abu Bakar bin Araby mengatakan bahwa memang benar apabila keadilan dalam cinta itu berada diluar kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu adanya didalam genggaman Allah Swt, yang mampu membolak baliknya menurut kehendaknya. Begitu pula dengan masalah bersetubuh kadang dia bergairah dengan istri yang satu sedangkan dengan istri yang lainya tidak. Dalam hal ini apabila tidak disengaja ia tidak terkena dosa karena berada diluar kemampuannya.42

Sifat adil dalam surat an-nissa ayat 3 bukanlah sifat adil yang ada di ayat 129, sifat adil dalam ayat 3 itu sifat adil dalam nafkah yang dapat dijangkau seperti memberikan rumah, menginap. Said ibn Zubair memberikan komentar bahwa surat an-nissa ayat 3 merupakan ancaman bagi mereka yang tidak mampu berlaku adil terhadap anak yatim.43 Sedangkan adil dalam ayat 129 adalah adil dalam sifat jiwa atau diluar kesanggupan manusia seperti rasa cinta

41

Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rosulullah Saw, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. Ke-1. h. 14

42

M.A. Tihami, Fikih Munakahat, h. 363

43


(32)

kepada istri yang satu dengan istri yang lain tidak mungkin sama karena itu masalah hati kekuaasan Allah swt.44

Dalam sebuah hadist Nabi Saw. Juga disebutkan Rasulullah SAW bersabda:

ل ا ل ا ف ات ا ا ل ت اك : ل اق س و ي ع ه ص ي لا ا ي ب ا ع

ي ء اج ا ا دحا

ب ا و ء اس لا و ي تلا و د و اد ب ا ا و ( لئ ا قش و ايقلا

) ا ح

45

"Dari Abu Hurairoh r.a sesungguhnya Nabi Saw bersabda: Barangsiapa yang

mempunyai dua isteri, kemudian lebih mencintai kepada salah satu di antara keduanya maka ia datang pada hari kiamat sedangkan tubuhnya miring sebelah".

(HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibnu Hiban)

Kalau hadist diatas seolah-olah bertentangan dengan ayat 129 surat an-nissa dan ayat 3, sesungguhnya pada hakikatnya kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang dituntut disini adalah adil dalam masalah lahiriah bukan kemampuan manusia. Berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat diatas adalah adil dalam masalah cinta dan kasih sayang.46

44

Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rosulullah Saw, h. 16

45

Abi Daud Al-Sijistani, Sahih Abu Daud, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1998), h. 328 hadis nomor 2133.

46


(33)

D. Pengertian PNS

Kranenburg memberikan definisi dari pegawai negeri yaitu pejabat yang ditunjuk jadi pengertian tersebut tidak termasuk terhadap mereka yang memangku jabatan mewakili seperti anggota parlemen, presiden dan sebagainya. Logemann memberikan definisi pegawai negeri yaitu tiap pejabat yang mempunyai hubungan dinas dengan negara.47

Pegawai negeri sipil, menurut kamus umum bahasa indonesia ”pegawai” berarti orang yang bekerja pada pemerintahan (perusahan atau sebagainya) sedangkan ’’negeri’’ berarti negara atau pemerintahan jadi pegawai negeri sipil adalah orang yang bekerja pada pemerintahan atau negara.48

Pengertian pegawai negeri menurut Mahfud M.D dalam buku kepegawaian, terbagi dalam dua bagian yaitu pengertian stipulatif (penetapan makna yang diberikan undang-undang) dan pengertian ekstensif (perluasan pengertian).49

Pengertian stipulatif

Pasal 1 angka 1 UU No.3 tahun 1999 pegawai negeri adalah setiap warga negara republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserah tugaskan dalam suatu jabatan

47

Muchsan, Hukum Kepegawaian, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), h. 13.

48

Sri Hartini, Hukum Kepegawaian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet, Ke-1, h. 32.

49


(34)

negri atau diserah tugaskan negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.50

Pengertian ekstensif

Ketentuan pasal 92 KUHP dimana diterangkan bahwa yang termasuk dalam arti pegawai negeri adalah orang–orang yang dipilih dipemilihan berdasarkan peraturan-peraturan dan juga mereka yang bukan dipilih, tetapi diangkat menjadi anggota dewan rakyat serta kepala-kepala desa dan sebagainya. Pengertian pegawai negeri menurut KUHP sangat luas tetapi pengertiannya hanya berlaku dalam hal ada orang yang melakukan kejahatan atau pelanggaran jabatan dan tindak pidana lain yang disebut dalam KUHP.51

Dalam UU no 43 Tahun 1999 pasal 2 pegawai negeri terdiri dari: 1. Pegawai Negeri Sipil.

