Perspektif komunikasi antar budaya dalam Film Al-Kautsar

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh RINAL RINOZA NIM: 104051001846

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010 M/1431 H


(2)

i Abstrak

Perspektif Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al-Kautsar

Film ini berkisah tentang seorang santri Pondok Pesantren Pabelan yang bernama Saiful Bahri yang dikirim untuk mengajar ke sebuah desa. Tekadnya untuk menegakkan kebenaran agama banyak menghadapi rintangan terutama dari Tuan Harun yang memfitnahnya dan sikap Haji Musa selaku tokoh agama yang disegani di kampung tersebut yang kurang bersimpati kepada Saiful karena perbedaan pandangan keagamaan. Dalam setiap dialog yang terjadi antara Haji Musa dan Saiful acapkali diwarnai perbedaan, Haji Musa disatu sisi konservatif dan Saiful Bahri disisi lain reformis yang membawa gagasan pembaruan di desa tersebut.

Dalam film ini bagaimana usaha Saiful Bahri untuk menegakkan kebenaran dengan meretas jalan dakwah melalui nilai-nilai pembaruan yang ia bawa dari Pesantrennya untuk diimplementasikan di desa sekarlangit. Bagaimana pula usaha Saiful untuk meyakinkan Haji Musa dan penduduk desa terhadap gagasan pembaruannya dan membuktikan dirinya bersih dari segala tuduhan fitnah yang ditimpakan kepadanya.

Secara teoritis, saya mendasarkan pada teori komunikasi antar budaya. Dalam pada itu, komunikasi antar budaya terjadi dalam ragam situasi yang berkisar dari interaksi-interaksi antara orang-orang yang mempunyai budaya dominan yang sama tetapi mempunyai subkultur yang berbeda.

Secara metodologis, skripsi ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis. Metodologi ini digunakan karena sesuai dengan konteks film Al-Kautsar yang mengisahkan perbedaan antara kedua pemahaman dalam menginterpretasikan ajaran Islam dan keteguhan tokoh protagonis dalam menegakkan kebenaran menuju perubahan di penduduk desa sekarlangit.

Kedatangan Saiful Bahri tokoh protagonis dalam film ini menimbulkan konflik karena ketidaksenangan tokoh antagonis yang diwakili Tuan Harun dengan berbagai cara ia tempuh untuk melenyapkan Saiful mulai dari percobaan pembunuhan, memfitnah Saiful melakukan hubungan serong dengan seorang janda yang bernama Halimah hingga pengrusakan Madrasah yang ia kelola. Selain itu, mula-mula kehadiran Saiful menimbulkan pertentangan dengan Haji Musa tokoh ulama setempat yang sangat dihormati karena Saiful membawa gagasan-gagasan pembaruan dalam Islam dan setiap dialog yang terjadi dengan sangat jelas memperlihatkan perbedaan pandangan tersebut.

Film Al-Kautsar merupakan pandangan pembuatnya yakni Chaerul Umam dan Asrul Sani untuk mengedepankan gagasan Islam yang modernis. Film ini berangkat dari struktur kehidupan sosial dan beragama umat Islam dan pembuatnya mencoba merepresentasikan Islam yang modernis dan membawa gagasan pembaruan untuk responsif terhadap perubahan.


(3)

ii Bismilahirahmanirahim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia dan nikmat-Nya dan tak lupa penulis sampaikan salawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan inspirasi bagi para mujaddid-mujaddid untuk melakukan pencerahan kepada umat Islam.

Penulis merasa bersyukur atas selesainya skripsi ini dengan perjuangan yang panjang selama 1,5 tahun waktu pengerjaan yang sempat tertunda karena berbagai hal dan penulis merasa bahagia dengan selesainya skripsi ini. Selama waktu pengerjaan yang begitu panjang banyak sekali pengalaman dan wawasan baru yang penulis dapat untuk memperkaya isi skripsi ini dan adapun berbagai kekurangan dalam pengerjaan skripsi ini menurut hemat penulis adalah bagian dari sebuah proses untuk ‘menjadi’. Proses inilah yang mengantarkan penulis sampai dapat menyelesaikan skripsi ini berkat bantuan, perhatian, dukungan dan motivasi dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini izinkan penulis untuk menyampaikan penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. 2. Bapak Drs. Jumroni, M.Si selaku Ketua Jurusan dan Ibu Umi Musyarofah, MA selaku

Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang senantiasa membantu penulis dalam berbagai hal termasuk memberi kemudahan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. Murodi, MA selaku Pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahannya kepada penulis.


(4)

iii

Gun Gun Heryanto, M. Si, Dra. Armawati Arbi, M.Si, Dr. Umaimah Wahid, M.Si dan Drs. Syifak Masyuhudi, M.Si yang telah memberikan insight kepada penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak H. Chaerul Umam selaku sutradara film Al-Kautsar yang penulis teliti di skripsi ini, terima kasih atas waktu dan pemikirannya dalam pengerjaan skripsi ini. 6. Kedua orang tuaku tercinta, Ismet Tanjung dan Maharni yang telah memberikan kasih

sayang dan doanya yang tak pernah putus yang luar biasa kepada penulis, karenanyalah aku bisa kuliah. Dan kedua adikku Andio dan Vina yang selalu mengingatkanku untuk segera selesaikan kuliah.

7. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Perpustakaan FFTV IKJ “Terima kasih Mas Ridwan copy-an filmnya”, Perpustakacopy-an Sinematek ”Terima kasih materi naskah skenario film Al-Kautsarnya”, dan Perpustakaan Unika Atmajaya.

8. Mas Ekky Imanjaya yang telah bersedia membantu dengan berkorespondensi via email dengan memberikan buah pemikirannya mengenai film-film Islam sebagai referensi yang berharga bagi penulis, juga kepada mas Eric Sasono, bang Hafiz yang telah membuka cakrawala berpikir penulis tentang konteks kritik film serta Veronica Kusuma yang baik hati sumbang pemikiran dan buku-buku yang dipinjamkan dan yang diberikan kepada penulis.

9. Sahabat-sahabatku yang dipertemukan di kelas KPI C 2004: Ray Sangga Kusuma, Hayustiro, Murniati, Iskandar, Etty Maryati, Agustin Intan serta Edwin Saleh, Lutfi Anwar, dan teman-teman KPI C 2004 yang lain. Kenangan bersama kalian adalah kekayaan hati buat aku.


(5)

iv

Spirit perjuangan dan persyarikatan yang mempertemukan hati kita. Dan juga Muhammad Hajid, penulis banyak belajar memahami sebuah kerendahhatian dan keramahan. Tak ketinggalan Viki Fahmi dan Hilmi Arif yang begitu pengertian dan memaklumkan tingkah laku penulis.

11. Zakka Abdul Malik dan Irfanul Hakim yang ikut membantu penulis dalam pengerjaan skripsi ini, thanks foto & tape recordernya!

12. Sahabat-sahabat yang selalu baik padaku: Kesy Wulansari, Intan Leliana, Farah Nurul Hikam, Arry Susanty, Sa’ada Pueri Natasari, Ana Sabhana, Dhini Utami dan Rina Amalia Budiati yang di Tasikmalaya terima kasih curahan perhatiannya kepada penulis. Kalian semua perempuan yang istimewa buat aku!

13. Keluarga keduaku di Ciputat kawan di Komunitas Djuanda. Dan juga kawan-kawan LS-ADI: Saiful Munir, Rezza,, Ki Bagus Hadikusuma. Rasanya aku jadi muda terus bersama kalian!

Penulis mohon maaf tidak dapat menyebut satu persatu, tapi dukungan orang-orang yang telah membantu baik langsung dan tak langsung penulis sangat hargai dan berterima kasih banyak. Akhirul kalam, penulis haturkan rasa syukur atas selesainya skripsi ini dan semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Ciputat, 12 Agustus 2010


(6)

iii

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI ...iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 11

D. Metodologi Penelitian ... 12

E. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Komunikasi Antar Budaya... 16

1.Teori Komunikasi Antar Budaya... 16

2. Proses Komunikas Antar Budaya... 20

B. Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya... 21

1. Sistem Keyakinan, Nilai dan Sikap... 23

1.1. Sistem Keyakinan... 23

1.2. Sistem Nilai... 25

1.3. Sistem Sikap... 26

2. Pandangan Dunia ... 27

3. Organisasi Sosial ... 28

C. Teori Film ... 26

D. Struktur Film ... 31

BAB III FILM AL-KAUTSAR DAN DERIVASI GAGASANNYA A. Gambaran Umum Film Al-Kautsar dan Konteks Historisnya ... 41

B. Relevansi Film Al-Kautsar dengan Gagasan Pembaruan... 54

C. Representasi Islam dalam Sinema: Studi Atas Film Al-Kautsar .. 57

1. Catatan Awal bagi Representasi Islam dalam Sinema Indonesia... 57

2. Representasi dan Film Profetik... 68

3. Film Al-Kautsar sebagai Representasi Islam yang Transformatif ... 69

D. Sekilas Profil Pembuat Film Al-Kautsar... 71

1. Asrul Sani ... 71

2. Chaerul Umam... 73


(7)

iv

(Tinjauan Konsepsi Amar Ma’ruf Nahi Mungkar)... 76

B. Tinjauan Teoritis Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al-Kautsar... 81

C. Tinjauan Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya ... 87

1. Unsur Sistem Keyakinan, Nilai dan Sikap ... 93

2. Unsur Pandangan Dunia ... 102

3. Unsur Organisasi Sosial ... 105

BAB V Penutup A. Kesimpulan ... 115

B. Saran-saran... 117

DAFTAR PUSTAKA...118


(8)

1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Film Al-Kautsar dibuat ditengah kondisi perfilman Indonesia yang bertemakan Islam masih sedikit. Sejarah film Indonesia mencatat produksi film-film bertemakan Islam masih dalam kategori minus. Film-film-film Indonesia masih di dominasi oleh film-film yang bertemakan cinta, remaja, komedi, dan horor.1

Ini dapat dilihat dari jumlah produksi film Indonesia yang masih didominasi oleh genre tersebut. Perilaku dan pola seperti itu bukanlah tanpa sebab, karena pada dasarnya ini merupakan sebuah tradisi yang diwariskan secara terus menerus oleh para pembuat film, baik produser, sutradara, dan

1

Data mengenai tema-tema tersebut dapat dilihat selengkapnya di bukuKatalog Film Indonesia 1926-2005, karangan JB Kristanto yang diterbitkan secara bersama oleh Penerbit Nalar, FFTV-IKJ dan Sinematek Indonesia dan juga ulasan JB. Kristanto dalam resensinya yang dimuat di JB. Kristanto, Nonton Film Nonton Indonesia. (Jakarta: Penerbit KOMPAS, 2004). Hal 58. Dalam resensinya JB. Kristanto menuliskan film Al-Kautsar merupakan sebuah film bernafaskan Islam, sebuah film yang boleh dikatakan amat langka, dan bagi produsernya sebuah langkah baru yang cukup berani karena tindakannya ini boleh dibilang agak melawan arus produksi film yang dibanjiri dengan jenis film banyolan, cinta remaja, dan sebagainya. Disamping itu menurutnya, film ini sempat menyuguhkan suatu suasana masyarakat yang selama ini tak terjamah dalam film-film kita, yaitu kehidupan desa yang bernafaskan Islam, yang merupakan bagian penting kehidupan kita.

