akan  hasil  yang  diperoleh  setelah  tes,  tidak  mengetahui  adanya  layanan VCT, dan dukungan dari orang terdekat yang kurang baik terhadap VCT.
Dalam  penelitian  ini  50  ibu  hamil  sudah  mempunyai  niat  untuk memanfaatkan  layanan  VCT.  Hasil  penelitian  ini  Ibu  hamil  memiliki
pengetahuan  rendah  tentang  VCT,  hal  ini  secara  tidak  langsung mempengaruhi  niat  ibu  untuk  memanfaatkan  layanan  VCT.  Artinya  ada
hubungan  antara  rendahnya  pengetahuan  ibu  hamil  dengan  minimnya sosialisasi yang dilakukan petugas kesehatan di Puskesmas Ciputat.
6.3. Hubungan Antara Faktor Penyebab Dengan Niat Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan
Layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat
Untuk  memanfaatkan  layanan  VCT  di  Wilayah  Kerja  Puskesmas Ciputat  dipengaruhi  oleh  faktor  penyebab  yang  diteliti  dalam  penelitian  ini
meliputi : karaktristik demografi responden, pengetahuan tentang VCT, sikap, norma  subyektif,  dan  persepsi  kontrol  diri.  Masing
–  masing  variabel dijelaskan dalam pembahasan dibawah ini.
6.3.1. Hubungan Umur Dengan Niat Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan Layanan VCT di
Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat
Menurut  Kwong  et  al  2003,  yang  menemukan  bahwa  umur seseorang  secara  signifikan  berpengaruh  terhadap  niat  untuk  menentukan
suatu keinginan. Hasil yang sama didapat oleh Hurlock 2008 dalam Fauji 2010  menyatakan  bahwa  seseorang  yang  masuk  dalam  kategori  usia
muda  cenderung  bertindak  sesuai  dengan  keinginan  diri  sendiri  dan sebaliknya. Kemudian diperjelas oleh World Health Organization WHO,
batasan umur remaja adalah rentang dari 12 – 24 tahun. Umur yang muda
menyebabkan  mereka  belum  memikirkan  efek  dari  suatu  penyakit, sehingga  mereka  belum  berfikir  kondisi  lain  setelah  mereka  dinyatakan
sakit. Berdasarkan  hasil  univariat  diketahui  bahwa  proporsi  niat  ibu
hamil  untuk  memanfaatkan  layanan  VCT  dengan  kategori  umur  dewasa muda  adalah  57,1  dan  proporsi  niat  ibu  hamil  untuk  memanfaatkan
layanan  VCT  dengan  kategori  umur  dewasa  adalah  47,3.  Sehingga disimpulkan  bahwa  berimbang  antara  ibu  hamil  dengan  usia  muda  dan
usia  dewasa  dengan  niatnya  untuk  memanfaatkan  layanan  kesehatan. Namun menurut Andersen 1995, umur merupakan salah satu faktor yang
bisa  mempengaruhi  seseorang  untuk  memanfaatkan  layanan  kesehatan. Dari  hasil  univariat  didapatkan  bahwa  penelitian  ini,  didominasi  oleh
kelompok  umur  di  atas  25  tahun  yaitu  umur  dewasa.  Padahal  menurut penelitian  Ermarini  2013,  semakin  tua  umur  seseorang  maka  semakin
mempengaruhi  pemikiran  mereka  terhadap  tindakan  apa  yang  harus dilakukan untuk melindungi dirinya dari ancaman penyakit. Artinya, umur
mempengaruhi tindakan seseorang dalam menyelesaikan masalah. Hal ini didukung  oleh  Hurlock  1980,  sekitar  awal  atau  pertengahan  umur  tiga
puluh tahun kebanyakan orang dewasa telah mampu memecahkan masalah yang dihadapi secara emosional menjadi stabil dan tenang.
Hasil uji statistik disimpulkan bahwa pada alpha 5 tidak terdapat hubungan  yang  signifikan  antara  umur  dengan  niat  ibu  hamil  untuk
memanfaatkan  layanan  VCT  di  Wilayah  Kerja  Puskesmas  Ciputat  tahun
2014. Jika dilihat dari hasil analisis bivariat terlihat bahwa umur seseorang tidak mempengaruhi orang tersebut untuk bertindak atau berprilaku sesuai
dengan kategori usianya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh  Fauji  2010  yang  menyatakan  bahwa  umur  seseorang  tidak  ada
hubungannya  dengan  pemanfaatan  layanan  kesehatan.  Faktor  lain  yang mendukung  seseorang  untuk  memanfaatkan  layanan  VCT  seperti
lingkungan.  Dimana  orang  tersebut  tinggal  maka  budaya  yang berkembang  dapat  mempengaruhi  pengetahuan  yang  dia  miliki.  Sebagai
asumsi  bahwa  umur  seseorang  belum  tentu  mempengaruhi  tindakan seseorang  untuk  memanfaatkan  layanan  kesehatan  khususnya  VCT.  Hal
ini  sejalan  dengan  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Purwaningsih  2011 dari  hasil  penelitian  didapatkan  bahwa  umur  tidak  mempengaruhi
seseorang untuk memanfaatkan layanan VCT, ada faktor lain yang secara tidak  langsung  mempengaruhi  seseorang  untuk  memanfaatkan  layanan
VCT seperti persepsi kerentanan tentang HIVAIDS. Hal  ini  tidak  sejalan  dengan  penelitian  yang  dilakukan  oleh
Suliatiadi  2000  yang  menyatakan  bahwa  seseorang  dengan  usia  lebih muda  frekuensi  dalam  pemanfaatan  layanan  kesehatan  lebih  banyak
dibandingkan  dengan  usia  lebih  tua.  Hasil  yang  sama  dari  penelitian Ermarini  2013,  berdasarkan  hasil  analisis  didapatkan  bahwa  ada
hubungan bermakna antara umur ≥ 30 tahun dengan pemanfaatan layanan VCT.  Umur  yang  muda  menyebabkan  mereka  belum  memikirkan  efek
dari  penyakit  HIV  yang  menyebabkan  daya  tahan  menurun,  dikarenakan masa terjadi transmisi dan penjalaran penularan virus pada kurun waktu 5
– 10 tahun. Penelitian Ermarini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Saptari 2012 yang menyatakan bahwa semakin tua umur seseorang maka
kecenderungan  untuk  melakukan  pemeriksaan  juga  semakin  besar.  Dari kedua penelitian  ini diasumsikan  bahwa  semakin  dewasa umur seseorang
membuatnya lebih berfikir untuk memanfaatkan layanan kesehatan. Jika  dilihat  dari  uraian  tersebut,  maka  disimpulkan  bahwa  umur
akan  berpengaruh  terhadap  tindakan  seseorang  untuk  memanfaatkan layanan  kesehatan  yang  secara  tidak  langsung  dipengaruhi  oleh
lingkungan  tempat  tinggal.  Selain  itu,  perbedaan  hasil  penelitian  ini dengan  penelitian  yang  dilakukan  Ermarini  dan  Saptari  yaitu  pada  jenis
sampel  dan  karakteristik  responden.  Pada  penelitian  ini,  umur  terendah yaitu  18  tahun  dan  tertinggi  44  tahun  sedangkan  pada  penelitian
sebelumnya  umur  terendah  16  tahun  dan  tertinggi  51  tahun  .  Selain  itu, penelitian  sebelumnya  mengelompokkan  umur  responden  menjadi  dua
yaitu  dibawah  30  tahun  dan  di  atas  30  tahun.  Sehingga  mempengaruhi hasil statistik yang dilakukan.
