antar budaya itu tidak selalu menarik dan menyenangkan, mereka ada dalam sebuah hirarki dimana satu pihak teristimewakan dan mengatur yang lainnya.
Starosta dan Chen menyebutkan bahwa pendengaran antar budaya harus diikuti dengan aplikasi. Pada akhirnya dialog harus merubah hal-hal
yang asalnya buruk menjadi lebih baik. Mendengar dengan baik itu berarti mempromosikan harmoni antar budaya dan antar ras, perbaikan terhadap
kemiskinan, penegnalan keadilan, saling menghormati dan harmoni. Johnson menawarkan beberapa pendapat konkrit tentang keadilan
sosial dan transformasi pribadi. 1.
Mengetahui keberadaan suatu masalah. 2.
Memberi perhatian. 3.
Melakukan suatu tindakan. E.
Pemberian Maaf Walaupun pemberian maaf itu terbatas dan problematic, pemberian maaf
merupakan sebuah pilihan untuk mempromosikan pemahaman dan rekonsiliasi antar budaya. Pemberian maaf itu memang lebih daripada sebuah
cara sederhana dari kebenaran agama; dan menuntut sebuah intelektualitas yang dalam dan komitmen emosional selama masa penderitaan. Selain itu,
harus ada sikap untuk merelakan, sebuah perubahan, sebuah transformasi
semangat baru.
E. Implementasi dalam Perdamaian
Yang penting untuk digaris bawahi disini adalah: bisakah individu-individu dari jenis kelamin, usia, atnik, ras, bahasa, status ekonomi-sosial, dan latar
belakang budaya yang berbeda eksis di muka bumi ini? Baik sejarah umat manusia dan peristiwa-peristiwa terkini menunjukkan bahwa kita tidak bisa terlalu
optimis dalam hal ini. Dan hal ini lebih jelas terlihat setelah terjadinya peristiwa 11 September 2001. Hubungan diantara kelompok-kelompok budaya berbeda –
dari zaman dulu hingga sekarang—seringkali menimbulkan ketidakharmonisan. Misalnya, perselisihan agama etnik antar orang Muslim dan orang Barat:
perlawanan-perlawanan etnik di Bosnia dan Uni Soviet, perang antara Hutus dan Tustis di Rwanda Afrika, begitu pula yang terjadi di Timur tengah, perlawanan
dan tekanan ras dan etnik di lingkungan Boston, Los Angeles, dan kota-kota Amerika Serikat lainnya.
“Some of these conflicts ate tied to histories of colonialism around the world, whereby European powers lumped diverse groups—differing in language, culture,
religion, or identity—together as one state”
52
Konflik- konflik ini berkaitan dengan sejarah Kolonialisme di seluruh dunia, dimana kekuatan Eropa
menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda–beda bahasa, budaya, agama, atau identitas – bersama dalam satu negara. Misalnya, pembagian daerah Pakistan dan
India dijatuhkan oleh Inggris, pada saat itu pun, Pakistan Timur mendeklarasikan diri menjadi Bangladesh. Namun, perbedaan etnik dan agama di beberapa wilayah
di India dan Pakistan terus berlanjut tanpa akhir. Dan senjata nuklir oleh India dan Pakistan membuat perselisihan ini semakin mencuat. Perbedaan yang besar sekali
itu disertai perselisihan—diantara koloni-kolokni ini harus dimengerti dalam konteks sejarah kolonialisme.
52
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.29
“Some of the conflicts are also tied to economic disparities and influenced by U.S. technogy and media”
53
Beberapa konflik juga berkaitan dengan perbedaan ekonomi dan dipengaruhi oleh teknologi dan media Amerika Serikat. Banyak
orang di AS melihat pengaruh ini sebagai keuntungan, tapi mereka juga memanipulasi berbagai perlawanan ahli komunikasi Fernando Delgado 2002
menjelaskan: Dominasi budaya, walaupun terjadi di rumah, bisa memicu konflik antar
budaya karena itu menghalangi produk budaya popular bangsa asli lain, perkembangan ekonomi mereka dan menipu nilai-nilai AS dan pandangan
terhadap budaya-budaya lainnya. Efek ini, sebaliknya, selalu mengarah pada kemarahan dan konflik.
Kolonialisme : 1.
Sistem dimana kelompok-kelompok yang berbeda budaya, agama, dan identitas bersatu membentuk sebuah negara, biasanya oleh sebuah
kekuasaan Eropa. 2.
Sistem dimana sebuah negara memiliki kekuasaan terhadap negara lain atau kelompok lain untuk mengeksplotasi mereka secara ekonomi,
politik dan budaya. Misalnya, bagi orang-orang Kanada, suatu identitas budaya Kanada itu
merupakan hal yang mustahil eksis, karena adanya dominasi media Amerika Serikat. Contoh dominasi budaya ini sangatlah kompleks. Delgado sering
menyebutkan bahwa dia memperhatikan sentiment-sentimen anti-Amerika dalam grafitti, Koran, dan program-program TV selama tur ke Eropa, tapi dia juga
melihat pengaruh Amerika Serikat dimana-mana – dalam musik, tv, film, mobil, makanan cepat saji dan fashion. Dia menyebutkan bahwa “kemarahan, frustasi,
53
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, hal.29
dan penghinaan diantara penduduk lokal juga disebabkan oleh sebuah kekaguman pada terobosan budaya popular Amerika Serikat”
Beberapa konflik juga berakar dari kebijakan-kebijakan luar negeri terdahulu. Misalnya, serangan pada 11 September 2001 sebagian berkaitan pada
aliansi yang membingungkan dan berubah-rubah antara AS, Afghanistan, Arab dan negara-negara muslim lainnya. Pada awal tahun 1990-an di Afghanistan,
Taliban merebut kekuasaan terhadap aturan yang merugikan dari Aliansi-aliansi Utara, sebuah koalisi longgar untuk perang. AS telah mendukung Taliban untuk
berperang melawan agresi Soviet di akhir tahun 1980-an dan telah menjanjikan bantuan untuk membangun negara mereka setelah perselisihan mereka berakhir.
Bagaimanapun juga, dengan ditariknya kekuatan Soviet dan keruntuhan Uni Soviet, Amerika Serikat tidak perhatian dalam memenuhi janji-janji mereka pada
bangsa Afghan, tapi meninggalkan mereka pada belas kasihan Taliban. Terlebih lagi, kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap negara-negara Arab di
pertengahan akhir abad ini, disertai dengan dukungan terbuka untuk Israel, telah mengakibatkan kemarahan yang tersebar luas. Meskipun tidak ada alasan jelas
mengapa teroris menyerang Amerika Serikat, serangan itu tidak terjadi begitu saja. Hal itu harus dipahami dalam konteks historis, politik, agama, dan ekonomi.
Naif sekali untuk mengasumsikan bahwa sederhananya isu-isu komunikasi antar budaya akan berakhir dengan perang dan konflik antar budaya, tapi
permasalahan ini menggaris bawahi bahwa individu harus belajar untuk lebih memahami kelompok-kelompok sosial lain daripada kelompok sendiri. Akhirnya,
masyarakat, bukan negara, bernegosiasi dan menandatangani perjanjjian damai. Sebagai contoh bagaimana gaya komunikasi seseorang berpengaruh pada
hasil politik bisa dilihat dari negosiasi antara Presiden Iraq Saddam Hussein dan
perwakilan dari Amerika Serikat dan PBB. Misalnya, pada Perang Teluk sebelumnya, tahun 1990, banyak ahli Timur Tengah berpendapat bahwa Saddam
Hussein belum siap untuk berperang, bahwa dia hanya menggertak saja, menggunakan gaya komunikasi bangsa Arab. Gaya ini menekankan pentingnya
animasi, pernyataan yang berlebihan, dan bentuk percakapan diatas isinya. Ahli komunikasi menyebutkan bahwa dalam situasi konflik jurubicara
Arab bisa saja mengancam hidup dan kekayaan lawan mereka tapi mereka tidak memiliki tekanan untuk benar-benar melakukan ancaman itu. Sepertinya,
jurubicara Arab menggunakan ancaman untuk menghabiskan waktu dan mengintimidasi lawan mereka. Oleh karena itu, pernyataan deklarasi oleh para
pemimpin AS, seperti “kami akan menemukan kanker dan memusnahkannya” terlihat seperti keduniaan dan tidak tanpa paksaan pada pengikut Arab. Pertukaran
verbal, tidak terkecuali gaya-gaya komunikasi berbeda, seringkali menimbulkan kekerasan fisik.
Bagaimana pun juga, kita harus memperhatikan hubungan antara kekuatan individu dan sosial dalam mempelajari komunikasi antar budaya. Walaupun
komunikasi pada tingkat interpersonal itu penting, kita harus ingat bahwa individu seringkali terlahir dan terjebak pada konflik baik dimulai ataupun tidak.
BAB III PROFIL CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG
CIVILIZATIONS CDCC DAN THE 2
nd
WORLD PEACE FORUM
I. Profil Centre for Dialogue and Cooperation among CivilisationsCDCC
Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations CDCC adalah sebuah organisasi masyarakat sipil internasional yang berpusat di Jakarta dan
didirikan pada tahun 2007 oleh para cendekiawan dan aktivis berbagai latar belakang yang luas. Diantaranya adalah Din Syamsuddin, Bahtiar Effendy,
Hajrianto Y. Tohari, Didik J. Rachbini, Rizal Sukma, Fahmi Darmawansyah, dan Said Umar.
A. Latar Belakang
Sebenarnya CDCC dibentuk berdasarkan pada beberapa alasan
54
. Seiring dengan meningkatnya jumlah tindakan kekerasan baik di Indonesia
maupun di berbagai belahan dunia lainnya yang disebabkan oleh faktor politik, agama, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Kemudian dengan adanya
sinyalemen bahwa penyebab utama dari berbagai tindak kekerasan itu adalah adanya benturan peradaban. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuel
Huntington. Tapi sebenarnya teori itu tidak sepenuhnya benar, karena setiap peradaban memiliki nilai universalitas sendiri yang bisa diterima oleh
peradaban lainnya. ketiga, karena alasan itulah CDCC kemudian berusaha untuk memahami berbagai perbedaan tersebut dan berusaha untuk mencari
titik temunya. Dialog dan kerja sama pun dijadikan CDCC sebagai jalan untuk mewujudkannya. Dan terakhir , berbagai dialog yang ada hanya bersifat
54
Wawancara Pribadi, Dr. Abdul Mu’ti, CDCC, 3 Agustus 2009.