Tema-tema tersebut dikategorikan sebagai Dosa Asal (terminologi Dosa Asal penulis pungut dari esai Wicaksono Adi, Dosa Asal Film Indonesia—esai tersebut menurut hemat penulis belum sepenuhnya membedah secara anatomis dan genealogis yang dimaksud dosa asal film Indonesia), film Indonesia di mana pada masa penjajahan kolonial Belanda, film-film di tanah air ditujukan sebagai komoditas barang dagangan yang berorientasi pada akumulasi modal dan ketika itu belum ada kesadaran untuk menjadikan film sebagai ekspresi kebudayaan dan medium perjuangan. Kesadaran mulai tampak tatkala di masa pendudukan Jepang, film dapat dijadikan medium propaganda dan disitulah beberapa seniman mulai menyadari film sebagai alat perjuangan. Usmar Ismail dalam artikelnya, “ Sari Soal dalam Film-film Indonesia”, yang dimuat Star News, Th. III, No.5, 25 September 1954,yang kembali dimuat di

Usmar Ismail Mengupas Film,(Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983) Hal. 55-56, mengatakan dengan jelas bahwa hawa baru yang sebenarnya, baik mengenai isi maupun mengenai proses pembuatan film, datang pada waktu pendudukan Jepang. Meskipun Pemerintah Jepang tidak membawa kemari ahli-ahlinya yang kelas satu, efek dari turut campur tangannya ialah terciptanya pengertian tentang fungsi film yang kemudian akan ternyata berguna sekali bagi usaha-usaha membangunkan film nasional di masa kemerdekaan. Barulah pada masa Jepang orang sadari akan fungsi film sebagai alat komunikasi sosial. Satu hal lagi yang patut dicatat ialah lebih terjaganya bahasa, hingga dalam hal ini tampak bahwa film mulai tumbuh dan mendekatkan diri kepada kesadaran perasaan kebangsaan.


(9)

distributor film termasuk pihak bioskop. Peta sosiologis penonton film Indonesia pada sebelum kemerdekaan ialah mereka yang bertaraf pendidikan rendah dan biasanya berprofesi sebagai kuliatau orang-orang kelas bawah. Oleh karena itu, mayoritas penonton film Indonesia diperkirakan adalah orang-orang kelas bawah, maka film-film Indonesia yang dibuat oleh produser-produser ini pun adalah film-film bermutu rendah. Yang penting disini bukan lagi kualitas, tapi kuantitas. Pembicaraan selalu berkisar di sekitar jumlah judul pertahun yang bisa dihasilkan tanpa pernah bersibuk dengan mutu di balik judul-judul tersebut.2 Karena film dianggap semata-mata barang dagangan, maka yang menentukan dalam proses produksi adalah si pemilik modal. Sutradara—yang sebagai pencipta mestinya harus menentukan—di sini harus tunduk saja pada perintah yang punya uang. 3

Misbach Yusa Biran dalam bukunya, Sejarah Film 1900-1950;Bikin Film di Jawa menyebutkan bahwa pada akhir 1930-an, dunia film sepenuhnya dikuasai oleh anak wayang, bahkan sampai akhir 1950-an pemain yang berasal dari kalangan bawah yang kebanyakan tidak bisa baca tulis. Mereka mempunyai alasan untuk memasuki profesi ini, seperti ada yang terpikat karena nonton, terpikat oleh Anak Wayang, diajak teman, dibawa keluarga dan sebagainya. Generasi berikut banyak yang merupakan keluarga dari Anak Wayang sendiri karena dari kecil sudah ikut keliling dengan orangtuanya. Mereka ikut tampil sesudah dewasa. Contohnya adalah Roekiah, pemain film paling populer tahun 1938-1942 dan Kasma Booty, bintang film Malaya paling

2

Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia,(Jakarta: Penerbit Grafiti Press. 1982). Hal 10-11.

3

Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia,(Jakarta: Penerbit Grafiti Press. 1982). Hal 12


(10)

populer di Malaya dan Indonesia awal tahun 1950-an. 4 Mereka hidup tertutup disana. Mereka tidak boleh bergaul dengan orang luar. Hal ini dilakukan agar jangan menghilangkan kharisma mereka, bahkan kalau sang sri panggung/primadona pindah dari kendaraan masuk ke wilayah panggung, kepalanya ditutup kain agar tidak dilihat masyarakat. Mereka tidak bersentuhan dengan apa yang terjadi di luar dan tidak baca Koran karena tidak bisa baca. 5

Watak inilah yang sangat mempengaruhi film Indonesia saat itu, dengan tingkat literasi yang rendah baik oleh para pemainnya maupun penontonnya yang umumnya kalangan pribumi yang sebagian besar tidak terdidik. Kalangan penonton pribumi kala itu dikenal dengan sebutan slam. Yang dimaksud dengan kata “slam” di atas adalah Pribumi, yang umumnya beragama Islam. Untuk penonton pribumi, sejak 1903 diberikan keringanan agar bisa ikut penonton. Maklum tingkat ekonomi Pribumi umumnya amat rendah.6 Oleh karena itu, menurut Adi Wicaksono film seolah berada di luar hiruk pikuk pemikiran politik kebudayaan pada masanya dan dibuat semata-mata sebagai hiburan, kelangenan, pelipur lara.7 Maka, film sebagai seni bazaar, yang dimunculkan dalam konteks masyarakat kolonial yang majemuk, tidak dapat berperan sebagai alat integratif budaya. Dalam masyarakat bazaar orang membeli hiburan yang sesuai dengan kemampuan ekonomi dan status sosialnya. 8

Kini, film Indonesia pun masih mewariskan kultur dan watak dari periode awal perfilman nasional. Faktor genealogis inilah yang masih

4

Misbcah Yusa Biran Sejarah Film 1900-1950;Bikin Film di Jawa,(Jakarta: Penerbit Komunitas Bambu, 2009). Hal 9

5

Misbcah Yusa Biran Sejarah Film … Hal 10 6

Misbcah Yusa Biran Sejarah Film … Hal 30 7

Adi Wicaksono , Dosa Asal Film Indonesia

http://www.kompas.com/kompascetak/0703/02/Bentara/3344569.htm 8

Taufik Abdullah, dkk. Film Indonesia Bagian I; 1900-1950. (Jakarta: Dewan Film Nasional, 1993). Hal 13


(11)

mempengaruhi perfilman nasional saat ini walaupun secara tidak langsung generasi pembuat film dewasa ini tidak mempunyai hubungan langsung dengan generasi awal namun dilihat dari sifatnya tak dapat dielakkan lagi. Menurut Adi Wicaksono dalam esainya Dosa Asal Film Indonesia,ia menyatakan bahwa apa yang menjadi momok bagi perfilman nasional ialah film Indonesia tumbuh sebagai barang dagangan, film Indonesia hingga kini belum berhasil membangun arah dan fondasi industri yang stabil. Fakta bahwa film adalah benda hiburan oleh sebagian orang disebut sebagai dosa asal film Indonesia. Barangkali istilah watak sejarah lebih tepat ketimbang dosa asal yang mengacu pada cacat bawaan yang tak dapat diubah. Yang jelas, film adalah produk budaya sekaligus produk industri. 9

Menurut Usmar Ismail (1983), film sebagai alat komunikasi masa dewasa ini telah dipakai untuk berbagai tujuan. Bagi mereka yang melihat film itu sebagai media seni an-sich, sebagai media seni tok dan menterapkan “seni untuk seni”, film hanyalah suatu media untuk menyatakan pikiran, perasaan, isi hati, kadang-kadang nafsu mereka pribadi dengan tidak memperdulikan norma, nila-nilai selain daripada ukuran-ukuran mereka sendiri sebagai seniman. 10

Usmar Ismail juga mengkritik pemahaman film-film yang dibuat berdasarkan segi komersil belaka, menurutnya film sifatnya tidak lagi memberikan sekedar hiburan saja, tetapi dengan sengaja merangsang dan menghidupkan gairah nafsu yang rendah, dan membangkitkan histeri manusia. Di bidang sinematografi, ekses-ekses komersialisme ini menampakkan diri dalam film-film sensasional, film-film seks, kejahatan, kekerasan dan

9

Adi Wicaksono, Dosa Asal Film Indonesia,

http://www2.kompas.com/kompascetak/0703/02/Bentara/3344569.htm 10

Usmar Ismail, Usmar Ismail Mengupas Film.(Cet. I. Bandung: Penerbit Sinar Harapan. 1983). Hal 98


(12)

kekejaman, pendeknya yang dapat membangkitkan bulu tengkuk. Adapun mengenai persoalan ini perlu diadakan penelitian secara saksama, karena pada umumnya film-film yang dibikin, dimana pun di dunia dewasa ini tidak bisa dilepaskan sama sekali dari perhitungan untung rugi. Baik di Negara-negara sosialis di mana Negara yang menjadi produsernya ataupun Negara-negara kapitalis di mana swasta yang menjadi pengusahanya, maupun di negara-negara Pancasila seperti Indonesia, umumnya film-film dibuat dengan pengharapan untuk pasaran yang seluas-luasnya. Hanyalah dalam pertimbangan masing-masing produser itu ada perbedaan yang bertingkat-tingkat.11

Usmar Ismail dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa bagi sineas-sineas Muslim Indonesia, yang harus diutamakan adalah juga patriot bangsa, adalah menjadi kewajiban untuk menjadikan film media perjuangan dan media dakwah Islamiyah. Ditilik dari sudut ideologi, pekerjaan itu bukanlah merupakan suatu problem yang sukar, justru karena filsafat negara dan bangsa Indonesia sudah dicakup oleh ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian tiap pengungkapan ayat Allah serta kata perbuatan Rasulullah Saw, secara sinematografis dengan sendirinya juga akan turut membina jiwa Pancasila yang berpucukkan takwa kepada Allah SWT. Dan selanjutnya pengungkapan-pengungkapan ajaran Bung Karno, yang sudah disimpulkan beliau dalam ajimat revolusi yang semuanya adalah juga diajarkan Islam, bagi para seniman Muslimin dalam pemikiran-pemikiran menghadapi kewajiban di atas dunia yang fana ini, untuk mendapatkan kerelaan Allah SWT kelak di alam baka. Karena memang Allah menciptakan dunia untuk manusia dan manusia untuk akhirat.12

11

Usmar Ismail,Usmar Ismail Mengupas Film.(Cet. I Bandung: Penerbit Sinar Harapan. 1983). Hal 98-9