Menurut Simanjuntak 2010, umur yang paling beresiko terhadap penyebaran HIVAIDS adalah rentang umur 25
– 34 tahun, 15 – 24 tahun, dan  35
–  44  tahun.  Jika  dilihat  dari  rentang  umur  yang  paling  beresiko terhadap penularan HIVAIDS adalah usia remaja dan usia produktif. Usia
remaja  identik dengan semangat bergelora, terjadinya peningkatan  libido. Kemudian  disusul  dengan  faktor  lingkungan  remaja  yang  mempengaruhi
perilaku  remaja  Tanjung,  2004.  Maka  intervensi  yang  sebaiknya dilakukan pada penelitian ini diberikannya pengetahuan yang baik tentang
manfaat  VCT.  Ibu  hamil  yang  memiliki  pengetahuan  baik  tentang  VCT dapat  merubah  pola  pikir  mereka  untuk  bertindak  sesuai  dengan
pengetahuaanya.  Diasumsikan  yaitu  seseorang  yang  mengetahui kerentanan  penyakit  HIVAIDS  pada  kelompok  usia  produktif  meskipun
tidak  memiliki  pengalaman  beresiko  HIVAIDS,  cenderung  bersikap positif untuk memanfaatkan layanan VCT.
6.3.2. Hubungan  Pendidikan  Dengan  Niat  Ibu  Hamil  Untuk  Memanfaatkan  Layanan
VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat
Pendidikan  secara  umum  adalah  segala  upaya  yang  direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat
sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Menurut  Notoatmodjo  2003  berpendapat  bahwa  pendidikan  merupakan
upaya  atau  kegiatan  untuk  menciptakan  perilaku  masyarakat  yang kondusif.
Berdasarkan  hasil  univariat  diketahui  bahwa  proporsi  niat  ibu hamil  untuk  memanfaatkan  layanan  VCT  dengan  kategori  pendidikan
rendah  adalah  48,0  dan  proporsi  niat  ibu  hamil  untuk  memanfaatkan layanan  VCT  dengan  kategori  pendidikan  tinggi  adalah  51,0.  Semakin
tinggi pendidikan seseorang maka pengetahuan akan semakin baik. Hal ini dapat  dilihat  dari  hasil  penelitian  bahwa  ibu  hamil  dengan  pendidikan
tinggi proporsi untuk melakukan VCT  lebih banyak dibandingkan dengan ibu  hamil  yang  berpendidikan  rendah.  Pada  penelitian  lain  oleh  Ermarini
2013,  mendapatkan  hasil  yang  serupa  yaitu  responden  dengan pendidikan tinggi 67,3 cenderung memanfaatkan pelayanan VCT.
Akan  tetapi,  dari  hasil  uji  statistik  tidak  terdapat  hubungan  yang signifikan  antara  pendidikan  dengan  niat  ibu  hamil  untuk  memanfaatkan
layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat tahun 2014. Penelitian ini didukung dengan Ermarini 2013, tingkat pendidikan seseorang tidak
berpengaruh  terhadap  pemanfaatan  layanan  VCT.  Sejalan  dengan penelitian  Jilia  2013,  bahwa  tingkat  pendidikan  seseorang  tidak
berpengaruh  terhadap  upaya  pencegahan  tentang  HIVAIDS  ada  faktor pendukung  yang  secara  tidak  langsung  mempengaruhi  yaitu  jenjang
pendidikan dan status pekerjaan. Namun,  menurut  Sumarlin  2013,  pendidikan  memiliki  pengaruh
terhadap  perilaku  seseorang  untuk  memanfaatkan  layanan  kesehatan. Seseorang  dengan  tingkat  pendidikan  tinggi  memiliki  pengetahuan  yang
baik  dalam  merespon  pelayanan  kesehatan.  Hal  ini  diperjelas,  menurut Notoatmodjo  2003,  pendidikan  merupakah  salah  satu  faktor  yang
berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Tingginya pendidikan seseorang secara  tidak  langsung  mempengaruhi  pengetahuan  yang  dimilikinya.
Tingkat  pendidikan  yang  rendah  menyebabkan  pengetahuan  yang  rendah pula mengenai HIVAIDS sehingga dimungkinkan lebih rentan menderita
HIVAIDS  akibat  ketidaktahuan  mengenai  faktor  resiko  penularan  HIV Sumarlin,  2013.  Hal  ini  diperjelas  oleh  Aggleton  1999  dalam  Anggia
2013,  pendidikan  yang  kurang  menjadi  penghambat  seseorang  dalam merespon pentingnya pengetahuan HIV serta pemanfaatan pencegahannya.
Orang  dengan  pendidikan  yang  tinggi  cenderung  memiliki  pengetahuan yang  lebih  baik  dalam  mengenali  penyakit  tertentu  sehingga
memungkinkan seseorang dengan pendidikan tinggi lebih cepat merespon pelayanan VCT.