2. Anggota Tentara Nasional Indonesia

3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dari pasal 2 diatas tidak dijelaskan masing-masing pengertian namun kita dapat ambil suatu kesimpulan apa yang dimaksud pegawai negri sipil yaitu pegawai negeri yang bukan anggota TNI dan kepolisian.52

50

Tedy Sudrajat, Hukum Kepegawaian Di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 32.

51

Setiajeng Kadarsih, Hukum Kepegawaian, (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 33.

52

Victor M. Situmorang, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Rineka Cipta 1988), Cet, Ke-1, h.20


(35)

Jadi apabila kita rincikan pegawai negeri sipil ialah “pegawai” berarti orang yang bekerja pada pemerintahan sedangkan “negeri’’ berarti negara atau pemerintahan “ sipil ” jadi pegawai negeri sipil adalah orang yang bekerja pada pemerintahan atau negara.53

E. Jenis - Jenis PNS

Menurut UU No 43 tahun 1999 Pegawai Negeri Sipil dibagi dalam 2 jenis yaitu :

1. Pegawai Negeri Sipil Pusat

Yang dimaksud pegawai negeri sipil pusat adalah pegawai negeri sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Lembaga pemerintahan nondepartemen, Kesekertariatan lembaga negara, instansi vertikal di daerah provinsi kabupaten atau kota, kepaniteraan pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainnya.54

2. Pegawai Negeri Sipil Daerah

Yang dimaksud pegawai negeri sipil daerah adalah pegawai negeri sipil daerah provinsi/kabupaten/kota yang gajinya dibebankan pada anggaran pendapatan daerah dan bekerja pada pemerintah daerah, atau diperkerjakan diluar instansi induknya.

53

Ibid, h. 21

54


(36)

Pegawai negeri sipil pusat dan pegawai negeri sipil daerah yang diperbantukan diluar instansi induk, gajinya dibebankan pada instansi yang menerima perbantuan. Disini bisa diambil contoh seperti pegawai negeri sipil yang diperbantukan di instansi kepolisian maka gaji dia dibebankan pada instansi tersebut.55

Dapat diambil kesimpulan untuk membedakan pegawai negeri sipil pusat atau pegawai negeri sipil daerah maka dilihat dari gaji pegawai negri sipil tersebut dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

55


(37)

BAB III

PANDANGAN HUKUM TENTANG CARA POLIGAMI

A. Bagaimana Cara Poligami Menurut Hukum Islam

Poligami dalam Islam merujuk kepada Al-Quran yang menjadi legalitas seseorang berpoligami yaitu surat An-Nisa ayat 3 dan ayat 12956. Dimana ayat 3 berbunyi;

























































































(

ء اسنلا

:

٣ ) Artinya:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada

tidak berbuat aniaya. (An-nisa:3)57

Ayat di atas tersebut memberikan syarat untuk berlaku adil bagi laki-laki yang ingin berpoligami, serta memberi batas berpoligami yaitu hanya sampai empat saja. Dalam islam seseorang yang ingin beristri lagi hanya

56

Evi Muafiah, Poligami Dalam Tafsir Ulama, (Ponorogo: Stain Ponorogo Press, 2008), Cet. Ke-1, h. 25.

57

Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2007), Cet. Ke-1, h. 133.


(38)

dibebankan dengan dua syarat yang mutlak yaitu pertama mampu atau yakin dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya. Kedua jumlahnya dibatasi sampai empat saja.58

Dalam syarat pertama yaitu mampu berlaku adil dalam surat An-Nissa ayat 3 dimana berlaku adil dalam ayat ini yaitu berlaku adil bagi anak yatim, berlaku adil disini yaitu berlaku adil dalam urusan harta seperti yang telah diriwayatkan bahwa turunnya surat An-Nissa ayat 3 ini dikisahkan dalam tafsir Aisyah r.a.59, ayat ini turun karena menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair kepada Aisyah istri Nabi Saw, “ Wahai anak saudara perempuanku, yatim disini dimaksudnya anak perempuan yatim yang berada di bawah asuhan walinya mempunyai harta kekayaan bercampur dengan harta kekayaan serta kecantikannya membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya,lalu ia ingin menjadikannya sebagai istri, tetap tidak mau memberikan mas kawin dengan adil, yaitu memberikan mas kawin yang sama dengan perempuan lainnya.. oleh karena itu pernikahan seperti itu dilarang kecuali kalau mau berlaku adil.60

Namun syarat yang pertama itu juga terdapat dalam surat An-Nissa ayat 129 yang berbunyi:

58

Rodli Makmun, DKK, Poligami Dalam Tafsir Muhammad Syahrur, (Ponorogo: Stain Ponorogo Press, 2009), Cet. Ke-1, h. 19.

59

Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, h. 142.