12


(13)

Usmar Ismail dalam tulisannya mengatakan bahwa jika penulis-penulis Muslimin sudah sadar dan menghayati sumber-sumber ilham yang terdapat dalam ayat-ayat Allah serta hadis-hadis sahih Nabi Besar Muhammad SAW dan mereka telah menguasai pula teknik penulisan skenario, maka insya Allah pada suatu ketika kita pun akan dapat membanggakan film-film yang benar-benar diabdikan di atas jalan Allah. Ini berarti bahwa kita tidak boleh membuat film-film, apalagi yang komersial tujuannya seperti film-film keagamaan: “The Ten Commandements” atau “King of Kings”. Tetapi jika seniman Muslimin di dalam karya-karyanya berdasarkan atas ajaran-ajaran agamanya membela kepentingan-kepentingan kaum kecil, kaum yang tertindas, kaum Marhaen dan segala sesuatu yang dilakukannya “karena Allah semata-mata”, maka itu adalah fardhu kifayah baginya. Artinya, itu adalah suruhan Allah yang mesti dikerjakannya, “mendorong kepada kebajikan dan mencegah kejahatan”. 13

Dalam pada itu, Usmar Ismail menambahkan bahwa membuat film untuk maksud komersial semata-mata, seperti yang telah dikemukan di atas dengan panjang lebar, teranglah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Maka hanyalah tinggal lagi satu jalan bagi para sineas Muslimin, yaitu mengabdikan karya-karya mereka di atas jalan yang telah diredlai Allah yang pada hakikatnya jalan ini cukup lebar, luas dan lapang untuk bergerak. Justru karena sumber-sumber ilham adalah langsung dari wahyu Ilahi seperti yang telah dimaktubkan di dalam kitab suci Alquran dan seperti yang telah diteladankan oleh Nabi Besar Muhammad SAW. 14

13

Usmar Ismail, Usmar Ismail… Hal 100 14


(14)

Adalah film besutan Asrul Sani yang berjudul Titian Serabut Di Belah Tujuh 15 yang di produksi pada tahun 1959 disebut-sebut sebagai tonggak kelahiran film bergenrekan agama, film ini mengisahkan seorang guru agama yang bernama Efendi yang diutus ke sebuah desa yang penduduknya sudah kehilangan panutan dan film ini memperlihatkan kondisi sosial keagamaan di Tanah Air. Apabila kita pehatikan dengan seksama poduksi film Indonesia setelah pasca kemerdekaan memiliki karakteristik yang sangat jauh berbeda di bandingkan sebelum kemerdekaan. Pembuatan film Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1926, semasa Indonesia masih dijajah Belanda. Tujuan pembuatan film di masa itu jauh lebih sederhana, yaitu untuk kepentingan dagang. Para pembuat film di masa itu bukanlah orang-orang yang memiliki latar belakang budaya dan politik yang ingin menjadikan film sebagai salah satu bentuk budaya bangsa. Seorang pakar teori film, Sigfried Kracauer, menyatakan, bahwa “umumnya dapat dilihat bahwa teknik, isi cerita dan perkembangan film suatu bangsa hanya dapat dipahami secara utuh dalam hubungannya dengan pola psikologis aktual bangsa itu”. Dengan kata lain, perkembangan film Indonesia hanya dapat dipahami dengan baik jika perkembangan itu dilihat dalam hubungannya dengan latar belakang perkembangan sosial budaya bangsa itu.16

Berdasarkan asumsi tersebut, kita dapat melihat perbedaannya cukup tajam antara film yang di produksi sebelum kemerdekaan dengan film yang di produksi sesudah kemerdekaan. Pada masa pasca kemerdekaan filmdibuat

15

Film Titian Serabut Di Belah Tujuh di produksi lagi pada tahun 1982 dengan disutradarai oleh Chaerul Umam dan penulis skenarionya tetap pada Asrul Sani. Secara substansial film yang diproduksi kembali ini tidak ada perubahan yang signifikan pada ceritanya.

16

Asrul Sani, Sekedar Catatan Buku Film Indonesia Bagian I (1900-1950). (Jakarta: Penerbit Dewan Film Nasional & Perum Percetakan RI. 1993). Hal. v- vi.


(15)

membantu “revolusi Indonesia” dengan film dan dengan demikian impian mereka memiliki relevansi sosial budaya. Mereka tidak ingin film Indonesia jadi alat untuk melarikan diri dari kenyataan, tapi untuk mendorong dialog dalam diri setiap penonton hingga ia dapat memperoleh gambaran yang lebih jernih tentang kenyataan yang ada di sekitarnya. 17 Begitupun Film-film yang bertemakan agama dalam hal ini film-film Islam. Sudut pandang yang disuguhkan dalam film Islam adalah mencoba merepresentasikan dan mengartikulasikan pengejahwantahan nilai-nilai ajaran Islam yang mendasarkan pada kondisi sosio-historis masyarakat atau umat untuk mencapai sebuah dialog antara yang di tonton dengan yang menonton.

Kehadiran film-film yang bertemakan Islam penting artinya sebagai media untuk mengartikulasikan dan merepresentasikan Islam kepada masyarakat yang notabene mayoritas beragama Islam. Berbicara film Islam tak terlepas dari konteks yang melingkupinya, kehadirannya tidak hanya menyuguhkan keberagamaan yang simbolik namun substansi keberislaman yang ditampilkan sebagai bagian dari misi profetik dalam menyiarkan Islam. Namun sebelum itu, saya akan menguraikan sedikit ekspresi kebudayaan Islam di mana film juga memainkan peranan yang signifikan bagi kebudayaan Islam. Pada dasarnya, ekspresi kebudayaan Islam tak terlepas dari sistem nilai dalam ajaran Islam sebagai bentuk menifestasi dalam mengaktualisasikan ajaran Islam yang bersumbu pada doktrin tauhid. Di bawah ini saya akan menguraikan secara singkat konsepsi ajaran Islam yang memiliki implikasi pada karya seni dan kebudayaan Islam.

17

Asrul Sani, Sekedar Catatan Buku Film Indonesia Bagian I (1900-1950). (Jakarta: Penerbit Dewan Film Nasional & Perum Percetakan RI). 1993. Hal v


(16)

Di dalam Islam kita mengenal adanya konsep tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep tauhid ini mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya. Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang merupakan kunci dari seluruh ajaran Islam.

Tapi kemudian ternyata bahwa sistem tauhid ini mempunyai arus balik kepada manusia. Dalam banyak sekali ayat kita melihat bahwa iman, yaitu keyakinan religius yang berakar pada pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan manusia; keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ini berarti bahwa iman harus selalu diaktualisasikan menjadi amal, bahwa konsep tentang iman, tentang tauhid, harus diaktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan. Pusat dari perintah zakat-misalnya-adalah iman, adalah keyakinan kepada Tuhan; tapi ujungnya adalah terwujudnya kesejahteraan sosial. Dengan demikian, di dalam Islam, konsep teosentrisme ternyata bersifat humanistik. Artinya, menurut Islam, manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya adalah untuk kepantingan manusia sendiri. Humanisme-teosentris inilah yang merupakan nilai-inti (core-value)dari seluruh ajaran Islam.18

18

Humanisme –teosentris menjadi tema sentral peradaban Islam. Arti tema sentral inilah muncul sistem simbol. Sistem yang terbentuk karena proses dialektik antara nilai dan kebudayaan. Misalnya dalam Al-Quran, kita mengenal adanya rumusan amr ma’ruf nahiy mungkar, yaitu perintah untuk menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran. dari rumusan itu kita melihat adanya dua proses yang sekaligus berlawanan tapi sekaligus merupakan satu kesatuan: emansipasi dan pembebasan. Dalam konteks ini seluruh sistem simbol yang muncul dari rumusan amr ma’ruf nahiy mungkar ditujukan untuk serangkaian gerakan pembebasan dan emansipasi. Nahiy mungkar, atau mencegah kemungkaran, berarti membebaskan manusia dari semua bentuk kegelapan (zhulumat)alam pelbagai manisfestasinya. Dalam bahasa ilmu sosial, ini juga berarti pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan. Sementara itu, amr ma’ruf yang merupakan langkah berangkai dari gerakan nahiy


(17)

Dalam konteks ini, apa yang terkandung pada cerita film Al-Kautsar, film yang telah memenangi penghargaan pada Festival Film Asia XVIII di Bangkok untuk kategori Tata Suara terbaik 19 adalah melakukan dakwah Islamiyah dengan menegakkan amr ma’ruf nahiy mungkar di desa sekarlangit yang dilakukan oleh tokoh protagonis Saiful Bahri dalam mengaktualisasikan ajaran Islam yang sesuai dengan konteks emansipasi dan pembebasan. Usaha Saiful Bahri dalam melangsungkan dakwahnya terbukti telah memberikan perubahan yang signifikan bagi desa sekarlangit dengan menggagas dan mengimplentasikan Islam yang berpihak pada transformasi sosial. Memang pada awal mulanya usaha untuk merintis gagasan Islam yang transformatif banyak mendapatkan tentangan terutama dari Haji Musa tokoh ulama setempat yang sangat disegani, ditambah ulah seorang tengkulak yang bernama Tuan Harun dengan berbagai cara ia tempuh untuk menghentikan usaha Saiful Bahri dalam menegakkan amr ma’ruf nahiy mungkar di desa sekarlangit. Maka, penulis dengan ini mengangkatnya ke dalam bentuk skripsi dan penulis memberi judul: “Perspektif Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al-Kautsar”

A. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk mempermudah penulisan dalam skripsi ini, maka perlu bagi penulis untuk membatasi ruang lingkup dari permasalahan yang akan dibahas pada kajian ini. Penulis hanya membatasi pada isi film Al-Kautsar, dalam hal penulis mengupas jalan cerita film Al-Kautsar dan relevansinya dengan gagasan

mungkar, diarahkan untuk mengemansipasikan manusia kepada nur, kepada cahaya petunjuk ilahi, untuk mencapai keadaan fitrah. Fitrah adalah keadaan di mana manusia mendapatkan posisinya sebagai makhluk yang mulia. Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi.Cet. VIII. (Bandung: Penerbit Mizan. 1998). Hal 228-229

19

JB. Kristanto,Katalog Film Indonesia; 1926- 2005. (Jakarta: Penerbit Nalar-FFTV IKJ, 2005). Hal 145


(18)

pembaruan Islam—penulis melakukan analisis tinjauan dari konteks konsepsi amar ma’ruf nahi mungkar dan analisis tinjauan perspektif komunikasi antarbudaya yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini. Berdasarkan pembatasan di atas, maka rumusan yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penjabaran kontekstualisasi gagasan pembaruan Islam dalam film Al-Kautsar?

2. Bagaimana penjabaran analisis tinjauan teoritis komunikasi antarbudaya dalam film Al-Kautsar?

3. Bagaimana unsur-unsur komunikasi antarbudaya dibentuk, dikemas, dan ditetapkan dalam film Al-Kautsar?

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan mengacu kepada permasalahan sebagaimana penulis rumuskan di atas, maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, di antaranya:

1. Untuk dapat mengetahui hubungan film Al-Kautsar dengan konteks gagasan pembaruan Islam—dalam hal ini tinjauan konsepsi amar ma’ruf nahi mungkar. 2. Untuk dapat mengetahui tinjauan teoritis Komunikasi Antar Budaya dalam film

Al-Kautsar.

3. Untuk dapat mengetahui unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang terkandung dalam film Al-Kautsar.

Sedangkan manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dengan jelas hubungan film Al-Kautsar dengan gagasan pembaruan Islam terutama konsepsi mengenai amar ma’ruf nahi mungkar

2. Mengetahui dengan jelas analisis tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam film Al-Kautsar.


(19)

3. Mengetahui dengan jelas unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang terkandung dalam film Al-Kautsar

4. Menjelaskan dan mengetahui secara umum unsur-unsur budaya yang menentukan dalam proses Komunikasi Antar Budaya dalam film Al-Kautsar. 5. Memberikan informasi tentang unsur-unsur budaya yang secara langsung

pengaruhnya terhadap makna dan persepsi dalam konteks Komunikasi Antar Budaya.

6. Menjadi sumbangan sederhana bagi wacana keilmuan tentang representasi Islam dalam film dan diskursus yang berjalin kelindan antara gagasan pembaruan dan konservatisme.

C. Metodologi Penelitian

Dilihat dari segi tujuannya penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Sedangkan dilihat dari segi jenis data, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan, yakni dengan cara mencatat dan mendokumentasikan informasi dari bahan-bahan tertulis, yaitu dengan mengumpulkan data-data dari naskah skenario film Al-Kautsar dan materi film Al-Kautsar dalam format DVD sebagai landasan analisis dan pendapat-pendapat para ahli dari berbagai literatur yang ada seperti buku-buku, jurnal, makalah, tulisan-tulisan lain termasuk di internet yang ada relevansinya dengan penelitian ini.

Di samping itu diterapkan juga teknik wawancara. Observasi dan wawancara dilakukan untuk memperkuat data-data primer yang bersumber dari naskah film al-Kautsar dan materi filmnya. Peneliti sendiri merupakan alat pengumpul data yang utama. Teknik wawancara diterapkan dengan cara


(20)

mewawancarai yang berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan pokok bahasan yang akan dibahas. Wawancara dilakukan dengan pihak-pihak terkait.

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara induktif, yaitu penulis berangkat dari fakta-fakta dan ketentuan-ketentuan yang bersifat khusus, kemudian membuat spesialisasi analisis sehingga dapat ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Pendekatan induktif jelas pada beberapa jenis analisis data dalam penelitian kualitatif sebagai yang digambarkan oleh beberapa penulis penelitian kualitatif. Pendekatan induktif dimaksudkan untuk membantu pemahaman tentang pemaknaan dalam data yang rumit melalui pengembangan tema-tema yang diikhtisarkan dari data kasar. Pendekatan ini jelas dalam analisis data kualitatif. Ada yang menjelaskan secara gamblang sebagai induktif dan lainnya menggunakan pendekatan tanpa memberikan nama secara eksplisit.20

Dalam penelitian ini, saya berangkat dari pendekatan analisis data kualitatif, di mana data-data yang penulis peroleh berasal dari sumber-sumber yang terdapat dari film Al-Kautsar dan kemudian di sintesiskan dengan data yang bersumber pada konteks film Al-Kautsar. Jadi, data yang ada sesuai dengan konteks film yang penulis teliti, artinya memiliki relevansinya dengan objek penelitian penulis. Adapun Teknik dan sistematika Penulisan skripsi berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi ,Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

E. Sistematika Penulisan

20

Prof. Dr. lexy J. Moleng, MA dalam Metoe Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosakarya. 2006. Hal 297-298


(21)

Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari beberapa sub bab. Secara sistematis bab-bab tersebut adalah sebagai berikut:

Bab Idiawali dengan pendahuluan yang menjadi alasan diangkatnya penelitian ini. Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II menjelaskan tinjauan teoritis komunikasi antarbudaya. Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya. Selain itu, pada bab ini juga dijelaskan tinjauan teoritis tentang teori film, yang meliputi: pengertian film, elemen-elemen dalam film, struktur film.

Bab III menguraikan gambaran umum tentang film Al-Kautsar. Pada bab ini menjelaskan tentang cerita yang dibangun dalam film Al-Kautsar, relevansi film ini dengan konteks gagasan pembaruan Islam, representasi Islam dalam sinema, dan profil pembuat film Al-Kautsar dalam hal ini sutradara Chaerul Umam dan Asrul Sani yang melatari pembuatan film ini dan platform apa yang mereka anut sehingga film ini dibuat.

Bab IV merupakan inti persolan yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu berupaya menerangkan analisis cerita yang dibangun dalam film Al-Kautsar dan korelasinya dengan konteks perdebatan gagasan pembaruan Islam dan keteguhan tokoh protagonis dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Pada bab ini dijelaskan secara mendalam tinjauan teoritis komunikasi antar budaya dan unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya dengan disertai tabel yang mendukungnya.


(22)

Bab V merupakan akhir atau penutup dari penulisan skripsi ini, berisi kesimpulan dan saran-saran. Pada bagian penutup ini merupakan jawaban terhadap beberapa pertanyaan yang termuat dalam rumusan masalah.

Lampiran-lampiran. Berisikan naskah wawancara, dokumentasi tentang film Al-Kautsar, footage-footage gambar dalam film Al-Kautsar, foto-foto pembuat film Al-Kautsar, dll.


(23)

16 TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Komunikasi Antar Budaya 1. Teori Komunikasi Antar Budaya

Menurut Alo Liliweri yang dikutip dari Lustig dan Koester dalam jurnal Intercultural Communication Competence, komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang- karena memiliki derajat kepentingan tertentu-memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan. Dalam bukunya, Alo Liliweri menambahkan satu pendapat lagi mengenai teori komunikasi antarbudaya dari Guo-Ming Chen dan William J. Starosta yang mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. 1

Pengertian-pengertian komunikasi antarbudaya tersebut membenarkan sebuah hipotesis proses komunikasi antarbudaya, bahwa semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Jadi harus ada jaminan terhadap akurasi interpretasi pesan-pesan verbal dan non-verbal. Hal ini disebabkan karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam peramalan, derajat

1

Alo Liliweri, Dasar-dasar komunikasi antarbudaya,(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 8


(24)

ambiguitas, kebingungan, suasana misterius yang tak tampak dijelaskan, tidak bermanfaat, bahkan tampak tidak bersahabat. Dengan demikian manakala suatu masyarakat berada pada kondisi kebudayaan yang beragam maka komunikasi antarpribadi dapat menyentuh nuansa-nuansa komunikasi antarbudaya. Disini, kebudayaan yang menjadi latar belakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. 2

Asumsi sebuah teori komunikasi antarbudaya merupakan seperangkat pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan yang valid tempat di mana teori-teori komunikasi antarbudaya itu dapat di terapkan. Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu:

1. Komunikasi antarbudaya di mulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antar komunikator dengan komunikan.

2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi. 3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi.

4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian. 5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan.

6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya.3

Disini penulis dengan mengutip dari Alo Liliweri dalam bukunya menjabarkan secara singkat beberapa asumsi teori komunikasi antarbudaya yang telah ditulis diatas:

1. Tujuan Komunikasi Antarbudaya: Mengurangi Tingkat Ketidakpastian

Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang

2

Alo Liliweri, M.S, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya,(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 11-2

3

Alo Liliweri, M.S, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya,(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 14


(25)

lain. Gudykunst dan Kim (1984) menunjukkan bahwa orang-orang yang kita tidak kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas relasi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap interaksi, yakni:

(1) pra-kontrak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non-verbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari komunikasi); (2)initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang muncul

dari kontak awal tersebut; misalnya anda bertanya pada diri sendiri; Apakah saya seperti dia? Apakah dia mengerti saya? Apakah saya rugi waktu kalau berkomunikasi dengan dia?;

(3)closure, mulai membuka diri anda yang semula tertutup melalui atribusi dan pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar kita harus lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi atas suatu perilaku atau tindakan dia. Pertanyaan yang relevan adalah apa mendorong dia berkata, berpikir atau berbuat demikian? Kalau seorang menampilkan tindakan yang positif maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang positif kepada orang itu, karena dia bernilai bagi relasi kita. Sebaliknya kalau orang itu menampilkan tindakan yang negatif maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang negatif pula. Sementara itu kita pun dapat mengembangkan sebuah kesan terhadap orang itu melalui evaluasi atas kehadiran sebuah kepribadian implisit.

2. Komunikasi Berpusat pada Kebudayaan

Menurut John B. Gatewood (1999) tentang hubungan antara keberadaan manusia (baca: melalui komunikasi) dengan kebudayaan, yaitu bahwa: (1) kebudayaan manusia di distribusikan dalam kebudayaan (“whole-cultures”are the unit); dan (2) kebudayaan manusia di distribusikan dalam tarit complexes


(26)

)”trait-complexes” are the unit). Gatewood sendiri menjawab bahwa kebudayaan yang meliputi seluruh kemanusiaan itu sangat banyak, dan hal tersebut meliputi seluruh periode waktu dan tempat. Artinya kalau komunikasi itu merupakan bentuk, metode, teknik, proses sosial dari kehidupan manusia yang membudaya maka komunikasi adalah sarana bagi transmisi kebudayaan, oleh karena itu kebudayaan itu sendiri merupakan komunikasi.4

Sedangkan menurut Smith (1976) bahwa “Komunikasi dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan”. Atau Edward T. Hall mengatakan: “ Komunikasi adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi”. Sekurang-kurangnya ada dua jawaban; pertama, dalam kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol komunikasi dan kedua, hanya dengan komunikasi maka pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan, dan kebudayaan hanya akan eksis jika ada komunikasi.

3. Tujuan Komunikasi Antarbudaya adalah Efektivitas Antarbudaya

Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi. Demikian pula dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan sebuah manajemen komunikasi yang efektif. 5

4

Alo Liliweri, M.S, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya,(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 11-2

5

Alo Liliweri, M.S, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya,(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 14-22


(27)

2. Proses Komunikasi Antarbudaya

Menurut Alo Liliweri yang dikutip dari Wahlstrom mengatakan bahwa pada hakikatnya proses komunikasi antarbudaya sama dengan proses komunikasi yang lain, yakni yang interaktif dan transaksional serta dinamis. Komunikasi antarbudaya yang interaktif adalah komunikasi yang dilakukan oleh komunikator dengan komunikan dalam dua arah/timbal balik (two way communication) namun masih tahap rendah. Alo Liliweri dengan mengutip Hybels dan Sandra mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya memasuki tahap transaksional apabila ada proses pertukaran pesan itu memasuki tahap tinggi, misalnya saling mengerti, memahami perasaan dan tindakan bersama.

