PERANAN ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN DALAM PENGAWASAN IMPLEMENTASI PERDA NO. 6
TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK STUDI KASUS DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH SUMATERA UTARA
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Skripsi ini akan membahas bagaimana peranan anggota legislatif perempuan dalam pengawasan implementasi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004
tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Perdagangan orang merupakan tindak kejahatan dimana yang menjadi korban pada umumnya adalah
perempuan dan anak-anak. Hal ini merupakan pelanggaran berat atas Hak Asasi Manusia HAM. Dikarenakan tindakan ini dilakukan secara paksa melalui orang
ketiga pelaku kejahatan perdagangan orang sehingga korban tidak dapat menentukan jalan hidupnya sendiri self determination, tidak bebas
mengeluarkan ekspresi atau pendapatnya, tidak dapat bebas melakukan hidup sesuai dengan keinginannya, tidak dapat bebas melakukan tindakan yang
diinginkan dan selalu merasa terintimidasi, ketakutan, terancam dan penuh kecurigaan.
1
Perdagangan orang untuk keperluan seksual komersial pada dasarnya telah ada sejak abad ke 19, dan pada abad 21 jaringan perdagangan orang telah menjadi
semakin terorganisir dan terstruktur. Jumlah perempuan dan anak yang menjadi
1
Jurnal, Trafiking terhadap Perempuan: Jaringan Sindikat yang Tak Lekang oleh Panas dan Tak Luntur oleh Hujan, Media Perempuan, edisi No.4, 2005, hal.42.
Universitas Sumatera Utara
korban perdagangan orang tidak lagi terhitung bahkan sulit ataupun sukar untuk diprediksi berapa jumlah korban perdagangan orang yang sebenarnya. Seperti
kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak lainnya, teori fenomena gunung es berlaku bagi kejahatan ini karena kasus yang berhasil ditangani atau diproses
secara hukum masih jauh lebih sedikit dibandingkan fakta kasus yang terjadi. Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB memperkirakan bahwa sedikitnya
empat juta orang setiap tahunnya menjadi korban human trafficking di dunia.
2
Setiap tahunnya diperkirakan 600.000-800.000 laki-laki, perempuan dan anak- anak diperdagangkan menyeberangi perbatasan internasional. International
Organization for Migration IOM melaporkan bahwa 500.000 orang perempuan setiap tahunnya menjadi korban perdagangan orang di wilayah Asia Tenggara.
3
2
Melly Setyawati dan Kiki Sakinatul Fuad, Pentingnya Peraturan tentang Perdagangan Trafiking Perempuan dan Anak, Jurnal Suara APIK untuk Kebebasan dan Keadilan, Edisi 31
Tahun 2006, hal. 28.
3
R. Valentina Sagala dan Ellin Rozana, Memberantas Trafiking Perempuan dan Anak: Penelitian Advokasi Feminis tentang Trafiking di Jawa Barat Bandung: Institut Perempuan,
2007, hal.5.
Hal ini semakin memperlihatkan buruknya penanganan akan kasus perdagangan orang yang telah marak terjadi dalam masyarakat, sehingga mampu menghasilkan
angka yang begitu besar dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Buruh migran merupakan kelompok pekerja yang paling sering menjadi
sasaran empuk para pelaku perdagangan orang. Karena kebutuhan hidup yang tinggi, tak menyurutkan langkah untuk menjadi buruh migran.
Indonesia merupakan negara yang mengirimkan buruh migran dalam jumlah yang cukup besar untuk kawasan Asia Tenggara. Berikut merupakan data
dari Migration News yang menggambarkan hal tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.1.1. Pekerja Migran di Asia Tenggara Berdasarkan Negara Asal dan Negara Tujuan Tahun 2001
4
Negara Tujuan
Negara Asal Malaysia
Thailand Singapura
Indonesia
888.000 -
38.000
Filipina 24.000
- -
Myanmar -
450.022 -
Kamboja -
56.252 -
Laos -
56.253 -
Bangladesh 216.000
- 200.000
Lain-Lain 72.000
- -
Sumber: diolah dari Migration News, Vol. 9 No. 3, Maret 2002
Keterangan: Angka perkiraan merupakan jumlah migran legal dan illegal
Pekerja migran yang terdaftar selama tahun 2001 Migran Indonesia sebagian besar adalah PRT, Sedangkan migran
Bangladesh dan India sebagian besar adalah buruh konstruksi
4
Irwan M. Hidayana, Migrasi Lintas Batas dan Seksualitas di Asia Tenggara, Jurnal Perempuan 36, hal. 58.
Universitas Sumatera Utara
Dari data Migration News tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Indonesia merupakan eksportir terbesar tenaga kerja ke luar negeri dalam kawasan
Asia Tenggara dibandingkan negara Asia lainnya. Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi angka perdagangan orang untuk Indonesia, karena semakin
besarnya jumlah buruh migran keluar negeri maka menunjukkan semakin besarnya kemungkinan terjadinya perdagangan orang bagi Indonesia mengingat
buruh migran lah yang paling sering menjadi korban perdagangan orang. Secara spesifik, kasus perdagangan orang di Indonesia sendiri meliputi
jumlah yang besar dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Berdasarkan data yang diperoleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Komnas
Perempuan, pada tahun 2000 tercatat 1.683 kasus perdagangan perempuan berhasil diungkap dan ditangani polisi, sedangkan dari kasus-kasus tersebut yang
diajukan ke pengadilan sebanyak 1.094 kasus.
5
Pada perkembangan selanjutnya, menurut data International Organization for Migration IOM mengenai perdagangan orang di tahun 2006, hingga Bulan
April saja jumlah kasus untuk Indonesia telah mencapai 1.022 kasus, dengan perincian 88,6 persen korbannya adalah perempuan, dimana 52 persen
dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga, dan 17,1 persen dipaksa melacur.
6
5
Komnas Perempuan merupakan lembaga independen yang merupakan mekanisme nasional untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan yang didirikan berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 1811998 pada tanggal 15 Oktober 1998.
6
Perdagangan Pelacur Tanpa Ujung, dalam www.kompas.com diakses pada tanggal 10 Januari 2009.
Data IOM tersebut menjelaskan bahwa tidak hanya perempuan saja yang dapat menjadi korban atas tindak kejahatan perdagangan manusia, namun kejahatan ini
pun dapat berlaku bagi kaum laki-laki. Walaupun berdasarkan data statistik,
Universitas Sumatera Utara
jumlah korban perempuan memang selalu berada jauh lebih besar dibandingkan jumlah korban laki-laki.
Berikut merupakan grafik yang menunjukkan perbandingan antara korban perdagangan perempuan dengan laki-laki berdasarkan data IOM tahun 2006.
Grafik 1.1.1. Perbandingan Korban Perdagangan Orang Berdasarkan Jenis Kelamin
Dalam berbagai studi dan laporan dari sejumlah LSM, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan daerah sumber perdagangan orang, di samping juga sebagai
transit dan penerima perdagangan manusia. Menurut data The United Nation’s Children’s Fund UNICEF tahun 1998, perdagangan orang tersebar di 75.106
tempat di seluruh Indonesia.
7
7
Jurnal, Situasi Trafficking Perempuan dan Anak di Indonesia dalam Jurnal Perempuan 29, hal. 49.
International Catholic Migration Commission ICMC dan American Center for International Labor Solidarity ACILS
mengungkapkan bahwa sedikitnya diidentifikasi sepuluh provinsi di Indonesia
Universitas Sumatera Utara
dijadikan sebagai sumber korban perdagangan orang, 16 provinsi dijadikan sebagai tempat transit, dan sedikitnya 12 provinsi sebagai penerima.
8
Upaya untuk mengantisipasi permasalahan perdagangan orang ini pada dasarnya telah dilakukan sejak tahun 1998 dengan ditandatanganinya Bangkok
Accord and Plan of Action to Combat Trafficking in Women, yang merupakan sebuah konsensus bagi negara-negara di wilayah regional Asia Pasifik dalam
memerangi perdagangan perempuan di kawasan ini. Namun, karena kesibukan bangsa ini untuk keluar dari krisis multidimensi yang melanda saat itu, maka
kegiatan penghapusan perdagangan manusia di Indonesia menjadi tidak terinformasikan dengan baik.
Di Indonesia perdagangan orang yang menonjol terdapat di daerah perbatasan dengan negara tetangga, khususnya daerah yang berbatasan dengan
Singapura dan Malaysia, seperti Riau Batam dan sekitarnya, Medan, dan Kalimantan Barat. Besarnya angka korban perdagangan orang di wilayah
perbatasan ini, dipengaruhi oleh besarnya permintaan buruh migran dari Singapura dan Malaysia, sementara seperti telah dijelaskan tadi bahwa buruh
migran lah yang ringkih menjadi korban perdagangan orang. Besarnya tingkat perdagangan orang di wilayah perbatasan menunjukkan adanya tindak kejahatan
yang dilakukan secara lintas regional dan negara.
9
Setelah itu, upaya serius dalam hal mengatasi perdagangan orang terus dilanjutkan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 88 tahun 2002
tentang Rencana Aksi Nasional RAN Penghapusan Perdagangan Trafiking
8
ACILS, ICMC, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, Jakarta: 2003, dalam R. Valentina Sagala dan Ellin Rozana, Memberantas Trafiking Perempuan dan Anak: Penelitian
Advokasi Feminis tentang Trafiking di Jawa Barat, Op Cit., hal. 5-6.
9
Parjoko, Sri Moertiningsih Adidetomo dan Maesuroh, Berbagai Upaya Memerangi Perdagangan Manusia Perempuan dan Anak, Jurnal Perempuan 29, hal. 33-40.
Universitas Sumatera Utara
Perempuan dan Anak yang menjadi acuan disusunnya RAN Penghapusan Perdagangan Trafiking Perempuan dan Anak yang dapat menjadi arahan,
pedoman, dan rujukan dalam penanganan masalah perdagangan orang. Hal ini juga melahirkan berbagai penyesuaian di tingkat daerah dengan dilahirkannya
berbagai Peraturan Daerah dan Rencana Aksi Daerah tentang pencegahan dan pemberantasan perdagangan manusia.
10
Lahirnya Peraturan Daerah tersebut merupakan sebuah keberhasilan yang penting bagi Sumatera Utara, khususnya dalam hal perlindungan perempuan dan
anak yang memang menjadi korban mayoritas dalam tindak kejahatan tersebut. Lahirnya Peraturan Daerah ini juga tidak bisa dilepaskan dari otonomi daerah.
Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 yang disusul dengan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, adalah merupakan koreksi total atas UU No. 5 Tahun 1974 dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan cita-cita UUD
1945. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih
mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. Dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara, Gubernur T. Rizal Nurdin mensahkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara tentang Penghapusan Perdagangan
Trafiking Perempuan dan Anak No. 6 tahun 2004.
11
Perjalanan otonomi daerah di Indonesia sangat menarik untuk diamati, dikarenakan konsep otonomi daerah selalu berkembang dan terus mengalami
11
B. N. Marbun, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006, hal. 133.
Universitas Sumatera Utara
penyempurnaan. Heterogenitas yang dimiliki bangsa Indonesia baik kondisi sosial ekonomi, budaya, maupun keragaman tingkat pendidikan masyarakat, membuat
desentralisasi atau distribusi kekuasaan atau kewenangan, dari pemerintah pusat perlu dialirkan kepada daerah otonom.
Berikut kronologis perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah
12
12
DR. J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, hal. 2.
:
UU No. 1 Tahun 1945
↓
UU No. 22 Tahun 1948
↓
UU No. 1 Tahun 1957
↓
UU No. 6 Tahun 1959
↓
UU No. 18 Tahun 1965
↓
UU No. 5 Tahun 1974
↓
UU No. 22 Tahun 1999
↓
UU No. 32 Tahun 2004
Universitas Sumatera Utara
Ditandatanganinya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah oleh Presiden B. J. Habibie pada tanggal 4 Mei 1999
menandai berputarnya kembali roda otonomi daerah. Setelah 25 tahun terpinggirkan oleh pemerintah Orde Baru. Sejak saat itu, daerah-daerah mulai
memperoleh kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan kepadanya baik bidang politik, administrasi, keuangan, dan sosial
budaya sesuai dengan prinsip desentralisasi. Meskipun Undang-undang No. 22 Tahun 1999 telah memberikan
kewenangan yang besar kepada daerah, khususnya melalui DPRD, dalam praktiknya tidak sedikit perilaku menyimpang yang dilakukan oleh beberapa
anggota DPRD, misalnya dalam proses pemilihan Kepala Daerah, pembahasan, dan pembentukan peraturan daerah, dan pembahasan laporan pertanggungjawaban
Kepala Daerah.
13
Sesuai isi pasal 42, UU Nomor 32 Tahun 2004 tugas dan wewenang DPRD, diantaranya adalah membentuk peraturan daerah Perda yang dibahas
dengan gubernur untuk mendapat persetujuan bersama, dan juga melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-
undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah Banyaknya kelemahan yang dimiliki oleh UU No. 22 Tahun
1999 membuat Undang-undang ini perlu untuk disempurnakan, sehingga lahirlah UU No. 32 Tahun 2004. Lahirnya UU yang baru ini diharap membawa
perubahan yang baik, khususnya pada perubahan konfigurasi desentralisasi hubungan pusat-daerah-desa dan demokrasi lokal hubungan pemerintah daerah,
DPRD, dan rakyat.
13
B. N. Marbun, ibid. hal. 150.
Universitas Sumatera Utara
dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.
Saat ini kebijakan yang berhubungan dengan penyelesaian masalah human trafficking perdagangan orang di Indonesia, merupakan wewenang yang dimiliki
oleh anggota legislatif perempuan, dimana penyelesaian tersebut dilakukan, sesuai dengan yang telah dirumuskan bersama dalam peraturan daerah perda. Anggota
legislatif perempuan telah di berikan wewenang untuk merekomendasikan kebjakan-kebijakan yang mampu memberikan perubahan positif bagi masalah-
masalah yang terjadi dalam masyarakat sesuai dengan bidang keahlian yang ditekunin anggota legislatif perempuan tersebut.
Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut berhasil dalam implementasinya. Ada
banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor,
birokrasi pelaksana atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik
variabel yang individual maupun variabel organisasional, yang saling berinteraksi satu sama lain.
Dalam pandangan George C. Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel, yakni
14
1. Komunikasi, apabila tujuan dan sasaran kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan
terjadi resistensi dari kelompok sasaran. :
14
AG. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 hal. 92.
Universitas Sumatera Utara
2. Sumberdaya, walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten tetapi apabila implementator kekurangan sumberdaya untuk
melaksanakannya maka implementasi tidak akan berjalan efektif. 3. Disposisi, yakni watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementator
seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila implementator memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan
dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. 4. Struktur organisasi, terlalu panjangnya struktur organisasi akan cenderung
melemahkan pengawasan dan menimbulkan red tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks.
Komunikasi
Sumberdaya Implementasi
Disposisi
Struktur Birokrasi
Melihat gambaran secara umum mengenai kasus sosial dalam hal ini membahas mengenai peraturan daerah no.6 tahun 2004, tentang penghapusan
perdagangan perempuan dan anak, yang biasa dihadapi oleh anggota legislatif perempuan dan bagaimana pemerintah menanggapi peranan anggota legislatif
Universitas Sumatera Utara
perempuan tersebut, timbullah pertanyaan: Apakah anggota legislatif perempuan telah melaksanakan peranannya dengan baik di dalam jajaran anggota legislatif?
Apakah implementasi peraturan daerah perda no.6 tahun 2004 telah diawasi dan dijalankan dengan baik oleh anggota legislatif perempuan?
Pertanyaan ini menjadi suatu dorongan dan semangat bagi penulis untuk mengetahui peranan anggota legislatif perempuan, serta kinerja mereka dalam
menghadapi kebijakan yang telah direkomendasikan. Hal inilah yang ingin saya ketahui dalam penelitian saya.
1.2. Perumusan Masalah