60


(39)







































































(

ءاسنلا

:

۲۱٩

)

Artinya:

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang. (An-Nissa: 129)61

Dalam ayat 129 di atas yang dimaksud berlaku adil ialah berlaku adil dalam urusan hati. Abu Bakar bin Araby mengatakan bahwa memang benar apabila keadilan dalam cinta itu berada diluar kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu adanya didalam genggaman Allah Swt, yang mampu membolak baliknya menurut kehendaknya.62

Jadi dapat diambil kesimpulan dari surat An-Nissa ayat 3 dan ayat 129 bahwa dalam mampu berlaku adil yang menjadi syarat berpoligami itu ialah mampu berlaku adil dalam urusan harta seperti pembagian jatah uang kepada istri-istri, namun dalam masalah hati manusia tidak mungkin bisa berlaku adil karena masalah hati urusan Allah Swt.

61

Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rosulullah Saw, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. Ke-1. h. 14

62


(40)

Di kalangan para ahli hukum Islam (fuqaha), seperti Malik ibn Anas, asy-Syafi`i, as-Sarakhsi, Ibn Mas`ud al-Kasani (Ulama Hanafiyah) dan Ibn Qudamah (Ulama Hanabilah) poligami diperbolehkan bagi seorang suami yang hendak melakukannya, dengan syarat sebagaimana ditetapkan al-Qur’an, yaitu; (1) tidak melebihi dari empat orang isteri (sebagai batas maksimal toleransinya). (2) memiliki kemampuan untuk menafkahi para isterinya dan kemampuan berlaku adil di antara mereka.

Adapun konsep adil dalam poligami menurut Imam empat Madzhab adalah, menurut Imam Syafe’i adil dalam poligami yaitu Dalam hal keadilan, asy-Syafi`i menambahkan bahwa keadilan itu bersifat materi bukan immateri (cinta dan kasih sayang) yang terkait dengan (perasaan) hati. Karena keadilan immateri sangat sulit diwujudkan maka keadilan yang mungkin dapat direalisasikan oleh manusia adalah bersifat fisik, yaitu perbuatan dan perkataan. Penafsiran yang demikian ini dibenarkan oleh ayat yang lain; Al-Ahzab (33):50 dan An-Nisa’ (4):19.

Menurut Imam Hambali, konsep adil dalam poligami adil berkonsisten dengan ajaran agama, dalam perkataan dan perbuatan.

Menurut Imam Hanafi konsep adil adalah konsisten menjalankan perintah agama, lebih dahulu mempertimbangkan akal dalam mengambil suatu keputusan dibandingkan hawa nafsu.


(41)

Sedangkan menurut Imam Maliki, adil adalah melakukan kebaikan tanpa harus ada yang dirugikan.63

Berbeda dengan pandangan para ahli hukum Islam di atas, kalangan mufassir kontemporer, seperti Mahmoud Muhamed Taha, Muhammad Abduh, Qasim Ahmad (modernis Mesir)dan lainnya justru mengarah pada larangan poligami. Menurut Taha, ajaran murni dalam Islam adalah monogami, dengan tanpa perceraian. Larangan poligami sebenarnya sudah tersirat pada An-Nisa ayat 3 yang dipertegas dengan ayat 129 yang menyatakan: “dan kamu sekali-kali tidak

akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) seorang perempuan saja”. Namun karena Islam turun pada masyarakat yang tidak menghargai perempuan dan seorang laki-lakinya dapat menikahi lebih dari sepuluh perempuan, maka syariah Islam membolehkan poligami secara terbatas, meskipun tidak secara langsung menganjurkan monogami karena kondisi masyarakat yang tidak memungkinkan

Berbeda dengan keduanya, Syahrur ulama dari kairo justru berpendapat bahwa sesungguhnya Allah tidak hanya sekedar memperbolehkan poligami, akan tetapi sangat menganjurkannya dengan dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, istri kedua, ketiga dan keempat harus seorang janda yang memiliki anak yatim.

Kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak

yatim. Bila kedua syarat di atas tidak dipenuhi maka gugurlah perintah poligami atas dirinya. Syahrur tidak setuju bila konsep adil dalam ayat ini dimaksudkan

63

Konsep Adil Menurut Imam Empat Madzhab “ diakses pada tanggal 12 Januari 2011 dari harysaputrapaw.blogspot.com


(42)

sebagai adil dalam menggilir nafkah batin (al-qasam li ad-dukhul). Ayat ini menurutnya, berkenaan dengan konsep keadilan sosial kemasyarakatan yang terkait dengan anak yatim, bukan keadilan pembagian jatah kebutuhan biologis. Dengan demikian, poligami itu tidak hanya berarti menjadikan ibu-ibu anak yatim sebagai isteri kedua dan seterusnya, tetapi juga berarti menjadikan anak-anak yatim sebagai anak-anak yang berhak mendapatkan pendidikan dan nafkah (finansial).