Berdasarkan  penelitian  Purwaningsih  2011,  mendapatkan  hasil yang sama  bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu variabel  yang
tidak begitu mempengaruhi seseorang untuk memanfaatkan layanan VCT. Kejadian ini secara tidak langsung disebabkan juga oleh masih kurangnya
pengetahuan VCT pada kelompok orang yang berpendidikan tinggi seperti tujuan  VCT,  manfaat  VCT,  dan  akses  layanan  VCT.  Tingkat  Pendidikan
seseorang  relevansinya  akan  mempengaruhi  dalam  memahami  suatu informasi  atau  pengetahuan  yang  diperolehnya.  Sebagai  asumsi  bahwa
berpendidikan tinggi belum tentu memiliki pengetahuan yang baik terkait VCT,  karena  secara  tidak  langsung  pengetahuan  dapat  didukung  oleh
faktor lingkungan seperti dorongan dan motivasi dari orang terdekat. Jika  dilihat  dari  urain  diatas,  secara  tidak  langsung  jenjang
pendidikan  tertinggi  akan  berpengaruh  pada  keputusan  seseorang  untuk memanfaatkan  layanan  kesehatan.  Seseorang  dengan  jenjang  pendidikan
yang  semakin  tinggi  akan  memiliki  pengetahuan  yang  lebih  baik.  Selain jenjang  pendidikan,  faktor  pendukung  dan  motivasi  dari  orang  terdekat
juga  mempengaruhi  niat  seseorang  dalam  memanfaatkan  layanan  VCT. Hal  ini  sejalan  dengan  Setiawan,  2011  tingkat  pendidikan  seseorang
memiliki  hubungan  yang  bermakna  dengan  pemanfaatan  klinik  VCT. Seseorang  dengan  tingkat  pendidikan  yang  semakin  tinggi,  maka  tingkat
pemanfaatan  klinik  VCT  akan  semakin  baik,  begitupun  sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, semakin rendah pula tingkat
pemanfaatan  layanan  VCT-nya.  Perbedaan  hasil  penelitian  ini  dengan penelitian  yang  dilakukan  Sumarlin  dan  Aggleton  yaitu  pada  jenjang
pendidikan  yang  ditempuh  oleh  responden,  pada  penelitian  ini  jenjang pendidikan tidak bervariasi, pendidikan ibu hamil didominasi oleh tingkat
SMA.  Sedangkan  pada  penelitian  sebelumnya  tingkat  pendidikan responden  terlihat  bervariasi  dari  SD  sampai  perguruan  tinggi  dan  tidak
didominasi. Oleh  karena  itu,  hal  ini  menjadi  permasalahan  yang  dimiliki  oleh
instansi  terkait  bahwa  untuk  meningkatkan  perilaku  ibu  hamil  dalam memanfaatkan layanan VCT didukung dengan upaya
– upaya penyebaran informasi  terhadap  pencegahan  HIVAIDS.  Biasanya  semakin  tinggi
tingkat  pendidikan  seseorang  akan  lebih  mudah  menangkap  dan memahami  infromasi  yang  didapat.  Sehingga  sosialisasi  yang  dilakukan
sebaiknya  mempertimbangkan  media  komunikasi  yang dipakai,  informasi yang akan disampaikan disesuaikan dengan tingkat pendidikan masyarakat
di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat.
6.3.3. Hubungan  Status  Pekerjaan  Dengan  Niat  Ibu  Hamil  Untuk  Memanfaatkan
Layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat
Bekerja  adalah  salah  satu  upaya  untuk  mendapatkan  pamasukan, sehingga  dapat  memenuhi  kebutuhan  dan  meningkatkan  kesejahteraan.
Tingkat  kesejahteraan  yang  baik  dapat  meningkatkan  akses  seseorang  ke
layanan  kesehatan  untuk  menjaga  status  kesehatannya  agar  tetap  baik Indriyani, 2012.
Berdasarkan  hasil  univariat  diketahui  bahwa  proporsi  niat  ibu hamil untuk  memanfaatkan  layanan VCT  dengan kategori  ibu  yang tidak
bekerja  adalah  50,8  dan  proporsi  niat  ibu  hamil  untuk  memanfaatkan layanan  VCT  dengan  kategori  ibu  yang  bekerja  adalah  47,1.  Sehingga
disimpulkan  bahwa  ibu  hamil  yang  tidak  bekerja  dengan  ibu  hamil  yang bekerja berimbang dengan niatnya untuk memanfaatkan layanan VCT. Hal
ini  didukung  oleh  tingkat  pendidikan  ibu  hamil  dengan  status  pekerjaan yang  dimiliki.  Sebagian  besar  ibu  hamil  yang  tidak  bekerja  memiliki
pendidikan  yang  sama  dengan  ibu  hamil  yang  bekerja.  Selain  itu,  status pekerjaan yang dimiliki oleh ibu hamil mayoritas adalah pegawai toko.
Dari  hasil  uji  statistik  status  disimpulkan  bahwa  tidak  terdapat hubungan  yang  signifikan  antara  status  pekerjaan  dengan  niat  ibu  hamil
untuk  memanfaatkan  layanan  VCT  di  Wilayah  Kerja  Puskesmas  Ciputat tahun 2014. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Fauji 2010, status
pekerjaan  ibu  dengan  pemanfaatan  layanan  kesehatan  tidak  memiliki hubungan  yang  bermakna.  Hal  ini  dipengaruhi  faktor  lain,  yaitu  tingkat
pendidikan. Asumsinya bahwa status pekerjaan dapat berpengaruh dengan tindakan  seseorang  dalam  pemanfaatan  layanan  kesehatan  apabila  orang
yang bekerja memiliki pengetahuan yang lebih baik dari orang yang tidak bekerja.
Namun,  penelitian  ini  tidak  sejalan  dengan  penelitian  yang dilakukan  Khairrurahmi  2009,  yang  menyebutkan  bahwa  status
pekerjaan  memiliki  hubungan  yang  bermakna  dengan pemanfaatan klinik VCT. Hal  ini  sejalan dengan penelitian  yang dilakukan Su-Rin Shin  et  al
2005,  mayoritas  pengunjung  klinik  VCT  berstatus  sebagai  pekerja,  dan sangat  sedikit  sekali  yang  berstatus  sebagai  pengangguran.  Sama  halnya
dengan  Jilia  2013,  bahwa  ada  hubungan  bermakna  antara  pekerjaan dengan  upaya  pencegahan  HIVAIDS.  Status  pekerjaan  memiliki
hubungan yang bermakna dengan perilaku seseorang dalam memanfaatkan layanan kesehatan apabila dilihat dari jenis pekerjaannya.