Komunikasi transaksional meliputi tiga unsur penting yakni; (1) keterlibatan emosional yang tinggi, yang berlangsung terus-menerus dan berkesinambungan atas pertukaran pesan; (2) peristiwa komunikasi meliputi seri waktu, artinya berkaitan dengan masa lalu, kini dan yang akan datang; (3) partisipan dalam komunikasi antarbudaya menjalankan peran tertentu. Baik komunikasi interaktif maupun transaksional mengalami proses yang bersifat dinamis, karena proses tersebut berlangsung dalam konteks sosial yang hidup, berkembang dan berubah-ubah berdasarkan waktu, situasi dan kondisi tertentu. Karena proses komunikasi yang dilakukan merupakan dinamisator atau “penghidup” bagi proses komunikasi tersebut. 6

6

Alo Liliweri, M.S, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya,(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 24-5


(28)

B. Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya

Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya terkait erat dengan persoalan persepsi. Pengertian persepsi dalam konteks KAB ialah proses penyeleksian yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, proses penyeleksian atau penyaringan adalah salah satu fungsi dari kebudayaan bagi anggota-anggota kelompok budaya yang memiliki budaya tersebut, dalam menghadapi lingkungan ekstern. Kebudayaan lalu menentukan apa-apa saja yang perlu diperhatikan dan yang perlu dihindari. Fungsi penyaringan disini diartikan melindungi sistem syaraf manusia dari kejenuhan informasi. Kejenuhan informasi atau information load ada kaitannya dengan sistem pemrosesan informasi untuk menggambarkan suatu situasi yang kacau dan macet pada seseorang karena bertimbunnya informasi yang masuk. Proses penyeleksian yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan ini, dikenal dengan istilah dan pengetian persepsi. Tentu saja persepsi itu bersifat subyektif sepanjang menentukan perilaku termasuk perilaku komunikasi.7

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan juga mengorganisasikan stimulasi (rangsangan) dari lingkungan eksternal. Diartikan juga sebagai proses internal untuk mengubah energi fisik lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna yang membentuk perilaku tertentu. Keberhasilan dan cara mempersepsi dunia perilaku ini adalah hasil pengalaman budaya. Oleh karena itu KAB lebih dapat dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi peristiwa dan objek-objek tertentu. Sesuatu masalah dapat timbul karena rangsangan yang sama, kadang-kadang dipersepsi secara berbeda-beda oleh individu dalam kelompok berbeda. Masing-masing individu, kelompok budaya yang berbeda melihat dengan perspektifnya sendiri. Jika kita

7

Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 57


(29)

bermaksud meningkatkan kemampuan bergaul dengan orang-orang yang kebudayaannya berbeda-beda, perlulah kita memahami jawaban (respons) arah perseptual mereka. Perlu disadari bahwa kebudayaan itulah yang umumnya menentukan standar ukuran-ukuran persepsi itu. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa pemahaman tentang persepsi bermanfaat sebagai landasan memahami hubungan antar kebudayaan dan persepsi itu sendiri. 8

Kembali pada pemahaman keterpaduan hubungan persepsi dengan unsur-unsur budaya dalam kita berkomunikasi. Unsur-unsur-unsur budaya disini laksana suatu stereo, setiap unsur budaya berfungsi saling berhubungan dan saling membutuhkan antara satu unsur dengan lainnya. KAB dipahami sebagai perbedaan budaya mempersepsi dunia, manusia dan peristiwa. Perlu dipahami benar bahwa masalah-masalah yang timbul dalam komunikasi dan berkomunikasi bersumber dari perbedaan-perbedaan persepsi. Oleh karena itu perlu kita memahami benar apa dan bagaimana kerangka persepsi orang lain tentang pemilihan, penilaian dan tindakannya terhadap dunia, manusia dan peristiwa di lingkungan eksternal. Dalam KAB diupayakan banyak persamaan pengalaman dan persepsinya sungguhpun ciri kebudayaan itu sendiri banyak menimbulkan perbedaan dalam pengalaman dan persepsi.9

Samover et.al (1981:38-48) membagi berbagai aspek kebudayaan kedalam tiga pembagian besar unsur-unsur sosial budaya yang secara langsung sangat mempengaruhi penciptaan makna untuk persepsi, yang selanjutnya menentukan tingkah laku komunikasi. Pengaruh-pengaruh terhadap komunikasi ini sangat

8

Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 57-58.

9

Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 57-58.

9

Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 58


(30)

beragam dan mencakup semua segi kegiatan sosial manusia. Dalam proses KAB unsur-unsur yang sangat menentukan ini bekerja dan berfungsi secara terpadu bersama-sama seperti komponen-komponen dari suatu sistem stereo—karena masing-masing saling berkaitan dan membutuhkan yang lainnya. 10

Unsur-unsur komunikasi dalam kajian KAB, dikenal tiga unsur sosial budaya utama yang besar dan secara langsung pengaruhnya terhadap makna dalam persepsi kita ialah sebagai berikut:

- sistem kepercayaan/keyakinan (belief),nilai-nilai (values), sikap (attitude) - pandangan dunia(worldview)

- organisasi sosial(social organization).

Pengaruh makna dalam persepsi dari tiga unsur utama sosial budaya tersebut selanjutnya mempengaruhi aspek-aspek makna yang bersifat pribadi dan subjektif, seperti orang melihat sesuatu objek (dunia, manusia dan peristiwa) secara umum melalui nama, istilah, dan tanggapan itu, sama. Tetapi dari segi pandangan kepribadian (subjektif) seseorang, berbeda.11

Disini penulis akan menjabarkan masing-masing unsur budaya tersebut yang menentukan dalam proses KAB.

1. Sistem Keyakinan, Nilai dan Sikap. 1.1 Sistem Keyakinan

Keyakinan secara umum diartikan sebagai perkiraan secara subyektif bahwa sesuatu obyek atau peristiwa ada hubungannya dengan obyek atau peristiwa lain, atau dengan nilai, konsep, atribut tertentu. Singkatnya, suatu obyek atau

10

Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 25

11

Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 58


(31)

peristiwa diyakini memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Keyakinan ini mempunyai derajat kedalaman atau intensitas tertentu.

Ada 3 macam keyakinan, yaitu: (a) keyakinan, berdasarkan pengalaman (experinsial); (b) keyakinan berdasarkan infornasi (Informasional) dan (c) keyakinan berdasarkan penarikan kesimpulan (inferensial).

a. Keyakinan dapat terbetuk melalui pengalaman langsung. Melalui indera peraba, kita belajar untuk mengetahui dan kemudian meyakini bahwa obyek atau peristiwa tertentu memiliki karakteristik tertentu. Kebudayaan, sebaliknya sangat mempengaruhi pembentukan keyakinan berdasarkan informasi dan pengambilan kesimpulan.

b. Keyakinan berdasarkan informasi dibentuk melalui sumber-sumber luar sperti orang-orang lain, buku, majalah, televisi, film. Sumber-sumber inipun biasanya kita pilih karena keyakinan kita akan kebenarannya. Keyakinan semacam ini sangat dipengaruhi oleh berbagai ragam faktor kebudayaan. Seringkali pembentukannya tergantung pada tingkat keyakinan yang lebih tinggi, yaitu keyakinan akan otoritas (kewenangan) seseorang atau lembaga atas topik-topik atau masalah-masalah tertentu. Misalnnya, jika kita percaya bahwa surat kabar Kompas merupakan sumber pemberitaan yang bersifat netral, maka kita yakin dan percaya akan kebenaran isi beritanya. Latar belakang dan pengalaman kebudayaan berperan penting dalam pembentukan keyakinan berdasarkan informasi ini. Dalam komunikasi Antar Budaya, tidak dapat dikatakan keyakinan mana yang salah atau benar.

c. Keyakinan yang dibentuk berdasarkan pengambilan kesimpulan melibatkan penggunaan sistem logika intern. Pembentukannya dimulai dengan pengamatan


(32)

terhadap suatu tingkah laku atau peristiwa, kemudian perkiraan bahwa tingkah laku tersebut digerakkan atau disebabkan oleh suatu perasaan atau emosi tertentu. 1.2 Sistem Nilai

Nilai-nilai merupakan aspek evaluatif dari sistem keyakinan, nilai dan sikap. Dimensi-dimensi evaluatif mencakup kualitas-kualitas seperti kegunaan, kebaikan, estetika, kemampuan memuaskan kebutuhan dan pemberian kepuasan. Walaupun nilai-nilai bisa bersifat unik dan individual, tetapi ada pula yang cenderung untuk sudah merasuk dalam suatu kebudayaan, yakni yang disebut nilai-nilai kebudayaan.

Nilai-nilai kebudayaan biasanya berakar dari falsafah dasar secara keseluruhan dari suatu kebudayaan. Nilai-nilai ini umumnya bersifat normatif, karena memberikan informasi pada anggota kebudayaan tentang apa yang baik dan buruk, yang benar dan salah, yang postif dan negatif, apa yang perlu diperjuangkan dan dilindungi, apa yang perlu ditekuni dan lain-lain. 12

Sistem kepercayaan erat kaitannya dengan nilai-nilai (values) yang ada, sebab nilai-nilai itu adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan, nilai, dan sikap, yang meliputi kualitas atau asas-asas seperti:

-Kemanfaatan -Kebaikan

-Keindahan (estetika)

-Kemampuan memuaskan kebutuhan dan kesenangan

Di antara nilai-nilai (values) itu ada yang sudah membaku dan meresap lama melalui proses internalisasi kepada individu-individu. Yaitu yang dinamakan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini erat kaitannya dengan agama sehingga

12

Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 25-27.


(33)

sering istilahnya digabung menjadi sistem nilai-nilai budaya dan nilai agama. Umumnya nilai budaya dan nilai agama ini membaku dalam norma-norma apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah, yang asli dan yang palsu, yang positif dan yang negatif, yang bermanfaat dan yang mubazir, dan sebagainya. Kesemua nilai dan norma tersebut adalah aspek evaluatif dari sistem kepercayaan yang selanjutnya menentukan perilaku-perilaku mana yang baik dan buruk, mana yang dituruti dan dihindari. Nilai-nilai inilah yang disebut nilai normatif karena dianggap sudah diterima menjadi peraturan yang berlaku, seperti bidang agama, atau lalu lintas ataupun di kantor. Yang penting dalam KAB bahwa nilai normatif itu dapat dikenal dalam perilaku-perilaku normatif sehari-hari sebagai pedoman bagi individu dan kelompok untuk mengurangi atau mengatasi suatu konflik. 13

1.3 Sistem Sikap

Kepercayaan atau keyakinan serta nilai-nilai menyumbang pada atau melandasi perkembangan dan isi dari sistem sikap. Secara formal, sikap dirumuskan sebagai kecenderungan yang dipelajari untuk memberikan respons secara konsisten terhadap objek orientasi tertentu.

Sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu: a. Komponen kognitif atau keyakinan b. Komponen afektif atau evaluatif

c. Komponen intensitas atau harapan.

Intensitas dari sikap berlandaskan pada derajat penyaluran akan kebenaran dari keyakinan dan evaluasi. Kerja komponen sikap tersebut berinteraksi untuk menciptakan keadaan siap secara psikologis untuk bereaksi terhadap obyek-obyek

13

Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 59


(34)

dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungan. Sikap dipelaajri atau dibentuk dalam konteks budaya. Sikap ini kemudian mempengaruhi kesiapan untuk memberi respons dan tingkah laku. Pengaruh kebudayaan terhadap sistem keyakinan, nilai dan sikap dapat terlihat dalam contoh menyerupai pertarungan antara binatang banteng dengan orang yang berasal dari negara Spanyol. Bagi sejumlah orang di Amerika, kekejaman terhadap binatang adalah perbuatan yang salah. Contoh dan kekejaman ini ialah kegiatan secara sistematik untuk membuat lemah dan kemudian membubuh binatang banteng tersebut. Akibatnya banyak orang Amerika Serikat yang memandang pertandingan manusia binatang dalam rangka sifat yang negatif dan secara aktif akan menghindarkan diri dari kemungkinan terekspose pada peristiwa tersebut. Tetapi bagi orang Amerika Latin, pertarungan manusia dengan banteng diyakini sebagai cara untuk mempertunjukkan keberanian sehingga dinilai positif.14

2. Pandangan Dunia

Unsur budaya ini berkaitan dengan orientasi, pandangan hidup manusia terhadap makhluk dan masalah-masalah filosofis mengenai Tuhan, kemanusiaan, alam, alam semesta. Pandangan hidup ini bersifat abadi dan merupakan landasan budaya. Konsep pemahamannya cukup sulit karena sangat abstrak di antara unsur-unsur kebudayaan.15 Unsur kebudayaan ini, walaupun sebagai konsep dan deskripsi bersifat abstrak, tetapi merupakan salah satu yang terpenting dari aspek-aspek perseptual komunikasi antar budaya. Karena sifatnya yang kompleks,

14

Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 27- 28

15

Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 62-63


(35)

kadang-kadang sulit untuk memisahkan dan mengindentifikasikannya dalam suatu peristiwa antara budaya. 16

Pandangan hidup merupakan landasan pokok yang paling mendalam dari suatu kebudayaan. Efeknya seringkali sangat tersamar sehingga tidak dapat terlihat secara nyata seperti misalnya cara-cara berpakaian, gerak isyarat dan perbendaharaan kata. 17 Apalagi pandangan hidup tersebut menyebar, menjiwa serta membudaya ke dalam keseluruhan aspek kebudayaan. Dalam pandangan hidup itu melekat pula kepercayaan, nilai-nilai, sikap dan aspek-aspek kebudayaan lainnya.18

3. Organisasi Sosial

Organisasi sosial sebagai unsur budaya, merupakan cara bagaimana suatu budaya mengorganisasikan dirinya dan bagaimana lembaga-lembaganya mempengaruhi cara anggota-anggota budaya itu mempersepsi dunia serta bagaimana pula mereka berorganisasi.19 Ada dua macam bentuk pengaturan sosial yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya:

a. Kebudayaan geografik, yakni negara, suku-bangsa, kasta, sekte keagamaan dan lain sebagainya yang dirumuskan berdasarkan batas-batas geografik.

b. Kebudayaan-kebudayaan peranan, yaitu keanggotaan dalam posisi-posisi sosial yang jelas batasannya dan lebih spesifik, sehingga menghasilkan perilaku komunikasi yang khusus pula. Pengorganisasian masyarakat atas dasar peranan ini melintasi organisasi masyarakat secara geografik dan mencakup seluruh

16

Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 28

17

Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 28-29

18

Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 63

19

Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 63


(36)

organisasi-organisasi yang menekankan ideologi-ideologi tertentu. Karena kebudayaan-kebudayaan peranan mangajarkan cara-cara berperilaku dalam posisi-posisi sosial khusus, maka jelas pengaruhnya terhadap komunikasi antarbudaya. Misalnya, seorang tenaga pengajar di Indonesia telah mempelajari seperangkat cara-cara bertingkah laku komunikasi yang sangat berbeda dari apa yang dipelajari dan dimiliki oleh seorang pelacur di Amerika. Dalam hal ini, dua kebudayaan peranan sosial telah memberikan batasan kepada masing-masing anggotanya pola-pola bertingkah laku tertentu dan menentukan jaringan komunikasinya. Apalagi anggota dari kebudayaan-kebudayaan geografik mungkin menemukan kesulitan dalam proses komunikasi antar budaya karena latar belakang pengalaman yang sangat berbeda sehingga kerangka acuan berbeda pula, maka anggota-anggota dari kebudayaan peranan mungkin lebih mudah untuk berkomunikasi dalam batasan peranan-peranannya walaupun mereka berasal dari kebudayaan-kebudayaan geografik yang berbeda.20

Beberapa unit-unit sosial yang dominan berpengaruh dalam suatu kebudayaan ialah: keluarga, sekolah dan lembaga keagamaaan. Institusi-institusi ini bertanggungjawab dalam transmisi budaya dari satu generasi ke generasi lain dan pelestariannya. Kita semua merupakan anggota dari bermacam-macam institusi sosial, yaitu dari yang berjangka waktu lebih singkat seperti sekolah, sampai pekerjaan. Semua institusi ini mempunyai derajat pengaruh tertentu terhadap pembentukan diri dalam kebudayaan. Semua unsur-unsur sosial budaya di atas mempengaruhi proses-proses persepsi. Walaupun demikian daftar dari unsur-unsur budaya itu bersifat terbatas (“exhaustive”). Segala segi atau aspek kebudayaan dapat dimasukkan ke dalam macam-macam cara klasifikasi dan cara

20

Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 29-30.


(37)

analisis. Bagaimanapun dua hal yang perlu ditegaskan, yakni: (1). Apa yang dipersepsikan sebagai hal yang penting bervariasi dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain; (2) Apa yang dikomunikasikan oleh dan bagaimana seseorang berkomunikasi meruapakan pencerminan dari apa yang dipersepsikan oleh kebudayaannya. 21

Harris dan Moran (1979) mengajukan sepuluh klasifikasi umum sebagai model sederhana untuk menilai dan menganalisis suatu kebudayaan secara sistematik, yakni:

(a). Komunikasi dan Bahasa (b). Pakaian dan penampilan (c). Makanan dan cara makan

(d). Konsep dan kesadaran tentang waktu (f). Pemberian imbalan dan pengakuan (g). Hubungan-hubungan

(h). Konsep kesadaran diri dan jarak ruang (j). Keyakinan (kepercayaan) dan sikap.

Harris dan Moran juga mengakui bahwa kategorisasi tersebut belum mencakup semua aspek kebudayaan atau satu-satunya cara untuk menganalisis kebudayaan. Hanya diingatkan oleh mereka bahwa semua aspek kebudayaan saling berkaitan sehingga berubahnya salah satu aspek atau bagian dapat mengakibatkan berubahnya keseluruhan. Harris dan Moran juga menyatakan bahwa ada berbagai macam cara pendekatan anthropologis terhadap analisis kebudayaan. Selain yang

21

Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 30


(38)

telah disebut tadi, ada alternatif lain yang bisa dipilih, yakni pendekatan sistem yang terkoordinasi.22

C. Teori Film

Sebagai sebuah bentuk kesenian, film adalah sama dengan media artistik lainnya, karena ia memiliki sifat-sifat dasar dari media lain tersebut yang terjalin dalam susunannya yang beragam itu. Seperti halnya seni lukis dan seni pahat, film juga mempergunakan garis, susunan, warna, bentuk, volume, dan massa, sama baiknya dalam saling pengaruh-mempengaruhi secara halus antara cahaya dan bayang-bayang. Sebagian besar dari petunjuk-petunjuk komposisi fotografi yang dijadikan anutan dalam film juga sama dengan yang dipergunakan dalam seni lukis dan seni pahat. Seperti drama, film melakukan komunikasi verbal melalui dialog. Seperti musik dan khususnya seperti puisi ia berkomunikasi melalui citra, metafora dan lambang-lambang. Laksana pantomime, film memusatkan diri pada gambar bergerak dan seperti tari, gambar bergerak itu memiliki sifat-sifat ritmis tertentu. Akhirnya seperti novel, film mempunyai kesanggupan untuk memainkan waktu dan ruang, mengembangkan dan mempersingkatnya, menggerak-majukan atau memundurkannya secara bebas dalam batas-batas wilayah yang cukup lapang dari kedua dimensi ini.

Tapi biarpun antara film dan media terdapat kseamaa-kesamaan, film adalah sesuatu yang unik, yang dibedakan dari segenap media lainnya karena sifatnya yang bergerak secara bebas dan tetap. Berkat unsur ini, film dapat melangkahi keterbatasan statis lukisan dan hasil seni pahat pada segi keruwetan pikatan daya tariknya dan sekaligus berkomunikasi serentak dengan

22

Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 30


(39)

mempergunakan penglihatan, suara dan gerak. Film melebihi drama karena ia memiliki kemampuan ajaib dalam mengambil sudut pandangan yang bermacam-macam. gerak, waktu dan karena rasa ruang yang tak terbatas yang bisa ia timbulkan. Berbeda dengan drama panggung, film punya kesanggupan untuk menyajikan suatu arus yang terus menerus dan tak terpatah-patah, yang mengaburkan atau mengecilkan transisi waktu dan tempat sambil tetap mempertahankan suatu kejernihan dan kejelasan. Berbeda dari novel dan sajak, film berkomunikasi tidak melalui lambang-lambang abstrak yang dicetak di atas halaman kertas (sehingga memerlukan peterjemahan oleh otak ke pelukisan visual dan suara), tapi langsung melalui gambar-gambar visual dan suara yang nyata.

Selanjutnya, film memiliki kseanggupan untuk menangani berbagai –bagai subyek yang tidak terbatas ragamnya.

Dalam buku The Art of The Film, Ernest Lindgreen antara lain menyatakan:

Adalah mustahil untuk membayangkan sesuatu yang dapat dilihat oleh mata atau didengar oleh telinga, baik sesuatu yang benar-benar ada maupun sesuatu yang ada dalam khayalan, yang tidak dapat disajikan dalam media film. Dari kutub sampai khatulistiwa, dari Grand Canyon sampai ke cacat yang sekecil-kecilnya pada sepotong baja, dari desing lajunya sebutir peluru sampai kepada kelambanan pertumbuhan setangkai bunga, dari kejapan fikiran pada wajah yang hampir-hampir tidak member ksean apapun, sampai pada hingar-bingarnya ocehan seorang gila, tidak ada satu titik pun dalam ruang, tidak ada kadar besar atau cepatnya gerak yang mungkin difahami manusia, yang tidak berada dalam jangkauan film.

