Budaya, Komunikasi dan Konflik

perhatian pada hubungan antar kebudayaan dan komunikasi. Para ahli, misalnya Prof. Hall, melihatnya sebagai “Budaya adalah komunikasi, komunikasi adalah budaya” 17 . Namun, pemimpin negara Dunia Ketiga melihatnya dari sebab akibat: komunikasi mempertahankan dan mengubah budaya. Karena itu, mengendalikan komunikasi berarti mengendalikan apa yang akan terjadi pada budaya mereka. Sedangkan faktor individual menekankan pada penghormatan. Pertama, kita harus menghormati anggota budaya lainnya sebagai manusia yang memiliki nama, sejarah hidup dan kepribadian. Kedua, kita harus menghormati budaya lain apa adanya, bukan sebagaimana kita menghendakinya. Ketiga, menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Dan akhirnya, kita yang berkomunikasi lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang yang berbeda budaya. Professor Hall menambahkan dalam karyanya The Message “bahwa seluruh penafsiran kita tentang buaya bersifat relatif; kita tidak boleh menilai budaya yang lain berdasarkan budaya kita yang terbatas, tapi kita harus mencari keterkaitan satu peristiwa dengan peristiwa lain”

2. Budaya, Komunikasi dan Konflik

Memahami konflik antar budaya sangatlah penting sekarang. Konflik tidak bisa dihindari, bisa terjadi di mana saja di dunia ini. Misalnya dalam tingkat sosial, perbedaan budaya dalam bebrapa pendapat yang menganggap pentingnya memelihara lingkungan dibandingkan dengan 17 Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h.36 pentingnya mengembangkan industri bisa memicu konflik yang terjadi antara para pecinta lingkungan dengan para pengusaha. 1 Budaya Gazalba mendefinisikan budaya sebagai cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan satu waktu 18 Definisi tersebut secara implisit mengetengahkan bahwa jenis-jenis kebudayaan, cara berpikir dan cara merasa merupakan kebudayaan batiniah, sedangkan manifestasinya dalam bentuk cara berbuat atau cara hidup. Begitupun yang diungkapkan oleh Liliweri yang berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masayarakat 19 . “Culture [is] those deep, common, unstated experiences which members of a given culture share, which they communicate without knowing, and which form the backdrop against which all other events are judged” 20 sedangkan dari pengertian ini kita bisa budaya merupakan pengalaman mendalam dan kebiasaan suatu masyarakat yang berbudaya, dimana mereka berkomunikasi tanpa mengetahui dan kemudian membentuk suatu pandangan yang berlawanan dengan apa yang dipersepsikan. Maka bisa kita simpulkan, budaya sebagai gaya hidup masyarakat, yang disusun oleh pola perilaku mereka, nilai-nilai, norma, dan objek 18 Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan sebagai Ilmu, Jakarta: Pustaka Antara, 1963,Cet. Ke-3, h.11 19 Liliweri, Alo, Dasar-dasar Komunikasi antar Budaya, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2003, h.107 20 Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, Illinois: Waveland Press. Inc,1966, p.87 material. Budaya memiliki pengaruh terhadap perilaku seseorang, termasuk perilaku komunikasinya. Culture is stored in individual human beings, in the form of their beliefs, attitudes, and values. There are strong similarities in the belief systems among the members of a given culture 21 Budaya itu ters impan dalam diri manusia, dalam bentuk kepercayaan, sikap, dan aturan mereka. Ada persamaan yang kuat dalam sistem kepercayaan diantara kebudayaan mereka. Kepercayaan merupakan sebuah representasi seseorang di dunia luar. Kepercayaan dianggap sebagai sistem yang menyimpan pengalaman masa lalu kita, termasuk pikiran, memori, dan pemahaman kita tentang suatu kejadian. Kepercayaan juga dibentuk oleh budaya seseorang. Sedangkan sikap juga merupakan faktor internal dan tidak bisa dilihat orang lain secara langsung. Sikap dan kepercayaan membentuk sebuah sistem budaya antar individu tersebut. Perilaku dan kepercayaan mengindikasikan tujuan dari suatu perilaku, kecenderungan seseorang dalam menanggapi kejadian, pikiran dan masyarakat dengan cara tertentu. Dan aturan disini adalah apa yang dianggap baik dan buruk oleh seseorang. Aturan memiliki sebuah komponen yang bisa diperbaiki. Aturan ini seringkali berkaitan dengan cita-cita, seperti aturan keselamatan Kristen, atau jihad dalam Islam, aturan tentang perdamaian dunia, lingkungan, dan lain-lain. Aturan itu juga berkaitan dengan cara meraih tujuan-tujuan, seperti kejujuran, kebersihan, atau cara berbicara dan bertingkah hati-hati dan tidak mengganggu orang lain. 21 Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, p.81 “When a belief is held by most members of a culture we call it a cultural belief” 22 . Ketika sebuah kepercayaan dianut oleh mayoritas anggota suatu budaya, maka hal itu disebut kepercayaan budaya. Budaya bisa mempengaruhi persepsi dan perilaku seseorang yang terwujud dalam kepercayaan, aturan, dan norma yang penting dalam menciptakan kotak-kotak budaya. Selain itu kepercayaan budaya pun dipengaruhi oleh faktor sejarah. I shall examine some of the areas of differences between cultures, which can give rise to communication problems. Any successful form of social skills training shoul take accunt of these differences: Language,non-verbal communication, rules, social relationship, motivation, concept and ideology 23 . Dalam proses komunikasi antar budaya terdapat banyak perbedaan yang ditemui, diantaranya adalah: bahasa, komunikasi nonverbal seperti perilaku komunikasi dengan orang lain, aturan nepotisme, hadiah, penyuapan, jual beli, makan dan minum, waktu, cara duduk, dan cara berpikir, hubungan sosial keluarga, kelompok, kelas, motivasi motivasi prestasi, ketegasan, kepedulian, mimik muka, nilai, serta konsep dan ideologi. 2 Karakteristik Konflik antar Budaya “In a sense, then, the economic contexts, the cultural identities and belongingness, and the political and religious contexts all work together to shape this conflict” 24 Konteks ekonomi, identitas budaya 22 Edward T. Hall, Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, p.82 23 Stephen Bochner, Cultures in Contact, England: Pergamon Press, 1983, p.63 24 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, New York: McGraw-Hill, 2007, p.402 dan kepemilikan, serta konteks politik dan agama, semuanya menjadi faktor penyebab suatu konflik. Beberapa orang tidak percaya bahwa kerusuhan dan kekerasan merupakan cara yang tepat untuk merubah permasalahan sosial dalam suatu masyarakat. Sedangkan yang lainnya percaya bahwa suatu kekerasan adalah salah satu jalan dimana masyarakat bisa diprovokasi untuk menginterogasi ketidakadilan sosial dan memulai proses panjang untuk merubah suatu masyarakat. Intinya adalah, tidak ada alasan untuk mencari satu sumber sebuah konflik. Kesuhan yang terjadi di Aceh, Papua, dan di tempat lainnya bersumber pada berbagai penyebab. Konflik antar budaya ini bisa dikarakterisasikan oleh ambiguitas, yang dengan cepat memaksa kita. Jika cara yang kita pilih untuk menangani konflik adalah dengan menanganinya dengan cepat, sedangkan lawan kita ingin menghindarinya, maka konflik akan semakin tajam jika kita tetap saling bertahan pada prisnsip kita. Konflik antar budaya juga bisa dikarakterisasi oleh kombinasi orientasi konflik dan gaya menangani suatu konflik. 3 Orientasi Konflik Tidaklah mudah untuk menangani suatu konflik. Maka kita harus mencari dari keterkaitan antara konflik dan budaya. “Neither orientation is always the best approach, nor does always any culture only utilize one approach to conflict” 25 25 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.404 a. Konflik sebagai Kesempatan: Seringkali konflik didefinisikan sebagai suatu keterkaitan ketidakcocokan tujuan, nilai, harapan, proses atau manfaat yang terasa atau nyata antara dua atau lebih individu kelompok yang saling bergantung. Menurut David Augsburger, pendekatan pada konflik harus berdasakan pada empat asumsi: konflik itu suatu hal yang