Asghar Ali Engineer, dalam bukunya, The Rights of Women in Islam, menyatakan bahwa poligami bersama pergundikan adalah sarana pelampiasan nafsu seksual yang bernaung di bawah hak kepemilikan (milk al-yamin). Keduanya bukan ajaran murni Islam tetapi sudah menjadi tradisi umat manusia selama berabad-abad sebelum kedatangan Islam. Menurut Asghar, poligami merupakan pintu darurat bagi sekelompok laki-laki yang benar-benar terdesak untuk mendapatkan sesuatu dalam perkawinan yang tidak diperoleh dari isterinya (yang pertama). Ia tidak mendapatkan kesenangan dan ketenangan jiwa

(sakinah) sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an. Sehingga ia terdorong untuk

mencari kepuasan dan kesenangan di luar cara-cara yang legal dan sah, yaitu perkawinan. Dengan demikian, poligami tidak dianjurkan atau diwajibkan, tetapi juga tidak dilarang oleh Islam. Asghar menolak pandangan kalangan tradisionalis yang melegalkan hubungan seksual tanpa akad nikah dengan budak-budak perempuan dan tawanan perang perempuan yang dimiliki seseorang


(43)

(pergundikan). Setiap hubungan seksual harus diperoleh dengan cara legal dan sah, yaitu dengan akad.64

Menengahi perdebatan di atas, seorang mufassir Indonesia, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa al-Qur’an tidak pernah membuat peraturan tentang poligami, baik mewajibkan atau pun menganjurkannya. Karena praktek poligami telah berjalan jauh sebelum Islam datang. Dispensasi poligami tidak lain merupakan sebuah darurat kecil yang hanya bisa dilalui pada saat sangat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak mudah. Jika demikian halnya, maka pernyataan al-Qur’an tentang poligami hendaknya tidak dilihat terbatas pada segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi juga harus dilihat dari sudut pandangan pengaturan hukum, dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi. Maka dari itu, wajar bagi satu perundang-undangan terlebih Islam sebagai agama universal dan berlaku setiap waktu dan kondisi untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh jadi terjadi pada satu ketika, walaupun kejadian itu hanya merupakan kemungkinan. Dalam pandangan Quraish Shihab, menutup rapat (melarang poligami) atau sebaliknya membuka lebar-lebar peluang poligami adalah kurang bijaksana (kurang logis). Ada beberapa alasan atau kondisi poligami diperbolehkan, seperti mandul, sakit parah yang tidak memungkinkan hubungan biologis, dan kondisi-kondisi lain yang menyerupai hal itu.

64

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, cet. 1 (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 94


(44)

Fazlur Rahman mengatakan poligami merupakan perkawinan yang bersifat kasuistik dan spesifik untuk menyelesaikan masalah yang ada saat itu, yakni tindakan para wali yang tidak rela mengembalikan harta kekayaan anak yatim setelah anak itu menginjak usia cukup umur (balig). Rahman tidak setuju dengan formulasi para modernis lain yang menggunakan QS. (4):3 dan 129 sebagai dasar asas perkawinan Islam adalah monogami, yakni dengan logika berpikir, al-Qur’an membolehkan poligami dengan syarat berlaku adil, tetapi disebut bahwa manusia tidak mungkin dapat berlaku adil terhadap para isterinya. Mungkin esensinya benar, bahwa al-Qur’an menghendaki asas monogami, tetapi formulasi modernis kurang meyakinkan. Sebab dengan konsep demikian terkesan ditemukan kontradiksi dalam al-Qur’an. Menurut Rahman, bolehnya poligami hanya bersifat temporal, dan tujuan akhirnya adalah menghapuskannya. Hal ini sejalan dengan tujuan al-Qur’an untuk menegakkan keadilan sosial (social

justice), umumnya kepada masyarakat secara menyeluruh, dan terutama

komunitas perempuan. Atas dasar itu, pengakuan dan kebolehan poligami hanya bersifat ad hoc, untuk menyelesaikan masalah yang terjadi saat itu.65

Dengan demikian laki-laki yang akan beristri lebih dari seorang atau bahasa populernya poligami dengan cara islam hanya harus memenuhi syarat utama yaitu berlaku adil dalam urusan harta dan syarat kedua yaitu hanya dibatasi empat istri saja.

65


(45)

B. Cara Poligami Menurut PP No. 45 Tahun 1990

Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1990 mengatur tentang perkawinan bagi PNS dimana berisikan tentang poligami termuat dalam pasal 4, 9, 12 dan 15. Dalam pasal 4 dijelaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang wajib memenuhi izin lebih dahulu dari pejabat diatasnya harus diajukan secara tertulis dan mencantumkan alasan lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.66 Sementara Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan menjadi istri kedua/ketiga/keempat ketentuan ini mengandung pengertian bahwa selama berkedudukan sebagai istri kedua/ketiga/keempat dilarang menjadi Pegawai Negeri Sipil.67

Pasal 4 seluruhnya berbunyi:

1. Pegawai Negeri Sipil yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.

2. Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizin untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.

3. permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diajukan secara tertulis.

66

Anik Farida, Menimbang Dalil-Dalil Poligami, (Jakarta: Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama, 2008), h. 39.

67

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), Cet. Ke-3, h. 367.


(46)

4. dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.

Terlihat pada pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1990 diatas bahwa Pegawai negeri sipil pria yang akan melakukan perkawinan lebih dari seorang wajib memperoleh izin dari pejabat atasannya beserta melampirkan alasan-alasan yang menjadi dasar untuk melakukan poligami sedangkan bagi pegawai negeri sipil wanita dilarang menjadi istri kedua/ketiga/keempat.68

Poligami bagi PNS, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 45 Tahun 1990. Bagi PNS yang hendak menikah kembali, harus terlebih dahulu mendapat ijin dari atasannya, permintaan ijin diajukan secara tertulis dengan mencantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permohonan tersebut.69

PNS harus memenuhi sekurang-kurangnya satu syarat alternatif seperti diatur dalam Pasal 4 ayal (2) UUP jo Pasal 41 PP Nomor 9 Tahun 1975.70

Disamping itu, PNS yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan kumulatif sebagaimana dituangkan dalam Surat Edaran Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) Nomor 08/SE/I 983 yang terdiri dari :71

68

Pasal 4 PP No. 45 Tahun 1990.

69

PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

70

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. Ke-1, h. 31.


(47)

a. Ada persetujuan isteri yang disahkan oleh atasan PNS yang bersangkutan serendah-rendahnya pejabat eselon IV.

b. PNS yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup.

c. Ada jaminan tertulis bahwa PNS tersebut akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.72

Ketentuan di atas berlaku juga bagi anggota TNI yang akan beristeri lebih dari seorang. Dia harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari komandannya. Keharusan tersebut tertuang dalam Surat Keterangan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata (Menhankam/Pangab) Republik Indonesia Nomor Kep/12/III/1972.

Dalam hal pejabat yang menerima permintaan izin untuk melakukan perkawinan lebih dari seorang atau poligami dilakukan secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan sejak permintaan izin itu diterima. Dalam hal pemberian izin atau penolakan izin dari pejabat untuk melakukan perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang (poligami) dilakukan secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan sejak diterimanya permintaan izin tersebut itu.

71

Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), h. 108

72

Pasal 10 PP No.10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.


(48)

C. Cara Poligami Menurut KHI

KHI singkatan dari Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Inpres No.1 Tahun 1991, di dalam KHI dibahas tentang perkawinan pada Bab IX dengan judul beristri lebih dari satu orang atau yang lebih populer disebut poligami, dalam KHI dibahas tentang poligami terdapat pasal 55, 56, 57, 58 dan 59.73

Dalam pasal 55 menyebutkan bahwa bagi suami yang akan beristri lebih dari satu terbatas hanya sampai empat orang dan syarat utamanya adalah suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Apabila syarat utama ini tidak dapat dipenuhi, maka suami dilarang beristri lebih dari seorang.74

Selanjutnya dalam pasal 56 menerangkan, apabila seorang suami yang akan beristri lebih dari satu orang, maka ia wajib mengajukan secara tertulis ke Pengadilan Agama dan harus mengikuti prosedur yang diatur dalam bab VIII Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Apabila perkawinan yang dilakukan tanpa izin dari pengadilan agama maka tidak mempunyai kekuatan hukum.75

Dapat dilihat dari pasal 55 dan 56 di atas, KHI sepertinya tidak berbeda dengan undang-undang perkawinan serta termasuk didalamnya semangat fiqih.

73

Ahmad Kuzairi, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h. 120.

74

Pasal 55 KHI

75

Pasal 56 KHI


(49)

Namun pada dasarnya peluang yang diberikan untuk poligami juga terbuka lebar. Demikian, kontribusi KHI hanya sebatas tata cara prosedurnya permohonan poligami.76

Di dalam pasal 57 menjelaskan tentang alasan-alasan pengadilan agama mengizinkan seorang suami melakukan poligami. Terdapat pada pasal 57 KHI, pengadilan agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari satu apabila terdapat alasan-alasan sebagai seberikut:

1. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

2. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan 3. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dapat dilihat dalam pasal 57 ini syarat untuk mendapat izin dari pengadilan agama harus memenuhi syarat yang diatas dimana syarat tersebut sama persis dengan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan.77

Dalam pasal 58 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :

a. adanya pesetujuan isteri;

76

Amiur Nuruddin Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), Cet. Ke-4, h. 167.

77

Pasal 57 KHI


(50)

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.

