dengan apa yang menjadi permasalahan pokok di dalam penelitian skripsi ini. Dalam ruang publik, khususnya dunia politik, perempuan seringkali terpinggirkan
dibandingkan oleh laki-laki. Hal ini terlihat jelas di Indonesia, dicontohkan salah satunya oleh keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Padahal seperti yang
dikatakan oleh Mill, melalui hak politiknya, perempuan dapat berkontribusi untuk menghapuskan perbuatan opresi yang ada di masyarakat. Dengan kata lain,
perempuan diyakini mampu melakukan perubahan baik terhadap masyarakat dengan keterlibatannya di dalam ranah politik. Hal inilah yang kemudian
dipertanyakan lebih kritis di dalam skripsi ini, dan juga akan dianalisa dengan teori yang lebih spesifik mengenai keterwakilan perempuan.
1.5.2. Keterwakilan Perempuan di dalam Parlemen
Ilmu politik merupakan lingkup studi yang luas, terutama setelah berkembangnya isu-isu baru di tahun 60-an isu gender menjadi salah satu isu yang
dekat dengan kajian dan analisa ilmu politik. Oleh karena itu, dalam perkembangannya muncul penelitian-penelitian dan teori-teori politik yang fokus
terhadap masalah-masalah gender. Masuknya isu gender ke dalam ilmu politik ini, menurut Sandra Harding dapat membentuk ilmu politik yang baru sebagai ilmu
sosial yang kritis, lebih akurat dan tidak bias.
25
Salah satu teori politik yang fokus terhadap masalah gender yakni terkait dengan masalah keterwakilan perempuan dalam parlemen. Hal ini sesuai dengan
fokus utama yang dipermasalahkan dalam skripsi ini. Teori yang akan digunakan
25
Sandra Harding, Feminism and Methodology Bloomington: Indiana University Press, 1987, hal. 188, dalam Judith Squires, Gender in Political Theory Cambridge: Polity Press, 1999,
hal. 106.
Universitas Sumatera Utara
sebagai alat analisa dalam skripsi ini, yakni teori mengenai keterwakilan perempuan dalam politik yang dituliskan oleh oleh Azza Karam dan Joni
Lovenduski dalam buku berjudul Women in Parliement: Beyond Number. Karam dan Lovenduski beranggapan bahwa keterwakilan perempuan
merupakan hal penting, karena diyakini dapat memberikan perubahan positif dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih baik untuk masyarakat. Azza
Karam dan Joni Lovenduski tidak hanya sekedar melihat pentingnya jumlah perempuan di parlemen saja, sebaliknya mengalihkan ke titik apa yang
sebenarnya dapat kaum perempuan lakukan di parlemen bagaimana mereka dapat mempengaruhi, berapa pun jumlah mereka. Menurut keduanya, perempuan
mempelajari aturan main, dan menggunakan pengetahuan dan pemahaman ini untuk mengangkat isu dan persoalan perempuan dari dalam di badan pembuat
undang-undang legislatur dunia.
26
Karam dan Lovenduski menekankan bahwa kendati hanya satu kehadiran perempuan pun di dalam parlemen, maka diyakini ia mampu membawa suatu
perubahan. Namun tentunya untuk perubahan yang signifikan diperlukan juga keterwakilan perempuan dalam jumlah yang signifikan. Perubahan yang diusung
oleh anggota parlemen perempuan ini dikarenakan mereka memiliki perbedaan dengan kaum laki-laki dalam hal isi dan prioritas pembuatan keputusan. Isi dan
prioritas pembuatan keputusan antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh kepentingan, latar belakang dan pola kerja kedua jenis kelamin itu. Perempuan
26
Azza Karam dan Joni Lovenduski, Perempuan di Parlemen: Membuat Perubahan dalam Azza Karm dan Julie Ballington ed-, Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah,
Bukan Sekedar Hiasan Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 1999, hal. 118. Diterjemahkan oleh Yayasan Jurnal
Perempuan, dengan judul asli Women In Parliement: Beyond Numbers diterbitkan oleh Stockholm, International Institute for Democracy and Electoral Assistance pada tahun 2005.
Universitas Sumatera Utara
cenderung memberikan prioritas pada masalah-masalah kemasyarakatan, seperti jaminan sosial, pelayanan kesehatan masyarakat, isu anak-anak dan perempuan.
Sedangkan laki-laki mendominasi arena politik: laki-laki memformulasikan aturan-aturan permainan politik.
27
Menurut Karam dan Lovenduski anggota parlemen perempuan akan melalui tiga tahap untuk mewujudkannya. Langkah pertama yang dilakukan
perempuan anggota parlemen adalah untuk memahami bagaimana bekerjanya legislator dalam rangka untuk dapat menggunakan pengetahuannya sehingga
dapat bekerja secara lebih efektif. Tahap kedua, yakni dengan mempelajari bagaimana menggunakan aturan-aturan yang ada, sehingga perempuan dapat
meraih peluang untuk ikut serta dalam posisi dan komite-komite kunci, membuat diri mereka didengar dalam pembahasan dan debat-debat, dan dapat menggunakan
sepenuhnya keahlian dan kemampuan mereka. Hal terakhir yang akan dilakukan oleh para anggota parlemen perempuan adalah dengan mengawal perubahan
aturan dan struktur yang ada, dan untuk membantu generasi baru politis perempuan.
28
27
Karam dan Ballington ed-, Ibid., hal. 120-121.
28
Karam dan Ballington ed-, Ibid., hal. 124-136.
Setelah tiga tahapan tersebut dilewati, maka anggota parlemen yang perempuan tersebut akan melakukan perubahan di dalam empat bidang yakni
meliputi institusionalprosedural, representasi, pengaruh terhadap output dan diskursus. Berikut merupakan tabel yang menggambarkan perubahan yang akan
dibawa oleh anggota parlemen perempuan dalam empat bidang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.5.2.1. Dampak Perubahan yang diusung oleh Anggota Parlemen Perempuan
29
InstitusionalProsedural Membuat parlemen lebih “ramah perempuan”
melalui peraturan-peraturan yang memajukan kepedulian gender lebih besar.
Representasi
Menjamin keberlanjutan perempuan dan meningkatkan akses ke parlemen, dengan
mendorong kandidat-kandidat perempuan, mengubah undang-undang pemilihan dan
kampanye, serta memajukan legislasi kesetaraan jenis kelamin.
DampakPengaruh terhadap Produk kebijakan output
‘feminisasi” legislasi dengan memastikan sudah memperhitungkan pada isu dan peran
perempuan
Diskursus Mengubah bahasa parlementer sehingga
perspektif perempuan menjadi suatu hal yang wajar dan mendorong perubahan sikap public
terhadap perempuan
Melihat fungsi anggota parlemen terhadap perubahan tersebut, maka
Karam dan Lovenduski menekankan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen
semakin perlu ditingkatkan, karena ketika jumlah perempuan meningkat menandakan semakin banyaknya perubahan baik yang terjadi. Dari keempat
29
Karam dan Ballington ed-, Ibid., hal. 122.
Universitas Sumatera Utara
dampak positif itu, penulis akan memfokuskan kepada salah satunya saja yakni terhadap dampaknya terhadap keluaran kebijakan output, khususnya isu
mengenai perempuan. Karam dan Lovenduski secara tidak langsung mengartikan bahwa keterwakilan perempuan mampu secara signifikan memberikan perubahan
terhadap output kebijakan yang dihasilkan. Hal ini secara menjadi relevan untuk menganalisa studi kasus yang diangkat di dalam penelitian skripsi ini.
1.6. Hipotesa