normal dan proses yang berguna, semua isu bisa dirubah melalui negosiasi, konfrontasi langsung dan konsiliasi itu penting, konfik merupakan sebuah kebutuhan untuk bernegosiasi kembali pada sebuah kontrak tak langsung –sebuah pertukaran kesempatan kembali, pelepasan ketegangan, dan memperbaharui hubungan. b. Konflik sebagai kehancuran Banyak kelompok budaya yang menganggap konflik sebagai suatu hal yang tidak produktif dalam hubungan, sebuah pandangan yang bisa berakar dari nilai spiritual atau budaya. Menurut Augsburger,ada empat asumsi tentang pandangan ini: konflik merupakan sebuah gangguan perdamaian yang destruktif, sistem social tidak jharus mengatur kebutuhan anggotanya dan mereka harus beradaptasi dengan nilai-nilai yang ada, konfrontasi itu destruktif dan tidak efektif, dan orang yang berselisih seharusya lebih berdisiplin. 4 Pendekatan Ilmu Sosial untuk Konflik “In a social science approach, we identify five difference types of conflict and some strategies for responding to conflict” 26 Dalam teori ini, kita akan mengidentifikasi lima macam konflik yang berbeda dan beberapa strategi untuk menanganinya. 1. Tipe-tipe Konflik Ada beberapa tipe konflik yang berbeda dan kita menanganinya dengan cara yang berbeda juga. Menurut Mark Cole, ada beberapa kategori konflik: A. Konflik Afektif Konflik afektif terjadi ketika seseorang memerhatikan perasaan dan emosi nya yang saling bertentangan. Misalnya, ketika seseorang jatuh cinta pada teman dekatnya namun perasaannya tidak terbalas, hal tersebut bisa menimbulkan konflik. B. Konflik Kepentingan Konflik Kepentingan menggambarkan situasi dimana orang-orang memiliki pilihan aksi atau rencana yang bertentangan. C. Konflik Nilai Konflik nilai terjadi ketika orang-orang berbeda dalam ideology dan isu-isu tertentu. D. Konflik pengertian 26 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.409 Konflik pengertian menggambarkan sebuah situasi dimana dua orang atau lebih memperhatikan proses pemikiran atau persepsi mereka yang tidak sama E. Konflik tujuan Konflik tujuan terjadi ketika orang-orang tidak setuju dengan sebuah hasil yang diinginkan. 2. Strategi dan Taktik dalam menangani Konflik Cara orang menangani konflik bisa dipengaruhi oleh latar belakang budaya mereka. Seringkali strategi konflik merefleksikan bagaimana orang menata diri mereka dalam aturan yang berkaitan. Walaupun orang bisa saja memiliki kecenderungan yang umum untuk menangani konflik dengan cara yang khusus, bisa saja mereka memilih taktik yang berbeda dalam situasi yang beda pula. Orang tidak terikat pada sebuah strategi khusus. Ada lima cara khusus untuk menangani konflik. A. Dominasi Gaya dominasi menggambarkan keterlibatan diri yang tinggi dan sedikit melibatkan orang lain. Perilaku yang menyertainya adalah gaya bicara yang keras dan kuat, yang mana bisa saja tidak produktif pada resolusi konflik. B. Mengintegrasikan menggabungkan Gaya integrasi ini sangat melibatkan diri dan orang lain serta melibatkan sebuah pertukaran yang terbuka dan langsung dalam usaha untuk mencapat solusi yang bisa diterima kedua belah pihak. Gaya ini menganut prinsip kolaborasi, empati, objektifitas, kreatifitas dan kesadaran perasaan. C. Kompromi Gaya kompromi merupakan sebuah strategi managemen konflik yang melibatkan pembangian dan pertukaran informasi yang luas sehinggan kedua belah pihak bisa memberikan keputusan yang saling menguntungkan dan diterima bersama. D. Membantu Gaya membantu merupakan strategi managemen konflik yang memerankan perbedaan dan ketidaksesuaian selagi menekankan kebiasaan E. Menghindari Gaya mengindar merupakan strategi managemen konflik yang berasal dari konteks budaya Amerika Serikat dan sedikit dipengaruhi diri dan orang lain. Bagaimanapun, dalam beberapa konteks budaya lainnya, strategi ini dilihat sebagai taktik untuk mempertahankan hubungan nyang harmonis. 3. Perbedaan Nilai dan Gaya Konflik “Another way to understand cultural variations in intercultural conflict resolution is to look at how cultural values influence conflict management” 27 Cara lain untuk memahami keberagaman budaya dalam resolusi konflik antar budaya yaitu dengan memperhatikan bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi managemen konflik. Nilai-nilai budaya pada masyarakat yang individual berbeda dengan masyarakat yang kolektif. Masyarakat individual lebih mementingkan faktor pribadi daripada kelompok seperti dalam keluarga atau kelompok kerja. Sebaliknya, masyarakat kolektif lebih mementingkan keluarga dan kesetiaan pada kelompok. Nilai-nilai yang bertentangan ini bisa mempengaruhi pola komunikasi. Satu teori, negosiasi langsung, keterkaitan nilai-nilai budaya pada kerangka kerja dan gaya konflik. Kerangka kerja merupakan strategi komunikasi khusus yang kita gunakan untuk menyelamatkan reputasi kita atau orang lain; bagaimana kita memiliki kerangka kerja berbeda-beda dari satu budaya hingga yang lain dan mempengaruhi gaya gaya konflik yang terjadi . 5 Mengatur Konflik antar Budaya 27 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.414 Satu hal yang harus kira pertimbangkan dalam menghadapi konflik antar budaya yaitu dengan memilih managemen reolusi konflik mana yang lebih berhasil. a Konflik Produktif vs Konflik Destruktif “ Scholar David Augsburger suggests that productive intercultural conflict is different from destructive conflict in four ways. First, in productive conflict, individuals or groups narrow the terms of definition, focus, and issues. Second, in productive conflict, individuals or groups limit conflict to the original issue. Third, in productive conflict, individuals or groups direct the conflict toard cooperative problem solving. Finally, in productive conflict, individuals or groups trust leadership that stresses mutually satisfactory outcomes” 28 David Augsburger berpendapat bahwa konflik antar budaya yang produktif berbeda dengan konflik yang destruktif dalam empat hal. Pertama, dalam konflik produktif individu atau kelompok membatasi konflik secara arti, focus maupun isu. Sedangkan dalam konflik destruktif, mereka memperluas isu atau perilaku negative. Kedua, dalam konflik produktif, individu atau kelompok membatasi konflik langsung pada isu utamanya. Sedangkan dalam konflik destruktif, mereka memperluas isunya mualai dari yang utama dengan segala aspek yang terkait. Ketiga, dalam konflik produktif, individu atau 28 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.421 kelompok langsung menangani menangani konflik melalui kerja sama yang membuahkan hasil keputusan bersama. Sebaliknya, konflik destruktif, strategi-strateginya melibatkan penggunaan kekuatan, ancaman, pemaksaan, dan tipu muslihat. b Kompetisi vs kerja sama Sebuah Atmosfer kompetitif akan menawarkan suatu paksaan, tipu muslihat, kecurigaan, dan ketakutan, serta sedikit melibatkan komunikasi. Sedangkan kerja sama akan menawarkan kesamaan yang terasa, kepercayaan, fleksibilitas, dan komunikasi yang terbuka. Kunci nya adalah untuk membuat suatu hal yang positif, atmosfer kerja sama pada awal hubungan suatu interaksi kelompok. Lebih sulit untuk merubah suatu hubungan yang kompetitif menjadi koooperatif kerja sama ketika suatu konflik sudah meluas. Inti dari suatu kerja sama adalah sebuah pendalaman. Sedangkan sebuah kompetisi selalu bergantung pada argumentasi. Pendalaman bisa dilakukan dalam berbagai hal dalam budaya yang berbeda-beda tapi memiliki beberapa langkah. Kelompok tersebut harus mengetahui isu yang ada dan mendalami semua hal yang terkait atau mendiskusikannya dengan pihak ketiga. c Menangani Konflik Tidak ada jawaban yang mudah untung menangani konflik antar budaya. Terkadang, kita bisa mengaplikasikan beberapa prinsip dialektik, tapi terkadang kita harus kembali dan menunjukkan pertahanan diri kita. Kadang- kadang, walaupun lebih tepat jika kita menegaskan diri kita dan tidak takut pada emosi yang kuat. Ada beberapa solusi untuk menangani konflik:

1. Tetap terpusat dan jangan memperluas