Dalam penelitian ini terlihat bahwa sebagian besar ibu hamil tidak bekerja dan berstatus sebagai ibu rumah tangga. Namun sebagian besar ibu
hamil  yang  bekerja  merupakan  pegawai  toko  di  daerah  pasar  Ciputat. Sehingga  dapat  disimpulkan  bahwa  perbedaan  hasil  penelitian  yang
dilakukan  oleh  Khairrurahmi  dan  Jilia  yaitu  pada  sampel  penelitian, penelitian  ini  sampel  pada  semua  ibu  hamil  sedangkan  pada  penelitian
sebelumnya  pada  kelompok  wanita  pekerja  seksual.  Artinya  jenis pekerjaan  seseorang  yang  secara  tidak  langsung  mempengaruhi  bahwa
status pekerjaan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan niatnya untuk  memanfaatkan  layanan  VCT.  Hal  ini  sejalan  dengan  penelitian
Gunawan 2011, bahwa orang dengan jenis pekerjaan yang tidak menetap dirumah atau lokasi tempat kerja di luar kota cenderung mempunyai risiko
cukup  tinggi  untuk  tertular  dan  menularkan  HIVAIDS  mengingat karakteristik  dan  sifat  pekerjaan  mereka.  Sehingga  disimpulkan  bahwa
seseorang  dengan  jenis  pekerjaan  yang  cenderung  bersiko  akan mempengaruhi niatnya untuk memanfaatkan layanan VCT.
6.3.4. Hubungan Pengetahuan Dengan Niat Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan Layanan
VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat
Pengetahuan  merupakan  domain  yang  sangat  penting  untuk terbentuknya tindakan seseorang.  Berdasarkan pengalaman dan penelitian
ternyata perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku  yang  tidak  didasari  oleh  pengetahuan  Notoatmodjo,  2007.
Sedangkan menurut WHO 1984 dalam Notoatmodjo 2005 bahwa yang menyebabkan  seseorang  itu  berperilaku  karena  adanya  4  alasan  pokok
yaitu pemikiran dan perasaan, acuan dan referensi dari seseorang, sumber daya, dan sosio budaya. Bentuk dari pemikiran dan perasaan salah satunya
adalah  pengetahuan.  Seseorang  akan  berperilaku  didasarkan  beberapa pertimbangan yang diperoleh dari tingkat pengetahuannya.
Berdasarkan  hasil  univariat  diketahui  bahwa  proporsi  niat  ibu hamil  untuk  memanfaatkan  layanan  VCT  dengan  kategori  pengetahuan
buruk  adalah  45,7  dan  proporsi  niat  ibu  hamil  untuk  memanfaatkan layanan  VCT  dengan  kategori  pengetahuan  baik  adalah  100.  Hasil
penelitian ini didukung oleh penelitian Sumarlin 2013 bahwa perubahan perilaku  didukung  dengan  pengetahuan  yang  dimiliki  oleh  seseorang.
Didukung  pula  dengan  penjelasan  menurut  Notoatmodjo  2007  bahwa pengetahuan  merupakan  strategi  perubahan  perilaku  yang  penting  untuk
menimbulkan  kesadaran  dan  akhirnya  berperilaku  sesuai  dengan pengetahuan yang dimilikinya.
Hasil  uji  statistik  disimpulkan  bahwa  terdapat  hubungan  yang signifikan antara pengetahuan dengan niat ibu hamil untuk  memanfaatkan
layanan  VCT  di  Wilayah  Kerja  Puskesmas  Ciputat  tahun  2014.  Hal  ini sejalan  dengan  Purwaningsih  2011,  faktor  pengetahuan  mempengaruhi
keseriusan  yang  dirasakan  orang  risiko  tinggi  terhadap  HIVAIDS  untuk melakukan  upaya  pencegahannya  dalam  hal  ini  memanfaatkan  layanan
VCT.  Orang  risiko  tinggi  yang  memiliki  pengetahuan  tinggi  tentang HIVAIDS  akan  merasakan  keseriusan  yang  sangat  kuat  terhadap
HIVAIDS  sehingga  dengan  keseriusan  yang  dirasakannya,  orang  risiko tinggi  tersebut  akan  terdorong  untuk  melakukan  VCT.  Hal  yang  sama
dilakukan  Pusponegoro  et  al  2013,  terjadinya  peningkatan  minat responden  untuk  memanfaatkan  layanan  kesehatan  setelah  dilakukannya
intervensi.
Pengetahuan responden sangat rendah terkait VCT hanya 4, setelah di intervensi pengetahuan meningkat menjadi 52. Dengan meningkatnya pengetahuan
responden terkait VCT memberi efek terhadap minat responden untuk memanfaatkan layanan VCT.
Perubahan  perilaku  didukung  oleh  tingkat  pengetahuan  yang  dimiliki seseorang.
Seorang  ODHA  yang  mempunyai  pengetahuan  yang  baik tentang  HIVAIDS,  kemudian  mengubah  perilakunya  untuk  berperilaku
agar mencegah terjadi peningkatan kasus HIVAIDS. Dengan pengetahuan tersebut  diharapkan  pasien  HIVAIDS  melakukan  perubahan  perilaku
dalam  hal  mencegah  penularan  HIVAIDS.  Hal  ini  sejalan  dengan
Anggipita  2010  dalam  Sumarlin  2013,  ada  hubungan  yang  signifikan antara pengetahuan dengan kepatuhan ARV.
Begitu juga dengan ibu hamil yang  memiliki  pengetahuan  baik  tentang  manfaat  VCT  untuk  bayi  yang
dikandungnya,  akan  berperilaku  untuk  mencegah  penularan  HIVAIDS dari  dirinya  kepada  bayi  yang  dikandungnya.  Hal  ini  didukung  oleh
penelitian yang dilakukan Wijayanti et al 2013 menyatakan pengetahuan yang  tinggi  tentang  VCT  mempengaruhi  minat  seseorang  untuk
memanfaatkan layanan VCT. Berdasarkan  wawancara  dengan  petugas  kesehatan  di  Puskesmas
Ciputat  layanan  VCT  merupakan  program  baru  yang  dilaksanakan terhitung awal bulan di tahun 2014. Sehingga dari hasil pengumpulan data
yang  dilakukan  kepada  semua  ibu  hamil  di  Wilayah  Kerja  Puskesmas Ciputat  didapatkan  bahwa  mayoritas  ibu  hamil  belum  paham  dengan
istilah  VCT,  bahkan  sebagian  besar  responden  tidak  mengetahui ketersediaan  fasilitas  VCT  yang  sebenarnya  dilaksanakan  gratis.  Sebagai
asumsi  bahwa  mempengaruhi  minat  ibu  hamil  untuk  memanfaatkan layanan  VCT  diperlukan  upaya  promosi  yang  seharusnya  dilakukan  oleh
pihak puskesmas terkait VCT misalnya melalui beberapa media. Dari hasil observasi  peneliti  terlihat  bahwa  belum  dilakukannya  upaya  promosi
layanan  VCT  melalui  alat  bantu  berupa  media.  Rendahnya  pengetahuan yang dimiliki ibu hamil tentang layanan VCT didukung dengan minimnya
sosialisasi  yang  dilakukan  Puskesmas  Ciputat.  Menurut  penelitian  yang dilakukan
Donkor  ES  dan  Alemu  et  al  di  Etiopia,  dalam  penelitian  Pusponegoro 2013,  80  -  89  respondennya  memiliki  tingkat  pengetahuan  yang  baik  terhadap
VCT  karena  pemerintah  Etiopia  melakukan  promosi  terhadap  penyakit  AIDS maupun  VCT  melalui  media  elektronik.  Pengaruh  promosi  yang  digalakkan
pemerintah  ternyata  juga  memberikan  efek  edukatif  terhadap  masyarakat  sehingga dapat meningkatkan pengetahuan.
Sementara itu, dari penelitian yang di lakukan oleh Saputra 2008, hasil  analisis  menunjukkan  bahwa  tidak  ada  hubungan  yang  bermakna
antara  pengetahuan  dengan  perilaku  pencegahan  terhadap  HIVAIDS. Artinya responden dengan tingkat pengetahuan rendah berimbang dengan
responden  yang  berpengetahuan  tinggi  untuk  melakukan  upaya pencegahan  terhadap  HIVAIDS.  Hal  yang  sama  pada  penelitian  Dewi
2011  dalam  Aisyah  2012,  bahwa  tidak  ada  hubungan  yang  signifikan antara pengetahuan dengan perilaku seseorang terhadap upaya pencegahan
HIV. Beberapa  hasil  penelitian  di  atas,  diasumsikan  bahwa  seseorang
dengan  tingkat  pengetahuan  tinggi  maupun  rendah  tentang  pencegahan dan  penularan  HIV  dapat  saja  berperilaku  mendukung  atau  tidak
mendukung  untuk  melakukan  upaya  pencegahan.  Sedangkan  Menurut Green 1990, faktor pengetahuan yang termasuk dalam faktor predisposisi
mempunyai  pengaruh  sebagai  motivasi  awal  bagi  seseorang  dalam berperilaku.  Artinya  dalam  hal  ini  perilaku  seseorang  sejalan  dengan
pengetahuan  yang  dimiliki.  Jadi,  seseorang  yang  memiliki  pengetahuan yang  baik  tentang  manfaat  VCT  maka  akan  mendukung  minatnya  untuk
memanfaatkan  layanan  VCT.  Aspek  pengetahuan  akan  sejalan  dengan minatnya untuk berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
Dari  hasil  univariat  niat  ibu  hamil  untuk  memanfaatkan  layanan VCT  sebanyak  50.  Hal  ini  sejalan  dengan  hasil  tingkat  pengetahuan
responden,  sebagian  besar  ibu  hamil  berpengetahuan  buruk  tentang  VCT sebesar  92,1. Pengetahuan ini meliputi manfaat VCT, tahapan
– tahapan dalam layanan VCT, layanan apa saja yang diberikan dalam layanan VCT,
dan materi apa saja yang diberikan konselor dalam layanan VCT.  Artinya untuk  menaikkan  niat  ibu  hamil  menjadi  70  harus  diimbangi  dengan
pengetahuan  baik  ibu  hamil  terhadap  VCT.  Sehingga  upaya  yang dilakukan  dalam  mendukung  minat  ibu  hamil  untuk    memanfaatkan
layanan  VCT  dengan  memberikan  intervensi  melalui  peningkatan pengetahuan.  Salah  satu  upaya  peningkatan  pengetahuan  dengan
mengembangkan sosialisasi VCT. Sosialisasi dapat dikembangkan melalui kerjasama dengan instansi kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat,
kader,  dan  kelurahan.  Sosialisasi  ini  bisa  dilaksanakan  melalui  berbagai kegiatan yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat.
6.3.5. Hubungan Sikap Dengan Niat Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan Layanan VCT di
Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat
Sikap  merupakan  kesiapan  untuk  bereaksi  terhadap  objek  di lingkungan  tertentu  sebagai  suatu  penghayatan  terhadap  objek
Notoatmodjo, 2003. Sikap belum merupakan suatu perbuatan, tetapi dari sikap  dapat  diramalkan  perbuatannya  Fauji,  2010.  Hal  ini  didukung
menurut  Rosenstock  1974,  suatu  tindakan  akan  dipengaruhi  oleh keyakinan  tentang  efektivitas  relatif  dari  alternatif  yang  tersedia  yang
dikenal  dapat  mengurangi  ancaman  penyakit  yang  dirasakan  individu.
Dijelaskan  juga  oleh  Green  1991,  bahwa  mewujudkan  sikap  menjadi perbuatan  nyata  diperlukan  faktor  pendukung  atau  kondisi  yang
memungkinkan.  Faktor  yang  mendukung  adalah  :  1  faktor  predisposisi pengetahuan,  sikap,  keyakinan  persepsi,  2  faktor  pendukung    akses
pada  pelayanan  kesehatan,  keterampilan  dan  adanya  referensi,  3  faktor pendorong  terwujud  dalam  bentuk  dukungan  dari  keluarga,  tetangga  dan
tokoh masyarakat. Berdasarkan  hasil  univariat  diketahui  bahwa  proporsi  niat  ibu
hamil  untuk  memanfaatkan  layanan  VCT  dengan  kategori  sikap  negatif adalah 28,0 dan kategori sikap positif adalah 60,8. Hasil penelitian ini
menunjukan  bahwa  yang  tidak  menggunakan  layanan  VCT  lebih  tinggi pada kelompok yang bersikap negatif dibandingkan dengan yang bersikap
positif.  Sejalan  dengan  pernyataan  Jilia  2013,  yang  menyatakan  bahwa sikap mempengaruhi perilaku seseorang meskipun sikap tidak dapat dilihat
langsung.  Selain  itu,  sikap  dikatakan  sebagai  suatu  penghayatan  terhadap objek  sehingga  sikap  dapat  menggambarkan  suka  atau  tidak  suka
seseorang terhadap objek. Hasil  uji  statistik  disimpulkan  bahwa  terdapat  hubungan  yang
signifikan antara sikap dengan niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT  di  Wilayah  Kerja  Puskesmas  Ciputat  tahun  2014.  Penelitian  ini
sejalan dengan Aswar 2012, yang menunjukkan adanya hubungan antara sikap dengan pemanfaatan layanan VCT yakni semakin tinggi penerimaan
seseorang  terhadap  layanan  VCT  maka  semakin  tinggi  minat  seseorang untuk  memanfaatkan  layanan  VCT.  Hal  yang  sama  diperjelas  oleh
Pranadji 1988 dalam Fauji 2010, bahwa sikap akan sangat berpengaruh bagi  keputusan  seseorang,  sebab  sikap  akan  mengarahkan  perilaku
seseorang  secara  langsung.  Artinya  sikap  seseorang  dapat  mempengaruhi keputusan  orang  tersebut  untuk  melakukan  atau  tidak  melakukan  dalam
hal ini yaitu memanfaatkan layanan VCT. Beberapa  hasil  penelitian  diatas,  dapat  diartikan  bahwa  untuk
merubah  sikap  negatif  ibu  hamil  terhadap  layanan  VCT  diberikan pengetahuan  lebih  mengenai  layanan  VCT  sebagai  upaya  pencegahan
penularan  HIVAIDS  dari  ibu  ke  anak.  Penelitian  ini  sejalan  menurut Getachew,  2005  yang  menunjukkan  bahwa  sikap  positif  ibu  hamil
didukung dengan pengetahuan yang baik tentang layanan VCT, yakni ibu hamil  akan  memanfaatkan  layanan  VCT  secara  sukarela  dengan  alasan
untuk mengurangi risiko transmisi HIV ke anaknya. Hal tersebut diperjelas dalam  penelitian  Zubairu  et.al  2006,  menyatakan  bahwa  adanya
pengetahuan yang baik tentang pencegahan penularan HIVAIDS dari ibu ke  anak  melalui  VCT  yang  menimbulkan  sikap  positif  ibu  hamil  untuk
memanfaatkan  layanan  VCT.  Oleh  karena  itu,  pengetahuan  merupakan salah  satu  faktor  yang  mempengaruhi  sikap  ibu  hamil  untuk
memanfaatkan  layanan VCT. Jika dilihat dari  theory of planned behavior pengetahuan  merupakan  salah  satu  faktor  yang  mempengaruhi
terbentuknya sikap. Namun,  menurut  Pusponegoro  2013,  sikap  negatif  seseorang
terhadap  layanan VCT dipengaruhi oleh stigma  negatif  yang  berkembang di  lingkungan  masyarakat.  Penyakit  HIV  dipandang  sebagai  penyakit
menular  dimana  penderitanya  dianggap  menakutkan.  Oleh  karena  itu, mereka  menganggap  bila  melakukan pemeriksaan, akan dicap oleh orang
sekitarnya  memiliki  riwayat  promiskuitas  atau  positif  menderita  AIDS. Padahal menurut Depkes 2008, kegiatan konseling yang bertujuan untuk
mengurangi  stigma  masyarakat  tentang  HIVAIDS  dengan  menyediakan dukungan  psikologis,  informasi,  pengetahuan  HIVAIDS,  mencegah
penularan  HIV,  mempromosikan  perubahan  perilaku  yang  bertanggung jawab,  pengobatan  ARV  dan  memastikan  pemecahan  berbagai  masalah
terkait dengan HIVAIDS. Sementara  itu,  menurut  Solehah  2008  dalam  Aisyah  2012,
menunjukkan  bahwa  tidak  ada  hubungan  yang  bermakna  antara  sikap seseorang  dengan  perilaku  pencegahan  HIVAIDS.  Artinya  antara
responden  yang  bersikap  positif  dengan  responden  yang  bersikap  negatif terhadap upaya pencegahan HIVAIDS tidak mempengaruhi keputusannya
untuk  berperilaku.  Diasumsikan  bahwa  seseorang  mempunyai  sikapnya masing
–  masing  terhadap  suatu  objek,  dan  perbedaan  sikap  mereka  itu merupakan  hal  yang  sewajarnya.  Hal  ini  secara  tidak  langsung  bisa
dipengaruhi  oleh  karateristik  yang  berbeda –  beda  dari  setiap  individu.
Selain  itu,  setiap  individu  mempunyai  perbedaan  dalam  pengalaman belajar,  tingkat  pendidikan,  status  sosial,  bahkan  budaya  yang  berbeda
dalam lingkungannya. Sikap  seseorang  terhadap  niatnya  untuk  memanfaatkan  layanan
kesehatan  secara  tidak  langsung  dipengaruhi  oleh  budaya  yang berkembang  dilingkungannya.  Perbedaan  hasil  penelitian  ini  dengan
penelitian  yang  dilakukan  Solehah  yaitu  pada  karakteristik  demografi. Pada  penelitian  ini  dilakukan  pada  kelompok  ibu  hamil  yang  belum
melakukan  layanan  VCT,  sedangkan  penelitian  sebelumnya  pada kelompok  ibu  hamil  yang  sudah  melakukan  layanan  VCT.  Menurut
Sarwono 2012, sikap dapat terbentuk atau berubah melalui empat cara : adopsi  yaitu  melalui  budaya  yang  berkembang  dilingkungannya,
diferensiasi yaitu pengalaman individu yang dialaminya didukung dengan bertambahnya  usia,  integrasi  yaitu  melalui  pengalaman  yang  didukung
dengan pengetahuan  yang  berhubungan dengan  suatu objek, trauma  yaitu pengalaman  yang  meninggalkan  kesan  mendalam  pada  jiwa  orang  yang
bersangkutan.  Sehingga  untuk  melakukan  perubahan  terhadap  sikap seseorang bisa didukung dengan motivasi.
Artinya  untuk  merubah  sikap  ibu  hamil  terhadap  layanan  VCT dapat  dilakukan  dengan  suatu  proses  pendekatan  internal  melalui
sosialisasi  secara  terus  menerus  antara  individu  dengan  individu  lain  di lingkungannya.  Misalnya  melalui  kader  di  tempat  tinggalnya  yang  lebih
memiliki  dipercaya  memiliki  pengaruh  terhadap  kondisi  lingkungannya. Perubahan  sikap  tidak  dapat  dilakukan  hanya  dari  faktor  internal
melainkan  dari  faktor  eksternal.  Oleh  karena  itu,  sosialisasi  yang dilakukan  kader  dapat  dibantu  dengan  media  komunikasi  seperti  leaflet
atau lainnya. Dan didukung juga dengan pendekatan melalui orang – orang
terdekat ibu hamil yang bisa mendukung dalam pembentukan sikap positif terhadap layanan VCT.
