Hubungan Antara Faktor Penyebab Dengan Niat Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan

akan hasil yang diperoleh setelah tes, tidak mengetahui adanya layanan VCT, dan dukungan dari orang terdekat yang kurang baik terhadap VCT. Dalam penelitian ini 50 ibu hamil sudah mempunyai niat untuk memanfaatkan layanan VCT. Hasil penelitian ini Ibu hamil memiliki pengetahuan rendah tentang VCT, hal ini secara tidak langsung mempengaruhi niat ibu untuk memanfaatkan layanan VCT. Artinya ada hubungan antara rendahnya pengetahuan ibu hamil dengan minimnya sosialisasi yang dilakukan petugas kesehatan di Puskesmas Ciputat.

6.3. Hubungan Antara Faktor Penyebab Dengan Niat Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan

Layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Untuk memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat dipengaruhi oleh faktor penyebab yang diteliti dalam penelitian ini meliputi : karaktristik demografi responden, pengetahuan tentang VCT, sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol diri. Masing – masing variabel dijelaskan dalam pembahasan dibawah ini.

6.3.1. Hubungan Umur Dengan Niat Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan Layanan VCT di

Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Menurut Kwong et al 2003, yang menemukan bahwa umur seseorang secara signifikan berpengaruh terhadap niat untuk menentukan suatu keinginan. Hasil yang sama didapat oleh Hurlock 2008 dalam Fauji 2010 menyatakan bahwa seseorang yang masuk dalam kategori usia muda cenderung bertindak sesuai dengan keinginan diri sendiri dan sebaliknya. Kemudian diperjelas oleh World Health Organization WHO, batasan umur remaja adalah rentang dari 12 – 24 tahun. Umur yang muda menyebabkan mereka belum memikirkan efek dari suatu penyakit, sehingga mereka belum berfikir kondisi lain setelah mereka dinyatakan sakit. Berdasarkan hasil univariat diketahui bahwa proporsi niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT dengan kategori umur dewasa muda adalah 57,1 dan proporsi niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT dengan kategori umur dewasa adalah 47,3. Sehingga disimpulkan bahwa berimbang antara ibu hamil dengan usia muda dan usia dewasa dengan niatnya untuk memanfaatkan layanan kesehatan. Namun menurut Andersen 1995, umur merupakan salah satu faktor yang bisa mempengaruhi seseorang untuk memanfaatkan layanan kesehatan. Dari hasil univariat didapatkan bahwa penelitian ini, didominasi oleh kelompok umur di atas 25 tahun yaitu umur dewasa. Padahal menurut penelitian Ermarini 2013, semakin tua umur seseorang maka semakin mempengaruhi pemikiran mereka terhadap tindakan apa yang harus dilakukan untuk melindungi dirinya dari ancaman penyakit. Artinya, umur mempengaruhi tindakan seseorang dalam menyelesaikan masalah. Hal ini didukung oleh Hurlock 1980, sekitar awal atau pertengahan umur tiga puluh tahun kebanyakan orang dewasa telah mampu memecahkan masalah yang dihadapi secara emosional menjadi stabil dan tenang. Hasil uji statistik disimpulkan bahwa pada alpha 5 tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat tahun 2014. Jika dilihat dari hasil analisis bivariat terlihat bahwa umur seseorang tidak mempengaruhi orang tersebut untuk bertindak atau berprilaku sesuai dengan kategori usianya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fauji 2010 yang menyatakan bahwa umur seseorang tidak ada hubungannya dengan pemanfaatan layanan kesehatan. Faktor lain yang mendukung seseorang untuk memanfaatkan layanan VCT seperti lingkungan. Dimana orang tersebut tinggal maka budaya yang berkembang dapat mempengaruhi pengetahuan yang dia miliki. Sebagai asumsi bahwa umur seseorang belum tentu mempengaruhi tindakan seseorang untuk memanfaatkan layanan kesehatan khususnya VCT. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih 2011 dari hasil penelitian didapatkan bahwa umur tidak mempengaruhi seseorang untuk memanfaatkan layanan VCT, ada faktor lain yang secara tidak langsung mempengaruhi seseorang untuk memanfaatkan layanan VCT seperti persepsi kerentanan tentang HIVAIDS. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suliatiadi 2000 yang menyatakan bahwa seseorang dengan usia lebih muda frekuensi dalam pemanfaatan layanan kesehatan lebih banyak dibandingkan dengan usia lebih tua. Hasil yang sama dari penelitian Ermarini 2013, berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa ada hubungan bermakna antara umur ≥ 30 tahun dengan pemanfaatan layanan VCT. Umur yang muda menyebabkan mereka belum memikirkan efek dari penyakit HIV yang menyebabkan daya tahan menurun, dikarenakan masa terjadi transmisi dan penjalaran penularan virus pada kurun waktu 5 – 10 tahun. Penelitian Ermarini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Saptari 2012 yang menyatakan bahwa semakin tua umur seseorang maka kecenderungan untuk melakukan pemeriksaan juga semakin besar. Dari kedua penelitian ini diasumsikan bahwa semakin dewasa umur seseorang membuatnya lebih berfikir untuk memanfaatkan layanan kesehatan. Jika dilihat dari uraian tersebut, maka disimpulkan bahwa umur akan berpengaruh terhadap tindakan seseorang untuk memanfaatkan layanan kesehatan yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal. Selain itu, perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Ermarini dan Saptari yaitu pada jenis sampel dan karakteristik responden. Pada penelitian ini, umur terendah yaitu 18 tahun dan tertinggi 44 tahun sedangkan pada penelitian sebelumnya umur terendah 16 tahun dan tertinggi 51 tahun . Selain itu, penelitian sebelumnya mengelompokkan umur responden menjadi dua yaitu dibawah 30 tahun dan di atas 30 tahun. Sehingga mempengaruhi hasil statistik yang dilakukan. Menurut Simanjuntak 2010, umur yang paling beresiko terhadap penyebaran HIVAIDS adalah rentang umur 25 – 34 tahun, 15 – 24 tahun, dan 35 – 44 tahun. Jika dilihat dari rentang umur yang paling beresiko terhadap penularan HIVAIDS adalah usia remaja dan usia produktif. Usia remaja identik dengan semangat bergelora, terjadinya peningkatan libido. Kemudian disusul dengan faktor lingkungan remaja yang mempengaruhi perilaku remaja Tanjung, 2004. Maka intervensi yang sebaiknya dilakukan pada penelitian ini diberikannya pengetahuan yang baik tentang manfaat VCT. Ibu hamil yang memiliki pengetahuan baik tentang VCT dapat merubah pola pikir mereka untuk bertindak sesuai dengan pengetahuaanya. Diasumsikan yaitu seseorang yang mengetahui kerentanan penyakit HIVAIDS pada kelompok usia produktif meskipun tidak memiliki pengalaman beresiko HIVAIDS, cenderung bersikap positif untuk memanfaatkan layanan VCT.

6.3.2. Hubungan Pendidikan Dengan Niat Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan Layanan

VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Menurut Notoatmodjo 2003 berpendapat bahwa pendidikan merupakan upaya atau kegiatan untuk menciptakan perilaku masyarakat yang kondusif. Berdasarkan hasil univariat diketahui bahwa proporsi niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT dengan kategori pendidikan rendah adalah 48,0 dan proporsi niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT dengan kategori pendidikan tinggi adalah 51,0. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka pengetahuan akan semakin baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa ibu hamil dengan pendidikan tinggi proporsi untuk melakukan VCT lebih banyak dibandingkan dengan ibu hamil yang berpendidikan rendah. Pada penelitian lain oleh Ermarini 2013, mendapatkan hasil yang serupa yaitu responden dengan pendidikan tinggi 67,3 cenderung memanfaatkan pelayanan VCT. Akan tetapi, dari hasil uji statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat tahun 2014. Penelitian ini didukung dengan Ermarini 2013, tingkat pendidikan seseorang tidak berpengaruh terhadap pemanfaatan layanan VCT. Sejalan dengan penelitian Jilia 2013, bahwa tingkat pendidikan seseorang tidak berpengaruh terhadap upaya pencegahan tentang HIVAIDS ada faktor pendukung yang secara tidak langsung mempengaruhi yaitu jenjang pendidikan dan status pekerjaan. Namun, menurut Sumarlin 2013, pendidikan memiliki pengaruh terhadap perilaku seseorang untuk memanfaatkan layanan kesehatan. Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki pengetahuan yang baik dalam merespon pelayanan kesehatan. Hal ini diperjelas, menurut Notoatmodjo 2003, pendidikan merupakah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Tingginya pendidikan seseorang secara tidak langsung mempengaruhi pengetahuan yang dimilikinya. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan pengetahuan yang rendah pula mengenai HIVAIDS sehingga dimungkinkan lebih rentan menderita HIVAIDS akibat ketidaktahuan mengenai faktor resiko penularan HIV Sumarlin, 2013. Hal ini diperjelas oleh Aggleton 1999 dalam Anggia 2013, pendidikan yang kurang menjadi penghambat seseorang dalam merespon pentingnya pengetahuan HIV serta pemanfaatan pencegahannya. Orang dengan pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pengetahuan yang lebih baik dalam mengenali penyakit tertentu sehingga memungkinkan seseorang dengan pendidikan tinggi lebih cepat merespon pelayanan VCT. Berdasarkan penelitian Purwaningsih 2011, mendapatkan hasil yang sama bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu variabel yang tidak begitu mempengaruhi seseorang untuk memanfaatkan layanan VCT. Kejadian ini secara tidak langsung disebabkan juga oleh masih kurangnya pengetahuan VCT pada kelompok orang yang berpendidikan tinggi seperti tujuan VCT, manfaat VCT, dan akses layanan VCT. Tingkat Pendidikan seseorang relevansinya akan mempengaruhi dalam memahami suatu informasi atau pengetahuan yang diperolehnya. Sebagai asumsi bahwa berpendidikan tinggi belum tentu memiliki pengetahuan yang baik terkait VCT, karena secara tidak langsung pengetahuan dapat didukung oleh faktor lingkungan seperti dorongan dan motivasi dari orang terdekat. Jika dilihat dari urain diatas, secara tidak langsung jenjang pendidikan tertinggi akan berpengaruh pada keputusan seseorang untuk memanfaatkan layanan kesehatan. Seseorang dengan jenjang pendidikan yang semakin tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih baik. Selain jenjang pendidikan, faktor pendukung dan motivasi dari orang terdekat juga mempengaruhi niat seseorang dalam memanfaatkan layanan VCT. Hal ini sejalan dengan Setiawan, 2011 tingkat pendidikan seseorang memiliki hubungan yang bermakna dengan pemanfaatan klinik VCT. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi, maka tingkat pemanfaatan klinik VCT akan semakin baik, begitupun sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, semakin rendah pula tingkat pemanfaatan layanan VCT-nya. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Sumarlin dan Aggleton yaitu pada jenjang pendidikan yang ditempuh oleh responden, pada penelitian ini jenjang pendidikan tidak bervariasi, pendidikan ibu hamil didominasi oleh tingkat SMA. Sedangkan pada penelitian sebelumnya tingkat pendidikan responden terlihat bervariasi dari SD sampai perguruan tinggi dan tidak didominasi. Oleh karena itu, hal ini menjadi permasalahan yang dimiliki oleh instansi terkait bahwa untuk meningkatkan perilaku ibu hamil dalam memanfaatkan layanan VCT didukung dengan upaya – upaya penyebaran informasi terhadap pencegahan HIVAIDS. Biasanya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan lebih mudah menangkap dan memahami infromasi yang didapat. Sehingga sosialisasi yang dilakukan sebaiknya mempertimbangkan media komunikasi yang dipakai, informasi yang akan disampaikan disesuaikan dengan tingkat pendidikan masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat.

6.3.3. Hubungan Status Pekerjaan Dengan Niat Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan

Layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Bekerja adalah salah satu upaya untuk mendapatkan pamasukan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan. Tingkat kesejahteraan yang baik dapat meningkatkan akses seseorang ke layanan kesehatan untuk menjaga status kesehatannya agar tetap baik Indriyani, 2012. Berdasarkan hasil univariat diketahui bahwa proporsi niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT dengan kategori ibu yang tidak bekerja adalah 50,8 dan proporsi niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT dengan kategori ibu yang bekerja adalah 47,1. Sehingga disimpulkan bahwa ibu hamil yang tidak bekerja dengan ibu hamil yang bekerja berimbang dengan niatnya untuk memanfaatkan layanan VCT. Hal ini didukung oleh tingkat pendidikan ibu hamil dengan status pekerjaan yang dimiliki. Sebagian besar ibu hamil yang tidak bekerja memiliki pendidikan yang sama dengan ibu hamil yang bekerja. Selain itu, status pekerjaan yang dimiliki oleh ibu hamil mayoritas adalah pegawai toko. Dari hasil uji statistik status disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status pekerjaan dengan niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat tahun 2014. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Fauji 2010, status pekerjaan ibu dengan pemanfaatan layanan kesehatan tidak memiliki hubungan yang bermakna. Hal ini dipengaruhi faktor lain, yaitu tingkat pendidikan. Asumsinya bahwa status pekerjaan dapat berpengaruh dengan tindakan seseorang dalam pemanfaatan layanan kesehatan apabila orang yang bekerja memiliki pengetahuan yang lebih baik dari orang yang tidak bekerja. Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Khairrurahmi 2009, yang menyebutkan bahwa status pekerjaan memiliki hubungan yang bermakna dengan pemanfaatan klinik VCT. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Su-Rin Shin et al 2005, mayoritas pengunjung klinik VCT berstatus sebagai pekerja, dan sangat sedikit sekali yang berstatus sebagai pengangguran. Sama halnya dengan Jilia 2013, bahwa ada hubungan bermakna antara pekerjaan dengan upaya pencegahan HIVAIDS. Status pekerjaan memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku seseorang dalam memanfaatkan layanan kesehatan apabila dilihat dari jenis pekerjaannya. Dalam penelitian ini terlihat bahwa sebagian besar ibu hamil tidak bekerja dan berstatus sebagai ibu rumah tangga. Namun sebagian besar ibu hamil yang bekerja merupakan pegawai toko di daerah pasar Ciputat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan hasil penelitian yang dilakukan oleh Khairrurahmi dan Jilia yaitu pada sampel penelitian, penelitian ini sampel pada semua ibu hamil sedangkan pada penelitian sebelumnya pada kelompok wanita pekerja seksual. Artinya jenis pekerjaan seseorang yang secara tidak langsung mempengaruhi bahwa status pekerjaan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan niatnya untuk memanfaatkan layanan VCT. Hal ini sejalan dengan penelitian Gunawan 2011, bahwa orang dengan jenis pekerjaan yang tidak menetap dirumah atau lokasi tempat kerja di luar kota cenderung mempunyai risiko cukup tinggi untuk tertular dan menularkan HIVAIDS mengingat karakteristik dan sifat pekerjaan mereka. Sehingga disimpulkan bahwa seseorang dengan jenis pekerjaan yang cenderung bersiko akan mempengaruhi niatnya untuk memanfaatkan layanan VCT.

6.3.4. Hubungan Pengetahuan Dengan Niat Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan Layanan

VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan Notoatmodjo, 2007. Sedangkan menurut WHO 1984 dalam Notoatmodjo 2005 bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku karena adanya 4 alasan pokok yaitu pemikiran dan perasaan, acuan dan referensi dari seseorang, sumber daya, dan sosio budaya. Bentuk dari pemikiran dan perasaan salah satunya adalah pengetahuan. Seseorang akan berperilaku didasarkan beberapa pertimbangan yang diperoleh dari tingkat pengetahuannya. Berdasarkan hasil univariat diketahui bahwa proporsi niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT dengan kategori pengetahuan buruk adalah 45,7 dan proporsi niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT dengan kategori pengetahuan baik adalah 100. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Sumarlin 2013 bahwa perubahan perilaku didukung dengan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Didukung pula dengan penjelasan menurut Notoatmodjo 2007 bahwa pengetahuan merupakan strategi perubahan perilaku yang penting untuk menimbulkan kesadaran dan akhirnya berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Hasil uji statistik disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat tahun 2014. Hal ini sejalan dengan Purwaningsih 2011, faktor pengetahuan mempengaruhi keseriusan yang dirasakan orang risiko tinggi terhadap HIVAIDS untuk melakukan upaya pencegahannya dalam hal ini memanfaatkan layanan VCT. Orang risiko tinggi yang memiliki pengetahuan tinggi tentang HIVAIDS akan merasakan keseriusan yang sangat kuat terhadap HIVAIDS sehingga dengan keseriusan yang dirasakannya, orang risiko tinggi tersebut akan terdorong untuk melakukan VCT. Hal yang sama dilakukan Pusponegoro et al 2013, terjadinya peningkatan minat responden untuk memanfaatkan layanan kesehatan setelah dilakukannya intervensi. Pengetahuan responden sangat rendah terkait VCT hanya 4, setelah di intervensi pengetahuan meningkat menjadi 52. Dengan meningkatnya pengetahuan responden terkait VCT memberi efek terhadap minat responden untuk memanfaatkan layanan VCT. Perubahan perilaku didukung oleh tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang. Seorang ODHA yang mempunyai pengetahuan yang baik tentang HIVAIDS, kemudian mengubah perilakunya untuk berperilaku agar mencegah terjadi peningkatan kasus HIVAIDS. Dengan pengetahuan tersebut diharapkan pasien HIVAIDS melakukan perubahan perilaku dalam hal mencegah penularan HIVAIDS. Hal ini sejalan dengan Anggipita 2010 dalam Sumarlin 2013, ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kepatuhan ARV. Begitu juga dengan ibu hamil yang memiliki pengetahuan baik tentang manfaat VCT untuk bayi yang dikandungnya, akan berperilaku untuk mencegah penularan HIVAIDS dari dirinya kepada bayi yang dikandungnya. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Wijayanti et al 2013 menyatakan pengetahuan yang tinggi tentang VCT mempengaruhi minat seseorang untuk memanfaatkan layanan VCT. Berdasarkan wawancara dengan petugas kesehatan di Puskesmas Ciputat layanan VCT merupakan program baru yang dilaksanakan terhitung awal bulan di tahun 2014. Sehingga dari hasil pengumpulan data yang dilakukan kepada semua ibu hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat didapatkan bahwa mayoritas ibu hamil belum paham dengan istilah VCT, bahkan sebagian besar responden tidak mengetahui ketersediaan fasilitas VCT yang sebenarnya dilaksanakan gratis. Sebagai asumsi bahwa mempengaruhi minat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT diperlukan upaya promosi yang seharusnya dilakukan oleh pihak puskesmas terkait VCT misalnya melalui beberapa media. Dari hasil observasi peneliti terlihat bahwa belum dilakukannya upaya promosi layanan VCT melalui alat bantu berupa media. Rendahnya pengetahuan yang dimiliki ibu hamil tentang layanan VCT didukung dengan minimnya sosialisasi yang dilakukan Puskesmas Ciputat. Menurut penelitian yang dilakukan Donkor ES dan Alemu et al di Etiopia, dalam penelitian Pusponegoro 2013, 80 - 89 respondennya memiliki tingkat pengetahuan yang baik terhadap VCT karena pemerintah Etiopia melakukan promosi terhadap penyakit AIDS maupun VCT melalui media elektronik. Pengaruh promosi yang digalakkan pemerintah ternyata juga memberikan efek edukatif terhadap masyarakat sehingga dapat meningkatkan pengetahuan. Sementara itu, dari penelitian yang di lakukan oleh Saputra 2008, hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan terhadap HIVAIDS. Artinya responden dengan tingkat pengetahuan rendah berimbang dengan responden yang berpengetahuan tinggi untuk melakukan upaya pencegahan terhadap HIVAIDS. Hal yang sama pada penelitian Dewi 2011 dalam Aisyah 2012, bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan perilaku seseorang terhadap upaya pencegahan HIV. Beberapa hasil penelitian di atas, diasumsikan bahwa seseorang dengan tingkat pengetahuan tinggi maupun rendah tentang pencegahan dan penularan HIV dapat saja berperilaku mendukung atau tidak mendukung untuk melakukan upaya pencegahan. Sedangkan Menurut Green 1990, faktor pengetahuan yang termasuk dalam faktor predisposisi mempunyai pengaruh sebagai motivasi awal bagi seseorang dalam berperilaku. Artinya dalam hal ini perilaku seseorang sejalan dengan pengetahuan yang dimiliki. Jadi, seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang manfaat VCT maka akan mendukung minatnya untuk memanfaatkan layanan VCT. Aspek pengetahuan akan sejalan dengan minatnya untuk berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Dari hasil univariat niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT sebanyak 50. Hal ini sejalan dengan hasil tingkat pengetahuan responden, sebagian besar ibu hamil berpengetahuan buruk tentang VCT sebesar 92,1. Pengetahuan ini meliputi manfaat VCT, tahapan – tahapan dalam layanan VCT, layanan apa saja yang diberikan dalam layanan VCT, dan materi apa saja yang diberikan konselor dalam layanan VCT. Artinya untuk menaikkan niat ibu hamil menjadi 70 harus diimbangi dengan pengetahuan baik ibu hamil terhadap VCT. Sehingga upaya yang dilakukan dalam mendukung minat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT dengan memberikan intervensi melalui peningkatan pengetahuan. Salah satu upaya peningkatan pengetahuan dengan mengembangkan sosialisasi VCT. Sosialisasi dapat dikembangkan melalui kerjasama dengan instansi kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat, kader, dan kelurahan. Sosialisasi ini bisa dilaksanakan melalui berbagai kegiatan yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat.

6.3.5. Hubungan Sikap Dengan Niat Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan Layanan VCT di

Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek Notoatmodjo, 2003. Sikap belum merupakan suatu perbuatan, tetapi dari sikap dapat diramalkan perbuatannya Fauji, 2010. Hal ini didukung menurut Rosenstock 1974, suatu tindakan akan dipengaruhi oleh keyakinan tentang efektivitas relatif dari alternatif yang tersedia yang dikenal dapat mengurangi ancaman penyakit yang dirasakan individu. Dijelaskan juga oleh Green 1991, bahwa mewujudkan sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Faktor yang mendukung adalah : 1 faktor predisposisi pengetahuan, sikap, keyakinan persepsi, 2 faktor pendukung akses pada pelayanan kesehatan, keterampilan dan adanya referensi, 3 faktor pendorong terwujud dalam bentuk dukungan dari keluarga, tetangga dan tokoh masyarakat. Berdasarkan hasil univariat diketahui bahwa proporsi niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT dengan kategori sikap negatif adalah 28,0 dan kategori sikap positif adalah 60,8. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa yang tidak menggunakan layanan VCT lebih tinggi pada kelompok yang bersikap negatif dibandingkan dengan yang bersikap positif. Sejalan dengan pernyataan Jilia 2013, yang menyatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku seseorang meskipun sikap tidak dapat dilihat langsung. Selain itu, sikap dikatakan sebagai suatu penghayatan terhadap objek sehingga sikap dapat menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Hasil uji statistik disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dengan niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat tahun 2014. Penelitian ini sejalan dengan Aswar 2012, yang menunjukkan adanya hubungan antara sikap dengan pemanfaatan layanan VCT yakni semakin tinggi penerimaan seseorang terhadap layanan VCT maka semakin tinggi minat seseorang untuk memanfaatkan layanan VCT. Hal yang sama diperjelas oleh Pranadji 1988 dalam Fauji 2010, bahwa sikap akan sangat berpengaruh bagi keputusan seseorang, sebab sikap akan mengarahkan perilaku seseorang secara langsung. Artinya sikap seseorang dapat mempengaruhi keputusan orang tersebut untuk melakukan atau tidak melakukan dalam hal ini yaitu memanfaatkan layanan VCT. Beberapa hasil penelitian diatas, dapat diartikan bahwa untuk merubah sikap negatif ibu hamil terhadap layanan VCT diberikan pengetahuan lebih mengenai layanan VCT sebagai upaya pencegahan penularan HIVAIDS dari ibu ke anak. Penelitian ini sejalan menurut Getachew, 2005 yang menunjukkan bahwa sikap positif ibu hamil didukung dengan pengetahuan yang baik tentang layanan VCT, yakni ibu hamil akan memanfaatkan layanan VCT secara sukarela dengan alasan untuk mengurangi risiko transmisi HIV ke anaknya. Hal tersebut diperjelas dalam penelitian Zubairu et.al 2006, menyatakan bahwa adanya pengetahuan yang baik tentang pencegahan penularan HIVAIDS dari ibu ke anak melalui VCT yang menimbulkan sikap positif ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT. Oleh karena itu, pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT. Jika dilihat dari theory of planned behavior pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap. Namun, menurut Pusponegoro 2013, sikap negatif seseorang terhadap layanan VCT dipengaruhi oleh stigma negatif yang berkembang di lingkungan masyarakat. Penyakit HIV dipandang sebagai penyakit menular dimana penderitanya dianggap menakutkan. Oleh karena itu, mereka menganggap bila melakukan pemeriksaan, akan dicap oleh orang sekitarnya memiliki riwayat promiskuitas atau positif menderita AIDS. Padahal menurut Depkes 2008, kegiatan konseling yang bertujuan untuk mengurangi stigma masyarakat tentang HIVAIDS dengan menyediakan dukungan psikologis, informasi, pengetahuan HIVAIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIVAIDS. Sementara itu, menurut Solehah 2008 dalam Aisyah 2012, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap seseorang dengan perilaku pencegahan HIVAIDS. Artinya antara responden yang bersikap positif dengan responden yang bersikap negatif terhadap upaya pencegahan HIVAIDS tidak mempengaruhi keputusannya untuk berperilaku. Diasumsikan bahwa seseorang mempunyai sikapnya masing – masing terhadap suatu objek, dan perbedaan sikap mereka itu merupakan hal yang sewajarnya. Hal ini secara tidak langsung bisa dipengaruhi oleh karateristik yang berbeda – beda dari setiap individu. Selain itu, setiap individu mempunyai perbedaan dalam pengalaman belajar, tingkat pendidikan, status sosial, bahkan budaya yang berbeda dalam lingkungannya. Sikap seseorang terhadap niatnya untuk memanfaatkan layanan kesehatan secara tidak langsung dipengaruhi oleh budaya yang berkembang dilingkungannya. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Solehah yaitu pada karakteristik demografi. Pada penelitian ini dilakukan pada kelompok ibu hamil yang belum melakukan layanan VCT, sedangkan penelitian sebelumnya pada kelompok ibu hamil yang sudah melakukan layanan VCT. Menurut Sarwono 2012, sikap dapat terbentuk atau berubah melalui empat cara : adopsi yaitu melalui budaya yang berkembang dilingkungannya, diferensiasi yaitu pengalaman individu yang dialaminya didukung dengan bertambahnya usia, integrasi yaitu melalui pengalaman yang didukung dengan pengetahuan yang berhubungan dengan suatu objek, trauma yaitu pengalaman yang meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan. Sehingga untuk melakukan perubahan terhadap sikap seseorang bisa didukung dengan motivasi. Artinya untuk merubah sikap ibu hamil terhadap layanan VCT dapat dilakukan dengan suatu proses pendekatan internal melalui sosialisasi secara terus menerus antara individu dengan individu lain di lingkungannya. Misalnya melalui kader di tempat tinggalnya yang lebih memiliki dipercaya memiliki pengaruh terhadap kondisi lingkungannya. Perubahan sikap tidak dapat dilakukan hanya dari faktor internal melainkan dari faktor eksternal. Oleh karena itu, sosialisasi yang dilakukan kader dapat dibantu dengan media komunikasi seperti leaflet atau lainnya. Dan didukung juga dengan pendekatan melalui orang – orang terdekat ibu hamil yang bisa mendukung dalam pembentukan sikap positif terhadap layanan VCT.

6.3.6. Hubungan Norma Subyektif Dengan Niat Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan

Layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Normatif subjektif atau subjective norm adalah sejauh mana seseorang memiliki motivasi untuk mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan dilakukannya normative beliefs. Kalau individu merasa itu adalah hak pribadinya untuk menentukan apa yang akan dia lakukan, bukan ditentukan oleh orang lain disekitarnya, maka dia akan mengabaikan pandangan orang tentang perilaku yang akan dilakukannya Ajzen, 2005. Berdasarkan hasil univariat diketahui bahwa nilai proporsi niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT dengan kategori norma subyektif dorongan lemah adalah 36,1 dan kategori norma subyektif dengan dorongan kuat adalah 62,5. Hal ini membuktikan bahwa ibu hamil dengan norma subyektif dorongan kuat proporsinya untuk melakukan VCT lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil yang memiliki norma subyektif dorongan lemah. Pernyataan ini sejalan dengan Achmat 2010, seseorang akan berniat menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia mempersepsikan bahwa orang lain berfikir bahwa seharusnya ia melakukan hal tersebut. Sehingga orang tersebut termotivasi untuk memenuhi harapan orang lain yang relevan. Harapan orang – orang yang bisa mempengaruhi keputusan ibu hamil dalam penelitian ini yaitu orang tua, suami, keluarga, anak, teman, petugas kesehatan dan media massa. Oleh karena itu, yang disebut dengan norma subjektif dorongan kuat , apabila orang lain melihat perilaku yang akan ditampilkan sebagai sesuatu yang positif dan seseorang tersebut ingin memenuhi harapan orang lain tersebut dan sebaliknya itu yang disebut dengan norma subjektif lemah. Dari hasil uji statistik disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara norma subyektif dengan niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat tahun 2014. Hal ini didukung dengan penelitian Fathimah 2014, norma subyektif yang memiliki dorongan kuat dari orang terdekat memberi pengaruh yang besar dalam menentukan suatu perilaku. Menurut Ajzen 2005, secara umum semakin seseorang mempersepsikan bahwa rujukan sosial merekomendasikan untuk melakukan suatu perilaku maka orang tersebut akan cenderung merasakan tekanan sosial untuk berniat melakukan perilaku tersebut dan sebaliknya. Teori tersebut sejalan dengan Saptari 2013, seseorang yang berada di lingkungan dorongan kuat untuk mengambil keputusan maka proporsi niat orang tersebut akan berperilaku positif. Sementara itu, menurut Durkheim 1960, perubahan seseorang terjadi dengan cepat dipengaruhi oleh semakin meningkatnya dorongan dari lingkungan sekitar yang menghasilkan suatu kebingungan tentang norma, sehingga akhirnya mengakibatkan simpang siurnya norma – norma sosial yang mengatur perilaku. Oleh karena itu, norma dan nilai menjadi relatif, khususnya dalam era modern sekarang ini Bauman, 1993 dalam Meilisa et al 2010. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Meilisa et al 2010, bahwa norma subyektif tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan niat seseorang untuk sadar akan kesehatan. Ada faktor lain yang secara tidak langsung mempengaruhi norma subyektif yaitu lingkungan tempat tinggal seseorang yang mempengaruhi unsur budaya. Sehingga intervensi yang dapat dilakukan oleh petugas kesehatan adalah dengan memberikan dukungan serta motivasi kepada ibu hamil melalui orang – orang terdekat responden terkait manfaat layanan VCT. Hal ini sejalan dengan Purwaningsih 2011, faktor lingkungan mungkin dapat menjadi salah satu faktor pendorong yang membuat responden merasakan keseriusan yang kuat terhadap HIVAIDS sehingga dapat memotivasi dirinya untuk memanfaatkan layanan VCT. Menurut Kwan et al 2012, mayoritas pasien merasa kecewa terhadap antrian yang sering terjadi dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Diasumsikan bahwa kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan secara tidak langsung mendorong individu untuk memanfaatkan layanan kesehatan. Artinya jika petugas kesehatan bisa memberikan kepuasan terhadap pelayanan yang pasien dapatkan, maka secara tidak langsung petugas kesehatan telah berhasil memberikan motivasi kepada pasiennya. Jika dilihat dari penelitian Sumarlin 2013, faktor dukungan serta motivasi keluarga berpengaruh terhadap perubahan perilaku penderita yang beresiko HIV untuk memanfaatkan layanan VCT. Selama ini, dukungan dari keluarga dapat meningkatkan kelompok beresiko tinggi HIVAIDS untuk memanfaatkan layanan VCT, misalnya dapat diwujudkan dengan memberikan perhatian, informasi, memberikan semangat kepada penderita HIVAIDS. Manfaat dari dukungan keluarga ini yaitu dapat menekan munculnya stress karena informasi dan perhatian yang diberikan keluarga dapat memberikan semangat pada diri penderita HIVAIDS. Menurut Ajzen 2005, motivasi orang terdekat yang mereka anggap penting juga mempengaruhi norma subyektif seseorang dalam mengambil keputusan untuk berperilaku. Sehingga dukungan orang terdekat ibu hamil yang menganggap bahwa layanan VCT penting memberi pengaruh pada keputusan ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT. Dengan adanya saran dari orang terdekat, dapat memberikan informasi serta pengetahuan baru terhadap responden yang bisa memotivasi responden agar dapat memanfaatkan layanan VCT. Dalam penelitian ini terlihat bahwa sebagian responden yang memiliki informasi dari motivasi orang – orang terdekat memberi pengaruh pada keputusan ibu hamil untuk berniat memanfaatkan layanan VCT. Oleh karena itu, perlunya kerjasama antara Puskesmas Ciputat dengan instansi kesehatan swasta, kader, dan kelurahan dalam memberikan penyuluhan, membangun kepercayaan pasien dengan pelayanan kesehatan yang didapatkan dan informasi positif yang memberikan dukungan kepada ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT.

6.3.7. Hubungan Persepsi Kontrol Diri Dengan Niat Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan

Layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Persepsi kontrol diri perceived behavioral control didefinisikan oleh Ajzen 1991 sebagai kemudahan atau kesulitan persepsi untuk melakukan perilaku. Kontrol perilaku persepsi ini merefleksikan pengalaman masa lalu dan mengantisipasi halangan-halangan yang ada sehingga semakin menarik sikap dan norma subjektif terhadap perilaku, semakin besar kontrol perilaku persepsi, semakin kuat pula niat seseorang untuk melakukan perilaku yang sedang dipertimbangkan. Berdasarkan hasil univariat diketahui bahwa proporsi niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT dengan persepsi kontrol diri kuat adalah 68,2. Ibu hamil dengan persepsi kontrol diri yang kuat lebih cenderung berniat untuk memanfaatkan layanan VCT dibandingkan dengan ibu hamil yang memiliki persepsi kontrol diri yang lemah. Hasil penelitian ini sejalan dengan Saptari 2013, seseorang dengan persepsi kontrol diri yang kuat akan lebih bersikap positif sehingga menimbulkan perubahan perilaku yang positif. Untuk memanfaatkan layanan kesehatan yang dianggap seseorang penting maka ia akan berpersepsi sesuai dengan kemampuannya untuk mengontrol. Hasil uji statistik disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi kontrol diri dengan niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat tahun 2014. Hal ini sejalan dengan Meilisa et al 2010, dari ketiga faktor domain yang mendukung intensi, persepsi kontrol perilaku yang memegang peranan penting mempengaruhi seseorang dalam menentukan minatnya untuk memanfaatkan layanan kesehatan. Menurut Achmat 2010, persepsi atas kontrol perilaku menunjuk suatu derajat dimana individu merasa bahwa tampil tidaknya suatu perilaku yang diinginkannya dibawah kontrol kendali dirinya sendiri. Orang cenderung tidak akan membentuk suatu intensi yang kuat untuk menampilkan suatu perilaku tertentu apabila seseorang percaya bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan atau kesempatan untuk berperilaku meskipun sudah didukung dengan sikap yang positif. Berdasarkan penelitian Fathimah 2014, persepsi kontrol perilaku secara tidak langsung dipengaruhi oleh kekuatan faktor dalam memfasilitasi atau menghambat perilaku seseorang. Kekuatan yang dapat memfasilitas atau menghambat perilaku seseorang dalam berperilaku yaitu kemampuan bagaimana dirinya mempersepsikan tingkat kesulitan atau kemudahan untuk menampilkan suatu perilaku. Sebagai asumsi bahwa untuk membuat seseorang berpersepsi bahwa dirinya mampu menghadapi hambatan yang dialaminya untuk melakukan atau tidak melakukan VCT. Sehingga upaya intervensi yang bisa dilakukan dengan memberikan pengetahuan tentang VCT. Menurut Achmat 2012 dalam Fathimah 2014, salah satu faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi motivasi dalam diri seseorang adalah pengetahuan. Sehingga untuk mendukung ibu hamil memiliki kontrol persepsi perilaku kuat yang mempersepsikan bahwa layanan VCT bermanfaat bagi dirinya dengan memberikan motivasi dengan memberi informasi terkait tahapan – tahapan yang dilakukan dalam layanan VCT. Jika dilihat dari hasil univariat ibu hamil yang memiliki persepsi kontrol diri lemah berimbang dengan ibu hamil yang memiliki kontrol persepsi kuat. Artinya untuk meningkatkan niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT, didukung dengan meningkatkan persepsi kontrol diri responden. Berdasarkan peneltian Nuri 2012 dalam Fathimah 2014, seseorang dapat dimotivasi untuk melakukan perubahan suatu perilaku dengan memberikan pengetahuan. Pengetahuan yang baik tentang layanan VCT membuat mereka merasa yakin mampu menghadapi hambatan – hambatan yang ada dalam dirinya untuk mendorongnya melakukan VCT. Adapun hambatan yang mereka hadapi yaitu takut akan stigma negatif dari masyarakat tentang HIV dan ODHA. Oleh karena itu, intervensi yang sebaiknya dilakukan dengan meningkatan pengetahuan melalui media komunikasi, bisa berupa poster, leaflet dan lembar balik terkait tahapan – tahapan dalam layanan VCT.

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada Kelompok Risiko HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

5 90 147

Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keputusan Memanfaatkan Pelayanan Rujukan Ibu Hamil...

0 26 3

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukajaya Kota Sabang Tahun 2014

0 0 17

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRAKTIK VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (VCT) PADA IBU RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Kawasan Resosialisasi Argorejo Kota Semarang)

0 0 61

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI IBU HAMIL DAN POTENSI HAMBATAN TERHADAP PEMANFAATAN LAYANAN VCT (VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING) HIVAIDS (Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Poncol Kota Semarang)

0 0 65

HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU HAMIL DENGAN NIAT MELAKUKAN VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (VCT) DI PUSKESMAS KRETEK KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA - DIGILIB UNISAYOGYA

0 0 8

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN NIAT IBU HAMIL UNTUK MEMANFAATKAN VCT (VOLUNTARY COUNSELING DAN TESTING) DI PUSKESMAS SRANDAKAN BANTUL YOGYAKARTA - DIGILIB UNISAYOGYA

0 0 16

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG HIVAIDS DENGAN NIAT MELAKUKAN VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (VCT) PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS GEDONG TENGEN WILAYAHKOTA YOGYAKARTA SKRIPSI

0 0 13

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU IBU HAMIL UNTUK MEMANFAATKAN LAYANAN VCT (VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING) DI PUSKESMAS MERGANGSAN YOGYAKARTA TAHUN 2017 NASKAH PUBLIKASI - FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU IBU HAMIL UNTUK MEMA

0 0 17

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU VCT (VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING) HIVAIDS PADA IBU RUMAH TANGGA DI PUSKESMAS TEGALREJO YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU VCT (VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING)

0 0 11