(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian karena istri tersebut menghilang atau tidak ada kabar sekurang-kurangnya dua tahun, atau sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.78

Apabila seorang istri tidak memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk suami beristri lagi maka berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat 2 dan pasal 57, pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.79

78

Pasal 58 KHI

79

Pasal 59 KHI


(51)

Terlihat pada pasal 59 di atas mengisyaratkan betapa besarnya wewenang pengadilan agama dalam memberikan suatu izin, sehingga istri yang tidak mau memberikan persetujuan kepada suami yang ingin berpoligami dapat diambil alih oleh pengadilan agama. Namun dapat dilihat dari pasal-pasal di atas yang hampir semuanya isi mengadopsi dari Undang-Undang No.1 tahun 1974.80 D. Cara Poligami Menurut UU No.1 Tahun 1974

Poligami dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 disebut juga dengan perkawinan kedua, ketiga, keempat namun dalam prinsipnya undang-undang perkawinan di Indonesia menganut sistem monogami tertuang dalam pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi: “ pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.”81

Walaupun dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 telah menganut prinsip monogami, tetapi dalam pelaksanaannya prinsip ini tidak berlaku mutlak, dalam undang-undang ini tetap diperbolehkan poligami dengan persyaratan yang sangat ketat, dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melakukannya. Dengan ada pasal-pasal yang membolehkan tentang poligami meskipun dengan alasan yang sangat ketat jelas membuktikan dalam Undang-Undang No.1 tahun

80

Anik Farida, Menimbang Dalil-Dalil Poligami, h. 37.

81

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Pramita, 2006), Cet. Ke-37, h. 538.


(52)

1974 bukanlah asas monogami mutlak melainkan asas monogami terbuka menurut pendapat Yahya Harahap.82

Menurut pendapat Buya Hamka memberi gambaran bahwa kebolehan laki-laki berpoligami seperti keberadaan pintu emergency (darurat) disebuah pesawat terbang. Ketika pesawat tinggal landas semua penumpang pesawat tidak diperbolehkan membuka pintu darurat, ia harus mendapat izin pilot untuk membukanya kecuali dalam hal-hal yang sangat darurat, sama halnya dengan poligami.83

Dalam undang-undang no.1 1974 tentang perkawinan menurut pasal 3, 4 dan 5 yang berisikan tentang aturan kebolehan beristri lebih dari seorang yang berisikan alasan serta syarat-syarat beristri lebih dari seorang atau yang disebut poligami. Seperti pasal 3 ayat 2 yng menerangkan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan ayat ini jelas sekali bahwa undang-undang no.1 tahun 1974 telah melibatkan peradilan agama sebagai instansi yang cukup penting sebagai keabsahan kebolehan poligami bagi seseorang.84

82

Amiur Nuruddin Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 156.

83

Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-Kahfi, 2008), Cet. Ke-1, h. 204.

84


(53)

Dalam pasal 4 ayat 1 menerangkan bahwa apabila seorang suami yang akan berpoligami maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Selanjutnya dalam pasal 4 ayat 2 disebutkan alasan-alasan pengadilan mengizinkan seorang suami berpoligami apabila:

4. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

5. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan 6. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Apabila diperhatikan alasan-alasan diatas adalah mengacu kepada tujuan pokok perkawinan itu dilaksanakan yaitu membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal bardasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika ketiga hal diatas menimpa suatu keluarga atau pasangan suami istri sudah barang tentu kehampaan dan kekosongan manis dan romantisnya kehidupan rumah tangga yang menerpanya. Seperti istri tidak dapat memberikan keturunan tentu akan terjadi kepincangan yang mengganggu laju bahtera rumah tangga yang bersangkutan. Demikian juga apabila istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.85

Pada alasan ketiga tidak setiap pasangan suami istri yang istrinya tidak dapat melahir keturunan memilih alternatif berpoligami, mereka kadang menempuh cara mengangkat anak asuh. Namun jika suami ingin berpoligami

85


(54)

adalah wajar dan masuk akal, karena keluarga tanpa kehadiarannya seorang anak tidaklah lengkap seperti sayur asam tanpa garam.86

Dalam pasal 4 ayat 2 merupakan syarat alternatif pada pihak istri apabila ada salah satu ketentuan diatas terjadi pada pihak istri maka bisa menjadi salah satu alasan seorang suami untuk berpoligami.

Dalam pasal 5 undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan:

1. Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut

- adanya persetujuan dari istri/istri-istri;

- adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

- adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

2. Persetujuan yang dimaksud disini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun, atau karena sebab-sebab lain

86


(55)

yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan, maka suami tidak memerlukan persetujuan dari istri/istri-istrinya.87

Dalam pasal 5 diatas merupakan persyaratan kumulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.

Tata cara dan prosedur poligami menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Pertama, seorang suami yang akan melakukan poligami maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan sebelum pengadilan memutuskan akan memberikan izin atau tidak sekaligus untuk meyakinkan data-data yang ada, pengadilan lebih dahulu mengadakan pemeriksaan terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Dalam pemeriksaan tersebut pemeriksa harus memanggil dan mendengarkan istri yang bersangkutan. Jangka waktu pemeriksaan persyaratan-persyaratan yaitu 30 hari setelah diterimanya permohonan tersebut. Apabila pengadilan merasa cukup alasan bagi pemohon untuk melakukan poligami, maka pengadilan mengabulkan permohonan pemohon untuk melakukan poligami.

E. Apa Perbedaan dan Persamaan Cara Poligami Menurut Hukum Islam, PP No. 45 Thn 1990, KHI dan UU No.1 Thn 1974

Dapat dilihat dari keseluruhan cara poligami diatas dimana poligami menurut hukum islam hanya memerlukan dua syarat yaitu mampu berlaku adil

87

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2008), h. 81


(56)

dan terbatas hanya empat saja.88 Mampu berlaku adil disini yaitu mampu berlaku adil dalam urusan harta, pembagian giliran atau jatah, bukan berlaku adil dalam urusan hati karena manusia tidak mungkin dapat berlaku adil dalam urusan hati.89 menurut pendapat Abu Bakar bin Araby, dalam hukum islam orang yang akan berpoligami tidak memerlukan izin dari seorang istri karena poligami dalam islam merupakan hak seorang suami dan tidak terdapat ayat dalam Al-Quran yang mengharuskan seorang yang ingin berpoligami memerlukan izin dari istri/istri-istrinya maupun riwayat hadist yang menyatakan Nabi Saw meminta izin untuk berpoligami kepada istri/istri-istrinya.90

Namun dalam UU No.1 Tahun 1974 orang yang akan berpoligami harus memenuhi beberapa syarat pertama seorang suami tersebut harus mengajukan permohonan izin kepengadilan untuk mendapatkan izin dari pengadilan, namun untuk mendapatkan izin dari pengadilan seorang suami harus memenuhi beberapa syarat yaitu istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Namun dalam syarat diatas merupakan syarat alternatif apabila terdapat salah satu pada istri maka sudah cukup terpenuhi

88

Diakses pada 27 Juli 2010 “ Islam Menyoal Poligami”, http://www.cybermq.com/pustaka /print/20/284.

89

A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syari’ah), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-1, h. 191

90


(1)

a. Penundaan kenaikan gaji paling lama satu tahun

b. Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun

c. Penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun

Jenis hukuman terberat adalah pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

Sedangkan dampak bagi warga sipil yang tidak mematuhi peraturan pemerintah adalah:

a. Perkawinan kedua dan selanjutnya tidak mempunyai kekuatan hukum

b. Anak hasil perkawinannya tidak akan diakui oleh undang-undang

c. Dalam waris anak tersebut tidak berhak mendapatkan waris.

3. Perbedaan tata cara poligami menurut hukum islam dengan KHI, UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 45 Tahun 1990 adalah dalam hukum islam yang paling utama adalah seseorang yang akan berpoligami harus dapat berlaku adil dan terbatas tidak boleh lebih dari empat. Perbedaannya dengan KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 suami harus mendapat putusan hakim Pengadilan Agama berdasarkan syarat-syarat yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, sedangkan dalam PP No. 45 Tahun 1990 terdapat


(2)

perbedaan yang sangat besar karena peraturan tersebut dikhususkan untuk PNS yang merupakan pejabat pemerintahan maka dalam melakukan poligami PNS harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari atasan yang berwenang dan harus mempunyai penghasilan yang cukup dan tidak perlu mengajukan ke Pengadilan agama, selanjutnya sama dengan KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 yaitu harus mendapatkan izin istri dan berlaku adil.

B. Saran-saran

Mengenai saran lebih baik indonesia khususnya para pejabat indonesia yang berwenang membuat undang-undang di negeri ini janganlah terlalu memperketat masalah perkawinan yang kedua yaitu masalah poligami lebih baik undang-undang tentang syarat poligami itu disesuaikan saja dengan yang ada di quran dan yang dicontohkan rosullah nabi Muhammad Saw karena masyarakat islam di indonesia itu hampir 80 % lebih muslim sehingga mengurangi seorang melakukan poligami secara sirih tanpa surat nikah kedua karena sarat untuk poligami agar dapat disahkan oleh pemerintah harus mendapat izin dari seorang istri dan izin pengadilan disinilah yang menimbulkan konflik terjadinya banyak seorang suami yang melakukan nikah siri yang dimana dampaknya pada seorang anak ,lebih baik pemerintah merepisi aturan-aturan yang mempersulit rakyatnya tentang identitas yang legal di negrinya sendiri.

Sehingga kedepanya nanti tidak ada lagi seorang anak yang sulit mendapat harta waris dari ayah kandungnya disebabkan dia anak hasil dari nikah sirih,


(3)

serta mendapat pengakuan oleh negaranya bahwa dia benar-benar anak sah dari ayahnya walaupun dia tidak memiliki bukti akte nikah namun dia anak hasil pernikahan yang sah menurut keyakinan agamanya dimata masyarakat seperti tertuang dalam UUD 1945 pasal 28D ayat (1) dan (4) yang berbunyi ayat (1) yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Ayat (4) berbunyi setiap orang berhak atas status kewarganegaran.

Lebih baik para pembuat kebijakan undang-undang membuat peraturan yang melarang seorang melakukan kumpul kebo, dan memberikan hukuman yang pantas bagi para pelakunya, jangan mempersulit sesuatu yang dihalalkan agama, masa yang diharamkan dibiarkan sementara yang halal di persulit.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, Departemen Agama R.I, 2007.

Ahmad Jaiz, Hartono, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.

AL-Athar, Abdul Natsir Taufiq, Poligami Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-Undangan, Jakarta:Bulan Bintang, 1996, Cet ke-1, h. 154.

Al-Jafrani, Mushfir, Poligami dan Berbagai Persepsi, terj. Moh Suten Ritonga, Jakarta:Gema Insani Press, 1997, Cet ke-2.

Al-Qurtuby, Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Nihayatul Mustashid, Riyadh: Maktabah Nazar Musthafaal-Baz, tth juz ke-II.

As-Sanan, Arij Binti Abdurrahman, Adil Terhadap Para Istri, Jakarta: Darussunah Press, 2006.

As-Sanan, Arij, Abdul, Rahman, Memahami Keadilan Dalam Poligami, Jakarta: PT. Global Media Cipta Publishing, 2003.

Badan Penasehat Perkawinan dan Perceraian (BP-4), Membina Keluarga Bahagia Sejahtera, Jakarta: BP4 DKI Jakarta, 1991.

Badrun, Ahmad, Indahnya Monogami, Yogyakarta: Mikraj, 1997, Cet. Ke-1.

Dahlan, Abd. Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997 Jilid IV.

Daud Ali, Muhammad, DKK, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Pamulang: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Dept. Agama RI. Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Qalbun Salim, 2005.

Faridha, Anik, Menimbang Dalil Poligami, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008.


(5)

Haikal, Abduttawab, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW Poligami vs Monogami Barat, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993, Cet. Ke-1.

Hartini, Sri, DKK, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Hilmi, Karim, Farhat, Ahmad, Poligami Berkah atau Musibah, Jakarta: Senayan

Publishing, 2007.

Himpunan Peraturan Kepegawaian Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2010. Husein, Imanuddin, Satu Istri Tak Cukup, Kairo: Khazanah Pustaka, 2003.

Iluas, Yunahar, Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Labda Press, 2006.

Jailani, Abd. Qodir, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995. Kompilasi hukum islam, Surabaya: Kesindo Utama, 2010.

Kuzairi, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Mardhiyah, Lailatul, Poligami Ditinjau dari Hukum Positif, artikel diakses pada 10

Oktober 2010 dari http://unisys.ac.id/index.

Mubarak, Syaiful Islam, Poligami yang Didambakan Wanita, Bandung: Syamil Citra Media, 2003.

Muchtar, Yati, Gerakan Perempuan Indonesia dan Politik Gender Orde Baru, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan, 2001.

Mudhzar, Atho, dan Khoirudin, Hukum Keluarga Dunia Islam Modern Study Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dan Kitab-kitab Fiqh, Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Murtadha, Muthahhari, Duduk Perkara Poligami, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007.

Musdah, Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, Jakarta:Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999.

Muthabaqoni, Mazin, Sholah, Beristri 2, 3, atau 4?, Jakarta: Cakrawala, 2005. Nasution, Khaerudin, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.


(6)

Nurbowo, dan Apiko Joko M, Indahnya Poligami Pengalaman Puspo Wardoyo, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003

Qardhawi, Syeikh M. Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1999.

R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramitha, Cet. Ke-34

Roem, Moehammad, Poligami, Monogami dan PraktekPengadilan Agama, Jakarta: Fajar Shadiq, 1973, Cet ke-tiga.

Rusdiana, Kama dan Arifin, Jaenal, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007.

Setiati, Eni, Hitam Putih Poligami; Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah Fenomena, Jakarta:Cisera Publishing

Soekanto, Soerjono dan Mamuji, Sri, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat) Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4, 1995

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, cet Ke-3, 1986. Suprapto, Bibit, Liku-liku Poligami, Yogyakarta: Al-Kutsar, 1999, Cet. Ke-1.

Tata Panguarsa, Humaidi, Hakikat Poligami Dalam Islam, Surabaya: Usaha nasional, 2001.

Ulwan, Nasih, Abdullah, Hikmah Poligami Dalam Islam, Jakarta: Studio Press, 1997. www.poligamiindonesia.com