Teori Edward T. Hall William Foote Whyte

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Dalam proses komunikasi antar budaya terdapat berbagai macam perbedaan tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita dan apa yang orang lain pikirkan tentang kita, perbedaan inilah yang memicu timbulnya suatu konflik. Perbedaan- perbedaan tersebut tidak lain adalah identitas yang dimiliki setiap individu, yang bisa dibentuk oleh usia, ras dan etnik, agama, kelas, bangsa, daerah, maupun individu itu sendiri. Perbedaan itu bisa juga didukung oleh adanya pandangan umum suatu kelompok terhadap kelompok lain atau lebih khususnya lagi disebut stereotip dan prasangka, yang bisa mempertajam semua perbedaan identitas yang telah ada. Proses komunikasi antar budaya pun bisa terhambat dan tidak efektif. Untuk membantu meneruskan jalannya proses komunikasi diantara kelompok-kelompok yang berbeda, maka harus dicari solusi bersama. Seringkali mediasi atau dialog dibutuhkan untuk menjembatani komunikasi antar budaya yang terhambat itu untuk menghindari konflik dan mewujudkan perdamaian.

A. KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

1. Teori-teori Komunikasi antar Budaya

a. Teori Edward T. Hall William Foote Whyte

Bila orang awam berpikir tentang budaya, biasanya ia berpikir tentang cara orang berpakaian, kepercayaan, dan kebiasaan. Tanpa menggunakan definisi yang komprehensif, kita dapat mengakui bahwa ketiga hal tersebut merupakan aspek-aspek budaya, tapi definisi tersebut belum menyeluruh, baik dilihat dari sudut teori maupun sudut praktik 9 . Pengetahuan tentang kepercayaan bisa membingungkan kita karena hubungan antara kepercayaan dan perilaku jarang bersifat nyata 10 Dalam hal kepercayaan agama, kita tahu misalnya bahwa orang-orang Islam harus melakukan shalat lima kali sehari dan karenanya pada hari kerja kita harus meluangkan waktu untuk salat. Ini tentu saja merupakan hal yang penting, tapi masalah tersebut memang begitu jelas sehingga dapat dimengerti oleh siapa pun kecuali oleh orang-orang yang berbeda budaya dan tidak mengetahuinya sama sekali. Adat istiadat memberikan lebih banyak petunjuk, asalkan kita tidak membatasi diri pada pola perilaku esoteric hanya dimengerti oleh beberapa orang tertentu yang sesuai dengan adat istiadat tertentu 11 . Dalam mengamati perilaku yang berkenaan dengan adat istiadat, para antropolog tidak hanya mengidentifikasi soal-soal individu, soal-soal tersebut mempunyai makna bila membentuk suatu pola. Budaya mempengaruhi komunikasi dalam banyak hal. Budaya lah yang menentukan waktu dan jadwal peristiwa-peristiwa antarpersonal, tempat untuk membicarakan topik-topik tertentu, jarak fisik yang memisahkan antara seorang pembicara dengan orang lainnya, nada sesuai untuk pembicaraan tertentu. Budaya, dalam hal ini, melukiskan kadar dan tipe kontak fisik yang dituntut oleh adat kebiasaan, dan intensitas emosi yang menyertainya. Budaya meliputi hubungan antara apa yang dikatakan 9 Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya, Bandung:Remaja Rosda Karya, 2006 h.36 10 Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h.36 11 Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h.37 dan apa yang dimaksudkan seperti ‘tidak’ maksudnya ‘mungkin’ dan ‘besok’ maksudnya ‘tak pernah’. Budaya ini menentukan apakah suatu hal, misalnya suatu kontrak tertentu, harus pertama-tama didiskusikan antara dua orang atau didiskusikan dalam suatu pertemuan sehari penuh yang mengikutsertakan empat atau lima orang dari setiap pihak, dan mungkin dengan bantuan seorang pelayan yang menyuguhkan kopi. Teori Edward Hall dan William Whyte tidak hanya mementingkan bahasa, namun juga dia menekankan tentang pentingnya bahasa non- verbal, lima dimensi waktu, dan penyesuaian diri dalam berjalan dua arah. Misalnya, komunikasi harus disesuaikan dengan lima konsep waktu: waktu untuk bertemu, waktu untuk berdiskusi, waktu untuk berkenalan, waktu untuk berkunjung dan jadwal waktu. Komunikasi juga dipengaruhi oleh pola komunikasi masyarakat tertentu yang merupakan bagian dari keseluruhan pola budaya dan dapat dipahami dalam konteks tersebut 12 . Perbedaan status dan kelas seseorang bisa menyebabkan orang-orang dengan status yang berbeda sulit untuk menyatakan opini secara bebas dan terus terang dalam suatu diskusi atau perdebatan. Dari dulu bahkan sampai sekarang, kita masih sering melihat orang yang statusnya lebih rendah menyatakan rasa hormat pada atasannya. Untuk bekerja sama dengan orang-orang, haruskah kita menjadi seperti mereka? Hal itu tidak diperlukan bila kita seragam sepenuhnya. Orang Indonesia, Melayu, orang Arab, orang Amerika, orang Cina akan menganggap perilaku kita membingungkan dan tidak tulus bahkan 12 Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya, Bandung:Remaja Rosda Karya, 2006 h.40 mencurigai motif kita. Kita diharapkan untuk berbeda. Namun, kita pun diharapkan untuk menghormati dan menerima orang lain apa adanya. Dan kita dapat tanpa memaksa kepribadian kita, untuk berlajar berkomunikasi dengan mereka dengan mengamati pola-pola tradisi mereka yang tidak tertulis. Kesadaran tentang adanya kekeliruan dalam hubungan lintas- budaya merupakan langkah maju pertama yang besar. Dan menerima fakta bahwa pendirian kita tak selamanya benar ketimbang pendirian orang lain merupakan suatu hal yang baik.

b. Teori Wilbur Schramm