6.3.6. Hubungan  Norma  Subyektif  Dengan  Niat  Ibu  Hamil  Untuk  Memanfaatkan
Layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat
Normatif  subjektif  atau  subjective  norm  adalah  sejauh  mana seseorang  memiliki  motivasi  untuk  mengikuti  pandangan  orang  terhadap
perilaku  yang  akan  dilakukannya  normative  beliefs.  Kalau  individu merasa  itu  adalah  hak  pribadinya  untuk  menentukan  apa  yang  akan  dia
lakukan,  bukan  ditentukan  oleh  orang  lain  disekitarnya,  maka  dia  akan mengabaikan  pandangan  orang  tentang  perilaku  yang  akan  dilakukannya
Ajzen, 2005. Berdasarkan hasil univariat diketahui bahwa nilai proporsi niat ibu
hamil untuk memanfaatkan layanan VCT dengan kategori norma subyektif dorongan  lemah  adalah  36,1  dan  kategori  norma  subyektif  dengan
dorongan  kuat  adalah  62,5.  Hal  ini  membuktikan  bahwa  ibu  hamil dengan  norma  subyektif  dorongan  kuat  proporsinya  untuk  melakukan
VCT  lebih  tinggi  dibandingkan  dengan  ibu  hamil  yang  memiliki  norma subyektif dorongan  lemah. Pernyataan ini sejalan dengan Achmat 2010,
seseorang  akan  berniat  menampilkan  suatu    perilaku  tertentu  jika  ia mempersepsikan  bahwa  orang  lain  berfikir  bahwa  seharusnya  ia
melakukan  hal  tersebut.  Sehingga  orang  tersebut  termotivasi  untuk memenuhi  harapan orang  lain  yang relevan. Harapan orang
– orang yang bisa  mempengaruhi keputusan  ibu  hamil  dalam penelitian  ini  yaitu orang
tua,  suami,  keluarga,  anak,  teman,  petugas  kesehatan  dan  media  massa. Oleh  karena  itu,  yang  disebut  dengan  norma  subjektif    dorongan  kuat  ,
apabila orang lain melihat perilaku yang akan ditampilkan sebagai sesuatu
yang  positif  dan  seseorang  tersebut  ingin  memenuhi  harapan  orang  lain tersebut dan sebaliknya itu yang disebut dengan norma subjektif lemah.
Dari  hasil uji statistik disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan  antara  norma  subyektif  dengan  niat  ibu  hamil  untuk
memanfaatkan  layanan  VCT  di  Wilayah  Kerja  Puskesmas  Ciputat  tahun 2014.  Hal  ini  didukung  dengan  penelitian  Fathimah  2014,  norma
subyektif  yang  memiliki  dorongan  kuat  dari  orang  terdekat  memberi pengaruh  yang  besar  dalam  menentukan  suatu  perilaku.  Menurut  Ajzen
2005, secara umum  semakin  seseorang  mempersepsikan  bahwa rujukan sosial  merekomendasikan  untuk  melakukan  suatu  perilaku  maka  orang
tersebut  akan  cenderung  merasakan  tekanan  sosial  untuk  berniat melakukan perilaku tersebut dan sebaliknya. Teori tersebut sejalan dengan
Saptari 2013, seseorang yang berada di lingkungan dorongan kuat untuk mengambil keputusan maka proporsi niat orang tersebut akan berperilaku
positif. Sementara  itu,  menurut  Durkheim  1960,  perubahan  seseorang
terjadi  dengan  cepat  dipengaruhi  oleh  semakin  meningkatnya  dorongan dari  lingkungan  sekitar  yang  menghasilkan  suatu  kebingungan  tentang
norma, sehingga akhirnya mengakibatkan simpang siurnya norma – norma
sosial  yang  mengatur  perilaku.  Oleh  karena  itu,  norma  dan  nilai  menjadi relatif,  khususnya  dalam  era  modern  sekarang  ini  Bauman,  1993  dalam
Meilisa  et  al  2010.  Hal  ini  sejalan  dengan  penelitian  yang  dilakukan Meilisa  et  al  2010,  bahwa  norma  subyektif  tidak  memiliki  hubungan
yang  signifikan  dengan  niat  seseorang  untuk  sadar  akan  kesehatan.  Ada
faktor  lain  yang  secara  tidak  langsung  mempengaruhi  norma  subyektif yaitu  lingkungan  tempat  tinggal  seseorang  yang  mempengaruhi  unsur
budaya. Sehingga  intervensi  yang  dapat  dilakukan  oleh  petugas  kesehatan
adalah  dengan  memberikan  dukungan  serta  motivasi  kepada  ibu  hamil melalui  orang
–  orang  terdekat  responden  terkait  manfaat  layanan  VCT. Hal  ini  sejalan  dengan  Purwaningsih  2011,  faktor  lingkungan  mungkin
dapat  menjadi  salah  satu  faktor  pendorong  yang  membuat  responden merasakan  keseriusan  yang  kuat  terhadap  HIVAIDS  sehingga  dapat
memotivasi dirinya untuk memanfaatkan layanan VCT. Menurut Kwan  et al  2012,  mayoritas  pasien  merasa  kecewa  terhadap  antrian  yang  sering
terjadi  dalam  mendapatkan  pelayanan  kesehatan.  Diasumsikan  bahwa kepuasan  pasien  terhadap  pelayanan  kesehatan  yang  diberikan  oleh
petugas  kesehatan  secara  tidak  langsung  mendorong  individu  untuk memanfaatkan  layanan  kesehatan.  Artinya  jika  petugas  kesehatan  bisa
memberikan  kepuasan  terhadap  pelayanan  yang  pasien  dapatkan,  maka secara  tidak  langsung  petugas  kesehatan  telah  berhasil  memberikan
motivasi kepada pasiennya. Jika dilihat dari penelitian Sumarlin 2013, faktor dukungan serta
motivasi  keluarga  berpengaruh  terhadap  perubahan  perilaku  penderita yang  beresiko  HIV  untuk  memanfaatkan  layanan  VCT.  Selama  ini,
dukungan  dari  keluarga  dapat  meningkatkan  kelompok  beresiko  tinggi HIVAIDS  untuk  memanfaatkan  layanan  VCT,  misalnya  dapat
diwujudkan  dengan  memberikan  perhatian,  informasi,  memberikan
semangat  kepada  penderita  HIVAIDS.  Manfaat  dari  dukungan  keluarga ini yaitu dapat menekan munculnya stress karena informasi dan perhatian
yang  diberikan  keluarga  dapat  memberikan  semangat  pada  diri  penderita HIVAIDS.
Menurut  Ajzen  2005,  motivasi  orang  terdekat  yang  mereka anggap  penting  juga  mempengaruhi  norma  subyektif  seseorang  dalam
mengambil  keputusan  untuk  berperilaku.  Sehingga  dukungan  orang terdekat  ibu  hamil  yang  menganggap  bahwa  layanan  VCT  penting
memberi pengaruh pada keputusan ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT.  Dengan  adanya  saran  dari  orang  terdekat,  dapat  memberikan
informasi  serta  pengetahuan  baru  terhadap  responden  yang  bisa memotivasi  responden  agar  dapat  memanfaatkan  layanan  VCT.  Dalam
penelitian ini terlihat bahwa sebagian responden yang memiliki  informasi dari  motivasi  orang
–  orang  terdekat  memberi  pengaruh  pada  keputusan ibu  hamil  untuk  berniat  memanfaatkan  layanan  VCT.  Oleh  karena  itu,
perlunya  kerjasama  antara  Puskesmas  Ciputat  dengan  instansi  kesehatan swasta, kader, dan kelurahan dalam memberikan penyuluhan, membangun
kepercayaan  pasien  dengan  pelayanan  kesehatan  yang  didapatkan  dan informasi  positif  yang  memberikan  dukungan  kepada  ibu  hamil  untuk
memanfaatkan layanan VCT.
6.3.7. Hubungan Persepsi Kontrol Diri Dengan Niat Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan
Layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat
Persepsi  kontrol  diri  perceived  behavioral  control  didefinisikan oleh  Ajzen  1991  sebagai  kemudahan  atau  kesulitan  persepsi untuk
melakukan  perilaku.  Kontrol  perilaku  persepsi  ini  merefleksikan pengalaman  masa  lalu  dan  mengantisipasi  halangan-halangan  yang  ada
sehingga  semakin  menarik    sikap    dan    norma    subjektif    terhadap perilaku,  semakin  besar  kontrol perilaku persepsi, semakin kuat pula niat
seseorang untuk melakukan perilaku yang  sedang  dipertimbangkan. Berdasarkan  hasil  univariat  diketahui  bahwa  proporsi  niat  ibu
hamil untuk memanfaatkan layanan VCT dengan persepsi kontrol diri kuat adalah  68,2.  Ibu  hamil  dengan  persepsi  kontrol  diri  yang  kuat  lebih
cenderung  berniat  untuk  memanfaatkan  layanan  VCT  dibandingkan dengan  ibu  hamil  yang  memiliki  persepsi  kontrol  diri  yang  lemah.  Hasil
penelitian  ini  sejalan  dengan  Saptari  2013,  seseorang  dengan  persepsi kontrol  diri  yang  kuat  akan  lebih  bersikap  positif  sehingga  menimbulkan
perubahan perilaku  yang positif. Untuk  memanfaatkan  layanan kesehatan yang dianggap seseorang penting maka ia akan berpersepsi sesuai dengan
kemampuannya untuk mengontrol. Hasil  uji  statistik  disimpulkan  bahwa  terdapat  hubungan  yang
signifikan  antara  persepsi  kontrol  diri  dengan  niat  ibu  hamil  untuk memanfaatkan  layanan  VCT  di  Wilayah  Kerja  Puskesmas  Ciputat  tahun
2014.  Hal  ini  sejalan  dengan  Meilisa  et  al  2010,  dari  ketiga  faktor domain  yang  mendukung  intensi,  persepsi  kontrol  perilaku  yang
memegang  peranan  penting  mempengaruhi  seseorang  dalam  menentukan minatnya  untuk  memanfaatkan  layanan  kesehatan.  Menurut  Achmat
2010,  persepsi  atas  kontrol  perilaku  menunjuk  suatu  derajat  dimana individu merasa bahwa tampil tidaknya suatu perilaku yang diinginkannya
dibawah  kontrol  kendali  dirinya  sendiri.  Orang  cenderung  tidak  akan membentuk  suatu  intensi  yang  kuat  untuk  menampilkan  suatu  perilaku
tertentu  apabila  seseorang  percaya  bahwa  dirinya  tidak  memiliki kemampuan atau kesempatan untuk berperilaku meskipun sudah didukung
dengan sikap yang positif. Berdasarkan penelitian Fathimah 2014,  persepsi kontrol perilaku
secara  tidak  langsung  dipengaruhi  oleh  kekuatan  faktor  dalam memfasilitasi  atau  menghambat perilaku  seseorang.  Kekuatan  yang dapat
memfasilitas atau menghambat perilaku seseorang dalam berperilaku yaitu kemampuan  bagaimana  dirinya  mempersepsikan  tingkat  kesulitan  atau
kemudahan  untuk  menampilkan  suatu  perilaku.  Sebagai  asumsi  bahwa untuk membuat seseorang berpersepsi bahwa dirinya mampu menghadapi
hambatan  yang  dialaminya  untuk  melakukan  atau  tidak  melakukan  VCT. Sehingga  upaya  intervensi  yang  bisa  dilakukan  dengan  memberikan
pengetahuan  tentang  VCT.  Menurut  Achmat  2012  dalam  Fathimah 2014,  salah  satu  faktor  yang  secara  tidak  langsung  mempengaruhi
motivasi dalam diri seseorang adalah pengetahuan. Sehingga  untuk  mendukung  ibu  hamil  memiliki  kontrol  persepsi
perilaku kuat yang mempersepsikan bahwa layanan VCT bermanfaat bagi dirinya  dengan  memberikan  motivasi  dengan  memberi  informasi  terkait
tahapan –  tahapan  yang  dilakukan  dalam  layanan  VCT.  Jika  dilihat  dari
hasil  univariat  ibu  hamil  yang  memiliki  persepsi  kontrol  diri  lemah
berimbang dengan ibu hamil yang memiliki kontrol persepsi kuat. Artinya untuk  meningkatkan  niat  ibu  hamil  untuk  memanfaatkan  layanan  VCT,
didukung  dengan  meningkatkan  persepsi  kontrol  diri  responden. Berdasarkan  peneltian  Nuri  2012  dalam  Fathimah  2014,  seseorang
dapat  dimotivasi  untuk  melakukan  perubahan  suatu  perilaku  dengan memberikan  pengetahuan.  Pengetahuan  yang  baik  tentang  layanan  VCT
membuat mereka merasa yakin mampu menghadapi hambatan – hambatan
yang  ada  dalam  dirinya  untuk  mendorongnya  melakukan  VCT.  Adapun hambatan  yang  mereka  hadapi  yaitu  takut  akan  stigma  negatif  dari
masyarakat  tentang  HIV  dan  ODHA.  Oleh  karena  itu,  intervensi  yang sebaiknya  dilakukan  dengan  meningkatan  pengetahuan  melalui  media
komunikasi, bisa berupa poster, leaflet dan lembar balik terkait tahapan –
tahapan dalam layanan VCT.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN