Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan argumentasi Menjelaskan tentang Faktor-faktor dalam Komunikasi antar Membahas tentang Gambaran Umum Organisasi Centre for menguraikan tentang analisis faktor Identitas Agama dan Bangsa PROFIL CENT

c. Dokumentasi, yaitu data diperoleh dari dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang didapat dari Organisasi Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations CDCC, seperti buku-buku, newsletter, video, dan situs www.cdccfoundation.org

E. Sistematika Penulisan

Berdasarkan penelitian di atas, maka sistematika penulisan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut.

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan argumentasi

mengenai signifikansi studi ini. Dalam bab ini peneliti menguraikan Latar Belakang Masalah, Pembahasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Menjelaskan tentang Faktor-faktor dalam Komunikasi antar

Budaya yang terdiri dari Identitas, Stereotip dan Prasangka, Teori-teri Komunikasi antar Budaya, harapan Komunikasi antar Budaya dan Implementasi dalam Perdamian.

BAB III Membahas tentang Gambaran Umum Organisasi Centre for

Dialogue and Cooperation among Civilizations CDCC dan The 2 nd World Peace, profil Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations CDCC dan profil The 2 nd World Peace

BAB IV menguraikan tentang analisis faktor Identitas Agama dan Bangsa

yang dibahas dalam The 2 nd World Peace Forum CDCC dalam menjalin 8 Rimbun dan Efendi, Metodologi Penelitian Survey, h.192 Komunikasi antarbudaya, mencegah terjadinya konflik dan mewujudkan perdamaian. BAB V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Dalam proses komunikasi antar budaya terdapat berbagai macam perbedaan tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita dan apa yang orang lain pikirkan tentang kita, perbedaan inilah yang memicu timbulnya suatu konflik. Perbedaan- perbedaan tersebut tidak lain adalah identitas yang dimiliki setiap individu, yang bisa dibentuk oleh usia, ras dan etnik, agama, kelas, bangsa, daerah, maupun individu itu sendiri. Perbedaan itu bisa juga didukung oleh adanya pandangan umum suatu kelompok terhadap kelompok lain atau lebih khususnya lagi disebut stereotip dan prasangka, yang bisa mempertajam semua perbedaan identitas yang telah ada. Proses komunikasi antar budaya pun bisa terhambat dan tidak efektif. Untuk membantu meneruskan jalannya proses komunikasi diantara kelompok-kelompok yang berbeda, maka harus dicari solusi bersama. Seringkali mediasi atau dialog dibutuhkan untuk menjembatani komunikasi antar budaya yang terhambat itu untuk menghindari konflik dan mewujudkan perdamaian.

A. KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

1. Teori-teori Komunikasi antar Budaya

a. Teori Edward T. Hall William Foote Whyte

Bila orang awam berpikir tentang budaya, biasanya ia berpikir tentang cara orang berpakaian, kepercayaan, dan kebiasaan. Tanpa menggunakan definisi yang komprehensif, kita dapat mengakui bahwa ketiga hal tersebut merupakan aspek-aspek budaya, tapi definisi tersebut belum menyeluruh, baik dilihat dari sudut teori maupun sudut praktik 9 . Pengetahuan tentang kepercayaan bisa membingungkan kita karena hubungan antara kepercayaan dan perilaku jarang bersifat nyata 10 Dalam hal kepercayaan agama, kita tahu misalnya bahwa orang-orang Islam harus melakukan shalat lima kali sehari dan karenanya pada hari kerja kita harus meluangkan waktu untuk salat. Ini tentu saja merupakan hal yang penting, tapi masalah tersebut memang begitu jelas sehingga dapat dimengerti oleh siapa pun kecuali oleh orang-orang yang berbeda budaya dan tidak mengetahuinya sama sekali. Adat istiadat memberikan lebih banyak petunjuk, asalkan kita tidak membatasi diri pada pola perilaku esoteric hanya dimengerti oleh beberapa orang tertentu yang sesuai dengan adat istiadat tertentu 11 . Dalam mengamati perilaku yang berkenaan dengan adat istiadat, para antropolog tidak hanya mengidentifikasi soal-soal individu, soal-soal tersebut mempunyai makna bila membentuk suatu pola. Budaya mempengaruhi komunikasi dalam banyak hal. Budaya lah yang menentukan waktu dan jadwal peristiwa-peristiwa antarpersonal, tempat untuk membicarakan topik-topik tertentu, jarak fisik yang memisahkan antara seorang pembicara dengan orang lainnya, nada sesuai untuk pembicaraan tertentu. Budaya, dalam hal ini, melukiskan kadar dan tipe kontak fisik yang dituntut oleh adat kebiasaan, dan intensitas emosi yang menyertainya. Budaya meliputi hubungan antara apa yang dikatakan 9 Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya, Bandung:Remaja Rosda Karya, 2006 h.36 10 Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h.36 11 Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h.37 dan apa yang dimaksudkan seperti ‘tidak’ maksudnya ‘mungkin’ dan ‘besok’ maksudnya ‘tak pernah’. Budaya ini menentukan apakah suatu hal, misalnya suatu kontrak tertentu, harus pertama-tama didiskusikan antara dua orang atau didiskusikan dalam suatu pertemuan sehari penuh yang mengikutsertakan empat atau lima orang dari setiap pihak, dan mungkin dengan bantuan seorang pelayan yang menyuguhkan kopi. Teori Edward Hall dan William Whyte tidak hanya mementingkan bahasa, namun juga dia menekankan tentang pentingnya bahasa non- verbal, lima dimensi waktu, dan penyesuaian diri dalam berjalan dua arah. Misalnya, komunikasi harus disesuaikan dengan lima konsep waktu: waktu untuk bertemu, waktu untuk berdiskusi, waktu untuk berkenalan, waktu untuk berkunjung dan jadwal waktu. Komunikasi juga dipengaruhi oleh pola komunikasi masyarakat tertentu yang merupakan bagian dari keseluruhan pola budaya dan dapat dipahami dalam konteks tersebut 12 . Perbedaan status dan kelas seseorang bisa menyebabkan orang-orang dengan status yang berbeda sulit untuk menyatakan opini secara bebas dan terus terang dalam suatu diskusi atau perdebatan. Dari dulu bahkan sampai sekarang, kita masih sering melihat orang yang statusnya lebih rendah menyatakan rasa hormat pada atasannya. Untuk bekerja sama dengan orang-orang, haruskah kita menjadi seperti mereka? Hal itu tidak diperlukan bila kita seragam sepenuhnya. Orang Indonesia, Melayu, orang Arab, orang Amerika, orang Cina akan menganggap perilaku kita membingungkan dan tidak tulus bahkan 12 Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya, Bandung:Remaja Rosda Karya, 2006 h.40 mencurigai motif kita. Kita diharapkan untuk berbeda. Namun, kita pun diharapkan untuk menghormati dan menerima orang lain apa adanya. Dan kita dapat tanpa memaksa kepribadian kita, untuk berlajar berkomunikasi dengan mereka dengan mengamati pola-pola tradisi mereka yang tidak tertulis. Kesadaran tentang adanya kekeliruan dalam hubungan lintas- budaya merupakan langkah maju pertama yang besar. Dan menerima fakta bahwa pendirian kita tak selamanya benar ketimbang pendirian orang lain merupakan suatu hal yang baik.

b. Teori Wilbur Schramm

Menurut Wilbur Schramm, ada dua garis tanggung jawab yang berkaitan dengan komunikasi antar budaya, yaitu: faktor personal dan governmental atau pemerintah 13 . Diskusi tentang jembatan antar budaya sangatlah penting, bukan hanya karena kita memerlukan jembatan yang lebih banyak dan lebih bagus tetapi karena dengan memiliki jembatan itu kita dapat mengendalikan siapa dan apa yang lewat di atasnya 14 Itulah sumber kekuasaan besar. Sedikit bangsa yang tidak setuju dengan adanya jembatan antar budaya ini, tetapi banyak pemerintah saat ini sering memperhatikan apa yang lewat di atas jembatan itu. Misalnya UNESCO United Nations for Education and Children Organization selama tahun 1950-an sampai tahun 1960-an, memiliki tujuan utama yaitu free flow of information arus bebas informasi. Banyak program organisasi ini dirancang untuk mendukung tujuan itu: konvensi hak cipta, konvensi pertukaran bahan budaya dan pendidikan, perhatian pada satelit 13 Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya, h.2 14 Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya, h.1 komunikasi dan agen berita, dll. Namun sekarang program itu telah dikesampingkan dan beralih pada program Right to Communicate Hak Berkomunikasi, dan masalah kebijaksanaan komunikasi bagaimana harus mengontrol penggunaan jembatan antar budaya. Begitu pun dengan pemerintah kita, yang memiliki program pertukaran mahasiswa ke luar negeri, peningkatan hak bagi media, dan lain-lain. Jembatan komunikasi antar budaya ada karena : pertama, telah tumbuh rasa saling bergantung di seluruh dunia 15 Bila dulu jembatan antar budaya itu dianggap perlu, sekarang justru jembatan itu bersifat essensial. Kedua, ketakutan akan satelit komunikasi yang menyebar ke negara Dunia Ketiga pada permulaan tahun 1970-an 16 . Dapat dimaklumi jika negara- negara Dunia Ketiga mencemaskan efek hiburan murah dan iklan yang merayu yang akan dicurahkan pada bangsa mereka oleh kapitalis besar pemilik satelit. Maka itulah saat yang tepat untuk membuat isu politik dan mencubit ekor kekuasaan-kekuasaan itu, terutama kekuasaan yang paling besar. Maka timbulah berbagai konfrontasi, diantara satu pihak yang menentang masuknya siaran televisi ke suatu negeri tanpa sensor dan izin, dan pihak yang berpegang teguh pada konsep abstrak kebebasan berbicara, arus bebas, dan penyiaran tak terbatas. Konfrontasi ini mendatangkan manfaat pada siapa pun, kecuali secara emosional, tetapi konfrontasi ini juga telah membayang-bayangi pemikiran dan perencanaan komunikasi intercultural. Misalnya, apakah arus informasi bebas ini hanya untuk bangsa-bangsa yang memiliki media internasional? Yang lebih penting lagi, konfrontasi ini memfokuskan 15 Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya ,h.3 16 Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya ,h.4 perhatian pada hubungan antar kebudayaan dan komunikasi. Para ahli, misalnya Prof. Hall, melihatnya sebagai “Budaya adalah komunikasi, komunikasi adalah budaya” 17 . Namun, pemimpin negara Dunia Ketiga melihatnya dari sebab akibat: komunikasi mempertahankan dan mengubah budaya. Karena itu, mengendalikan komunikasi berarti mengendalikan apa yang akan terjadi pada budaya mereka. Sedangkan faktor individual menekankan pada penghormatan. Pertama, kita harus menghormati anggota budaya lainnya sebagai manusia yang memiliki nama, sejarah hidup dan kepribadian. Kedua, kita harus menghormati budaya lain apa adanya, bukan sebagaimana kita menghendakinya. Ketiga, menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Dan akhirnya, kita yang berkomunikasi lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang yang berbeda budaya. Professor Hall menambahkan dalam karyanya The Message “bahwa seluruh penafsiran kita tentang buaya bersifat relatif; kita tidak boleh menilai budaya yang lain berdasarkan budaya kita yang terbatas, tapi kita harus mencari keterkaitan satu peristiwa dengan peristiwa lain”

2. Budaya, Komunikasi dan Konflik

Memahami konflik antar budaya sangatlah penting sekarang. Konflik tidak bisa dihindari, bisa terjadi di mana saja di dunia ini. Misalnya dalam tingkat sosial, perbedaan budaya dalam bebrapa pendapat yang menganggap pentingnya memelihara lingkungan dibandingkan dengan 17 Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h.36 pentingnya mengembangkan industri bisa memicu konflik yang terjadi antara para pecinta lingkungan dengan para pengusaha. 1 Budaya Gazalba mendefinisikan budaya sebagai cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan satu waktu 18 Definisi tersebut secara implisit mengetengahkan bahwa jenis-jenis kebudayaan, cara berpikir dan cara merasa merupakan kebudayaan batiniah, sedangkan manifestasinya dalam bentuk cara berbuat atau cara hidup. Begitupun yang diungkapkan oleh Liliweri yang berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masayarakat 19 . “Culture [is] those deep, common, unstated experiences which members of a given culture share, which they communicate without knowing, and which form the backdrop against which all other events are judged” 20 sedangkan dari pengertian ini kita bisa budaya merupakan pengalaman mendalam dan kebiasaan suatu masyarakat yang berbudaya, dimana mereka berkomunikasi tanpa mengetahui dan kemudian membentuk suatu pandangan yang berlawanan dengan apa yang dipersepsikan. Maka bisa kita simpulkan, budaya sebagai gaya hidup masyarakat, yang disusun oleh pola perilaku mereka, nilai-nilai, norma, dan objek 18 Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan sebagai Ilmu, Jakarta: Pustaka Antara, 1963,Cet. Ke-3, h.11 19 Liliweri, Alo, Dasar-dasar Komunikasi antar Budaya, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2003, h.107 20 Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, Illinois: Waveland Press. Inc,1966, p.87 material. Budaya memiliki pengaruh terhadap perilaku seseorang, termasuk perilaku komunikasinya. Culture is stored in individual human beings, in the form of their beliefs, attitudes, and values. There are strong similarities in the belief systems among the members of a given culture 21 Budaya itu ters impan dalam diri manusia, dalam bentuk kepercayaan, sikap, dan aturan mereka. Ada persamaan yang kuat dalam sistem kepercayaan diantara kebudayaan mereka. Kepercayaan merupakan sebuah representasi seseorang di dunia luar. Kepercayaan dianggap sebagai sistem yang menyimpan pengalaman masa lalu kita, termasuk pikiran, memori, dan pemahaman kita tentang suatu kejadian. Kepercayaan juga dibentuk oleh budaya seseorang. Sedangkan sikap juga merupakan faktor internal dan tidak bisa dilihat orang lain secara langsung. Sikap dan kepercayaan membentuk sebuah sistem budaya antar individu tersebut. Perilaku dan kepercayaan mengindikasikan tujuan dari suatu perilaku, kecenderungan seseorang dalam menanggapi kejadian, pikiran dan masyarakat dengan cara tertentu. Dan aturan disini adalah apa yang dianggap baik dan buruk oleh seseorang. Aturan memiliki sebuah komponen yang bisa diperbaiki. Aturan ini seringkali berkaitan dengan cita-cita, seperti aturan keselamatan Kristen, atau jihad dalam Islam, aturan tentang perdamaian dunia, lingkungan, dan lain-lain. Aturan itu juga berkaitan dengan cara meraih tujuan-tujuan, seperti kejujuran, kebersihan, atau cara berbicara dan bertingkah hati-hati dan tidak mengganggu orang lain. 21 Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, p.81 “When a belief is held by most members of a culture we call it a cultural belief” 22 . Ketika sebuah kepercayaan dianut oleh mayoritas anggota suatu budaya, maka hal itu disebut kepercayaan budaya. Budaya bisa mempengaruhi persepsi dan perilaku seseorang yang terwujud dalam kepercayaan, aturan, dan norma yang penting dalam menciptakan kotak-kotak budaya. Selain itu kepercayaan budaya pun dipengaruhi oleh faktor sejarah. I shall examine some of the areas of differences between cultures, which can give rise to communication problems. Any successful form of social skills training shoul take accunt of these differences: Language,non-verbal communication, rules, social relationship, motivation, concept and ideology 23 . Dalam proses komunikasi antar budaya terdapat banyak perbedaan yang ditemui, diantaranya adalah: bahasa, komunikasi nonverbal seperti perilaku komunikasi dengan orang lain, aturan nepotisme, hadiah, penyuapan, jual beli, makan dan minum, waktu, cara duduk, dan cara berpikir, hubungan sosial keluarga, kelompok, kelas, motivasi motivasi prestasi, ketegasan, kepedulian, mimik muka, nilai, serta konsep dan ideologi. 2 Karakteristik Konflik antar Budaya “In a sense, then, the economic contexts, the cultural identities and belongingness, and the political and religious contexts all work together to shape this conflict” 24 Konteks ekonomi, identitas budaya 22 Edward T. Hall, Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, p.82 23 Stephen Bochner, Cultures in Contact, England: Pergamon Press, 1983, p.63 24 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, New York: McGraw-Hill, 2007, p.402 dan kepemilikan, serta konteks politik dan agama, semuanya menjadi faktor penyebab suatu konflik. Beberapa orang tidak percaya bahwa kerusuhan dan kekerasan merupakan cara yang tepat untuk merubah permasalahan sosial dalam suatu masyarakat. Sedangkan yang lainnya percaya bahwa suatu kekerasan adalah salah satu jalan dimana masyarakat bisa diprovokasi untuk menginterogasi ketidakadilan sosial dan memulai proses panjang untuk merubah suatu masyarakat. Intinya adalah, tidak ada alasan untuk mencari satu sumber sebuah konflik. Kesuhan yang terjadi di Aceh, Papua, dan di tempat lainnya bersumber pada berbagai penyebab. Konflik antar budaya ini bisa dikarakterisasikan oleh ambiguitas, yang dengan cepat memaksa kita. Jika cara yang kita pilih untuk menangani konflik adalah dengan menanganinya dengan cepat, sedangkan lawan kita ingin menghindarinya, maka konflik akan semakin tajam jika kita tetap saling bertahan pada prisnsip kita. Konflik antar budaya juga bisa dikarakterisasi oleh kombinasi orientasi konflik dan gaya menangani suatu konflik. 3 Orientasi Konflik Tidaklah mudah untuk menangani suatu konflik. Maka kita harus mencari dari keterkaitan antara konflik dan budaya. “Neither orientation is always the best approach, nor does always any culture only utilize one approach to conflict” 25 25 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.404 a. Konflik sebagai Kesempatan: Seringkali konflik didefinisikan sebagai suatu keterkaitan ketidakcocokan tujuan, nilai, harapan, proses atau manfaat yang terasa atau nyata antara dua atau lebih individu kelompok yang saling bergantung. Menurut David Augsburger, pendekatan pada konflik harus berdasakan pada empat asumsi: konflik itu suatu hal yang normal dan proses yang berguna, semua isu bisa dirubah melalui negosiasi, konfrontasi langsung dan konsiliasi itu penting, konfik merupakan sebuah kebutuhan untuk bernegosiasi kembali pada sebuah kontrak tak langsung –sebuah pertukaran kesempatan kembali, pelepasan ketegangan, dan memperbaharui hubungan. b. Konflik sebagai kehancuran Banyak kelompok budaya yang menganggap konflik sebagai suatu hal yang tidak produktif dalam hubungan, sebuah pandangan yang bisa berakar dari nilai spiritual atau budaya. Menurut Augsburger,ada empat asumsi tentang pandangan ini: konflik merupakan sebuah gangguan perdamaian yang destruktif, sistem social tidak jharus mengatur kebutuhan anggotanya dan mereka harus beradaptasi dengan nilai-nilai yang ada, konfrontasi itu destruktif dan tidak efektif, dan orang yang berselisih seharusya lebih berdisiplin. 4 Pendekatan Ilmu Sosial untuk Konflik “In a social science approach, we identify five difference types of conflict and some strategies for responding to conflict” 26 Dalam teori ini, kita akan mengidentifikasi lima macam konflik yang berbeda dan beberapa strategi untuk menanganinya. 1. Tipe-tipe Konflik Ada beberapa tipe konflik yang berbeda dan kita menanganinya dengan cara yang berbeda juga. Menurut Mark Cole, ada beberapa kategori konflik: A. Konflik Afektif Konflik afektif terjadi ketika seseorang memerhatikan perasaan dan emosi nya yang saling bertentangan. Misalnya, ketika seseorang jatuh cinta pada teman dekatnya namun perasaannya tidak terbalas, hal tersebut bisa menimbulkan konflik. B. Konflik Kepentingan Konflik Kepentingan menggambarkan situasi dimana orang-orang memiliki pilihan aksi atau rencana yang bertentangan. C. Konflik Nilai Konflik nilai terjadi ketika orang-orang berbeda dalam ideology dan isu-isu tertentu. D. Konflik pengertian 26 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.409 Konflik pengertian menggambarkan sebuah situasi dimana dua orang atau lebih memperhatikan proses pemikiran atau persepsi mereka yang tidak sama E. Konflik tujuan Konflik tujuan terjadi ketika orang-orang tidak setuju dengan sebuah hasil yang diinginkan. 2. Strategi dan Taktik dalam menangani Konflik Cara orang menangani konflik bisa dipengaruhi oleh latar belakang budaya mereka. Seringkali strategi konflik merefleksikan bagaimana orang menata diri mereka dalam aturan yang berkaitan. Walaupun orang bisa saja memiliki kecenderungan yang umum untuk menangani konflik dengan cara yang khusus, bisa saja mereka memilih taktik yang berbeda dalam situasi yang beda pula. Orang tidak terikat pada sebuah strategi khusus. Ada lima cara khusus untuk menangani konflik. A. Dominasi Gaya dominasi menggambarkan keterlibatan diri yang tinggi dan sedikit melibatkan orang lain. Perilaku yang menyertainya adalah gaya bicara yang keras dan kuat, yang mana bisa saja tidak produktif pada resolusi konflik. B. Mengintegrasikan menggabungkan Gaya integrasi ini sangat melibatkan diri dan orang lain serta melibatkan sebuah pertukaran yang terbuka dan langsung dalam usaha untuk mencapat solusi yang bisa diterima kedua belah pihak. Gaya ini menganut prinsip kolaborasi, empati, objektifitas, kreatifitas dan kesadaran perasaan. C. Kompromi Gaya kompromi merupakan sebuah strategi managemen konflik yang melibatkan pembangian dan pertukaran informasi yang luas sehinggan kedua belah pihak bisa memberikan keputusan yang saling menguntungkan dan diterima bersama. D. Membantu Gaya membantu merupakan strategi managemen konflik yang memerankan perbedaan dan ketidaksesuaian selagi menekankan kebiasaan E. Menghindari Gaya mengindar merupakan strategi managemen konflik yang berasal dari konteks budaya Amerika Serikat dan sedikit dipengaruhi diri dan orang lain. Bagaimanapun, dalam beberapa konteks budaya lainnya, strategi ini dilihat sebagai taktik untuk mempertahankan hubungan nyang harmonis. 3. Perbedaan Nilai dan Gaya Konflik “Another way to understand cultural variations in intercultural conflict resolution is to look at how cultural values influence conflict management” 27 Cara lain untuk memahami keberagaman budaya dalam resolusi konflik antar budaya yaitu dengan memperhatikan bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi managemen konflik. Nilai-nilai budaya pada masyarakat yang individual berbeda dengan masyarakat yang kolektif. Masyarakat individual lebih mementingkan faktor pribadi daripada kelompok seperti dalam keluarga atau kelompok kerja. Sebaliknya, masyarakat kolektif lebih mementingkan keluarga dan kesetiaan pada kelompok. Nilai-nilai yang bertentangan ini bisa mempengaruhi pola komunikasi. Satu teori, negosiasi langsung, keterkaitan nilai-nilai budaya pada kerangka kerja dan gaya konflik. Kerangka kerja merupakan strategi komunikasi khusus yang kita gunakan untuk menyelamatkan reputasi kita atau orang lain; bagaimana kita memiliki kerangka kerja berbeda-beda dari satu budaya hingga yang lain dan mempengaruhi gaya gaya konflik yang terjadi . 5 Mengatur Konflik antar Budaya 27 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.414 Satu hal yang harus kira pertimbangkan dalam menghadapi konflik antar budaya yaitu dengan memilih managemen reolusi konflik mana yang lebih berhasil. a Konflik Produktif vs Konflik Destruktif “ Scholar David Augsburger suggests that productive intercultural conflict is different from destructive conflict in four ways. First, in productive conflict, individuals or groups narrow the terms of definition, focus, and issues. Second, in productive conflict, individuals or groups limit conflict to the original issue. Third, in productive conflict, individuals or groups direct the conflict toard cooperative problem solving. Finally, in productive conflict, individuals or groups trust leadership that stresses mutually satisfactory outcomes” 28 David Augsburger berpendapat bahwa konflik antar budaya yang produktif berbeda dengan konflik yang destruktif dalam empat hal. Pertama, dalam konflik produktif individu atau kelompok membatasi konflik secara arti, focus maupun isu. Sedangkan dalam konflik destruktif, mereka memperluas isu atau perilaku negative. Kedua, dalam konflik produktif, individu atau kelompok membatasi konflik langsung pada isu utamanya. Sedangkan dalam konflik destruktif, mereka memperluas isunya mualai dari yang utama dengan segala aspek yang terkait. Ketiga, dalam konflik produktif, individu atau 28 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.421 kelompok langsung menangani menangani konflik melalui kerja sama yang membuahkan hasil keputusan bersama. Sebaliknya, konflik destruktif, strategi-strateginya melibatkan penggunaan kekuatan, ancaman, pemaksaan, dan tipu muslihat. b Kompetisi vs kerja sama Sebuah Atmosfer kompetitif akan menawarkan suatu paksaan, tipu muslihat, kecurigaan, dan ketakutan, serta sedikit melibatkan komunikasi. Sedangkan kerja sama akan menawarkan kesamaan yang terasa, kepercayaan, fleksibilitas, dan komunikasi yang terbuka. Kunci nya adalah untuk membuat suatu hal yang positif, atmosfer kerja sama pada awal hubungan suatu interaksi kelompok. Lebih sulit untuk merubah suatu hubungan yang kompetitif menjadi koooperatif kerja sama ketika suatu konflik sudah meluas. Inti dari suatu kerja sama adalah sebuah pendalaman. Sedangkan sebuah kompetisi selalu bergantung pada argumentasi. Pendalaman bisa dilakukan dalam berbagai hal dalam budaya yang berbeda-beda tapi memiliki beberapa langkah. Kelompok tersebut harus mengetahui isu yang ada dan mendalami semua hal yang terkait atau mendiskusikannya dengan pihak ketiga. c Menangani Konflik Tidak ada jawaban yang mudah untung menangani konflik antar budaya. Terkadang, kita bisa mengaplikasikan beberapa prinsip dialektik, tapi terkadang kita harus kembali dan menunjukkan pertahanan diri kita. Kadang- kadang, walaupun lebih tepat jika kita menegaskan diri kita dan tidak takut pada emosi yang kuat. Ada beberapa solusi untuk menangani konflik:

1. Tetap terpusat dan jangan memperluas

2. Mempertahankan kontak 3. Menyadari perbedaan gaya yang berbeda 4. Mengidentifikasi gaya kita sendiri 5. Bersikap kreatif dan memperluas gaya bicara kita 6. Menyadari pentingnya konteks suatu konflik 7. Bertujuan untuk memaafkan 4. Mediasi “Sometimes two individuals or groups cannot work through conflict on their own. They may request an intermediary, or may be assigned to intervence” 29 Terkadang dua individu atau kelompok tidak bisa bekerja sendiri dalam menangani konflik. Mereka membutuhkan perantara, atau salah satunya akan merasa diintervensi. Dalam beberapa kelompok, pihak ketiga ini bersifat informal. Sedangkan di masyarakat barat, merka cenderung menjadikannya secara legal dan dalam sistem yudisial. 29 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.428 Model mediasi kontemporer dari barat seringkali mengindahkan keberagaman proses konflik. Sadangkan masyarakat tradisional sering menggunakan model yang berdasarkan pada maksud yang tidak langsung. Modelnya bermacam-macam tapi berbagi karakteristik-karakteristik. Mediator kontemporer mengadaptasi beberapa nilai dari model tradisional yang non-barat. Mediasi itu bermanfaat karena mengandalkan keterlibatan aktif dan komitmen dari dua pihak yang berselisih untuk mengahasilkan sebuah resolusi. Semua pihak dilibatkan dalam penanganannya, jasi lebih kreatif dan integral

B. IDENTITAS

Identity serves as a bridge between culture and communication. It is important because we communicate our identity to others, and learn who we are through communication” 30 Identitas itu menyediakan sebuah jembatan antara budaya dan bahasa. Hal ini sangat penting karena kita mengkomunikasikan identitas kita pada yang lainnya, dan kita belajar tentang diri kita melalui komunikasi. Melalui berkomunikasi –dengan keluarga, teman, dan yang lain –kita pun akan mengerti tentang diri kita dan bentuk identitas kita. Isu-isu tentang identitas merupakan hal yang paling penting dalam interaksi budaya. 30 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, New York: McGraw-Hill, 2007, p.154 “How can individual’s identity develops depends partly on the relative position or location of the identity within the societal hierarchy” 31 Bagaimana identitas seseorang bisa berkembang tergantung dari identitas posisi dan lokasi yang berkaitan dalam suatu hirarki sosial. Beberapa identitas memiliki posisi yang lebih tinggi dalam suatu hirarki sosial. Misalnya, identitas heteroseksual mempunyai posisi yang lebih dihormati dibandingkan dengan identitas homoseksual, dan lain sebagainya. Untuk membedakan posisi yang beragam, ‘suatu identitas mayoritas’ biasanya lebih dihormati daripada ‘identitas minoritas’. a Perkembangan Identitas Mayoritas Identitas mayoritas berkembang melalui proses yang kompleks. Para ahli berpikir tentang bagaimana sebuah identitas mayoritas berkembang, dari mulai proses penerimaan hirarki sosial yang mendukung beberapa identitas dan menolak sebagian lainnya, hingga proses untuk melawan ketidakadilan tersebut. Rita Hardiman outlines five stages: Unexamined identity, acceptance, resistance, and redefinition” 32 Rita Hardiman menyimpulkan beberapa tahapan yang terjadi pada identitas mayoritas ini, yaitu: 1. Identitas terabaikan. Sebagaimana yang terjadi pada identitas minoritas, dalam tahap ini orang mungkin sadar dengan perbedaan yang mereka miliki, namun mereka tidak terlalu memikirkan tentang identitas mereka. 2. Penerimaan. Dalam tahap ini terjadi sebuah proses internalisasi, sadar atau tak sadar tentang sebuah ideologi rasis atau muslim 31 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,p.154 32 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,,p.166 atau kelompok minoritas lain. Bisa saja melibatkan sebuah penerimaan yang pasif atau aktif. 3. Perlawanan. Dalam tahap ini terjadi sebuah peralihan paradigma utama, yang melibatkan sebuah tindakan yang menyalahkan kelompok minoritas yang menamai mereka dan menyalahkan kelompok dominan mereka sebagai sumber masalah. 4. Definisi baru. Tahap ini merupakan proses dimana mereka memikirkan lagi tentang identitas mereka dan mulai menghargai serta bersikap yang bisa menghapus tekanan dan ketidakadilan bagi yang lain. 5. Integrasi. Dalam tahap ini, kelompok mayoritas pun memahami identitas yang mereka miliki dan menghormati adanya kelompok lain. b Perkembangan Identitas Minoritas “in general, minority identities tend to develop earlier that the majority identities” 33 Pada umumnya, identitas minoritas cenderung untuk berkembang lebih awal daripada identitas mayoritas. Misalnya, orang biasa cenderung tidak selalu memikirkan orientasi seksual mereka, sedangkan kaum gay lebih cenderung untuk seringkali memikirkan orientasi seksual mereka yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan, dan lebih mengembangkan sebuah nilai identitas orientasi seksual daripada orang biasa normal. Sama halnya, orang kulit putih bisa mengembangkan sebuah identitas etnik yang kuat, mereka tidak selalu memperhatikan identitas ras mereka, sedangkan anggota 33 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,p.164 kelompok etnik minoritas memperhatikan identitas ras mereka sejak dulu. “Minority identity often develops in the following stages: unexamide identity, conformity, resistance and separatism, integration ” 34 Menurut Judith, identitas minoritas berkembang dalam beberapa tahapan: 1. Identitas yang terabaikan, dimana seseorang kurang memperhatikan dan tertarik tentang identitas mereka. Tahap ini ada dikarenakan kurangnya pengetahuan akan identitas mereka sendiri baik itu etnis, orientasi seksual, gender dan lain sebagainya 2. Penyesuaian, dimana dalam tahap ini masuknya nilai dan norma dari kelompok dominant dan sebuah keinginan kuat untuk bisa menerimanya. 3. Perlawanan dan separatisme. Banyak kejadian yang bisa memicu terjadinya tahap ketiga ini, seperti diskriminasi atau sebuah sebutan. Dalam tahap ketidaksesuaian atau kesdaran yang semakin meningkat bahwa tidak semua nilai dari kellompok dominant itu sesuai untuk mereka, yang bisa memicu terjadi perlawanan dan separatisme. 4. Integrasi. Tahap ini hanya bisa terjadi apabila seseorang benar-benar memahami identitasnya sendiri dan menghormati adanya budaya lain. “Cultural identities – those aspects of our identities which arise from our ‘belonging’ to distinctive ethnic, racial, linguistic, religious and, above all, national cultures” 35 Dalam konteks komunikasi antar budaya ini, identitas yang akan kita bahas adalah identitas budaya yang mana muncul dari kepemilikan khusus seseorang pada ras, etnik, bahasa, agama, bangsa dan 34 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,,p.164 35 Stuart Hall, David Held Tony McGrew, Modernity and its Futures. London: Polity Press,Open University, 1992, p 274 faktor budaya lainnya. Yang kemudian membagi masyarakat ke dalam berbagai jenis kelompok identitas, seperti: gender, usia, ras dan etnik, kulit putih, agama, kelas, kebangsaan, daerah dan pribadi. Namun ada tiga identitas yang menjadi pembahasan disini karena efeknya yang sering muncul dalam sebuah konflik, yaitu: 1. Identitas Ras dan Etnik 1 Identitas ras “Race conciousness or racial identity, is largely a modern phenomenon” 36 Kesadaran ras atau identitas ras, umumnya merupakan sebuah fenomena modern. Saat ini di Amerika Serikat, isu ras sangat controversial dan perpasive. Ini menjadi topik diskusi, dari talkshow di tv hingga percakapan di radio. Banyak orang sudah merasa sangat tidak nyaman membicarakannya atau berpikir hal itu tidak seharusnya menjadi topic dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin kita akan lebih mengerti tentang isu-isu kontemporer jika kita memperhatikan ide-ide tentang ras yang berkembang dalam sejarah di AS. “Racial categories, are based to some extent on physical characteristic, but they are also constructed influid social contexts” 37 Kategori-ketegori ras, kemudian berdasarkan pada beberapa tingkatan dalam karakteristik fisik, tapi juga dibentuk oleh konteks-konteks sosial yang cair. Hal tersebut menambah nilai kesadaran untuk membicarakan formasi ras daripada kategori-kategori ras, dengan demikian menguji ras itu sebagai sebuah kompleks dari nilai-nilai 36 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, New York: McGraw-Hill, 2007,p.174 37 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,,p.174 social daripada sebagai sebuah konsep yang pasti dan objektif. Bagaimana masyarakat mengkonstruksi nilai-nilai ini dan berpikir tentang pengaruh-pengaruh ras dalam cara mereka berkomunikasi. 2 Identitas Etnik “In contrast to racial identity, ethnic identity may be seen as a set of ideas about one’s own ethnic group identity. It typically includes several dimension: self-identification, knowledge about ethnic culturetraditions, customs, values, and behaviours, and feeling about belonging to particulat group” 38 Identitas etnik bisa dilihat sebagai seperangkat ide-ide tentang keanggotaan kelompok etnik. Identitas ini meliputi beberapa dimensi: pengenalan diri, pengetahuan tentang budaya etnik tradisi, kebiasaan, nilai-nilai dan perilaku dan perasaan saling memiliki terhadap suatu kelompok tertentu. Identitas etnik seringkali melibatkan suatu nilai originalitas dan sejarah, yang bisa menyambungkan kelompok- kelompok etnis pada budaya-budaya yang jauh di Papua, Asia, Eropa, Amerika Latin atau lokasi lainnya. Memiliki identitas etnik berarti mengalami sebuah nilai kepemilikan terhadap kelompok tertentu dan mengetahui suatu pengalaman untuk dibagi dalam kelompok. Misalnya, Judith tumbuh dalam sebuah komunitas etnik. Dia mendengar orangtua dan kerabatnya berbicara dengan bahasa Indonesia, dan kakek dan neneknya memberi saran 38 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,,p.175 untuk kembali ke Jerman dan berbicara tentang nenek moyang mereka di Jerman. Pengalaman ini akan menambah identitas etniknya. Para ahli saling berselisih tentang apakah identitas etnik dan identitas ras itu sama atau berbeda. Beberapa ahli berpendapat bahwa identitas etnik dibentuk oleh dirinya dan hal lainnya tapi identitas ras hanya dibentuk oleh faktor lain. Mereka menekankan seperti mereka mengesampingkan etnisitas dalam cara mereka mengklasifikasikan orang lain. Jika kita tidak pernah membicarakan ras, tapi hanya etnisitas, bisakah kita memperhatikan efek dan pengaruh dari rasisme? Untuk menyortir hubungan antara etnisitas dan ras adalah untuk membedakan antara identitas terikat dan dominan atau normatif. “Bounded cultures are characterized by groups that are specific, not dominant” 39 Budaya-budaya yang terikat dikarakterisasi oleh kelompok-kelompok yang spesifik bukan dominant. Untuk kebanyakan orang kulit putih, sangatlah mudah untuk memahami rasa saling memiliki dalam sebuah kelompok terikat kelompok etnik. Jelasnya, sebagai contoh, menjadi seorang Amish berarti mengikuti ordung nilai-nilai masyarakat. Tumbuh di sebuah rumah Indonesia- jerman, identitas Judith menjadi sangat serius dan sedikit sekali berekspresi dalam caranya untuk komunikasi. Identitas ini sangat berbeda dengan temannya di kampus yang seorang Italia-Amerika, dia sangat ekspresif dalam berkomunikasi. 39 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,,p.175 Nilai ras atau identitas etnik kita berkembang seiring dengan waktu, dalam tingkatannya dan melalui komunikasi dengan orang lain. Tahap-tahap ini seolah merefleksikan pemahaman kita tentang siapa kita dan tergantung pada beberapa tingkat kelompok kita. Banyak kelompok etnik dan ras saling berbagi tentang pengalaman penindasan mereka. Dalam menanggapinya, mereka bisa mengenerasikan konsistensi sikap dan tingkah laku dengan sebuah usaha inernal yang alami untuk mengembangkan identitas kelompok dan identitas diri. Untuk kebanyakan kelompok budaya, identitas kuat ini memastikan untuk bertahan hidup. 2. Identitas Keagamaan “Religious identity can be important dimension of many people’s identities, as well as an important site of intercultural conflict. Religious identity often is conflated with racial or ethnic identity, which makes it difficult to view religious identity simply in terms of belonging to a particular religion” 40 Identitas keagamaan bisa menjadi sebuah dimensi penting dari identitas masyarakat banyak, sebagaimana pentingnya dalam faktor konfilk antar budaya. Identitas keagamaan bersatu dengan identitas ras atau etnik, yang membuat sulit untuk melihat identitas keagamaan dari keterkaitannya dengan suatu agama tertentu. Misalnya, ketika seseorang berkata “aku orang Yahudi”, apakah itu berarti bahwa dia melakukan Judaisme? Bahwa dia melihat identitas Yahudi sebagai sebuah identitas etnik? Atau ketika orang berkata, “Dia memiliki nama belakang Islam” 40 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,p.182 apakah itu merupakan pernyataan bahwa untuk menyadari identitas keagamaannya? Dengan pandangan sejarah, kita bisa melihat Yahudi sebagai sebuah kelompok ras, sebuah kelompok etnik dan sebuah kelompok keagamaan. Menggambarkan perbedaan antara bermacam-macam identitas – ras,etnik, kelas, bangsa dan daerah—sangatlah sulit. Isu-isu agama dan etnisitas menjadi perhatian utama dalam perang antara Al-Qaeda dan kelompok militan lainnya. Walaupun mereka yang melakukan serangan ke Pentagon dan World Trade Center adalah orang Muslim dan Arab, sulit untuk membenarkan bahwa semua orang Muslim adalah Arab dan semua orang Arab adalah muslim. Perbedaan-perbedaan keagamaan menjadi akar konflik-konflik kontemporer dari mulai dari AmbonMaluku, Timur Tengah hingga irlandia utara, India dan Pakistan hingga Bosnia-Herzegovina. Di Amerika Serikat, konflik-konflik keagamaan menyebabkan orang-orang Mormon melarikan diri ke Midwest di Utah pada pertangahan abad ke 19. Konflik- konflik keagamaan menjadi kenyataan bagi orang Arab-Amerika setelah pemerintah AS menegaskan perang melawan terorisme. Dan muslim militan di Timur Tengah dan tempat lainnya melihat usaha perlawanan mereka terhadap AS sebagai suatu usaha keras yang sangat serius dan bersedia mati demi keyakinan agama mereka. Di AS, kita seringkali melihat bahwa orang-orang bebas untuk mempraktekan agama apapun yang mereka yakini. Dan konflik pun muncul ketika kepercayaan agama mereka ditunjukkan kepada mereka yang berbeda keyakinan. Misalnya, beberapa orang Yahudi melihat dominasi pohon–pohon Cristmas dan salib-salib Kristen sebagai penghinaan pada keyakinan mereka. Beberapa penganut agama berkomunikasi dan menandakan perbedaan- perbedaan agama mereka dengan pakaian. Misalnya, yahudi hassidic memakai pakaian tradisional, dan pakaian yang berwarna gelap, dan wanita muslim memakai kerudung atau penutup kepala sesuai dengan aturan muslim tentang pakaian wanita. Penganut agama Buddha yang taat menjadi bhiksu dengan memperlihatkan pakaian yang biasa dipakai oleh para bhiksu. Tentu saja, tidak semua agama tidak dikenal oleh pakaian. Misalnya, kita tidak bisa tahu bahwa seseorang itu Buddha, Hindu, katolik, Lutheran atau atheis berdasarkan cara pakaian mereka. Karena identitas keagamaan mereka kurang mencolok, interaksi setiap hari tidak akan memperlihatkan identitas keagamaan mereka. “When individuals change their religious andor ethnic identity, they often change their name to reflect their new identification. For instance, when the world heavy weight boxer Cassius Clay became a Black Muslim, he changed his name to Mohammed Ali” 41 Ketika seseorang berganti identitas agama atau etnik mereka, seringkali mereka mengganti nama mereka untuk menunjukkan identitas baru mereka. Misalnya, ketika seorang petinju kelas berat Cassius Clay menjadi seorang muslim kulit hitam, dia pun merubah namanya menjadi Muhammad Ali, begitu pun dengan pemain basket bernama Kareem Abul-Jabbar yang dulu bernama Lew Alcindor sebelum dia masuk Islam. Ada juga beberapa imigran 41 Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, Illinois: Waveland Press. Inc, p.101. China yang datang ke Indonesia yang merubah nama mereka dengan nama yang lebih dimengerti oleh para pegawai sipil di Indonesia. 3. Identitas Kebangsaan “Among many identities, we also a national identity, which should not be confused with racial or ethnic identity. Nationality, unlike racial or ethnic identity, refer’s to one’s legal status in relation to a nation” 42 Diantara semua identitas, kita juga memiliki identitas kebangsaan, yang tidak harus dibingungkan dengan identitas ras dan etnik, kebangsaan menunjukkan status sah terkait pada sebuah bangsa. Banyak penduduk AS bisa melacak etnisitas mereka ke Amerika latin, Asia, Eropa atau Afrika, tapi kebangsaan mereka atau kewarganegaraan mereka, bersama Amerika Serikat. Walaupun identitas kebangsaan bisa terlihat sebagai isu yang jelas, tapi tidak selalu seperti itu. Misalnya, konflik berdarah yang pecah selama masa percobaan penarikan negara-negara konfederasi dari Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1800-an. Konflik yang sama terjadi juga saat ini ketika Eritrea berusaha untuk memisahkan diri dari Ethiopia, dan Czechnya memisahkan diri dari Rusia. Tidak sedikit Konflik berdarah yang melibatkan kedudukan sebagai Negara yang merdeka, misalnya konflik yang terjadi ketika provinsi Timor Timur ingin memisahkan diri dari negera Indonesia, terjadi konflik berdarah antara warga dan pemerintah dan akhirnya kemudian bisa memisahkan diri dan berdiri sendiri dengan nama Timor Leste pada tahun 2002. Begitu pula di 42 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, New York: McGraw-Hill, 2007, p.186 Czecoslovakia terdahulu, hingga pemisahan Slovakia dan Republik Czechnya. Kesimpulannya, orang memiliki pendapat yang beragam tentang kebangsaan mereka, sebagaimana mereka sering bingung tentang kebangsaan dan etnisitas. Sehingga, seringkali kita mendengar seorang siswa bertanya kepada siswa dari kalangan minoritas, “Apa kebangsaanmu?” ketika yang di maksud adalah, “Dari etnik mana kamu berasal?” kebingungan ini bisa mengarah dan mungkin merefleksikan pada kurangnya pemahaman tentang, katakanlah, Asia-Amerika kelompok etnik dan Asia kelompok bangsa. Hal itu juga bisa mengasingkan orang- orang Asia-Amerika dan orang-orang yang telah tinggal di Amerika Serikat selama beberapa tahun tapi tetap dianggap sebagai orang asing. 4. Identitas Daerah “Closely related to nationality is the notion of regional identity. Many regions of the world have separate, but vital and important, cultural identities” 43 Identitas daerah sedikit berkaitan dengan identitas kebangsaan. Banyak daerah di dunia yang telah terpisah, tapi yang utama dan penting, adalah identitas budaya. Wilayah orang Jawa Timur berbeda dengan wilayah orang Jawa Barat, mereka memiliki keberagaman budaya sendiri. Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan provinsi-provinsi yang dipisahkkan oleh lautan luas dan membuat budaya mereka berbeda dan memiliki satu identiitas khusus. 43 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.188 Perbedaan kedaerahan ini terkadang menjadi pemicu pecahnya suatu konflik nasional. Begitu pula perbedaan identitas regional di berbagai bagian negara di Amerika Serikat. Dalam hal ini, identitas daerah bisa dijadikan sebagai identifikasi dengan sebuah daerah geografik khusus dari sebuah Negara. Identitas memiliki pengaruh yang sangat besar pada proses komunikasi antar budaya. Pertama, kita bisa menggunakan dinamika individu budaya untuk mengetahui isu-isu yang muncul ketika kita menemui orang yang tidak kita ketahui identitasnya. Dalam interaksi komunikasi antar budaya, identitas yang disalahgunakan selalu barakibat buruk dan bisa mengakibatkan masalah komunikasi. Terkadang kita berasumsi tentang identitas seseorang bardasarkan keanggotaannya dalam suatu kelompok budaya tertentu. Ketika kita melakukannya, kita sedang mengacuhkan aspek individualnya dan dengan menggunakan aspek dialektikal, kita bisa mengenal dan menyeimbangkan antara aspek budaya dan individual dari identitas seseorang. Perspektif ini bisa membimbing cara kita berkomunikasi dengan orang tersebut dan juga orang lain.

C. STEREOTIP DAN PRASANGKA

1. Stereotip

“The identity characteristics described previously sometimes form the basis for stereotypes, prejudice, and racism. The origins of these have both individual and contextual elements” 44 Karakteristik identitas yang telah digambarkan terkadang bisa membentuk sebuah dasar adanya stereotip, prasangka dan rasisme, yang berasal dari faktor individu maupun kontekstual. Untuk dapat mengerti tentang banyaknya jumlah informasi yang kita terima, kita harus mengkategorisasikan dan mengeneralisirnya, terkadang juga bersandar pada beberapa stereotip –kepercayaan khalayak umum tentang suatu kelompok. Stereotip juga membantu kita mengetahui apa yang kita harapkan dari orang lain. Bisa saja positif atau negatif. Misalnya, orang Asia-Amerika yang seringkali bersikap subjektif terhadap stereotif positif “model minoritas”, yang membuat semua orang Asia dan Asia-Amerika menjadi pekerja keras dan serius. Stereotip ini menjadi sangat biasa terjadi di Amerika Serikat selama masa gerakan hak asasi sipil tahun 1960an- 1970an. Pada waktu itu orang Asia-Amerika dilihat sebagai minoritas “bagus” –berbeda dengan Afrika-Amerika, kita selalu konfrontatif dan bahkan militant dalam perlawanan mereka untuk mencapai sebuah persamaan dengan kelompok mayoritas. Bahkan stereotip positif bisa berbahaya jika menciptakan harapan yang tidak nyata pada seseorang. Bukan berarti karena seseorang itu Asia- Amerika atau cantik, atau pintar maka dia akan lebih unggul di sekolah atau ramah atau menawan. Stereotip akan jadi sangat mengganggu apabila berubah menjadi negatif dan tidak fleksibel. Riset membuktikan bahwa, sekali diikuti, maka stereotip itu akan sulit untuk dihilangkan. Faktanya 44 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.189 bahwa masyarakat lebih cenderung mengingat informasi yang mendukung stereotip mereka dan menghapus informasi yang berlawanan. Hamilton, Sherman Ruvolo, 1990. “Gordon Allport, a Harvard University psychologist, was another pioneering scholar in research on prejudice when showed that stereotypes-generalizations about some group of people that oversimplify reality-lead to prejudice. Allports 19541979 book, The Nature of Prejudice, discussed how human cognitive activities like categorization and generalization can lead to prejudiced attitudes. Prejudiced individuals often think in stereotypes. The generalizations prevent accurate perception of the qualities of unalike others” 45 Seorang psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport berpendapat bahwa generalisasi dari sebuah stereotip itu bisa mengarahkan suatu kelompok untuk menyederhanakan suatu kenyataan yang kemudian bisa menimbulkan adanya sebuah prasangka. Dalam bukunya, The Nature of Prejudice, Allport membahas bagaimana aktifitas kognitif manusia seperti kategorisasi dan generalisasi bisa menimbulkan kebiasaan berprasangka. Seseorang yang sering berprasangka seringkali berpikir dalam kerangka stereotip. Generalisasi tersebut mencegah adanya suatu persepsi akurat yang berkualitas tentang orang lain. Sikap-sikap yang menganut stereotip dan prasangka inilah yang menjadi salah satu pemicu timbulnya sebuah konflik.

2. Prasangka

45 Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, Illinois: Waveland Press. Inc, p.58 “ Prejudice is anegative attitude toward a cultural group based on a little or no evidence” 46 Martin menyebutkan bahwa prasangka merupakan sikap negatif tentang suatu budaya baik itu berdasarkan pengalaman atau tidak. Singkatnya merupakan tuduhan tanpa ada bukti yang cukup. Stereotip itu memberitahu kita tentang sebuah kelompok, sedangkan prasangka merupakan bagaimana perasaan kita tentang suatu kelompok Newberg, 1994. Prasangka bisa muncul dari kebutuhan seseorang untuk berpikir positif tentang kelompoknya sendiri dan merasa negatif terhadap kelompok lain, atau bisa juga muncul dari ancaman yang terlihat atau nyata Hecht,1998. Peneliti Walter Stephan dan Cookie Stephan 1999 berpendapat bahwa tekanan antara berbagai kelompok budaya dan kontak negatif terdahulu, disertai oleh status ketidaksamaan dan ancaman yang nyata, bisa menimbulkan prasangka. Jadi prasangka itu bisa disimpulkan sebagai sebuah sikap biasanya negatif terhadap sebuah kelompok budaya berdasarkan bukti atau tidak. “Some prejudices consist of the irrational suspicion or hatred of a particular group or religion. They can create avoidance and interpersonal conflict-and prevent effective communication between culturally different individuals” 47 selain itu, Prasangka mengandung kecurigaan yang tidak rasional dan kebencian terhadap suatu kelompok atau agama tertentu, yang mana bisa mengakibatkan penghindaran dan konflik antar pribadi serta 46 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, New York: McGraw-Hill, 2007, p.191 47 Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, Illinois: Waveland Press. Inc, p.56 mencegah terjadinya komunikasi yang efektif diantara individu yang berbeda budaya. “Why do people do prejudice? Psycologist Richard Brislin suggest that, just as stereotyping arises from normal cognitive functioning, holding prejudice may serve understandable functions. These functions may not excuse prejudice, but they do help us understand why prejudice is so widespread. He identifies four such functions: the utilitarian function, the ego-defensive fuction, the value-expressive functions and the knowledge function” 48 Seorang psikolog Richard Brislin 1999 berpendapat bahwa prasangka timbul karena memiliki beberapa fungsi, sebagaimana stereotip yang timbul dari fungsi kognitifnya. Fungsi-fungsi ini mungkin bukan menjadi alasan utama, tapi setidaknya kita bisa mengerti mengapa prasangka itu bisa menyebar luas. Dia menyebutkan beberapa fungsi tersebut: 1 Bermanfaat. Orang berprasangka karena bermanfaat bagi mereka, misalnya mereka lebih mudah untuk bersikap seperti itu dalam beberapa kelompok dan tidak harus berseteru karena berbeda pandangan. 2 Pertahanan diri. Mereka yang berprasangka karena mereka sendiri tidak ingin mengingat hal-hal tidak menyenangkan tentang diri mereka. 48 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, New York: McGraw-Hill, 2007, p.191 3 Nilai ekspresif. Orang mempertahankan prasangka mereka tentang stu hal karena mereka inging memperkuat beberapa aspek kehidupan yang sangat mereka junjung tinggi. 4 Pengetahuan. Orang-orang berprasangka karena sikap seperti itu bisa membuat mereka mampu untuk mengatir dan menyusun dunia mereka dengan cara yang masuk akal bagi mereka, sama halnya dengan stereotip yang juga membantu kita untuk mengatur dunia kita. 3. Diskriminasi “When a negative attitude toward an outgroup is translated into action, the behavior is called discrimination, defined as the process oftreating individuals unequally on the basis of their ethnicity, gender, age, sexual orientation, or other characteristics” 49 Ketika sebuah sikap negative diteruskan pada sebuah perbuatan, sikap tersebut disebut diskriminasi, yang mana bisa didefinisikan sebagai proses memperlakukan seseorang dengan tidak sama berdasarkan etnis, gender, usia, orientasi sexual, atau karakteristik lainnya yang berbeda. Tingkah laku seperti itu dihasilkan dari stereotip dan prasangka. Diskriminasi bisa berdasarkan pada ras rasisme, gender sexism, atau identitas lainnya. “It may range from subtle nonverbal behavior such as lack of eye contact or exclusion from a conversation, to verbal insult and exclusion from jobs or other economy opportunities, to physical 49 Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, Illinois: Waveland Press. Inc, p.56 violence and systematic exclusion” 50 Diskriminasi bisa dimulai dari sikap nonverbal seperti kurangnya kontak mata atau keluar dari sebuah percakapan, sampai pada sebuah penghinaan verbal dan keluar dari pekerjaan atau diskriminasi dalam kesempatan ekonomi lain, sampai pada kekerasan fisik dan keluar dari keseluruhan sistem.

D. Harapan Komunikasi antar Budaya

Pendekatan dialektikal kita telah menyebutkan tentang peran penting kemapuan individu dan paksaan kontekstual dalam mengembangkan hubungan antar budaya. “The First step in applying our knowledge to intercultural communication is to recognize the connectedness of humans ang the importance of dialogue” 51 Langkah awal untuk mengaplikasikan pengetahuan kita tentang komunikasi antar budaya adalah untuk menyadari adanya keterkaitan antar manusia dan pentingnya sebuah dialog. A. Memasuki sebuah Dialog Untuk menyadari dan merangkul keterkaitan kita bahkan pada orang yang berbeda dengan kita, kita harus terlibat dalam sebuah dialog sejati. Ide utama dalam sebuah dialog adalah saling berbagi dan saling memberi. Menurut Starosta dan Chen untuk membentuk inti suksesnya sebuah dialog, harus ada fokus untuk mendengarkan, daripada berbicara. 50 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, New York: McGraw-Hill, 2007, p.192 51 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.447 Sebuah model komunikasi antar budaya adalah mendengarkan. Dalam model ini, komunikator antar budaya komunikator antar budaya haruslah efektif, sensitif pada orang lain, berpikir sebelum berbicara, dan menyampaikan sebuah pesan yang tidak pernah mengancam atau mengutuk ataupun menimbulkan arti yang beragam. Pendengar pun mendengarkan pesan yang disampaikan, menyadarinya, mempertimbangkan kembali, mencoba interpretasi beda yang mungkin –berusaha untuk memahami usulan pembicara. Ketika pendengar percaya bahwa dia telah mengerti pesan yang sedang dibuat, dia menanggapinya, dan tidak dengan sikap yang mengancam. Kita tahu bahwa dalam proses mendengarkan, ambiguitas itu ada, yang berlawanan dengan maksud sebuah komunikasi yang menghendaki sebuah kejelasan dan ringkas. Dan dialog komunikasi antar budaya itu haruslah jelas. B. Menjadi sekutu Kita perlu membuat suatu jalan baru untuk memikirkan tentang keberagaman budaya dan perbedaan budaya –sebuah cara yang menyadari kompleksitas dalam berkomunikasi antar budaya dan menagarah pada isu tentang kekuatan. Sebaliknya, kita bisa terjebak diantara sebuah kerangka konpetitif: jika kita menang sesuatu, dan orang lain kalah, berarti kita bisa menang jika orang lain kalah. Pemikiran seperti ini membuat kita merasa frustasi dan bersalah. Tujuannya adalah untuk menemukan cara dimana kita mendapatkan kesatuan yang wajar daripada mendapat banyak perbedaan dan kebenaran yang kontradiktif, sebuah kesatuan yang berdasarkan pada koalisis yang disadari, kesadaran menarik dan politik kekeluargaan, dimana kita semua menang. Dan bagaimana kita bisa melakukannya? Pertama kita bisa mengidentifikasi persekutuan antar budaya. Ada tiga isu yang membentuk sebuah persekutuan antar budaya. Pertama, kita harus menyikapi kekuatan dan hak istimewa yang ada: teman antar budaya menyadari dan mengerti bagaimana perbedaan etnik, gender, dan kelas mengarah pada kekuatan dan berusaha untuk mengatur kekuatan isu-isu tersebut. Persekuatuan antar budaya ikatan antara individu atau kelompok antar budaya yang ditandai dengan saling menyadari kekuatan dan akibat dari sebuah sejarah serta oleh orientasi ketegasan. C. Membangun Koalisi Beberapa konteks yang akan muncul di kemudian hari, bisa membuat kita berpikir kembali tentang ientitas kita. Retorika yang digunakan untuk menggerakan koalisi itu bisa bermacam-macam. Ketika kita berusaha untuk membangun hubungan antar budaya, terkadang kita harus melebihkan beberapa identitas kita, atau kita harus memperkuat identitas kita. Identitas yang saling bergantian ini membuat kita bisa membangun koalisi dengan orang-orang yang berbeda, untuk mengembangkan hubungan antar budaya yang positif dan untuk dunia yang lebih baik. D. Keadilan sosial dan Transformasi Dalam keadilan sosial kita harus mengetahui tentang adanya penindasan dan ketidakadilan –setelah kita menyimpulkan bahwa komunikasi antar budaya itu tidak selalu menarik dan menyenangkan, mereka ada dalam sebuah hirarki dimana satu pihak teristimewakan dan mengatur yang lainnya. Starosta dan Chen menyebutkan bahwa pendengaran antar budaya harus diikuti dengan aplikasi. Pada akhirnya dialog harus merubah hal-hal yang asalnya buruk menjadi lebih baik. Mendengar dengan baik itu berarti mempromosikan harmoni antar budaya dan antar ras, perbaikan terhadap kemiskinan, penegnalan keadilan, saling menghormati dan harmoni. Johnson menawarkan beberapa pendapat konkrit tentang keadilan sosial dan transformasi pribadi. 1. Mengetahui keberadaan suatu masalah. 2. Memberi perhatian. 3. Melakukan suatu tindakan. E. Pemberian Maaf Walaupun pemberian maaf itu terbatas dan problematic, pemberian maaf merupakan sebuah pilihan untuk mempromosikan pemahaman dan rekonsiliasi antar budaya. Pemberian maaf itu memang lebih daripada sebuah cara sederhana dari kebenaran agama; dan menuntut sebuah intelektualitas yang dalam dan komitmen emosional selama masa penderitaan. Selain itu, harus ada sikap untuk merelakan, sebuah perubahan, sebuah transformasi semangat baru.

E. Implementasi dalam Perdamaian

Yang penting untuk digaris bawahi disini adalah: bisakah individu-individu dari jenis kelamin, usia, atnik, ras, bahasa, status ekonomi-sosial, dan latar belakang budaya yang berbeda eksis di muka bumi ini? Baik sejarah umat manusia dan peristiwa-peristiwa terkini menunjukkan bahwa kita tidak bisa terlalu optimis dalam hal ini. Dan hal ini lebih jelas terlihat setelah terjadinya peristiwa 11 September 2001. Hubungan diantara kelompok-kelompok budaya berbeda – dari zaman dulu hingga sekarang—seringkali menimbulkan ketidakharmonisan. Misalnya, perselisihan agama etnik antar orang Muslim dan orang Barat: perlawanan-perlawanan etnik di Bosnia dan Uni Soviet, perang antara Hutus dan Tustis di Rwanda Afrika, begitu pula yang terjadi di Timur tengah, perlawanan dan tekanan ras dan etnik di lingkungan Boston, Los Angeles, dan kota-kota Amerika Serikat lainnya. “Some of these conflicts ate tied to histories of colonialism around the world, whereby European powers lumped diverse groups—differing in language, culture, religion, or identity—together as one state” 52 Konflik- konflik ini berkaitan dengan sejarah Kolonialisme di seluruh dunia, dimana kekuatan Eropa menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda–beda bahasa, budaya, agama, atau identitas – bersama dalam satu negara. Misalnya, pembagian daerah Pakistan dan India dijatuhkan oleh Inggris, pada saat itu pun, Pakistan Timur mendeklarasikan diri menjadi Bangladesh. Namun, perbedaan etnik dan agama di beberapa wilayah di India dan Pakistan terus berlanjut tanpa akhir. Dan senjata nuklir oleh India dan Pakistan membuat perselisihan ini semakin mencuat. Perbedaan yang besar sekali itu disertai perselisihan—diantara koloni-kolokni ini harus dimengerti dalam konteks sejarah kolonialisme. 52 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.29 “Some of the conflicts are also tied to economic disparities and influenced by U.S. technogy and media” 53 Beberapa konflik juga berkaitan dengan perbedaan ekonomi dan dipengaruhi oleh teknologi dan media Amerika Serikat. Banyak orang di AS melihat pengaruh ini sebagai keuntungan, tapi mereka juga memanipulasi berbagai perlawanan ahli komunikasi Fernando Delgado 2002 menjelaskan: Dominasi budaya, walaupun terjadi di rumah, bisa memicu konflik antar budaya karena itu menghalangi produk budaya popular bangsa asli lain, perkembangan ekonomi mereka dan menipu nilai-nilai AS dan pandangan terhadap budaya-budaya lainnya. Efek ini, sebaliknya, selalu mengarah pada kemarahan dan konflik. Kolonialisme : 1. Sistem dimana kelompok-kelompok yang berbeda budaya, agama, dan identitas bersatu membentuk sebuah negara, biasanya oleh sebuah kekuasaan Eropa. 2. Sistem dimana sebuah negara memiliki kekuasaan terhadap negara lain atau kelompok lain untuk mengeksplotasi mereka secara ekonomi, politik dan budaya. Misalnya, bagi orang-orang Kanada, suatu identitas budaya Kanada itu merupakan hal yang mustahil eksis, karena adanya dominasi media Amerika Serikat. Contoh dominasi budaya ini sangatlah kompleks. Delgado sering menyebutkan bahwa dia memperhatikan sentiment-sentimen anti-Amerika dalam grafitti, Koran, dan program-program TV selama tur ke Eropa, tapi dia juga melihat pengaruh Amerika Serikat dimana-mana – dalam musik, tv, film, mobil, makanan cepat saji dan fashion. Dia menyebutkan bahwa “kemarahan, frustasi, 53 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, hal.29 dan penghinaan diantara penduduk lokal juga disebabkan oleh sebuah kekaguman pada terobosan budaya popular Amerika Serikat” Beberapa konflik juga berakar dari kebijakan-kebijakan luar negeri terdahulu. Misalnya, serangan pada 11 September 2001 sebagian berkaitan pada aliansi yang membingungkan dan berubah-rubah antara AS, Afghanistan, Arab dan negara-negara muslim lainnya. Pada awal tahun 1990-an di Afghanistan, Taliban merebut kekuasaan terhadap aturan yang merugikan dari Aliansi-aliansi Utara, sebuah koalisi longgar untuk perang. AS telah mendukung Taliban untuk berperang melawan agresi Soviet di akhir tahun 1980-an dan telah menjanjikan bantuan untuk membangun negara mereka setelah perselisihan mereka berakhir. Bagaimanapun juga, dengan ditariknya kekuatan Soviet dan keruntuhan Uni Soviet, Amerika Serikat tidak perhatian dalam memenuhi janji-janji mereka pada bangsa Afghan, tapi meninggalkan mereka pada belas kasihan Taliban. Terlebih lagi, kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap negara-negara Arab di pertengahan akhir abad ini, disertai dengan dukungan terbuka untuk Israel, telah mengakibatkan kemarahan yang tersebar luas. Meskipun tidak ada alasan jelas mengapa teroris menyerang Amerika Serikat, serangan itu tidak terjadi begitu saja. Hal itu harus dipahami dalam konteks historis, politik, agama, dan ekonomi. Naif sekali untuk mengasumsikan bahwa sederhananya isu-isu komunikasi antar budaya akan berakhir dengan perang dan konflik antar budaya, tapi permasalahan ini menggaris bawahi bahwa individu harus belajar untuk lebih memahami kelompok-kelompok sosial lain daripada kelompok sendiri. Akhirnya, masyarakat, bukan negara, bernegosiasi dan menandatangani perjanjjian damai. Sebagai contoh bagaimana gaya komunikasi seseorang berpengaruh pada hasil politik bisa dilihat dari negosiasi antara Presiden Iraq Saddam Hussein dan perwakilan dari Amerika Serikat dan PBB. Misalnya, pada Perang Teluk sebelumnya, tahun 1990, banyak ahli Timur Tengah berpendapat bahwa Saddam Hussein belum siap untuk berperang, bahwa dia hanya menggertak saja, menggunakan gaya komunikasi bangsa Arab. Gaya ini menekankan pentingnya animasi, pernyataan yang berlebihan, dan bentuk percakapan diatas isinya. Ahli komunikasi menyebutkan bahwa dalam situasi konflik jurubicara Arab bisa saja mengancam hidup dan kekayaan lawan mereka tapi mereka tidak memiliki tekanan untuk benar-benar melakukan ancaman itu. Sepertinya, jurubicara Arab menggunakan ancaman untuk menghabiskan waktu dan mengintimidasi lawan mereka. Oleh karena itu, pernyataan deklarasi oleh para pemimpin AS, seperti “kami akan menemukan kanker dan memusnahkannya” terlihat seperti keduniaan dan tidak tanpa paksaan pada pengikut Arab. Pertukaran verbal, tidak terkecuali gaya-gaya komunikasi berbeda, seringkali menimbulkan kekerasan fisik. Bagaimana pun juga, kita harus memperhatikan hubungan antara kekuatan individu dan sosial dalam mempelajari komunikasi antar budaya. Walaupun komunikasi pada tingkat interpersonal itu penting, kita harus ingat bahwa individu seringkali terlahir dan terjebak pada konflik baik dimulai ataupun tidak.

BAB III PROFIL CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG

CIVILIZATIONS CDCC DAN THE 2 nd WORLD PEACE FORUM I. Profil Centre for Dialogue and Cooperation among CivilisationsCDCC Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations CDCC adalah sebuah organisasi masyarakat sipil internasional yang berpusat di Jakarta dan didirikan pada tahun 2007 oleh para cendekiawan dan aktivis berbagai latar belakang yang luas. Diantaranya adalah Din Syamsuddin, Bahtiar Effendy, Hajrianto Y. Tohari, Didik J. Rachbini, Rizal Sukma, Fahmi Darmawansyah, dan Said Umar. A. Latar Belakang Sebenarnya CDCC dibentuk berdasarkan pada beberapa alasan 54 . Seiring dengan meningkatnya jumlah tindakan kekerasan baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia lainnya yang disebabkan oleh faktor politik, agama, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Kemudian dengan adanya sinyalemen bahwa penyebab utama dari berbagai tindak kekerasan itu adalah adanya benturan peradaban. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuel Huntington. Tapi sebenarnya teori itu tidak sepenuhnya benar, karena setiap peradaban memiliki nilai universalitas sendiri yang bisa diterima oleh peradaban lainnya. ketiga, karena alasan itulah CDCC kemudian berusaha untuk memahami berbagai perbedaan tersebut dan berusaha untuk mencari titik temunya. Dialog dan kerja sama pun dijadikan CDCC sebagai jalan untuk mewujudkannya. Dan terakhir , berbagai dialog yang ada hanya bersifat 54 Wawancara Pribadi, Dr. Abdul Mu’ti, CDCC, 3 Agustus 2009. konseptual saja, hanya sebatas pertukaran pikiran. Dan CDCC bertujuan untuk membuat dialog yang konseptual dan praktis. Sehingga berbagai kerja sama bisa diadakan untuk melawan tindak kekerasan dan menghindari bernturan-benturan peradaban. B. Misi CDCC bertujuan untuk mempromosikan pemahaman yang lebih baik dan hubungan damai antar agama, budaya, bangsa, dan peradaban pada umumnya. CDCC berusaha untuk memediasi pemisahan yang selama ini ikut didukung oleh adanya ketakutan dan ketidakpahaman pada dua belah pihak 55 . Maka dibentuklah beberarapa inisiatif untuk membangun dan memperluas dialog dan kerja sama antar agama, antar budaya, internasional dan antar peradaban, serta memberikan prioritas tinggi dalam menanggapi permasalahan-permasalahan utama mengenai kesalahpahaman dan kekerasan melalui beberapa ketentuan studi permasalahan yang terkait yang komprehensif, objektif, dan tepat. C. Visi Daripada memandang perbedaan sebagai suatu ancaman dan peradaban pun selalu berbenturan, CDCC menganut sebuah pandangan bahwa perbedaan adalah sebuah kesempatan, kekayaan dan sebuah komponen integral yang tumbuh, dengan tujuan untuk menciptakan dunia yang damai 56 . Perbedaan harus diterima, tapi pada saat yang sama seseorang tidak harus mempertahankan pandangan seperti yang selama ini dianut oleh dunia Muslim dan Barat yang bisa menciptakan konflik yang tiada henti-hentinya. 55 www.cdccfoundation.org 56 www.cdccfoundation.org Bagaimanapun juga, usaha-usaha untuk menjembatani jurang pemisah antar masyarakat, bangsa dan peradaban dunia seringkali gagal jika tidak disertai oleh partisipasi, dialog dan kerja sama dari komunitas internasional. Dewasa ini, sangatlah penting untuk melakukan sebuah gerakan global untuk menjembatani jurang pemisah itu dan mempromosikan dialog, pemahaman yang lebih luas dan saling menghormati antar berbagai budaya dan peradaban D. Program CDCC berusaha untuk mencapai tujuannya melalui aktifitas-aktifitas berikut: 1. Kuliah Umum Public Lecture CDCC berusaha untuk mengadakan dialog-dialog antar peradaban dengan mengumpulkan para elit dan masyarakat dalam sebuah forum yang mendiskusikan isu-isu tentang antar agama, antar budaya, dan hubungan internasional. Diantara contoh forum-forum tersebut adalah Lecture on Civilisations Kuliah Peradaban, seminar internasional, dan konferensi internasional tahunan. Para peserta yang hadir mewakili sebuah kelompok luas meliputi diplomat, pemerintah, politisi, akademisi, aktifis, pengusaha, jurnalis, tokoh agama, tokoh pemuda, dan perwakilan media. 2. Jaringan dan Kerja Sama Dalam melaksanakan program sebagaimana yang telah direncanakan dalam tujuannya, CDCC melakukan usaha yang besar untuk mengembangkan jaringannya yang bisa menguntungkan dalam usaha menciptakan atmosfer perdamaian dan dalam rangka membuat dialog- dialog yang efektif dan meningkatkan kepedulian masayarakat akan perlunya untuk membangun jembatan antar bangsa, untuk mempromosikan dialog, pemahaman yang lebih luas, dan saling menghormati dan tuntuk menyusun harapan-harapan politik bersama dalam menanggapi perbedaan-perbedaan di dunia. 3. Advokasi Kebijakan Untuk memediasi konflik yang ada sebagaimana usaha untuk mencegah konflik yang mungkin terjadi, CDCC mengadvokasi segala kebijakan pemerintah atau pihak yang berwenang lainnya yang penting dalam usaha untuk mengurangi tekanan antar budaya dan kesalahpahaman yang ada. CDCC berusaha untuk mempengaruhi keputusan pemerintah atau pihak berwenang yang berakibat baik atau pun buruk pada dialog budaya atau peradaban. 4. Publikasi CDCC membuat setiap usaha untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat di Indonesia dan di luar negeri pada pentingnya untuk menjembatani jurang pemisah dan mengurangi persepsi antar budaya dan peradaban, sebagaimana memfasilitasi debat akademis tentang antar agama, antar budaya, dan hubungan internasional. Dan atas alasan ini, CDCC menyebatkan informasi dan ide-ide melalui halaman web dan artikel di media secara terus-menerus. 5. Penelitian CDCC melakukan berbagai usaha untuk memimpin studi yang memadai tentang materi-materi yang mengembangkan dialog dan kerja sama diantara masyarakat yang berbeda agama, ras atau etnik, dan bangsa. E. Struktur Organisasi CDCC Ketua: M. Din Syamsuddin Penasehat: a Didik J. Rachbini, b Bachtiar Effendy c Rizal Sukma d Hajriyanto Y. Thohari e Said Umar f Fahmi Darmawansyah Pengawas: a Rustam Effendy b Edy Kuscahyanto Direktur Eksekutif : Abdul Mu’ti Direktur Administrasi dan Keuangan : Indah Meitasari Direktur Program : Piet Hizbullah Khaidir Wakil Direktur Program : Izza Rohman Staff : a Artati Haris b Fauzia Ningtyas c Ilham Mundzir II. Profil The 2 nd World Peace Forum WPF Seperti telah disebutkan, perhatian utama CDCC adalah perdamaian dunia. Beberapa kegiatan telah dilaksanakan, diantaranya adalah World Peace Forum WPF. CDCC bekerja sama dengan Muhammadiyah dan Multi Culture Society telah mengadakan WPF sebanyak dua kali. WPF yang pertama diadakan pada tanggal 14 – 16 Agustus 2006 di Jakarta. Selama Forum Perdamaian Dunia PertamaWPF, lebih dari 100 tokoh agama, pengusaha, akademisi, aktifis sosial, dan jurnalis berkumpul di Jakarta, Indonesia, untuk saling bertukar pikiran, terlibat dalam dialog, dan membangun jaringan dalam suatu keyakinan bahwa kita semua terikat bersama oleh “ satu kemanusiaan, satu takdir, dan satu tanggung jawab.” Dengan semangat seperti itu, mereka berusaha keras untuk membantu perkembangan kesepemahaman yang lebih dalam antar peradaban berdasarkan pada sebuah pemahaman bersama bahwa setiap manusia saling berbagi nilai-nilai kemanusiaan, takdir manusia, dan tanggung jawab untuk menciptakan kedamaian. Mereka semua yakin bahwa dengan tujuan untuk menjamin keunggulan sebuah perdamaian dalam hubungan antar peradaban, kerja sama antar peradaban yang lebih besar sangatlah penting. Setelah mengadakan Forum perdamaian Dunia pertama WPF, Forum Perdamaian Dunia kedua The 2 nd WPF kembali diadakan di Jakarta pada tangal 24-26 Juni 2008. Dengan mempertahankan semangat “Berbagai Segi Kekerasan; Apa yang Bisa Dilakukan?” sebagai kerangka utama dialog, The 2 nd WPF secara khusus membahas tentang masalah kekerasan dan mencari solusi bersama untuk memberantasnya, yang menjadi latar belakang diadakannya World Peace Forum ini 57 . Sebenarnya, gelombang kekerasan baik itu di tingkat nasional maupun internasional, telah menjadi satu hal yang sangat bermasalah di dunia saat ini. Kekerasan yang telah merambah dalam berbagai hal: mulai dari kejahatan yang keji di berbagai masayarakat, pembunuhan politis, hak asasi manusia yang disalahgunakan oleh pemerintah yang lalim dan otoriter, konflik etnik yang mematikan, serangan teroris, perang dalam pengaturan kebijakan, dan perang antar bangsa. Akar penyebab dari kekerasan itu ada dalam bentuk dari berbagai segi. Bagaimanapun, pengunaan, penyalahgunaan, dan kesewenang-wenangan dari sentiment agama dan etnik sebagai sebuah alat untuk mobilisasi politia dalam situasi konflik dan bisa memperburuk suatu masalah. Kekerasan dalam konteks 57 Wawancara Pribadi, Dr. Abdul Mu’ti, CDCC, 3 Agustus 2009. ini bisa memperburuk kecurigaan diantara masyarakat, orang dari agama yang berbeda, dan pada akhirnya berdampak pada peradaban. Jika tren ini terus berlanjut tanpa ada perkembangan, maka masa depan kemanusiaan pun berada dalam ancaman. dalam menghadapi ancaman kemanusiaan yang begitu besar itu, maka semua umat manusia di seluruh dunia memiliki kewajiban untuk bekerja sama dalam menjamin tetap adanya dorongan-dorongan pada perdamaian sebagaimana kekerasan yang terus terjadi pada setiap masyarakat. A. Peserta The 2 nd World Peace Forum 1 Afrika: a. Algeria b. Maroko c. Tunisia 2 Amerika: Amerika Serikat 3 Asia a. Indonesia b. Jepang c. Bangladesh d. India e. Korea f. Malaysia g. Pakistan h. Philiphina i. Singapura j. Srilanka k. Thailand l. Timor-Leste 4 Australia dan Selandia Baru: a. Australia b. Selandia Baru 5 Eropa: a. Belgia b. Bosnia-Herzegovina c. Finlandia d. Jerman e. Italia f. Kosovo g. Norwegia h. Vatican 6 Timur Tengah: a. Afghanistan b. Bahrain c. Mesir d. Iran e. Libya f. Turki B. Program dan Agenda Program dan agenda dari The 2 nd WPF ini bertemakan “Berbagai Sisi Kekerasan: Apa yang Bisa Dilakukan?” dengan beberapa topik sebagai berikut: a. Facets of Violence: Issues and Challenges Berbagai Sisi Kekerasan: Isu-isu dan Tantangan b. Political and Religious Violence: Addressing the Root Causes Kekerasan Politik dan Agama: Mengamati Akar Penyebabnya c. Combating Violence: The Role of Civil Society and Faith-Based Organizations Melawan Kekerasan: Peran Organisasi Masyarakat Madani dan Organisasi Keagamaan d. Media, Freedom of Expressions and Violence Media, Kebebasan Berekspresi dan Kekerasan e. The Role of Religion in Combating Violence Peran Agama dalam Melawan Kekerasan f. Interfaith Dialogue: Can It Make a Difference? Dialog Antar Agama: Bisakah Membuat Perbedaan? g. Working for a Peaceful World: What can be Done? Bekerja untuk Perdamaian Dunia: Apa yang bisa Dilakukan?

BAB IV ANALISIS FAKTOR KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA