Peranan Anggota Legislatif Perempuan Dalam Pengawasan Implementasi Perda No. 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan Dan Anak (Studi Kasus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara)

(1)

PERANAN ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN

DALAM PENGAWASAN IMPLEMENTASI PERDA NO. 6

TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN

PEREMPUAN DAN ANAK (STUDI KASUS DEWAN

PERWAKILAN

RAKYAT DAERAH SUMATERA UTARA)

SKRIPSI

Oleh:

Septri S. Pasaribu

040906082

Dosen Pembimbing : Dra.Evi Novida Ginting, M.Sp. Dosen Pembaca : Indra Kesuma, S.IP, M.Si

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh: Nama : Septri Stephani Pasaribu

Nim : 040906082 Departemen : Ilmu Politik

Judul : PERANAN ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN DALAM PENGAWASAN IMPLEMENTASI PERDA NO.6 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (STUDI KASUS DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH SUMATERA UTARA)

Medan, Maret 2010

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra. Evi Novida Ginting,M.Sp Indra Kesuma S.IP, M,Si.

Ketua Departemen,

Drs. Heri Kusmanto, MA

a.n. Dekan FISIP USU Pembantu Dekan I,

NIP: 195 908 091 986 011 002 Drs. Humaizi,MA.

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah di uji dan dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Pada:

Hari/ Tanggal : Selasa/02 Maret 2010

Waktu : 08.00 WIB

Tempat : Ruang Sidang FISIP USU

TIM PENGUJI:

Ketua Penguji

Drs.P.ANTHONIUS SITEPU, M.Si. ( _______________ )

Penguji I

Drs. Evi Novida Ginting,M.Sp ( ________________ )

Penguji II


(4)

KATA PENGANTAR

Terlebih dahulu penulis mengucap puji dan syukur yang sedalam-dalamnya kepada Tuhan Yesus Kristus yang banyak memberikan Berkat serta Kasih-Nya kepada penulis sehingga penulis di berikan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan dan penyusunan skripsi ini, yang berjudul: Peranan Anggota Legislatif Perempuan Dalam Pengawasan Implementasi Perda No.6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan Dan Anak (Studi Kasus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara)

Melalui Skripsi ini penulis memaparkan hasil dari penelitian penulis selama 1 bulan di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara. Penulis memperoleh gambaran bahwasanya Anggota Legislatif Perempuan, memiliki kinerja yang cukup baik dalam jajaran anggota legislatif, serta memiliki hak dan kewajiban serta komitmen dalam menangani persoalan-persoalan sosial yang ada dalam masyarakat. Penulis menyadari, tidak selamanya perempuan berada diurutan kedua dalam keaktifan dalam parlemen. Karena melalui tulisan ini, diharapkan kita dapat melihat peranan perempuan tersebut dalam parlemen.

Pada akhirnya penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan ini, mengingat banyaknya keterbatasan yang penulis hadapi sehingga dengan kerendahan hati diharapkan saran dan kritik yang membangun agar penulisan ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai kalangan serta bagi penulis khususnya.

Medan, 02 Maret 2010


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat kesulitan tantangan dari dalam diri penulis maupun dari luar diri penulis sendiri. Tapi berkat bantuan, motivasi, arahan serta dukungan dari berbagai pihak yang penuh keikhlasan hati, membantu dan memberikan masukan dan kritikan yang sepedas keripik pada penulis sehingga penulis tetap semangat untuk menyelesaikannya.

Penulis mengucapkan terimakasih yang setulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Chairudin Lubis, SpA, selaku Rektor Universitas Sumatera utara,

2. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, dan Pembantu Dekan I, Bapak Drs. Humaizi, MA,

3. Bapak Heri Kusmanto, MA, selaku Ketua jurusan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara,

4. Ibu Dra. Evi Novida Ginting, M.Sp selaku dosen pembimbing yang cukup banyak membantu penulis dengan saran dan masukan yang membangun bagi penulis sehingga menjadi lebih mandiri dan struggle. 5. Bapak Indra Kesuma S.IP, M.Si, Selaku Dosen Pembimbing II sekaligus

reader, makasi banyak ya pak buat saran dan kritiknya.

6. Bapak Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si, Selaku Ketua Penguji serta Dosen Wali penulis,


(6)

8. Staf-staf administrasi FISIP USU, kak Uchie, bang Hendra dan bang Rusdi.

9. Bapak T. Pasaribu ( aku mencintaimu dengan cara yang kompleks ), Ibu P. Hutagalung ( sembah sujud ku untuk mu mam.. )dan adik-adik ku : ♥ Sofiana Haulian Pasaribu, teman berbagi kamar, cerita dan juga

semangat ♥ Topo Pasaribu ♥ Ferdinand Pasaribu ♥ Erwin Pasaribu

10. Ompung Ny. Hutagalung br. Sitompul untuk doa dan pengharapan yang tidak pernah habis. Tante tetty Hutagalung untuk desakannya supaya cepat tamat.

11. Serta Berliana Sitorus, Sastri Hennyta Venensia Simbolon, Mburak Perianta Ginting, Isabella Josefine Simarmata untuk tawa dan tangis selama ini. Armada terakhir sudah berangkat menyusul kalian. Terimakasih berjuta kali untuk semua bantuannya. Kalian pelatuk untuk senjata ku. I love you guys..

12. Kawan-kawan Ilmu Politik 04 untuk semangat nya. Dari 040906001-040906082. Senior-senior Ilmu Politik, khususnya, Eris Estrada Sembiring dan Junaedi Lumban Gaol untuk bimbingannya. Dan Ridho Ananda Syahputra Nasution dan keluarga, untuk bantuannya selama perkuliahan dan pengerjaan awal skripsi ini.

13. Lafemme Radio Crew. Batman, Eka, Yuni, Lupita, Lisa, Gitta, Diana, Rika.


(7)

15. Yogara Fernandez Pasaribu, Herunata Joseph dan ’ponakan paling ganteng, Michael untuk bantuannya selama di Jakarta.

16. Sahabat, Saudara, Partner in crime : Deborah Marsaulina Pasaribu, Maria Adhisty Bintang Indah Putri Hasibuan, Ostovia Romauli Juliana Hutagalung, Vivi Novita Evelina Manullang ( Biar dunia kebalik-balik, kita tetep fun )

17. Sparring Partner, Chandran Roladica Lumban Batu. ( Terimakasih untuk semuanya, God bless you, you make me feel brand new.. )


(8)

ABSTRAKSI

NAMA : SEPTRI STEPHANIE PASARIBU NIM : 040906082

Judul : Peranan Anggota Legislatif Perempuan Dalam Pengawasan Implementasi Perda No.6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan Dan Anak (Studi Kasus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara)

Perempuan seyogianya memiliki kemampuan yang sama dengan pria, terutama dalam kepemerintahan. Sebagai anggota legislatif, perempuan telah diberi hak dan kewajiban untuk mengurus persoalan-persoalan sosial. Dalam persoalan yang berhubungan dengan human trafficking (perdagangan orang), anggota legislatif perempuan di sumatera utara telah mengeluarkan peraturan daerah (perda) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Penelitian ini dilakukan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara dengan tujuan ingin memperoleh gambaran kegiatan dan kinerja anggota legislatif perempuan dalam parlemen, serta untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan anggota legislatif perempuan untuk memajukan kesejahteraan kaum perempuan dan anak apabila disesuaikan dengan contoh kasus yang digunakan oleh penulis, yaitu human trafficking (perdagangan orang). Tipe penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu prosedur memecahkan masalah yang diteliti dengan menggunakan keadaan/objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tepat sebagaimana adanya.

Dalam penelitian ini dapat dilihat kinerja anggota legislatif perempuan dalam parlemen telah berjalan cukup baik. Hal ini disebabkan anggota legislatif perempuan sudah memiliki kemampuan, terlepas dari sistem pengawasan yang kurang sistematis.

( Kata kunci: Peranan Perempuan Sebagai Anggota Parlemen Dalam Menangani Human Trafficking (Perdangangan Orang) di Sumatera Utara ).


(9)

Halaman

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ...ii

ABSTRAKSI ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GRAFIK ...viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 11

1.3. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Manfaat Penelitian ... 12

1.4.1. Manfaat Teoritis ... 12

1.4.2. Manfaat Praktis ... 12

1.4.3. Manfaat Akademis ... 13

1.5. Kerangka Dasar Pemikiran ... 13

1.5.1. Gender di dalam Teori Keterwakilan Politik ... 14

1.5.2. Keterwakilan Perempuan di dalam Parlemen ... 19

1.6. Hipotesa ... 23

1.7. Ruang Lingkup ... 23

1.8. Metodologi Penelitian ... 24

1.8.1. Jenis Penelitian ... 24

1.8.2. Lokasi Penelitian ... 24

1.8.3. Teknik Pengumpulan Data ... 25

1.8.4. Teknik Analisa Data ... 26

1.9. Sistematika Penulisan ... 27

BAB II DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH SUMATERA UTARA (DPRD-SUMUT) DAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK ... 29


(10)

2.1. Fenomena Trafficking di Sumatera Utara ... 29

2.2. Perempuan dalam Parlemen ... 32

2.2.1. Gambaran Umum DPRD Propinsi Sumatera Utara ... 32

2.2.2. Perempuan Sebagai Anggota Legislatif ... 35

BAB III PENGAWASAN ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN ... 40

3.1. Konsep Dasar pengawasan ... 40

3.2. Kinerja Perempuan dalam Parlemen ... 42

3.3. Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah ... 44

3.3.1 Bentuk-Bentuk Pengawasan ... 47

BAB IV PENUTUP ... 68

4.1. Kesimpulan ... 68

4.2. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

Halaman

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1.1. Pekerja Migran di Asia Tenggara Berdasarkan Negara Asal dan Negara Tujuan Tahun 2001 ... 3 Tabel 1.5.2.1. Dampak Perubahan yang Diusung oleh Anggota Parlemen

Perempuan ... 22 Tabel 2.2.2.1. Perempuan dalam DPR RI 1955-2009 ... 36 Tabel 2.2.2.2. Perempuan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat


(12)

Halaman

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1.1.1. Perbandingan Korban Perdagangan Orang Berdasarkan Jenis Kelamin ... 3


(13)

ABSTRAKSI

NAMA : SEPTRI STEPHANIE PASARIBU NIM : 040906082

Judul : Peranan Anggota Legislatif Perempuan Dalam Pengawasan Implementasi Perda No.6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan Dan Anak (Studi Kasus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara)

Perempuan seyogianya memiliki kemampuan yang sama dengan pria, terutama dalam kepemerintahan. Sebagai anggota legislatif, perempuan telah diberi hak dan kewajiban untuk mengurus persoalan-persoalan sosial. Dalam persoalan yang berhubungan dengan human trafficking (perdagangan orang), anggota legislatif perempuan di sumatera utara telah mengeluarkan peraturan daerah (perda) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Penelitian ini dilakukan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara dengan tujuan ingin memperoleh gambaran kegiatan dan kinerja anggota legislatif perempuan dalam parlemen, serta untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan anggota legislatif perempuan untuk memajukan kesejahteraan kaum perempuan dan anak apabila disesuaikan dengan contoh kasus yang digunakan oleh penulis, yaitu human trafficking (perdagangan orang). Tipe penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu prosedur memecahkan masalah yang diteliti dengan menggunakan keadaan/objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tepat sebagaimana adanya.