Film tidak hanya tak terbatas dalam lingkungan subyeknya, tapi pun dalam cakupan cara pendekatan pada materi tersebut. dalam suasana dan cara pengerjaan, ia bisa berada antara suasana yang liris dan nada yang epis; dalam soal sudaut pandangan ia bisa meliputi seluruh spektrum dari yang bersifat obyektif murni sampai kepada yang bersifat sangat subyektif; dalam kedalaman ia dapat


(40)

memusatkan diri pada permukaan realitas dan pada yang bersifat sensual murni, atau menggali sesuatu yang bersifat intelektual dan falsafi.

Dalam soal dimensi, waktu, film dapat berpaling ke belakang dan memandang kea rah kelampauan yang jauh, atau menyusup ke depan, ke kanan yang jauh. Ia bisa membuat beberapa detik terasa seperti beberapa jam. Ia dapat memadatkan satu abad menjadi beberapa menit. Akhirnya, film sanggup menghidupkan seluruh spektrum kepekaan manusia, mulai dari yang paling lembut, halus, rapuh, dan indah sampai kepada yang kasar, kejam dan memuakkan. Tapi yang lebih penting lagi daripada ketidak-terbatasan ruang lingkup media film ini menyangkut sasaran utama dan penanganannya adalah citarasa kenyataan yang melimpah ruah yang dapat ia sampaikan, tanpa menghiraukan sifat dasar daripada masalah intinya itu. Citarasa kenyataan dalam film ini terutama bersumber pada arus penglihatan, arus suara dan arus gerak yang serba berkesinambungan yang terdapat dalam media ini, yang keseluruhannya merupakan modal dasar sinematik, yang mampu membuat segala yang tampak pada layar seakan-akan tengah berlangsung pada saat yang sama dan menjadikan penonton benar-benar terbenam dalam angan yang paling lengkap dan mutlak yang diemban oleh film adalah bentuk dan dampak emosional dari realita yang paling telanjang. 23

Sedangkan menurut André Bazin24 sinema adalah fenomena gagasan. Gagasan yang direka manusia itu sudah ada secara lengkap di benaknya.25

23Joseph M. Boggs, Cara Menilai Sebuah Film (The Art of Watching Film)diterjemahkan oleh Asrul Sani, Jakarta:Penerbit Yayasan Citra, 1992. Hal 4-6

24

André Bazin dilahirkan di kota Anger, 18 April 1918. Pada usia lima tahun ia masuk sekolah dasar di La Rochelle, ia bercita-cita menjadi seorang pengajar. Setelah di La Rochelle Bazin melanjutkan pendidikannya di Versailles. Kemudian, pada tahun 1938, ia dikirim untuk melanjutkan pendidikan tingginya di École Normale Supérieur, St. Cloud Perancis. Di sana ia belajar sastra dan ia menyelesaikan pendidikannya dengan ujian kualifikasi yang cemerlang. Bazin mulai menulis tentang film pada tahun 1943 dan turut mendirikan majalah Cahiers du Cinéma pada tahun 1951 bersama Jacques Doniol-Valcroze dan Lo Duca. Ia secara intensif


(41)

Sejatinya sinema merupakan seni yang dapat mencapai obsesinya akan realitas yang selama ini ingin dituntaskan oleh seni lukis dan Bazin sendiri sering membandingkan film dengan media seni lainnya dan asumsi Bazin mengatakan bahwa film adalah satu-satunya media yang sangat baik untuk mengungkapkan realitas, esainya yang bertajuk The Ontology of The Photography Imagemengulas secara lebih mendalam konstribusi film dalam membentuk realitas. Di mana tulisan tersebut membahas mengenai obyektifitas film dalam mengungkapkan realitas. 26 film tidak berhenti sebatas melestarikan untuk kita objek yang disalut secara mendadak seperti halnya serangga dari zaman dahulu dalam batu pualam, film membebaskan seni barok dari katalepsi mendadak. Untuk pertama kalinya, citra benda juga merupakan citra kelangsungannya dan sebagai mumi perubahan. Di lain pihak, sinema adalah bahasa. 27

Biarpun film adalah sebuah media yang unik, dengan kelengkapan dan kekhususan yang membedakan dia dari kesenian lainnya seperti seni lukis, seni pahat, fiksi dan drama, ia juga dalam bentuknya paling populer dan paling kuat,

tertarik pada film di mulai pada tahun 1939 tatkala ia menjadi tentara sebagai bagian wajib militer dalam Perang Dunia II. Dan di bentangan antara tahun 1944-1953, Bazin menulis beberapa esainya, sebelum ia meninggal dunia di usia sekitar 40 tahun. Umumnya pada bahasa aslinya (baca: Perancis) Qu’est- ce que le Cinéma?Yang terdiri dari empat esai dan pada edisi bahasa Inggris diseleksi dan diterjemahkan oleh Hugh Gray menjadi dua volume What Is Cinema?Selain itu, Hugh Gray juga menerjemahkan buku Bazin yang lain yang berjudul Jean Renoir, Orson Welles: A Critical View and French Cinema of Occupation and the Resistence.Pendekatan teori film André Bazin dimulai dengan melihat kebudayaan visual (image cultures) secara antropologis, secara khusus Bazin berhutang budi pada André Malraux, Roger Leenhardt, Walter Benjamin, Debray, McLuhan, Jean Paul Sartre, Gilles Deleuze, Maurice Merleau Ponty (sumbangan fenomenologi bagi pendekatan teori film) dan para pemikir lainnya. Profil mengenai André Bazin saya dapat dari kata pengantar yang ditulis oleh Hugh Gray dalam What Is Cinema?

Vol 1, terj. Hugh Gray (California: The University of California Press, 1967). Dengan sedikit penjabaran dari penulis tulis dalam esai berjudul André Bazin dan Akademisasi Film.Lembaran Viewfinder edisi desember 2008.

25

André Bazin dalam Sinema, Apakah Itu?Terj. Dr. Rahayu S. Hidayat dari Qu’est-ce Que le Cinema?/What Is Cinema? (Jakarta: Penerbit Pusat Pembinaan dan Pengetahuan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996). Hal 9

26

Renal Rinoza Kasturi ,André Bazin dan Akademisasi Film.Lembaran Viewfinder edisi desember 2008.

27

André Bazin dalam Sinema, Apakah Itu?Terj. Dr. Rahayu S. Hidayat dari Qu’est-ce Que le Cinema?/What Is Cinema? (Jakarta: Penerbit Pusat Pembinaan dan Pengetahuan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996.) Hal 5-6


(42)

merupakan sebuah media untuk bercerita yang memiliki unsur-unsur yang sama seperti yang ditemui dalam cerita pendek dan novel. Dan karena film menyajikan kisahnya secara lengkap dalam bentuk dramatis, ia memiliki banyak kesamaan dengan pertunjukkan panggung: kedua bentuk ini memainkan atau menjabarkan dengan gerak dan suara atau mendramatisasikan kisah dan arti mereka. Mereka lebih banyak memperlihatkan ketimbang menceritakan.

Perbedaan terbesar antara film dan novel serta cerita pendek, atau drama panggung adalah karena film tidak mudah dipelajari, dalam pengertian ia tidak bisa efektif dibekukan di atas halaman cetak. Karena novel dan cerita pendek adalah media cetakan, maka kedua bentuk kesenian ini lebih mudah dipelajari. Keduanya ditulis untuk dibaca. Drama panggung sedikit lebih sulit untuk dipelajari karena ia ditulis untuk dipanggungkan, bukan untuk dibaca. Tapi drama umumnya dicetak dank arena bentuk kesenian ini terutama mengandalkan kata-kata yang diucapkan, pembaca-pembaca yang imajinatif dan kreatif dapat membayangkan setidak-tidaknya suatu tiruan semua dari pengalaman yang mungkin mereka alami kala menonton pemanggungan drama tersebut. Sedangkan dengan skenario tidaklah demikian halnya. Karena sebuah film begitu tergantung pada unsur-unsur visual dan non visual lainnya maka ia tidak mudah diutarakan dalam bentuk tulisan. Sebuah skenario menuntut bagitu banyak “tambahan” dalam imajinasi kita hingga kita tidak mungkin bisa mengira-ngira penghayatan film itu hanya dengan jalan membaca skenarionya. Hanya jika kita sudah melihat film tersebut barulah membaca skenarionya ada gunanya. Sehingga, kebanyakan skenario diterbitkan bukan untuk dibaca, tapi untuk diingat.28

28


(43)

Film dan drama berbeda dalam kenyataan. Sebuah drama memiliki pembagian structural yang jelas yang disebut babak atau adegan yang mempengaruhi penempatan puncak-puncak kekuatan dan intensitas dramatik. Akhir sebuah babak misalnya bisa dibangun hingga mencapai suatu puncak emosional yang gegap gempita, dan dengan demikian dapat menciptakan suatu gema dramatik yang kuat yang bisa melimpah ke babak berikutnya. Biarpun film memiliki sekwen-sekwen yang secara kasar dapat dianggap padanan dari babak, tapi disini arus berlangsung secara terus-menerus. Sekwen yang satu melancar ke dalam sekwen berikutnya. Tapi kadang-kadang disini juga kita temui kesamaan-kesamaan, karena freeze frame(gambar beku) memberikan pada sekwen suatu rasa berakhir yang sama dengan rasa berakhir yang diberikan oleh babak. Perlengkapan sinematik ini juga hampir menyerupai efek lama panggung yang disebut tableu, di mana para aktor “membekukan” diri dalam pose-pose dramatik selama beberapa detik sebelum layar diturunkan dengan maksud lebih meninggalkan kesan yang dalam pada ingatan penonton. 29

John Howard Lawson menulis: “ Sifat film membuatnya tidak sesuai dengan langgam percakapan yang dibenarkan dipanggung”. Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dialog film pasti berbeda dari dialog panggung. Umumnya, dialog film jauh lebih bersahaja dari dialog yang diucapkan di atas panggung. Karena dalam film citra visual lebih berarti daripada di atas panggung, maka banyak bagian yang memerlukan dialog, dalam film dapat diutarakan melalui gambar. Jika plot dapat dikembangkan dengan jalan memperlihatkan apa yang terjadi, maka seorang sutradara umumnya akan memilih cara yang pertama. Karena adanya unsur visual yang memikul beban tambahan,

29


(44)

maka dialog film biasanya lebih bersahaja, lebih bersifat sehari-hari dan tidak begitu puitis. Dialog puitis lebih cocok untuk panggung daripada untuk film. 30

D. Struktur Film

Film yang setiap kali kita tonton pastilah memiliki bentuk-karena dia dapat dilihat maupun didengar- dan bentuk film itulah yang sering disebut sebagai Film Form. Apabila ditelusuri lebih lanjut dalam film terdapat dua hal besar yang merupakan sebuah unsur inti pembentuk yang terdiri dari formal system dan stylistic system. Dalam formal system terdiri dari dua unsur—naratif dan non-naratif. Unsur naratif inilah yang selalu diperhatikan oleh penonton dibandingkan unsur yang lain, karena disinilah cerita dan narasi film dibentuk. Sepanjang film mereka akan mengikuti kemana arah alur cerita itu menuju. Sedangkan untuk yang non-naratif dapat dibagi menjadi rhetorical form, categorical form, abstract form, associational form.Namun kali ini pembahasan akan menyempit dan berkisar pada unsure naratifnya saja.

Stylistic system memiliki empat elemen terpisah yang terdiri dari mise en scene, cinematography, editingdan sound.Diantara empat elemen tersebut mise en scene-lah yang keberadaannya diadopsi dari seni teater. Yang didalamnya sendiri masih terdapat apa yang dimaksud dengan setting, property, kostum & make up, figure ekspresi & movement, juga lighting. Elemen sound juga diadopsi dari seni pertunjukan namun lebih pada seni musiknya, karena memang music menjadi salah satu bagian dari sound dalam film. Selain unsur-unsur tersebut hampir kesemuanya

30


(45)

merupakan bagian dari film yang berada lebih dekat dengan teknologi yang nantinya berfungsi sebagai elemen penunjang utama dalam menyampaikan naratif cerita film. Tanpa adanya teknologi maka tidak akan ada apa yang disebut dengan film, karena film tanpa teknologi hanya akan menjadi sebuah drama panggung biasa.

Berbagai macam unsur-unsur tersebut tentu saja saling terkait satu dengan yang lain. tidak ada satu buah petunjuk pun yang tersusun acak dalam hubungan antara naratif dan style. Bagaimana akan memahami sebuah film secara penuh bila unsur-unsurnya tersusun secara acak dan tidak berpola. Oleh karena itulah alasannya film memiliki sebuah bentuk film form utuh yang terwujudkan dalam berbagai unsur pembentuk.

Setiap film memiliki kemampuan untuk bercerita mengenai story dalam naratif yang mereka miliki masing-masing namun itu saja belum cukup tanpa ada dukungan sepenuhnya dari sistem elemen besar yang disebut style. Akan menjadi sebuah sajian yang komplit rasanya jika kesatuan dan keterpaduan itu terwujud antara naratif dan style. Antara formal system dan stylistic system terdapat hubungan interaksi keduanya yang menjadi setiap adegan dan scene yang terlihat memiliki satu keutuhan. 31

31

Kus Pujiati dalam Naratif dan Style; Pasangan Setia Tidak Terpisahkan.Makalah yang belum dipublikasikan.


(46)

Seperti yang terlihat pada bagan dibawah ini.

FILM FORM

FORMAL SYSTEM STYLISTIC SYSTEM

 Mise en Scene

 Cinematography

 Editing

 Sound

Karena film form adalah sebagai sebuah sistem—yang mempersatukan hubungan, saling keterkaitan antar elemen—yang mesti pada beberapa prinsip dapat menciptakan hubungan antara beberapa bagian. 32

Secara mendasar naratif adalah sebuah petunjuk bagi manusia terhadap keberadaannya di dunia. Kelaziman dari sebuah cerita adalah salah satu alasan yang kita butuhkan untuk lebih dekat pada bagaimana cara film mewujukan bentuk naratif. Saat kita berbicara tentang “membuat film” kita hampir selalu mengartikan bahwa kita akan melihat naratif film—film yang menceritakan sebuah kisah. Apa itu naratif?

Kita dapat menganggap sebuah naratif menjadi sebuah rangkaian peristiwa dalam hubungan sebab akibat yang terjadi dalam suatu ruang dan waktu. Sebuah naratif adalah apa yang biasa kita artikan sebagai inti cerita, walaupun kita akan menggunakan cerita dalam sebuah situasi yang biasanya berbeda. Khususnya sebuah naratif diawali dengan satu situasi; dimulai dengan rentetan perubahan

32

David Bordwell dan Kristin Thompson ,Film Art; An Introduction,7th Edition. (New York: McGrawHill, 2004). Hal 59


(47)

yang terjadi menurut pola dari sebab akibat. Akhirnya sebuah situasi baru terangkat yang menghasilkan akhir dari naratif. Seluruh komponen dari definisi kita—kausalitas, ruang dan waktu sangatlah penting bagi naratif dalam banyaknya media, tapi kausalitas dan waktu merupakan pusatnya.33

33


(48)

41 FILM AL-KAUTSAR DAN DERIVASI GAGASANNYA

A. Gambaran Umum Film Al-Kautsar dan Konteks Historisnya

Film Al-Kautsar adalah film yang diproduksi tahun 1977, disutradarai oleh Chaerul Umam dan skenarionya ditulis oleh Asrul Sani. Film ini berkisah tentang keteguhan hati seorang santri yang dikirim untuk mengajar di sebuah desa yang bernama desa Sekarlangit. Perjuangannya dalam menegakkan kebenaran merupakan tema utama film ini sebagai misi pembaruan Islam. Dalam film ini tokoh protagonis banyak mengalami berbagai kesulitan yang ia temui sepanjang cerita, mulai dari ketegangannya dengan seorang tokoh ulama setempat yang berselisih paham pada pemahaman dan pengalaman/praktik beragama, si tokoh protagonis—Saiful Bahri dengan tokoh ulama setempat—Haji Musa acapkali berdebat berkenaan dengan perbedaan pemahaman dalam mengartikulasikan ajaran Islam. 1

Di film ini diperlihatkan bagaimana seorang Saiful Bahri memperjuangkan Islam sesuai dengan konteks dalam menjawab kebutuhan paling aktual umat— warga desa Sekarlangit, Saiful Bahri tampil sebagai lokomotif pembaharu dengan membawa gagasan dan pemahaman Islam yang berkemajuan dengan perkembangan zaman dan akibat gagasannya tersebut ia mendapati berbagai macam rintangan. Salah satu implementasi gagasan pembaruannya ialah merombak sistem pendidikan di sebuah madrasah dengan metode pengajaran yang sangat baru dan melakukan transformasi keislaman yang menyangkut hidup orang banyak seperti pembangunan irigasi untuk memajukan pertanian dan keahliannya

1


(49)

dibidang pertanian ini membuatnya selalu berselisih paham dengan Haji Musa yang menyatakan antara ilmu agama dan ilmu umum (baca: pertanian) berdiri sendiri dan masing-masing mempunyai kewajibannya sendiri-sendiri namun pendapat Haji Musa ini tidak dapat diterima oleh Saiful Bahri yang menyatakan bahwa agama harus dipindahkan kedalam perbuatan ke dalam kehidupan. Bagi Saiful Bahri antara agama dan dunia kehidupan lainnya tidaklah terpisah melainkan dapat dipersatukan karena itulah Islam dapat menjawab persoalan-persoalan kehidupan seperti apa yang dialami oleh masyarakat desa Sekarlangit yang memerlukan sistem irigasi pertanian untuk memajukan pertanian mereka. 2

Film yang berkisah di sebuah pelosok pedesaan yang masih memegang kuat nilai-nilai agama sebagai tolok ukur ini tiba-tiba menjadi berubah setelah kedatangan Saiful Bahri—tokoh protagonis yang membawa sebuah gagasan pembaruan dan menimbulkan berbagai macam polemik baik dengan Haji Musa dan tuan Harun—seorang tengkulak yang ditakuti penduduk. Dalam film ini, Asrul Sani menarasikan tentang bagaimana perdebatan dan friksi yang terjadi antara gagasan pembaruan di satu sisi dan pemahaman keagamaan yang berkutat pada aspek simbolik semata di sisi lain dan juga perilaku warga sebuah desa yang masih dalam kategori jumud sehingga mudah sekali terhasut dan terprovokasi. Film yang ditulis oleh Asrul Sani ini merupakan sebuah cerminan dari realitas yang ada saat itu berupa perdebatan yang penuh pergumulan, film ini dibuat sesuai dengan konteks zamannya yang diliputi pergulatan isu Islam modernis vis a vis Islam tradisional di mana Asrul Sani menangkap fenomena tersebut yang ia tuangkan dalam film Al-Kautsar.

2


(1)

130

implementasinya ketika ia membela ketika Saiful berkelahi dengan Harun… disitu udah ketara sekali si Sutan membela Saiful ditambah dia pulang sobek2an lalu ia ke rumah sholat… dibakar gudang milik Harun, cukup dingatkan saja ia…

21. Dan antklimaknya di film ini adalah ketika Kamarudin Sutan dan Harun terperangkap di gudang beras milik Harun yang sengaja dibakar oleh Kamarudin Sutan

Itu klimaks (Chaerul Umam)… antiklimaksnya ketika mereka pingsan kedua-duanya dan mengucapkan kalimat Lailaaillah… dan itu udah mulai antiklimaks dan dua-duanya udah mulai insyaf, dua-duanya udah sama-sama lemas artinya dua-duanya sama syahadat

22. Itu kenapa harus seperti itu Pak, harus pake syahadat segala? Ya artinya insyaf, klo nggak nggak jelas si Harunnya itu loh… (Itu informasi bagi penonton kalau Harun sudah insyaf)… Ya itu sebagai tanda bahwa Harun insyaf, ya jadi selama ini aku salah bahwa api neraka lebih besar dari api ini, klo si Sutan sudah siap, sudah selesai, ketika diluar dinyatakan lagi si pamannya (H. Musa) nanya kenapa Sutan ada disana… kata Harun, Sutan menyelamatkan saya dari api neraka… Halimah langsung jatuh hati disitu… bawa dia kerumah saya (kata Halimah)…jadi itu adalah pengembangan karakter … salah satu daya tarik juga… karakter dari awal sampe akhir jahat melulu… kan cape kita… (Itu pengembangan karakter) ketika diakhir bagaimana karaktrer dikembangkan dengan baik tapi susah itu bagaimana dengan penyangkut logika, bagaimana menyangkut ini segalanya kan…

23. Dan terakhir Pak, tercapai sebuah kesepakatan baik antara Saiful Bahri, H. Musa dan tobatnya Kamarudin Sutan dan Harun dan masyarakat disitu dengan adanya Saiful Bahri, bagaimana menurut bapak?

Ya, permasalahannya semua sudah selesai, Harun sama Saiful selesai, Harun sama Sutan selesai, Harun sama Halimah selesai, Sutan dengan istrinya keluarganya selesai juga, kemudian Saiful Bahri dgn si


(2)

131

Nurhayati selesai juga, H. Musa juga setuju dengan hubungan Saiful Bahri dengan anaknya, Nurhayati. Penyelesaian disana, sementara si Saiful dan Sutan sudah sama-sama mengajar di madrasah itu… Happy ending disana…


(3)

(4)

(5)

(6)