Dalam penelitian ini dapat dilihat kinerja anggota legislatif perempuan dalam parlemen telah berjalan cukup baik. Hal ini disebabkan anggota legislatif perempuan sudah memiliki kemampuan, terlepas dari sistem pengawasan yang kurang sistematis.

( Kata kunci: Peranan Perempuan Sebagai Anggota Parlemen Dalam Menangani Human Trafficking (Perdangangan Orang) di Sumatera Utara ).


(14)

PERANAN ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN

DALAM PENGAWASAN IMPLEMENTASI PERDA NO. 6

TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN

PEREMPUAN DAN ANAK (STUDI KASUS DEWAN

PERWAKILAN

RAKYAT DAERAH SUMATERA UTARA)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Skripsi ini akan membahas bagaimana peranan anggota legislatif perempuan dalam pengawasan implementasi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004 tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Perdagangan orang merupakan tindak kejahatan dimana yang menjadi korban pada umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Hal ini merupakan pelanggaran berat atas Hak Asasi Manusia (HAM). Dikarenakan tindakan ini dilakukan secara paksa melalui orang ketiga (pelaku kejahatan perdagangan orang) sehingga korban tidak dapat menentukan jalan hidupnya sendiri (self determination), tidak bebas mengeluarkan ekspresi atau pendapatnya, tidak dapat bebas melakukan hidup sesuai dengan keinginannya, tidak dapat bebas melakukan tindakan yang diinginkan dan selalu merasa terintimidasi, ketakutan, terancam dan penuh kecurigaan.1

Perdagangan orang untuk keperluan seksual komersial pada dasarnya telah ada sejak abad ke 19, dan pada abad 21 jaringan perdagangan orang telah menjadi semakin terorganisir dan terstruktur. Jumlah perempuan dan anak yang menjadi

1

Jurnal, Trafiking terhadap Perempuan: Jaringan Sindikat yang Tak Lekang oleh Panas


(15)

korban perdagangan orang tidak lagi terhitung bahkan sulit ataupun sukar untuk diprediksi berapa jumlah korban perdagangan orang yang sebenarnya. Seperti kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak lainnya, teori fenomena gunung es berlaku bagi kejahatan ini karena kasus yang berhasil ditangani atau diproses secara hukum masih jauh lebih sedikit dibandingkan fakta kasus yang terjadi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa sedikitnya empat juta orang setiap tahunnya menjadi korban human trafficking di dunia.2 Setiap tahunnya diperkirakan 600.000-800.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak diperdagangkan menyeberangi perbatasan internasional. International Organization for Migration (IOM) melaporkan bahwa 500.000 orang perempuan setiap tahunnya menjadi korban perdagangan orang di wilayah Asia Tenggara.3

2

Melly Setyawati dan Kiki Sakinatul Fuad, Pentingnya Peraturan tentang Perdagangan

(Trafiking) Perempuan dan Anak, Jurnal Suara APIK untuk Kebebasan dan Keadilan, Edisi 31

Tahun 2006, hal. 28.

3

R. Valentina Sagala dan Ellin Rozana, Memberantas Trafiking Perempuan dan Anak:

Penelitian Advokasi Feminis tentang Trafiking di Jawa Barat (Bandung: Institut Perempuan,

2007), hal.5.

Hal ini semakin memperlihatkan buruknya penanganan akan kasus perdagangan orang yang telah marak terjadi dalam masyarakat, sehingga mampu menghasilkan angka yang begitu besar dan semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Buruh migran merupakan kelompok pekerja yang paling sering menjadi sasaran empuk para pelaku perdagangan orang. Karena kebutuhan hidup yang tinggi, tak menyurutkan langkah untuk menjadi buruh migran.

Indonesia merupakan negara yang mengirimkan buruh migran dalam jumlah yang cukup besar untuk kawasan Asia Tenggara. Berikut merupakan data dari Migration News yang menggambarkan hal tersebut.


(16)

Tabel 1.1.1. Pekerja Migran di Asia Tenggara Berdasarkan Negara Asal dan Negara Tujuan Tahun 20014

Negara Tujuan

Negara Asal

Malaysia* Thailand** Singapura***

Indonesia 888.000 - 38.000

Filipina 24.000 - -

Myanmar - 450.022 -

Kamboja - 56.252 -

Laos - 56.253 -

Bangladesh 216.000 - 200.000

Lain-Lain 72.000 - -

Sumber: diolah dari Migration News, Vol. 9 No. 3, Maret2002

Keterangan:

* Angka perkiraan merupakan jumlah migran legal dan illegal ** Pekerja migran yang terdaftar selama tahun 2001

*** Migran Indonesia sebagian besar adalah PRT, Sedangkan migran Bangladesh (dan India) sebagian besar adalah buruh konstruksi

4

Irwan M. Hidayana, Migrasi Lintas Batas dan Seksualitas di Asia Tenggara, Jurnal Perempuan 36, hal. 58.


(17)

Dari data Migration News tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Indonesia merupakan eksportir terbesar tenaga kerja ke luar negeri dalam kawasan Asia Tenggara dibandingkan negara Asia lainnya. Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi angka perdagangan orang untuk Indonesia, karena semakin besarnya jumlah buruh migran keluar negeri maka menunjukkan semakin besarnya kemungkinan terjadinya perdagangan orang bagi Indonesia mengingat buruh migran lah yang paling sering menjadi korban perdagangan orang.

Secara spesifik, kasus perdagangan orang di Indonesia sendiri meliputi jumlah yang besar dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Berdasarkan data yang diperoleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pada tahun 2000 tercatat 1.683 kasus perdagangan perempuan berhasil diungkap dan ditangani polisi, sedangkan dari kasus-kasus tersebut yang diajukan ke pengadilan sebanyak 1.094 kasus.5

Pada perkembangan selanjutnya, menurut data International Organization for Migration (IOM) mengenai perdagangan orang di tahun 2006, hingga Bulan April saja jumlah kasus untuk Indonesia telah mencapai 1.022 kasus, dengan perincian 88,6 persen korbannya adalah perempuan, dimana 52 persen dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga, dan 17,1 persen dipaksa melacur.6

5

Komnas Perempuan merupakan lembaga independen yang merupakan mekanisme nasional untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan yang didirikan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 181/1998 pada tanggal 15 Oktober 1998.

6

Perdagangan Pelacur Tanpa Ujung, dalam www.kompas.com diakses pada tanggal 10

Januari 2009.

Data IOM tersebut menjelaskan bahwa tidak hanya perempuan saja yang dapat menjadi korban atas tindak kejahatan perdagangan manusia, namun kejahatan ini pun dapat berlaku bagi kaum laki-laki. Walaupun berdasarkan data statistik,


(18)

jumlah korban perempuan memang selalu berada jauh lebih besar dibandingkan jumlah korban laki-laki.

Berikut merupakan grafik yang menunjukkan perbandingan antara korban perdagangan perempuan dengan laki-laki berdasarkan data IOM tahun 2006.

Grafik 1.1.1. Perbandingan Korban Perdagangan Orang Berdasarkan Jenis Kelamin

Dalam berbagai studi dan laporan dari sejumlah LSM, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan daerah sumber perdagangan orang, di samping juga sebagai transit dan penerima perdagangan manusia. Menurut data The United Nation’s Children’s Fund (UNICEF) tahun 1998, perdagangan orang tersebar di 75.106 tempat di seluruh Indonesia.7

7

Jurnal, Situasi Trafficking Perempuan dan Anak di Indonesia dalam Jurnal Perempuan 29, hal. 49.

International Catholic Migration Commission (ICMC) dan American Center for International Labor Solidarity (ACILS) mengungkapkan bahwa sedikitnya diidentifikasi sepuluh provinsi di Indonesia


(19)

dijadikan sebagai sumber korban perdagangan orang, 16 provinsi dijadikan sebagai tempat transit, dan sedikitnya 12 provinsi sebagai penerima.8

Upaya untuk mengantisipasi permasalahan perdagangan orang ini pada dasarnya telah dilakukan sejak tahun 1998 dengan ditandatanganinya Bangkok Accord and Plan of Action to Combat Trafficking in Women, yang merupakan sebuah konsensus bagi negara-negara di wilayah regional Asia Pasifik dalam memerangi perdagangan perempuan di kawasan ini. Namun, karena kesibukan bangsa ini untuk keluar dari krisis multidimensi yang melanda saat itu, maka kegiatan penghapusan perdagangan manusia di Indonesia menjadi tidak terinformasikan dengan baik.

Di Indonesia perdagangan orang yang menonjol terdapat di daerah perbatasan dengan negara tetangga, khususnya daerah yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia, seperti Riau (Batam dan sekitarnya), Medan, dan Kalimantan Barat. Besarnya angka korban perdagangan orang di wilayah perbatasan ini, dipengaruhi oleh besarnya permintaan buruh migran dari Singapura dan Malaysia, sementara seperti telah dijelaskan tadi bahwa buruh migran lah yang ringkih menjadi korban perdagangan orang. Besarnya tingkat perdagangan orang di wilayah perbatasan menunjukkan adanya tindak kejahatan yang dilakukan secara lintas regional dan negara.

9

Setelah itu, upaya serius dalam hal mengatasi perdagangan orang terus dilanjutkan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan (Trafiking)

8

ACILS, ICMC, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, Jakarta: 2003, dalam R. Valentina Sagala dan Ellin Rozana, Memberantas Trafiking Perempuan dan Anak: Penelitian Advokasi Feminis tentang Trafiking di Jawa Barat, Op Cit., hal. 5-6.

9

Parjoko, Sri Moertiningsih Adidetomo dan Maesuroh, Berbagai Upaya Memerangi


(20)

Perempuan dan Anak yang menjadi acuan disusunnya RAN Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak yang dapat menjadi arahan, pedoman, dan rujukan dalam penanganan masalah perdagangan orang. Hal ini juga melahirkan berbagai penyesuaian di tingkat daerah dengan dilahirkannya berbagai Peraturan Daerah dan Rencana Aksi Daerah tentang pencegahan dan pemberantasan perdagangan manusia.10

Lahirnya Peraturan Daerah tersebut merupakan sebuah keberhasilan yang penting bagi Sumatera Utara, khususnya dalam hal perlindungan perempuan dan anak yang memang menjadi korban mayoritas dalam tindak kejahatan tersebut. Lahirnya Peraturan Daerah ini juga tidak bisa dilepaskan dari otonomi daerah. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 yang disusul dengan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, adalah merupakan koreksi total atas UU No. 5 Tahun 1974 dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara, Gubernur T. Rizal Nurdin mensahkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak No. 6 tahun 2004.

11

Perjalanan otonomi daerah di Indonesia sangat menarik untuk diamati, dikarenakan konsep otonomi daerah selalu berkembang dan terus mengalami

11

B. N. Marbun, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), 2006, hal. 133.


(21)

penyempurnaan. Heterogenitas yang dimiliki bangsa Indonesia baik kondisi sosial ekonomi, budaya, maupun keragaman tingkat pendidikan masyarakat, membuat desentralisasi atau distribusi kekuasaan atau kewenangan, dari pemerintah pusat perlu dialirkan kepada daerah otonom.

Berikut kronologis perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah12

12

DR. J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, (Jakarta: Rineka Cipta), 2007, hal. 2.

:

UU No. 1 Tahun 1945

UU No. 22 Tahun 1948

UU No. 1 Tahun 1957

UU No. 6 Tahun 1959

UU No. 18 Tahun 1965

UU No. 5 Tahun 1974

UU No. 22 Tahun 1999


(22)

Ditandatanganinya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah oleh Presiden B. J. Habibie pada tanggal 4 Mei 1999 menandai berputarnya kembali roda otonomi daerah. Setelah 25 tahun terpinggirkan oleh pemerintah Orde Baru. Sejak saat itu, daerah-daerah mulai memperoleh kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan kepadanya baik bidang politik, administrasi, keuangan, dan sosial budaya sesuai dengan prinsip desentralisasi.

Meskipun Undang-undang No. 22 Tahun 1999 telah memberikan kewenangan yang besar kepada daerah, khususnya melalui DPRD, dalam praktiknya tidak sedikit perilaku menyimpang yang dilakukan oleh beberapa anggota DPRD, misalnya dalam proses pemilihan Kepala Daerah, pembahasan, dan pembentukan peraturan daerah, dan pembahasan laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah.13

Sesuai isi pasal 42, UU Nomor 32 Tahun 2004 tugas dan wewenang DPRD, diantaranya adalah membentuk peraturan daerah (Perda) yang dibahas dengan gubernur untuk mendapat persetujuan bersama, dan juga melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah

Banyaknya kelemahan yang dimiliki oleh UU No. 22 Tahun 1999 membuat Undang-undang ini perlu untuk disempurnakan, sehingga lahirlah UU No. 32 Tahun 2004. Lahirnya UU yang baru ini diharap membawa perubahan yang baik, khususnya pada perubahan konfigurasi desentralisasi (hubungan pusat-daerah-desa) dan demokrasi lokal (hubungan pemerintah daerah, DPRD, dan rakyat).

13


(23)

dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.

Saat ini kebijakan yang berhubungan dengan penyelesaian masalah human trafficking (perdagangan orang) di Indonesia, merupakan wewenang yang dimiliki oleh anggota legislatif perempuan, dimana penyelesaian tersebut dilakukan, sesuai dengan yang telah dirumuskan bersama dalam peraturan daerah (perda). Anggota legislatif perempuan telah di berikan wewenang untuk merekomendasikan kebjakan-kebijakan yang mampu memberikan perubahan positif bagi masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat sesuai dengan bidang keahlian yang ditekunin anggota legislatif perempuan tersebut.

Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers

bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut berhasil dalam implementasinya. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor, birokrasi pelaksana atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional, yang saling berinteraksi satu sama lain.

Dalam pandangan George C. Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel, yakni14

1. Komunikasi, apabila tujuan dan sasaran kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

:

14

AG. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) hal. 92.


(24)

2. Sumberdaya, walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten tetapi apabila implementator kekurangan sumberdaya untuk melaksanakannya maka implementasi tidak akan berjalan efektif.

3. Disposisi, yakni watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementator seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila implementator memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

4. Struktur organisasi, terlalu panjangnya struktur organisasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks.

Komunikasi

Sumberdaya

Implementasi Disposisi

Struktur Birokrasi

Melihat gambaran secara umum mengenai kasus sosial (dalam hal ini membahas mengenai peraturan daerah no.6 tahun 2004, tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak), yang biasa dihadapi oleh anggota legislatif perempuan dan bagaimana pemerintah menanggapi peranan anggota legislatif


(25)

perempuan tersebut, timbullah pertanyaan: Apakah anggota legislatif perempuan telah melaksanakan peranannya dengan baik di dalam jajaran anggota legislatif? Apakah implementasi peraturan daerah (perda) no.6 tahun 2004 telah diawasi dan dijalankan dengan baik oleh anggota legislatif perempuan?

Pertanyaan ini menjadi suatu dorongan dan semangat bagi penulis untuk mengetahui peranan anggota legislatif perempuan, serta kinerja mereka dalam menghadapi kebijakan yang telah direkomendasikan. Hal inilah yang ingin saya ketahui dalam penelitian saya.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:

“Bagaimana anggota legislatif perempuan dalam pengawasan implementasi Perda No. 6 Tahun 2004 tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak”.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ialah pernyataan mengenai apa yang hendak kita capai.15

a) Bersifat formal akademis yakni untuk menambah wawasan mahasiswa dalam bidang politik.

Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, adalah:

15

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 29.


(26)

b) bersifat ilmiah, dimana hal yang ingin penulis ketahui yakni: melihat bagaimana anggota legislatif perempuan menjalankan fungsi pengawasan terhadap implementasi Perda No.6 Tahun 2004 di Sumatera Utara.

1.4. Manfaat Peenelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan ilmu politik dan mengembangkan kemampuan dalam menulis karya ilmiah khususnya di bidang Politik.

.

1.4.2. Manfaat Praktis

• Sebagai masukan bagi penulis dalam usaha mengetahui produk kegiatan politik.

• Sebagai masukan baru dan sumbangan untuk pemerintah pusat dan daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), institusi lainnya yang berkaitan secara langsung ataupun tidak dengan pengembangan studi tentang trafiking di Indonesia dan Sumatera Utara khususnya.

1.4.3. Manfaat Akademis

• Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kalangan mahasiswa ilmu politik, khususnya bagi mereka yang tertarik dalam konteks pengimplementasian kebijakan Perda No. 6 Tahun 2004.


(27)

• Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Ilmu Politik.

1.5. Kerangka Dasar Pemikiran

Dalam suatu penelitian ilmiah, masalah yang akan diteliti biasanya bertolak dari teori-teori yang sudah ada, kemudian penelitian sebaiknya dilakukan tahap demi tahap secara ilmiah agar menghasilkan suatu kesimpulan yang ilmiah (scientific research).

Salah satu unsur yang paling penting peranannya dalam observasi adalah menyusun kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih16. Teori adalah rangkaian asumsi, konsep, kontruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.17 Pemikiran lain, Teori merupakan seperangkat proposisi yang dinyatakan secara sistematis dan juga logis, yang didasarkan pada data empiris (Johnson,1986).18

16

Hadari, Nawawi, MetodologiPenelitian Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1987,hal.40

17

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.37.

18

Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternative Pendekatan, Jakarta: Kencana, 2005, hal. 136.

Kerangka teori yang menjadi landasan berpikir penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(28)

1.5.1. Gender di Dalam Teori Keterwakilan Politik

Nilai-nilai kebebasan manusia, keadilan, dan nasib individu diakui dan dipraktikkan pertama kali di Yunani kuno. Di Yunani kuno pula lah problem-problem perenial manusia dan negara pertama kali diangkat ke permukaan. Pemikiran sosial dan politik bangsa Yunani klasik secara umum diakui sebagai kekuatan vital dalam sumbangan pemikiran barat. Demokrasi Yunani mencapai tingkat perkembangannya yang tertinggi di Athena selama abad ke-5 SM, suatu periode yang dikenal dengan “Masa keemasan Pericles“. Unit pemerintahan yang baku saat itu adalah polis atau negara-kota. Bentuk organisasi politik ini, yang asing bagi zaman kekuasaan-kekuasaan besar dan negara-negara bangsa, tidak ada padanannya di dunia modern.

Terdapat beratus-ratus negara-kota Yunani dengan berbagai ukuran dan bentuk pemerintahan, dan jenjang peradaban yang beragam. Yang paling berpengaruh dari semua ini bagi perkembangan pemikiran politik Barat adalah Athena. Di sinilah kehidupan intelektual Yunani mencapai tingkat ekspresi tertingginya dan bidang pengajaran mulai memiliki kekuatan sosial dan politik.

Karena seluruh warga negara memainkan peran yang langsung dan komprehensif dalam pemerintahan persemakmuran yang mikrokosmik ini, setiap individu memiliki rasa memiliki kota tersebut, dan menjadi mitra bukan subyek baginya.

Kota Athena memiliki jumlah populasi yang diperkirakan antara 300.000 hingga 400.000 orang. Penduduk kota Athena terbagi menjadi tiga kelas sosial


(29)

besar, masing-masing memiliki status legal dan politik yang berlainan : warga negara, warga asing dan budak.

Orang-orang yang berusia di atas 18 tahun yang berasal dari Athena dikelompokkan pada kelas warga negara. Kewarganegaraan hanya bisa diperoleh melalui kelahiran, bukan dengan proses naturalisasi. Keuntungan pokok kewarganegaraan terletak pada keistimewaan politis yang diberikan kepada penduduk, yakni hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan kotanya dan pengaturan urusan publik. Tidak ada keistimewaan sosial khusus yang mengiringi status warga negara. Kelas ini terbuka untuk untuk semua rakyat Athena, kaum ningrat maupun kalangan awam. Kelas ini meliputi baik mereka yang berasal dari kalangan ekonomi bawah, orang kaya, buruh maupun orang-orang professional dan pengusaha.

Namun demikian, ada yang tidak tercantum, yakni perempuan. Yunani klasik berpandangan bahwa tempat perempuan itu di rumah, bukan di muka umum, atau menjadi juri atau kantor publik. Karena Yunani tidak memahami warga negara dengan melepaskan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, maka secara logika mereka memisahkan perempuan dari kategori warga negara. Di Eropa, seorang ayah memiliki kekuasaan untuk memerintah sang anak perempuan menikah berdasarkan kehendak dan kesenangannya, tanpa pertimbangan sedikit pun dari yang bersangkutan. Setelah pernikahan, pria sejak dahulu, berkuasa atas hidup mati istrinya. Suami adalah satu-satunya tribunal dan huku m bagi istri.


(30)

Sekitar tahun 1700-an, di antara para penulis pertama yang menempuh apa yang sekarang ini kita sebut sebagai posisi feminis, Wollstonecraft berpendapat bahwa pria dan wanita memiliki kemampuan yang sama dalam bernalar.

Menurut narasi standar sejarah intelektualitas feminis, feminisme modern di dunia bahasa Inggris bermula dengan seruan-seruan Mary Wollstonecraft untuk penyertaan kaum wanita ke dalam kehidupan publik yang sangat didominasi kaum pria. Ia secara gigih menentang segala bentuk kewenangan semena-mena dan menindas. Argumen esensialnya adalah bahwa prinsip-prinsip reformasi yang egaliter dan liberal hendaknya diterapkan untuk memperbaiki kondisi wanita.

Meskipun mempercayai kekuatan pendidikan untuk mentransformasi sifat kehidupan wanita, Wollstonecraft paham terdapat faktor-faktor lain yang membentuk takdir wanita. Kapasitas wanita bagi tindakan rasional, bagi keluhuran sejati, telah dikurangi oleh beragam institusi sosial dan tuntutan-tuntutan budaya. Pembelaan Wollstonecraft adalah bahwa status legal dan sosialisasi mereka telah membatasi kesempatan-kesempatan yang dimiliki wanita untuk menggunakan kemampuan-kemampuan alami mereka bagi kebaikan masyarakat.

Hal-hal itu juga yang menjauhkan wanita untuk berkontribusi sepenuhnya pada kehidupan moral dan politik. Namun begitu, berdasarkan kesempatan-kesempatan yang disodorkan pendidikan, setara dengan yang diterima pria, wanita bisa mengklaim tempat mereka sebagai anggota-anggota masyarakat yang bisa memberi kontribusi. Semakin baik pendidikan mereka, semakin baik wanita dalam menjadi warga negara, istri dan ibu.


(31)

Wollstonecraft sangat mencermati relatif kurangnya kebebasan kaum wanita dibandingkan kaum pria. Pria memiliki kewenangan formal atas wanita dalam negara sebagai satu keutuhan dan dalam komponen institusi-institusi sosialnya. Hak-hak pria mungkin mengikuti properti dan posisinya, namun wanita bahkan tidak memiliki properti seandainya mereka menikah dan dihindarkan dari hampir seluruh posisi kewenangan.

Keadaan ini juga digambarkan dalam The Subjection of Women karya John Stuart Mill. Dalam karya ini, Mill menggambarkan kesulitan kaum wanita di dalam sebuah tatanan sosial yang tidak mereka kendalikan. Ia berpendapat bahwa kaum wanita harus diberi status yang setara dengan kaum pria di keluarga, di tempat kerja, dan di arena politik. Dalam karya nya ini, Mill menggambarkan bagaimana posisi wanita berdasarkan hukum-hukum kuno Inggris. Termasuk tidak adanya pengakuan terhadap wanita untuk mengisi seluruh fungsi dan kedudukan yang masih menjadi monopoli kaum pria.

Tahun 1960 merupakan masa puncak perjuangan panjang terhadap kajian gender. Program Studi Perempuan (Kajian Wanita) di Tingkat Perguruan Tinggi di Amerika Serikat pada masa itu merupakan bukti munculnya perhatian akademis terhadap studi gender.19 Banyak teori-teori yang membawa ide-ide gender yang berupaya menentang epistemologi-epistemologi konvensional dengan mengemukakan paradigma alternatif.20

19

Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern: dari Postmodernisme Teori Kritis Poskolonialisme hingga Cultural Studies (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2006), hal. 77.

20

Ann Brooks, Posfeminisme & cultural studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif

(Yogjakarta: Jalasutra, 2004), hal. 47, diterjemahkan oleh S. Kunto Adi Wibowo Dengan judul buku asli Postfeminisme: Feminism, Cultural Theory and Cultural Forms diterbitkan oleh Routlegde, London pada tahun 1997.

Termasuk juga dalam hal ini ide-ide yang terkait dengan teori-teori politik seperti teori keterwakilan politik.


(32)

Oleh kelompok feminis, negara seringkali diidentifikasi sebagai pemilik kekuasaan yang dapat membuat dan mengubah kebijakan yang selanjutnya dapat memiliki pengaruh terhadap perempuan dan hak perempuan. Namun demikian, negara juga diidentifikasi sebagai pendukung struktur sosial yang telah mapan di masyarakat, yang seringkali mengopresi perempuan. Yang dimaksudkan dalam hal ini, bahwa negara menjadi penyambung lidah bagi budaya patriarki melalui kebijakan-kebijakannya yang memang menyebabkan terjadinya beberapa tindak opresi terhadap perempuan.

Pada dasarnya, hal ini merupakan suatu pandangan baru atas teori negara. Jika Marxist dan sosial demokratis memfokuskan peran negara pada aspek kelas ekonomi, dimana kelas ekonomi atas (borjuis) menggunakan negara untuk mengopresi kelas ekonomi bawah (proletar), maka hal ini sesuai dengan pemikiran yang menggunakan aspek gender, dimana negara dijadikan juga sebagai alat opresi dari budaya patriarki terhadap perempuan.21

Oleh karena kondisi tersebut, maka terdapat dua gagasan untuk mengantisipasi masalah yang dapat ditimbulkan oleh terdominasinya negara oleh

Adanya kemampuan negara dalam pembuatan kebijakan, meletakkan negara sebagai alat yang penting dalam me-reproduksi nilai-nilai di masyarakat. Dalam hal ini, negara memiliki kemampuan yang penting dalam memperkuat nilai-nilai patriarki di dalam masyarakat. Hal ini kemudian berdampak pada semakin besarnya kemungkinan bagi perempuan untuk mendapatkan opresi, akibat budaya patriarki yang cenderung timpang dalam melihat kedudukan perempuan di masyarakat.

21

Nickie Charles, Feminism, The State and Social Policy (London: Macmillan Press Ltd, 2000), hal. 5.


(33)

budaya patriarki. Pertama, mengubahnya dengan meningkatkan keberadaan perempuan di dalam institusi politik formal, terutama parlemen sebagai pembuat kebijakan. Dan kedua adalah mengubahnya melalui partisipasi politik dari luar institusi politik formal.22

Meningkatkan peran perempuan di dalam parlemen merupakan suatau gagasan yang penting dan dianggap sebagai suatu pemecahan masalah yang efektif untuk mengubah sikap negara menjadi negara yang berkeadilan gender. Hal ini sesuai dengan apa yang diargumentasikan John Stuart Mill.23 Mill menekankan pada peranan penting perempuan dalam dunia politik. Menurutnya, perempuan harus memiliki hak pilih politik agar dapat menjadi setara dengan laki-laki, selain itu mereka juga harus mampu mengganti sistem, struktur dan sikap yang memberikan kontribusi terhadap opresi orang lain, atau opresi terhadap diri kita sendiri.24

Penjelasan tersebut telah mengambarkan bagaimana keterwakilan perempuan menjadi begitu penting dalam suatu negara, terutama untuk menghindarkan segala bentuk opresi terhadap perempuan. Hal ini menjadi relevan

Dalam hal ini dimaksudkan bahwa kaum perempuan memiliki dan dapat menggunakan hak politiknya untuk memperbaiki kondisi masyarakat melalui keterlibatan secara tidak langsung (dengan menggunakan hak pilih) atau secara langsung (sebagai anggota parlemen) dalam proses pembuatan undang-undang.

22

Judith Squires, Gender in Political Theory (Cambridge: Polity Pressm, 1999), hal. 195.

23

John Stuart Mill adalah seorang pemikir liberal dan demokrasi. Kemudian, Mill pun menjadi seorang feminis liberal. Ia memperjuangkan hak individu dan kebebasan yang lebih baik bagi wanita.

24

Angela Y. Davis, Women, Race and Class (New York: Random House, 1981), hal. 42 dalam Rosemarie Putnam Tong, Feminist Though: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus

Utama Pemikiran Feminis (Yogjakarta: Jalasutra, 2004), hal. 30. diterjemahkan oleh Aquarini

Priyatna Prabasmoro dengan judul buku asli Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction yang diterbitkan oleh Westview Press, Colorado pada tahun 1998.


(34)

dengan apa yang menjadi permasalahan pokok di dalam penelitian skripsi ini. Dalam ruang publik, khususnya dunia politik, perempuan seringkali terpinggirkan dibandingkan oleh laki-laki. Hal ini terlihat jelas di Indonesia, dicontohkan salah satunya oleh keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Padahal seperti yang dikatakan oleh Mill, melalui hak politiknya, perempuan dapat berkontribusi untuk menghapuskan perbuatan opresi yang ada di masyarakat. Dengan kata lain, perempuan diyakini mampu melakukan perubahan baik terhadap masyarakat dengan keterlibatannya di dalam ranah politik. Hal inilah yang kemudian dipertanyakan lebih kritis di dalam skripsi ini, dan juga akan dianalisa dengan teori yang lebih spesifik mengenai keterwakilan perempuan.

1.5.2. Keterwakilan Perempuan di dalam Parlemen

Ilmu politik merupakan lingkup studi yang luas, terutama setelah berkembangnya isu-isu baru di tahun 60-an isu gender menjadi salah satu isu yang dekat dengan kajian dan analisa ilmu politik. Oleh karena itu, dalam perkembangannya muncul penelitian-penelitian dan teori-teori politik yang fokus terhadap masalah-masalah gender. Masuknya isu gender ke dalam ilmu politik ini, menurut Sandra Harding dapat membentuk ilmu politik yang baru sebagai ilmu sosial yang kritis, lebih akurat dan tidak bias.25

Salah satu teori politik yang fokus terhadap masalah gender yakni terkait dengan masalah keterwakilan perempuan dalam parlemen. Hal ini sesuai dengan fokus utama yang dipermasalahkan dalam skripsi ini. Teori yang akan digunakan

25

Sandra Harding, Feminism and Methodology (Bloomington: Indiana University Press, 1987), hal. 188, dalam Judith Squires, Gender in Political Theory (Cambridge: Polity Press, 1999), hal. 106.


(35)

sebagai alat analisa dalam skripsi ini, yakni teori mengenai keterwakilan perempuan dalam politik yang dituliskan oleh oleh Azza Karam dan Joni Lovenduski dalam buku berjudul Women in Parliement: Beyond Number.

Karam dan Lovenduski beranggapan bahwa keterwakilan perempuan merupakan hal penting, karena diyakini dapat memberikan perubahan positif dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih baik untuk masyarakat. Azza Karam dan Joni Lovenduski tidak hanya sekedar melihat pentingnya jumlah perempuan di parlemen saja, sebaliknya mengalihkan ke titik apa yang sebenarnya dapat kaum perempuan lakukan di parlemen (bagaimana mereka dapat mempengaruhi), berapa pun jumlah mereka. Menurut keduanya, perempuan mempelajari aturan main, dan menggunakan pengetahuan dan pemahaman ini untuk mengangkat isu dan persoalan perempuan dari dalam di badan pembuat undang-undang (legislatur) dunia.26

Karam dan Lovenduski menekankan bahwa kendati hanya satu kehadiran perempuan pun di dalam parlemen, maka diyakini ia mampu membawa suatu perubahan. Namun tentunya untuk perubahan yang signifikan diperlukan juga keterwakilan perempuan dalam jumlah yang signifikan. Perubahan yang diusung oleh anggota parlemen perempuan ini dikarenakan mereka memiliki perbedaan dengan kaum laki-laki dalam hal isi dan prioritas pembuatan keputusan. Isi dan prioritas pembuatan keputusan antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh kepentingan, latar belakang dan pola kerja kedua jenis kelamin itu. Perempuan

26

Azza Karam dan Joni Lovenduski, Perempuan di Parlemen: Membuat Perubahan

dalam Azza Karm dan Julie Ballington (ed-), Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah,

Bukan Sekedar Hiasan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan International Institute for

Democracy and Electoral Assistance, 1999), hal. 118. Diterjemahkan oleh Yayasan Jurnal Perempuan, dengan judul asli Women In Parliement: Beyond Numbers diterbitkan oleh Stockholm, International Institute for Democracy and Electoral Assistance pada tahun 2005.


(36)

cenderung memberikan prioritas pada masalah-masalah kemasyarakatan, seperti jaminan sosial, pelayanan kesehatan masyarakat, isu anak-anak dan perempuan. Sedangkan laki-laki mendominasi arena politik: laki-laki memformulasikan aturan-aturan permainan politik.27

Menurut Karam dan Lovenduski anggota parlemen perempuan akan melalui tiga tahap untuk mewujudkannya. Langkah pertama yang dilakukan perempuan anggota parlemen adalah untuk memahami bagaimana bekerjanya legislator dalam rangka untuk dapat menggunakan pengetahuannya sehingga dapat bekerja secara lebih efektif. Tahap kedua, yakni dengan mempelajari bagaimana menggunakan aturan-aturan yang ada, sehingga perempuan dapat meraih peluang untuk ikut serta dalam posisi dan komite-komite kunci, membuat diri mereka didengar dalam pembahasan dan debat-debat, dan dapat menggunakan sepenuhnya keahlian dan kemampuan mereka. Hal terakhir yang akan dilakukan oleh para anggota parlemen perempuan adalah dengan mengawal perubahan aturan dan struktur yang ada, dan untuk membantu generasi baru politis perempuan.28

27

Karam dan Ballington (ed-), Ibid., hal. 120-121.

28

Karam dan Ballington (ed-), Ibid., hal. 124-136.

Setelah tiga tahapan tersebut dilewati, maka anggota parlemen yang perempuan tersebut akan melakukan perubahan di dalam empat bidang yakni meliputi institusional/prosedural, representasi, pengaruh terhadap output dan diskursus. Berikut merupakan tabel yang menggambarkan perubahan yang akan dibawa oleh anggota parlemen perempuan dalam empat bidang tersebut.


(37)

Tabel 1.5.2.1. Dampak Perubahan yang diusung oleh Anggota Parlemen Perempuan29

Institusional/Prosedural Membuat parlemen lebih “ramah perempuan” melalui peraturan-peraturan yang memajukan kepedulian gender lebih besar.

Representasi Menjamin keberlanjutan perempuan dan meningkatkan akses ke parlemen, dengan mendorong kandidat-kandidat perempuan, mengubah undang-undang pemilihan dan kampanye, serta memajukan legislasi kesetaraan jenis kelamin.

Dampak/Pengaruh terhadap Produk kebijakan (output)

‘feminisasi” legislasi dengan memastikan sudah memperhitungkan pada isu dan peran perempuan

Diskursus Mengubah bahasa parlementer sehingga perspektif perempuan menjadi suatu hal yang wajar dan mendorong perubahan sikap public terhadap perempuan

Melihat fungsi anggota parlemen terhadap perubahan tersebut, maka Karam dan Lovenduski menekankanbahwa keterwakilan perempuan di parlemen semakin perlu ditingkatkan, karena ketika jumlah perempuan meningkat menandakan semakin banyaknya perubahan baik yang terjadi. Dari keempat

29


(38)

dampak positif itu, penulis akan memfokuskan kepada salah satunya saja yakni terhadap dampaknya terhadap keluaran kebijakan (output), khususnya isu mengenai perempuan. Karam dan Lovenduski secara tidak langsung mengartikan bahwa keterwakilan perempuan mampu secara signifikan memberikan perubahan terhadap output kebijakan yang dihasilkan. Hal ini secara menjadi relevan untuk menganalisa studi kasus yang diangkat di dalam penelitian skripsi ini.

1.6. Hipotesa

Adapun hipotesa yang ditarik oleh penulis ialah sebagai berikut;

a. Fungsi Pengawasan anggota legislatif perempuan dalam implementasi Peraturan darah no. 6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak berjalan dengan baik.

b. Fungsi Pengawasan anggota legislatif perempuan dalam implementasi Peraturan darah no. 6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak tidak berjalan dengan baik.

1.7. Ruang Lingkup

Penelitian ini merupakan pengembangan studi yang dilakukan dengan pendekatan Studi Kebijakan Publik dimana merupakan salah satu mata kuliah yang ditawarkan kepada mahasiswa Departemen Ilmu Politik-Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik-Universitas Sumatera Utara. Kebijakan Publik merupakan interaksi antar pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang berangkat dari permasalahan yang ada dalam masyarakat sebagai usaha untuk menjawab tuntutan


(39)

dan kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dimana interaksi tersebut dapat berupa peraturan maupun perundang-undangan.

1.8. Metodologi Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memakai metode deskriptif analitis sebagai prosedur pemecah masalah yang diteliti, dengan menggunakan keadaan/objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tepat sebagaimana adanya.

Ciri-ciri pokok metode deskriptif antara lain:

1. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual.

2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, diiringi interprestasi yang rasional.30

Dalam pemecahan masalah berdasarkan deskriptif analisis ini, bentuk yang dipakai adalah studi hubungan (interelationship studies) dengan melalui

30


(40)

studi korelasi (correlation studies). Cara ini untuk melihat hubungan linier, berupa hubungan timbal balik antara variabel atau lebih yang disebut korelasi.

Penelitian dengan format deskriptif bertujuan menjelaskan, meringkas berbagai kondisi, situasi, atau variabel yang timbul dimasyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan apa yang terjadi.31

Field Research Methods, yakni pengamatan baik dengan dialog atau terjun langsung ke lokasi dengan cara wawancara tentang masalah yang diteliti dengan responden yang memiliki pengetahuan tentang masalah penelitian. untuk memperoleh data-data yang berhubungan dengan informasi yang diinginkan serta berkaitan dengan variabel yang ada, maka dalam penelitian lapangan ini dipergunakan teknik komunikasi langsung dengan

Tujuan penelitian deskriptif untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta, sifat serta hubungan antar peristiwa yang diselidiki.

1.8.2. Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian berlokasi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara.

1.8.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam memperoleh data baik informasi, keterangan atau fakta yang diperlukan, penulis dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara sebagai berikut:

31


(41)

interview guide atau wawancara yang sifatnya terbuka sehingga peneliti tidak terjebak untuk mencari data di luar permasalahan dan tujuan penelitian.

Library Research Methods, yakni berdasarkan penelitian kepustakaan, penulis akan menemukan landasan teori yang berhubungan dengan variabel penulisan ini. Pada dasarnya suatu teori sudah jelas tujuannya, yakni secara generalisasi mempersoalkan pengetahuan yang bisa dipergunakan sebagai bahan untuk melakukan perbandingan serta untuk bisa memahami kenyataan di lapangan. Dalam penulisan ini penulis membaca dan mempelajari bahan-bahan yang bersumber dari arsip maupun berupa buku-buku, koran, majalah serta informasi tertulis (library research) lainnya yang dirasa ada relevansinya dengan masalah yang hendak diteliti. Segala sesuatu yang didapatkan apabila ternyata berhubungan dengan variabel penelitian ini akan dimuat sebagai kutipan dan juga diuraikan sepanjang hal itu memang berhubungan.

• Dokumentasi, yakni mencari data yang telah tersedia dilokasi penelitian baik berupa peraturan pemerintah, ringkasan riset atau hasil survey yang dilakukan berhubungan masalah penelitian.

1.8.4. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang diadopsi penulis dalam penelitian ini ialah dengan menggunakan teknik analisa kualitatif yakni dengan menyajikan data yang diperoleh dari objek yang diteliti tentang data variabel penelitian. Data penafsiran


(42)

yang sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan yaitu dengan analisis pendekatan deskriptif dan analitis.

Penelitian bersifat deskriptif kualitatif dengan arah tujuan memberikan gambaran mengenai situasi ataupun kondisi yang terjadi. Data–data yang terkumpul, baik data yang berasal dari wawancara, kepustakaan maupun sumber lain akan dieksplorasi secara mendalam untuk melihat solusi atas masalah yang diteliti.


(43)

1.9. Sistematika Penulisan

BAB I Pada pendahuluan penulis menyajikan Latar Belakang yang berisikan alasan penulis dalam pemilihan judul penelitian;

Perumusan Masalah yang berisikan kalimat yang merupakan titik tolak bagi perumusan hipotesis, dirumuskan dalam bentuk pertanyaan; Tujuan Penelitian, dalam bagian tujuan penelitian disebutkan secara tegas apa saja yang hendak dijawab atau diperoleh dar penelitian ini; Manfaat Penelitian, dalam manfaat penelitian diuraikan tentang kegunaan skripsi dan operasionalisasi hasilnya bagi pemerintah pusat dan daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Institusi lainnya yang berkaitan secara langsung ataupun tidak dengan pengembangan studi tentang Trafiking, khususnya di Kota Medan; Kerangka Dasar Pemikiran, merupakan penjabaran dari pemikiran peneliti itu sendiri dari sudut mana peneliti menggambarkan permasalahan dalam penelitian dengan berpedoman pada tinjauan pustaka;

Hipotesa, yang berisi pernyataan tegas dan memperjelas masalah yang akan diteliti, memberikan arah dan tujuan pelaksanaan penelitian; Ruang Lingkup, mendefenisikan secara tegas konsep yang digunakan dalam penelitian agar tidak terjadi interpretasi ganda; Metodologi Penelitian, berisi tentang jenis penelitian yang digunakan peneliti yakni analisis pendekatan deskriptif dan kuantitatif; Lokasi Penelitian, yang bertempat di Dewan


(44)

Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan; Teknik Analisa Data, mengenai data penafsiran yang sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

BAB II Bab ini akan memberikan gambaran peranan perempuan di DPRD Kota Medan.

BAB III Bab ini berisi penyajian data dan analisa data yang diperoleh dari pengumpulan data. Dan berusaha menganalisa peranan anggota legislatif dalam pengimplementasian Perda No. 6 Tahun 2004.

BAB IV PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari seluruh hasil penelitian serta berisi saran membangun untuk perbaikan di masa mendatang yang berhubungan dengan penelitian ini.


(45)

BAB II

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH SUMATERA

UTARA (DPRD-SUMUT) DAN PERDAGANGAN

PEREMPUAN DAN ANAK

2.1. Fenomena Trafficking di Sumatera Utara

Praktik trafficking di Sumatera Utara banyak terjadi. Setiap tahunnya, tindak pidana traffciking di provinsi itu selalu banyak dengan modus operandi dan target daerah yang berbeda. Berdasarkan data yang ada, terdapat 91 kasus trafficking pada tahun 2006, 88 kasus pada tahun 2007, di tahun 2008 terdapat 93 kasus dan 95 kasus di tahun berikutnya.

Penggunaan istilah human trafficking seringkali disederhanakan dengan penyebutan istilah trafficking saja. Dalam sejarah hukum internasional, istilah

trafficking muncul pada tahun 1904 ketika gerakan anti perdagangan manusia menentang adanya perdagangan budak kulit putih, sehingga melahirkan Perjanjian Internasional untuk memberantas penjualan budak kulit putih. Karena lebih bertujuan untuk melindungi korban daripada menghukum pelaku, perjanjian tersebut menjadi tidak efektif. Berakar dari gerakan anti terhadap perdagangan manusia tersebut lah, kemudian lahir istilah trafficking untuk perdagangan manusia.

Kemudian istilah perdagangan orang itu berkembang menjadi banyak defenisi yang berbeda-beda. Dalam hal ini defenisi perdagangan orang yang digunakan yakni merujuk pada defenisi yang terumuskan di dalam Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara Nomor 06 Tahun 2004 tentang Penghapusan


(46)

Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak. Adapun yang isinya, tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih unsur-unsur perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan atau anak dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak.

Berdasarkan data yang ada, Sumatera Utara tidak hanya dijadikan daerah transit, tetapi juga menjadi daerah asal dan daerah tujuan untuk kasus perdagangan manusia. Besarnya angka korban perdagangan manusia di Sumatera Utara tidak lepas dari posisi strategis yang berbatasan dengan negara lain.

Setiap tahunnya, diperkirakan 600.000 – 800.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak diperdagangkan menyeberangi perbatasan-perbatasan internasional (beberapa organisasi internasional dan organisasi swadaya masyarakat mengeluarkan angka yang jauh lebih tinggi) dan perdagangan terus berkembang. Para korban dipaksa untuk bekerja pada tempat pelacuran, atau bekerja di tambang-tambang dan tempat kerja buruh berupah rendah, di tanah pertanian, sebagai pelayan rumah, sebagai prajurit dibawah umur, dan banyak bentuk perbudakan di luar kemauan mereka. Diperkirakan lebih dari separuh dari para korban yang diperdagangkan secara internasional diperjualbelikan untuk eksploitasi seksual.

Kemiskinan menjadi salah satu faktor yang dituding menjadi pemicu maraknya kasus perdagangan manusia. Ketidakmampuan untuk membeli kebutuhan hidup, terlilit utang, ditambah dengan budaya materialisme yang


(47)

menjangkiti pola pikir sebagian masyarakat membuat orang dengan mudah terjebak dalam pola human trafficking ini. Sebagian besar korbannya adalah wanita dan anak-anak.

Perempuan dan anak adalah yang paling banyak menjadi korban perdagangan orang, menempatkan mereka pada posisi yang sangat beresiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya baik fisik maupun mental spiritual, dan sangat rentan terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tak dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS.

Beberapa pihak berpendapat bahwa yang terjebak dalam praktek-praktek perdagangan ini, seperti para tenaga kerja Indonesia yang dikirim ke luar negeri secara illegal. Mereka dikirim ke Malaysia menggunakan paspor dan visa kunjungan atau wisata untuk bekerja di sana. Dengan tidak adanya visa kerja, telah menyebabkan banyak di antaranya yang dieksploitasi dalam bentuk penahanan paspor, upah rendah, penyekapan, bahkan perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi. Mereka menjadi ilegal disebabkan visa kunjungan yang telah habis dan tidak diperpanjang (overstay). Hal ini menjadikannya semakin rentan untuk dieksploitasi.

Dalam rangka pencegahan perdagangan orang yang salah satu kedoknya mengatasnamakan pekerja migran, Pemerintah meningkatkan pengawasan terhadap operasional perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) dalam merekrut, menampung, melatih, menyiapkan dokumen dan memberangkatkan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Upaya ini didukung oleh masyarakat melalui DPRD sehingga Perda No. 6 Tahun 2004 ditetapkan.


(48)

Lahirnya Perda ini tidak lepas dari otonomi daerah, dalam era otonomi, di tingkat propinsi dan kabupaten/kota ada pembentukan gugus tugas yang akan menyusun rencana aksi daerah. Menteri Dalam Negeri telah memberikan dukungan melalui Surat Edaran Departemen Dalam Negeri No. 560/1134/PMD/2003, yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/ Walikota seluruh Indonesia. Dalam surat edaran tersebut diarahkan bahwa sebagai vocal point pelaksanaan penghapusan perdagangan orang di daerah, dilaksanakan oleh unit kerja di jajaran pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan menangani urusan perempuan dan anak. Pelaksanaan tersebut dilakukan melalui penyelenggaraan pertemuan koordinasi kedinasan di daerah dengan tujuan:

(1) Menyusun standar minimum dalam pemenuhan hak-hak anak

(2) Pembentukan satuan tugas penanggulangan perdagangan orang di daerah

(3) Melakukan pengawasan ketat terhadap perekrutan tenaga kerja (4) Mengalokasikan dana APBD untuk keperluan tersebut.

Pemerintah Propinsi Sumatera Utara mengeluarkan Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, dan membentuk Gugus Tugas RAN-P3A Sumatera Utara.

2.2. Perempuan Dalam Parlemen

2.2.1. Gambaran Umum DPRD Propinsi Sumatera Utara

Sebagai implementasi dari Undang-Undang Dasar 1945, khususnya yang mengatur susunan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, maka telah ditetapkan beberapa undang-undang yang mengatur Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,


(49)

dan DPRD yaitu Undang-Undang No.4 Tahun 1999 mengatur Susunan, Kedudukan, Keanggotaan dan Pimpinan MPR, DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota hasil pemilihan umum 1999 yang berlaku sampai dengan pengucapan sumpah/janji anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota hasil pemilihan umum berikutnya.

Sebagai implementasi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (2) yang berbunyi “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya” telah ditetapkan Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD.

Dengan mengacu kepada Undang-Undang Dasar, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah di atas, maka DPRD Propinsi Sumatera Utara telah menetapkan keputusan DPRD Propinsi Sumatera Utara tanggal 17 Juni 2002 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Propinsi Sumatera Utara.

Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPRD Sumatera Utara a. Kedudukan DPRD

1) DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila. 2) DPRD sebagai badan legislatif daerah berkedudukan sejajar dan

menjadi mitra pemerintah daerah. b. Tugas dan Wewenang DPRD Propinsi

1) Memilih Gubernur dan Wakil Gubernur


(50)

3) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur.

4) Memberikan persetujuan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Peraturan Daerah lainnya yang disampaikan oleh Gubernur.

5) Melaksanakan pengawasan terhadap :

a) Pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan

b) Pelaksanaan peraturan-peraturan dan keputusan gubernur c) Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

d) Kebijakan Pemerintah Daerah yang disesuaikan dengan Propeda dan Renstra Propinsi Sumatera Utara

e) Pelaksanaan kerjasama internasional di daerah

f) Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah pusat terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah.

g) Menampung dan menindaklanjuti aspirasi daerah dan masyarakat.

h) Memilih wakil-wakil daerah sebagai Anggota Pertimbangan Otonomi Daerah Propinsi Sumatera Utara.

i) Melaksanakan tugas lain dalam batas kewenangannya sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.


(51)

Sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD, Komisi merupakan ujung tombak dari DPRD, karena komisi yang biasanya secara langsung berhadapan dengan masyarakat, baik melalui rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat gabungan. Komisi menerima delegasi/menampung aspirasi masyarakat maupun dengan peninjauan komisi-komisi ke lapangan untuk mencari masukan yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi rakyat. Komisi adalah pengelompokan anggota DPRD secara fungsional berdasarkan tugas-tugas yang ada di DPRD. Komisi merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada permulaan DPRD melakukan kegiatannya.

Komisi-Komisi

Sebagai alat kelengkapan Dewan Komisi mempunyai tugas dan kewajiban sebagai berikut :

1. Melakukan pembahasan terhadap RAPBD sesuai dengan tugas komisi masing-masing.

2. Melakukan pembahasan terhadap rancangan peraturan daerah, yang menjadi bidang masing-masing komisi.

3. Sesuai dengan tugas komisi masing-masing melaksanakan pengawasan terhadap :

a. Pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Pelaksanaan peraturan dan keputusan Gubernur.

c. Kebijaksanaan pemerintahan daerah yang disesuaikan dengan peraturan daerah.


(52)

4. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pimpinan Dewan terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah sesuai dengan bidang dan tugas komisi.

5. Menerima, menampung, membahas aspirasi masyarakat dan

menyampaikan pendapat/saran kepada pimpinan DPRD untuk memperoleh penyelesaian yang tata caranya lebih lanjut diatur dalam Keputusan Pimpinan DPRD.

6. Dalam jangka melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada poin di atas, komisi dapat mengadakan rapat intern, rapat kerja, dan atau peninjauan bersama pemerintah daerah, serta dengar pendapat dengan lembaga, badan organisasi kemasyarakatan, LSM, perusahaan, dan perorangan.

7. Mengajukan kepada Pimpinan DPRD usul dan saran yang termasuk dalam lingkup bidang dan tugas masing-masing komisi.

8. Menyusun pertanyaan tertulis dalam rangka pembahasan sesuatu masalah yang menjadi bidang komisi masing-masing.

9. Menyampaikan laporan kepada pimpinan DPRD tentang hasil pekerjaan komisi.

2.2.2. Perempuan Sebagai Anggota Legislatif

Sebagaimana telah dijelaskan pada poin sebelumnya dalam gambaran umum DPRD Sumatera Utara dimana anggota legislatif merupakan wakil dari suara rakyat. Perempuan juga memiliki peranan yang sama dengan pria yang duduk di parlemen sebagai anggota legislatif. Begitu juga dengan tugas dan


(53)

kewenangan yang harus dijalankan tidak berbeda dengan pria yang duduk sebagai anggota legislatif.

Dalam tulisan ini, dalam hak dan kewenangannya, perempuan memiliki kecenderungan untuk bergerak dalam bidang sosial sesuai dengan teori-teori yang sudah dijelaskan. Seperti halnya dalam persoalan perdagangan orang.

Adanya anggapan masalah perdagangan orang sebagai masalah perempuan tersebut tentunya memberikan hambatan tersendiri dalam upaya mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini dikarenakan budaya patriarki yang masih kental dalam masyarakat turut menyebabkan perhatian yang rendah atas hal-hal yang dianggap masalah perempuan. Kondisi ini juga ditambah oleh dominasi laki-laki di dalam parlemen sebagai pembuat undang-undang.

Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya patriarkis, sehingga di dalam berbagai bidang kehidupan seringkali menempatkan perempuan ke dalam posisi setelah laki-laki. Kondisi ini terjadi juga di dalam lembaga keterwakilan rakyat di Indonesia. Berdasarkan catatan dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2000, dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 209.000.000 orang, jumlah wanita lebih besar yakni 105 juta dibandingkan dengan populasi laki-laki yang berjumlah 104 juta.32

32

Annie Leclerc, Parole de Femme (Prancis : Grasset & Fasquelle, 1974), tanpa halaman, dalam Sondang A.Sipayung, “Pemimpin Perempuan di Lingkungan Pemerintahan : Studi Kasus

dalam Organisasi Pemerintahan di PEMDA Propinsi DKI Jakarta”. Karya Tulis tidak diterbitkan

Depok. 2004.

Namun lebih besarnya populasi perempuan tersebut, tidak menunjukkan hal yang serupa dalam representasinya sebagai wakil rakyat. Sebaliknya perempuan memiliki proporsi yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan proporsi laki-laki di parlemen.


(54)

Adapun sepak terjang kelompok perempuan dalam lembaga legislatif adalah sebagai berikut33

Periode

:

Tabel 2.2.2.1. Perempuan dalam DPR RI 1955-2009

Perempuan Laki-Laki

1955-1956 17 (6.3%) 272 (93.7%)

Konstituante 1956-1959 25 (5.1%) 488 (94.9%)

1971-1977 36 (7.8%) 460 (92.2%)

1977-1982 29 (6.3%) 460 (93.7%)

1982-1987 39 (8.5%) 460 (91.5%)

1987-1992 65 (13%) 500 (87%)

1992-1997 62 (12.5%) 500 (87.5%)

1997-1999 54 (10.8%) 500 (89.2%)

1999-2004 46 (9%) 500 (91%)

2004-2009 61 (11.09%) 489 (88.9%)

Sumber: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2001

Tabel 2.2.2.2. Perempuan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat Propinsi

Propinsi

Perempu an

(%) Laki-Laki (%)

33

Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana (Jakarta: Kompas, 2005), hal. 239-241.


(55)

Propinsi

Perempu an

(%) Laki-Laki (%)

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 3 5.2 55 94.8

Sumatera Utara 6 6 84 84

Sumatera Barat 4 6.8 55 93.2

Jambi 3 6.1 46 93

Riau 1 4.5 21 95.5

Sumatera Selatan 10 12.7 69 87.3

Bengkulu 2 4.1 47 95.9

Lampung 4 5.1 75 75

DKI Jakarta 7 7.9 82 82

Jawa Barat 3 3 97 97

Jawa Tengah 5 4.8 99 95.2

DI Yogyakarta 3 5.1 56 94.9

Jawa Timur 11 10.6 93 89.4

Kalimantan Barat 3 5.1 56 94.9

Kalimantan Tengah 1 2 48 98

Kalimantan Selatan 6 10.1 53 89.9

Kalimantan Timur 5 10.2 44 89.8

Bali 0 0 39 100

Nusa Tenggara Barat 3 3.6 52 96.4


(56)

Propinsi

Perempu an

(%) Laki-Laki (%)

Sulawesi Utara 4 8.2 45 91.8

Sulawesi Tengah 4 2 45 91.8

Sulawesi Tenggara 1 2.6 48 98

Sulawesi Selatan 2 2 73 97.4

Maluku 1 2 48 98

Papua 3 6.5 43 93.5

Arbi Sanit mengartikan keterwakilan politik sebagai terwakilinya kepentingan anggota masyarakat oleh wakil mereka di lembaga dan proses politik.34

Rendahnya keterwakilan perempuan di dalam politik, tentunya memiliki dampak tersendiri bagi perempuan di Indonesia secara keseluruhan. Perempuan yang memiliki keterwakilan yang minoritas di lembaga perwakilan rakyat tentunya akan semakin sulit untuk mampu menyalurkan aspirasi dan ide yang membawa kepentingan perempuan. Menurut Azza Karam dan Lovenduski, laki-laki cenderung memberikan prioritas terhadap masalah-masalah yang politis, sementara perempuan lebih condong memperhatikan masalah sosial, khususnya

Seperti kita tahu bahwa kaum perempuan merupakan kelompok di masyarakat yang secara kuantitas tidak lah sedikit, sehingga keterwakilan perempuan sepatutnya ada sebagai wujud dari keterwakilan politik di masyarakat.

34

Arbi Sanit, Swadaya Politik Masyarakat: Telaah Keterkaitan Organisasi Masyarakat, Partisipasi Politik, Pertumbuhan Hukum dan Hak Asasi (Jakarta: Rajawali, 1985), hal. 48.


(57)

terkait dengan kepentingan perempuan dan anak-anak. Dari sini dapat ditarik sebuah pandangan anggota perempuan di DPR memiliki peran yang penting dalam memberi gagasan atau ide terkait dengan isu perempuan dan gender. Sesuai yang disampaikan Karam dan Lovenduski, setiap perempuan yang ada di dalam lembaga legislative tentunya akan membawa perubahan, terutama dalam kebijakan yang terkait dengan masalah gender dan perempuan.


(58)

BAB III

PENGAWASAN ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN

3.1. Konsep Dasar Pengawasan

Tugas dan wewenang pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara khusus tercantum dalam UU 32 Tahun 2004 Pasal 42 ayat 1C yang berbunyi :

”Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah”

Konsep dasar pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah meliputi pemahaman tentang arti penting pengawasan, syarat pengawasan yang efektif, ruang lingkup dan proses pengawasan. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan (Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling/POAC), untuk menjamin pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan serta memastikan tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien.

Menurut Stoner dan Freeman (1989 : 556) Controlling is the process of assuring that actual activities conform to planed activities. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengawasan merupakan proses untuk menjamin suatu kegiatan sesuai dengan rencana kegiatan. Sedangkan Koontz (1994 : 578) berpendapat bahwa


(59)

”Controlling is measurement and correction of performance in order to make sure that enterprisen objectives and the plans devised to attain them are being accomplished (Pengawasan adalah untuk melakukan pengukuran dan tindakan atas kinerja yang berguna untuk meyakinkan organisasi secara objektif dan merencanakan suatu cara dalam mencapai tujuan organisasi).”35

35

Prof. DR. Sadu Wasistiono, M.S., Meningkatkan Kinerja DPRD (Bandung: Fokus Media, 2009), hal. 143.

Selanjutnya secara sederhana disebutkan bahwa pengawasan adalah kegiatan yang dilaksanakan agar visi, misi atau tujuan organisasi tercapai dengan lancar tanpa ada penyimpangan atau segala usaha dan kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas dan kegiatan apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.

Pengawasan yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah pengawasan politik dan kebijakan yang bertujuan untuk memelihara akuntabilitas politik, terutama lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kebijakan dan program pemerintahan serta pembangunan di daerah. Sistem akuntibilitas di daerah akan menjadi lebih efektif, karena proses dan hasil pengawasan yang dilakukan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah akan memungkinkan lembaga-lembaga publik digugat jika mereka tidak memenuhi kaidah-kaidah publik.

Melalui pengawasan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membangun sebuah early warning system atau sistem peringatan dini apabila terjadi kejanggalan atau penyimpangan dalam proses pengelolaan tata pemerintahan daerah.


(60)

Untuk dapat melakukan pengawasan secara efektif diperlakukan beberapa persyaratan, yaitu:

1. Langkah pengawasan tertentu hanya berlaku untuk suatu organisasi tertentu 2. Kegiatan pengawasan harus dapat mencapai beberapa tujuan sekaligus,

bukan hanya tujuan sektoral tetapi tujuan luas lainnya. 3. Informasi untuk pengawasan harus diperoleh tepat waktu.

4. Mekanisme pengawasan harus dipahami semua orang yang ada dalam organisasi.

3.2. Kinerja Perempuan Dalam Parlemen

Melalui implementasi Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan yang menginstruksikan agar setiap instansi pemerintah mengintegrasikan program pemberdayaan perempuan ke dalam program, sektor dan daerah masing-masing.

Dalam hubungan itu, kebijakan pemberdayaan perempuan diarahkan untuk :

• meningkatkan keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik; Hal ini menunjukkan semakin banyaknya kesempatan bagi perempuan untuk berkarya di jajaran anggota legislatif. Sehingga masalah-masalah yang berkaitan dengan hal-hal sosial yang pada umumnya selalu berjalan lambat dalam pelaksanaannya, mampu meningkatkan kinerjanya.

• meningkatkan taraf pendidikan dan layanan kesehatan serta bidang pembangunan lainnya untuk mempertinggi kualitas hidup dan


(61)

sumberdaya kaum perempuan; Hal ini mampu menjadikan perempuan memiliki hak-hak yang sama dalam segala bidang pendidikan maupun karir yang ingin ditempuh oleh perempuan, khususnya ketika akan bergabung ke dalam jajaran anggota legislatif. • meningkatkan kampanye anti kekerasan, menyempurnakan

perangkat hukum pidana yang lebih lengkap untuk melindungi setiap individu dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi termasuk kekerasan dalam rumah tangga, meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak; memperkuat kelembagaan, koordinasi, dan jaringan pengarus-utamaan gender dan anak dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di segala bidang, termasuk pemenuhan komitmen-komitmen internasional, penyediaan data dan statistik gender serta peningkatan partisipasi masyarakat. Disini kita melihat, pemerintah telah memberikan peluang kepada perempuan untuk berpartisipasi secara langsung dalam parlemen. Wewenang yang diberikan kepada perempuan, khususnya dalam menangani eksploitasi terhadap kaum perempuan dan anak-anak yang sering terjadi, dimanfaatkan dengan mengeluarkan perlindungan melalui undang-undang yang telah disahkan, seperti perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), peningakatan kesejahteraan dan perlindungan anak dan sebagainya. Penyebaran perempuan dalam komisi-komisi di DPR sesungguhnya mencerminkan peran tradisional perempuan. Lihat saja penempatan mereka di dalam komisi. Persentase


(62)

tinggi perempuan ada di dalam komisi E yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat yang secara langsung bisa dikonotasikan sebagai wilayah perempuan.

Ini sesuai dengan pernyataan Ristiawati, salah seorang anggota dewan perwakilan rakyat daerah Sumatera Utara,

disadari bahwa pendapat perempuan keluar dengan karakter khas dalam rapat-rapat. Hal ini terlihat dalam priorotas agenda yang dibicarakan serta preferensi dalam melihat solusi atas permasalahan yang dihadapi, dengan selalu mengutamakan nilai kesejahteraan, yaitu isu kesejahteraan rakyat

Dengan adanya peningkatan keterwakilan perempuan di dalam lembaga legislatif, kita percaya akan adanya dampak positif berupa pengaruh pada pengambilan keputusan politik yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Sehingga penerapan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat tersebut pun mampu terlaksana dengan baik dan dalam waktu yang relative cepat. Apabila hal ini telah diterapkan dengan baik, masalah yang terjadi dalam kasus human trafficking

(perdagangan orang) pun diharapkan mampu semakin menurun skala statistiknya dari tahun ke tahun.

3.3. Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah

Seringkali ada anggapan bahwa setelah kebijakan disahkan oleh pihak yang berwenang dengan sendirinya kebijakan itu akan dapat dilaksanakan, dan hasilnya pun akan mendekati seperti yang diharapkan. Padahal, banyak kebijakan negara yang bersifat non self-executing, artinya kebijakan negara perlu


(1)

mengenai kebijakan yang sangat butuh perhatian. Hal ini bisa saja disebabkan implementor yang tidak jujur atau tidak memiliki komitmen terhadap kebijakan tersebut sehingga menyampaikan informasi yang tidak akurat, dan sebagainya.

 Struktur Birokrasi: Proses birokrasi dalam melaksanakan suatu kebijakan selalu menjadi hal yang fenomenal. Panjanganya proses birokrasi mampu mengakibatkan lambatnya perealisasian suatu kebijakan dalam masyarakat.

• Pernyataan Melalui Media.

Anggota legislatif kerap sekali diminta untuk mengeluarkan pernyataan melalui media. Hal ini dilakukan sebagai sarana bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi secara cepat dan langsung dari sumbernya. Melalui sarana media ini, anggota legislatif dapat menghemat waktu dan biaya dalam menyampaikan maksud dari suatu kebijakan kepada masyarakat. Hal ini menjadikan pernyataan dalam media menjadi salah satu bentuk pengawasan yang dapat dilakukan oleh anggota legislatif.

Berdasarkan pengaruh dari variabel-variabel yang dicetuskan oleh Teori George C. Edwards III (1980), dianalisa sebagai berikut:

 Komunikasi: media merupakan sarana komunikasi yang bisa tepat sasaran. Maka dibutuhkan bagi seorang implementor, sikap yang tepat sasaran, sehingga maksud dan tujuan dilakukannya pernyataan dalam media bisa tersampaikan dengan baik.


(2)

 Sumberdaya: dalam melakukan pernyataan melalui media, sumberdaya yang mengeluarkan pendapat sebaiknya tahu betul apa yang akan dia lakukan. Sebab, apabila terjadi kesalahan, akan langsung tersebar ke seluruh negeri. Sehingga kecakapan seorang implementor sebagai sumberdaya merupakan hal yang penting untuk diperhatikan.

 Disposisi: seperti penjelasan disposisi pada poin-poin sebelumnya, seorang implementor diharapkan memiliki disposisi yang baik, karena menjadi wakil dalam meyampaikan kebijakan yang penting untuk masyarakat. Apabila hal tersebut tidak terlaksana, maka sangatlah mungkin bagi masyarakat untuk menangkap maksud yang salah dari penyampaian implementor.

 Struktur Birokrasi: Proses birokrasi kembali bisa menjadi suatu persoalan yang perlu untuk diperhatikan. Karena proses birokrasi dapat menjadi kendala penting yang berpengaruh dalam sukses tidaknya pelaksanaan suatu kebijakan.


(3)

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Upaya penghapusan perdagangan orang meliputi tindakan-tindakan pencegahan (prevention), menindak dan menghukum (prosecution) dengan tegas pelaku perdagangan orang (trafficker) serta melindungi korban melalui upaya repatriasi, rehabilitasi, konseling, pendidikan dan pelatihan keterampilan, termasuk menjamin hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi manusianya agar mereka bisa mandiri dan kembali berintegrasi ke masyarakat. Lahirnya kebijakan berupa Perda No.6 Tahun 2004 ini merupakan suatu kemajuan yang baik. Namun Perda ini membutuhkan pengawasan agar pelaksanaannya terjamin.

Kualitas perempuan anggota parlemen pada saat ini sudah baik, mereka memiliki tingkat komitmen dan keahlian yang lebih tinggi terhadap persoalan-persoalan kritis yang dihadapi di Indonesia yang juga punya implikasi pada perempuan. Selain itu dalam isu-isu PHK buruh perempuan, kekerasan terhadap perempuan, atau masalah persoalan perempuan yang erat dengan masalah agama seperti hak waris, perceraian, poligami dan lainnya masih merupakan soal pelik yang sulit tersentuh. Bahkan anggota legislatif perempuan lebih sensitif dengan persoalan-persoalan sosial. Tidak heran kalau anggota legislatif perempuan paham mengenai persoalan perdagangan orang (trafficking) ini. Namun pengawasan terhadap produk hukum dan kebijakan tidak disertai dengan kekuasaan penegakan (enforcement), satu-satunya kekuatan DPRD dalam hal ini hanyalah meminta


(4)

pertanggung jawaban instansi-instansi yang terkait. Hal ini mungkin akan membuat pengawasan produk hukum dan kebijakan menjadi kurang efektif.

4.2. Saran

Dalam menjalankan fungsi pengawasan seyogyanya DPRD memiliki rencana atau agenda pengawasan meliputi apa, siapa, yang akan diawasi, mengapa harus diawasi, serta kapan dan bagaimana pengawasan tersebut dilaksanakan. Pelaksanaan pengawasan DPRD masih dirasakan sebagai suatu pengawasan yang reaktif dan sporadis, tanpa terencana dan tersistem dalam pelaksanaannya. Selain itu standar pengawasan, sistem dan prosedur serta administrasi pengawasan belum disusun dengan baik. Untuk itu pentingnya ada agenda pengawasan dan metodologi pengawasan DPRD.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Brooks, Ann, terj. Posfeminisme & Cultural Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, Jalasutra, Yogyakarta, 2004.

Bungin, Burhan, Metode Penelitian Kuantitatif, Kencana, Jakarta, 2005. Charles, Nickie, Feminism The State and Social Policy, Macmillan Press Ltd,

London, 2000.

Kaloh, DR. J., Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Rineka Cipta, Jakarta, 2007. Lubis, Akhyar Yusuf, Dekonstruksi Epistemologi Modern: dari Posmodernisme

Teori Kritis Poskolonialisme hingga Cultural Studies, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2006.

Luhulima, Achie Sudarti, Bahan Ajar tentang Hak Perempuan: UU No. 7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, New Zealand Agency for International Development, The Concention Watch, Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007.

Marbun, B.N., DPRD Pertumbuhan dan Cara kerjanya, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006.

Nawawi, Hadari, Metodologi Penelitian Sosial, Gajah Mada University Press, Yogjakarta, 1987.

Sagala, R. Valentina, Ellin Rozana, Memberantas Trafiking Perempuan dan Anak: Penelitian Advokasi Feminis tentang Trafiking di Jawa Barat, Institut Perempuan, Bandung, 2007.

Sanit, Arbi, Swadaya Politik Masyarakat: Telaah Keterkaitan Organisasi Masyarakat, Partisipasi Politik, Pertumbuhan Hukum dan Hak Asasi, Rajawali, Jakarta, 1985.

Subarsono, A.G., Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2005.

Soetjipto, Ani Widyani, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Kompas, Jakarta, 2005.


(6)

Tong, Rosemarie Putnam, Feminist Though: Pengantar paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, Jalasutra, Yogjakarta, 2004.

Jurnal

Hidyana, Irwan M, Migrasi Lintas Batas dan Seksualitas di Asia Tenggara, Jurnal Perempuan 36.

Parjoko, Sri Moertiningsih Adidetomo dan Maesuroh, Berbagai Upaya Memerangi Perdagangan Manusia (Perempuan dan Anak), Jurnal Perempuan 29.

Setyawati, Melly, dan Kiki Sakinatul Fuad, Pentingnya Peraturan tentang

Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Jurnal Suara APIK untuk Kebebasan dan Keadilan, Edisi 31 Tahun 2006.

Tanpa pengarang, Situasi Trafiking Perempuan dan Anak di Indonesia, Jurnal Perempuan 29.

Tanpa pengarang, Trafiking terhadap Perempuan: Jaringan Sindikat yang Tak Lekang oleh Panas dan Luntur oleh Hujan, Media Perempua n, Edisi No. 4, 2005.

Bahan Dokumen Elektronik (Internet)

Karam, Azza, dkk. Women in Parliement: Beyond Number ( a revised edition). Sweden: International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2005, dalam 12.00 WIB.

Yusuf, Slamet Effendy, Partai Golkar Meningkatkan Partisipasi Perempuan; dalam pukul 21.00 WIB.

Tanpa pengarang, Perdagangan Pelacur Tanpa Ujung; dalam diakses pada tanggal 13 Februari 2009 pada pukul 09.30 WIB.

Peraturan Undang-Undang


Dokumen yang terkait

Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Studi Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 oleh Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak, Keluarga Berencana Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara)

0 62 85

Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Kinerja Eksekutif di Kota Medan

3 64 152

Hubungan Wakil dengan yang Diwakili (Studi Perbandingan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara Periode 1999-2004 dengan Periode 2004-2009)

1 45 101

Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak di Kota Medan

0 64 115

Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak di Kota Medan

0 0 12

Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak di Kota Medan

0 1 1

Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak di Kota Medan

0 0 33

Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak di Kota Medan

0 0 4

Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak di Kota Medan

0 0 3

Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Studi Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 oleh Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak, Keluarga Berencana Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara)

0 0 13