Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Barang Konsumsi di Indonesia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
MEDAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR BARANG
KONSUMSI DI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Oleh:
FEBRINA JULIANTI CHATERIN PARDEDE 040501083
Ekonomi Pembangunan
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Medan 2008
(2)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Bapa yang di surga melalui Anak-Nya Yesus Kristus atas berkat dan kasih karunia-Anak-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Barang Konsumsi di Indonesia”
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Drs. John Tafbu Ritongan, M.Ec, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Drs. Rahmat Sumanjaya, Msi selaku Dosen pembimbing penulis yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.
4. Bapak Paidi Hidayat, SE M.Si, selaku Dosen pembanding I 5. Bapak Drs. Aman Tarigan, SU.
6. Bapak DR. Syaad Afifuddin, M.Ec selaku dosen wali dan pembimbing akademis selama penulis menjadi mahasiswa Ekonomi Pembangunan serta Staff Pengajar dan Staff Pegawai di Fakultas Ekonomi terkhusus Departemen
(3)
Ekonomi Pembangungan atas pengajaran, bimbingan dan bantuannya pada penulis selama mengikuti perkuliahan.
7. Seluruh Staff dan Pegawai Kantor Bank Indonesia Kota dan Badan Pusat Statistik Medan atas bantuannya dalam memberikan data sehingga skripsi ini dapat diseles3aikan.
8. Kepada orang tua penulis, Ayahanda B.G. Pardede dan T.R. Sibarani serta kakak dan adik-adik penulis, Kakak Rury, Adik Kiki, Sylvia dan Ferdihan dan seluruh Keluarga besar Sibarani atas doa, perhatian serta dorongan moril maupun materil yang terus diberikan dalam penyusunan skripsi.
9. Buat kelompok “AGAVE” yang kukasihi dan sayangi, yaitu Kak Welfa, Titha, Thalia, Valia, Princes-saudaraku, Tina, dan Rita, buat doa, semangat, dan motivasi untuk selalu bersama-sama dalam suka dan duka dan tetap berjuang dalam kebersamaan dan kebahagiaan yang tidak dapat dilupakan. 10. Buat Liasta, Iin, Ida, kru-Bless, buat motivasi, dukungan dan doa. Juga untuk
teman-teman seperjuangan di Departemen Ekonomi Pembangunan stambuk 2004 yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah banyak mendukung melalui bimbingan moril dan juga doa bagi penulis selama mengikuti perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.
11. Buat Andro Martin Panggabean, terimakasih buat doa, motivasi, perhatian dan semangat yang sudah diberikan pada penulis.
(4)
Penulisan skripsi merupakan kewajiban bagi para mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara guna memenuhi syarat dalam memperoleh gelar kesarjanaan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca demi penulisan yang lebih sempurna dan dapat bermanfaat dimasa yang akan datang. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan berkat dan damai sejahtera bagi kita semua dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Medan, Maret 2008
(5)
Lampiran 1
DATA VARIABEL
Tahun Nilai Impor
Barang Konsumsi (000.000 US$) Y Nilai Tukar (Rupiah/US$) X1 PDB (Rupiah) X2
1980 1414.4 634 45445.7
1981 807.1 643 54027.0
1982 1236.3 692 59632.6
1983 1726.2 994 73697.6
1984 825.3 1076 87535.5
1985 380.5 1131 94720.8
1986 448.2 1655 95823.1
1987 460.6 1652 114518.5
1988 469.4 1729 142020.3
1989 688.6 1795.48 167184.7
1990 876.6 1901 195597.2
1991 958.4 1992 227502.3
1992 1212.8 2062 260786.3
1993 1146.1 2110 302017.8
1994 1430.2 2200 982219.7
1995 2350.2 2308 454514.1
1996 2805 2383 532568.0
1997 2166.3 4650 627695.4
1998 1917.6 8025 955753.5
1999 2468.3 7100 1099731.6
2000 2718.7 9595 1264918.7
2001 2251.2 10400 1467654.8
2002 2650.5 8940 1821833.4
2003 2862.8 8465 2013674.6
2004 3786.5 9290 2295826.5
2005 4620.5 9830 2784960.4
(6)
Lampiran 2
HASIL REGRESI
Dependent Variable: LOGY Method: Least Squares Date: 03/04/08 Time: 15:11 Sample: 1980 2006
Included observations: 27
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.123660 0.673326 0.183656 0.0000
LOGX1 -0.507322 0.171808 -2.952847 0.0105
LOGX2 0.870127 0.132482 6.567882 0.0000
R-squared 0.900865 Mean dependent var 7.671454
Adjusted R-squared 0.886703 S.D. dependent var 0.510564 S.E. of regression 0.171854 Akaike info criterion 0.525562 Sum squared resid 0.413471 Schwarz criterion -0.378524
Log likelihood 7.467277 F-statistic 63.61097
(7)
Lampiran 3
Hasil Regresi Variabel Valas (Dollar AS) terhadap PDB
Dependent Variable: X1 Method: Least Squares Date: 03/04/08 Time: 15:17 Sample: 1980 2006
Included observations: 27
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 2391.375 771.7267 3.098734 0.0073
X2 0.002977 0.000511 5.820553 0.0000
R-squared 0.693119 Mean dependent var 5898.294
Adjusted R-squared 0.672660 S.D. dependent var 3475.215 S.E. of regression 1988.297 Akaike info criterion 18.13808 Sum squared resid 59299864 Schwarz criterion 18.23610
Log likelihood -152.1736 F-statistic 33.87884
(8)
Lampiran 4
Hasil Regresi Variabel PDB terhadap Valas (Dollar AS)
Dependent Variable: X2 Method: Least Squares Date: 03/04/08 Time: 15:18 Sample: 1980 2006
Included observations: 27
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -195257.4 271748.9 -0.718521 0.4835
X1 232.8173 39.99918 5.820553 0.0000
R-squared 0.693119 Mean dependent var 1177968.
Adjusted R-squared 0.672660 S.D. dependent var 971836.3 S.E. of regression 556022.9 Akaike info criterion 29.40514 Sum squared resid 4.64E+12 Schwarz criterion 29.50316
Log likelihood -247.9437 F-statistic 33.87884
(9)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR SINGKATAN ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Hipotesis ... 5
1.4 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 5
BAB II URAIAN TEORITIS ... 7
2.1 Kurs ... 7
2.1.1 Pengertian Kurs ... 7
2.1.2 Mekanisme Pasar Valas ... 10
(10)
2.2 Impor ... 15
2.2.1 Pengertian Impor ... 15
2.2.2 Kebijakan Impor ... 15
2.2.3 Rintangan-Rintangan Impor yang Bersifat Teknis ... 21
2.2.4 Tren Perkembangan Tarif dan NTBs Belakangn Ini ... 24
2.3 Produk Domestik Bruto (PDB) ... 28
2.3.1 Pengertian PDB ... 28
2.3.2 Cara Perhitungan PDB ... 29
2.3.3 Manfaat dan Keterbatasan Perhitungan PDB ... 29
2.3.4 Teori Pertumbuhan Ekonomi Modern Rostow ... 31
BAB III METODE PENELITIAN ... 37
3.1 Ruang Lingkup Penelitian . ... 37
3.2 Jenis Dan Sumber Data ... 37
3.3 Pengolahan Data ... 37
3.4 Model Analisis Data ... 38
3.5 Test of Goodness of Fit (Uji Kesesuaian) ... 39
3.6 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 42
3.7 Defenisi Operasional ... 43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45
(11)
4.1.1 Kondisi Geografis ... 45
4.1.2 Kondisi Iklim dan Topografi ... 45
4.1.3 Kondisi Demografi Indonesia ... 46
4.2 Gambaran Perekonomian Indonesia ... 47
4.3 Perkembangan Impor Barang Konsumsi di Indonesia ... 49
4.4 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS ... 54
4.5 Perkembangan PDB Indonesia ... 57
4.6 Analisis Pengumpulan Data ... 60
4.6.1 Interpretasi Model ... 61
4.6.2 Uji Kesesuaian (Test Of Goodness of Fit) ... 62
4.6.3 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70
5.1 Kesimpulan ... 70
5.2 Saran ... 71
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN
(12)
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
2.1 Produk-Produk yang Dilarang Impornya oleh Negara-Negara
yang Terkait
23
2.2 Pemasukan Tarif Impor Secara Kolektif Sebagai Persentase dari
Impor 28
2.3 Batas-Batas Tertinggi dari Tarif Sebagai Persentase dari
Garis-Garis dari Tarif 30
2.4 Ekskalasi Tarif: Rata-Rata Tarif yang Diterapkan Menurut
Tahap dari Proses Produksi (%) 27
4.1 Perkembangan Nilai Impor Barang Konsumsi di Indonesia 52
4.2 Perkembangan Volume Impor Barang Konsumsi di Indonesia 69
4.2 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar AS 55
(13)
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman
3.1 Kurva Uji t-Statistik 40
3.2 Kurva Uji F-Statistik 41
3.3 Kurva Uji D-W 43
4.1 Uji-t variabel Nilai Tukar Rupiah Terhadap Valas 62
4.2 Uji-t variabel Produk Domestik Bruto 63
4.3 Uji-F Statistik 65
(14)
DAFTAR SINGKATAN
AS : Amerika Serikat AUD : Australian Dollar JPY : Japan Yen
MFA : Multi-Fibre Agreement NTB : Non Tariff Barrier
NSB : Negara sedang berkembang OLS : Ordinary Least Square PDB : Produk Domestik Bruto. UE : Uni Eropa
USD : United State Dollar UU : Undang-undang Valas : Valuta asing
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
No. LAMPIRAN
1 : Data Variabel
2 : Hasil Regresi
3 : Hasil Regresi Variabel Valas (Dollar AS) terhadap PDB
(16)
ABSTRACT
The aim of this search is to analyze the influence exchange rate (Rupiah/US Dollar) and Brutto Domestic Product to the import value of consumption goods in Indonesia.
In general the import value consumption goods of a country is very influenced by the currency exchange rate and the value of Brutto Domestic Product. If currency exchange rate (rupiah) gets a depreciation, it will make the import value of consumption goods go down. This is caused by the import goods price become expensive.
The data used of this research is time series data from 1980-2006. The independent variables are exchange rate (Rupiah/US Dollar) and Brutto Domestic Product. And the dependent variable is the import value of consumption goods in Indonesia. The method used is OLS (Ordinary Least Square) by using econometric model.
The result shows that exchange rate (Rupiah/US Dollar) has negatively influenced on import value of goods consumption in Indonesia and Brutto Domestic Product has positively influenced on import value of goods consumption in Indonesia.
Keywords : Import Value of Consumption Goods, Exchange Rate (Rupiah/US Dollar), and Brutto Domestic Product.
(17)
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganlisa pengaruh nilai tukar (rupiah/dollar AS) dan Produk Domesti Bruto (PDB) terhadap nilai impor barang konsumsi di Indonesia.
Nilai impor barang konsumsi pada suatu negara sangat dipengaruhi oleh nilai tukar dan nilai PDB. Jika nilai tukar (rupiah/dollar AS) mengalami depersiasi maka nilai impor barang konsumsi akan meningkat. Hal ini menyebabkan harga barang-barang konsumsi menjadi mahal.
Data dari penelitian ini menggunakan data berkala dari tahun 1980-2006. variabel-variabel bebasnya adalah nilai tukar dan PDB, sedangkan variabel terikatnya adalah nilai impor barang konsumsi di Indonesia. Metode yang digunakan adalah OLS dengan model ekonometrika.
Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai tukar (rupiah/dollar AS) memiliki pengaruh yang negatif terhadap nilai impor barang konsumsi sedangkan PDB memiliki pengaruh positif signifikan terhadap nilai impor barang konsumsi di Indonesia.
Kata kunci : Nilai Impor Barang Konsumsi, Nilai Tukar (Rupiah/Dollar AS) dan Produk Domestik Bruto (PDB)
(18)
ABSTRACT
The aim of this search is to analyze the influence exchange rate (Rupiah/US Dollar) and Brutto Domestic Product to the import value of consumption goods in Indonesia.
In general the import value consumption goods of a country is very influenced by the currency exchange rate and the value of Brutto Domestic Product. If currency exchange rate (rupiah) gets a depreciation, it will make the import value of consumption goods go down. This is caused by the import goods price become expensive.
The data used of this research is time series data from 1980-2006. The independent variables are exchange rate (Rupiah/US Dollar) and Brutto Domestic Product. And the dependent variable is the import value of consumption goods in Indonesia. The method used is OLS (Ordinary Least Square) by using econometric model.
The result shows that exchange rate (Rupiah/US Dollar) has negatively influenced on import value of goods consumption in Indonesia and Brutto Domestic Product has positively influenced on import value of goods consumption in Indonesia.
Keywords : Import Value of Consumption Goods, Exchange Rate (Rupiah/US Dollar), and Brutto Domestic Product.
(19)
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganlisa pengaruh nilai tukar (rupiah/dollar AS) dan Produk Domesti Bruto (PDB) terhadap nilai impor barang konsumsi di Indonesia.
Nilai impor barang konsumsi pada suatu negara sangat dipengaruhi oleh nilai tukar dan nilai PDB. Jika nilai tukar (rupiah/dollar AS) mengalami depersiasi maka nilai impor barang konsumsi akan meningkat. Hal ini menyebabkan harga barang-barang konsumsi menjadi mahal.
Data dari penelitian ini menggunakan data berkala dari tahun 1980-2006. variabel-variabel bebasnya adalah nilai tukar dan PDB, sedangkan variabel terikatnya adalah nilai impor barang konsumsi di Indonesia. Metode yang digunakan adalah OLS dengan model ekonometrika.
Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai tukar (rupiah/dollar AS) memiliki pengaruh yang negatif terhadap nilai impor barang konsumsi sedangkan PDB memiliki pengaruh positif signifikan terhadap nilai impor barang konsumsi di Indonesia.
Kata kunci : Nilai Impor Barang Konsumsi, Nilai Tukar (Rupiah/Dollar AS) dan Produk Domestik Bruto (PDB)
(20)
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas sekarang ini, manusia dengan ide, bakat, dan IPTEK beserta barang dan jasa yang dihasilkannya dapat dengan mudah melewati batas negara. Pergerakan yang relatif bebas, barang dan jasa yang dihasilkan, ternyata bukan hanya telah menimbulkan saling keterkaitan dan ketergantungan, tetapi juga menimbulkan persaingan global yang semakin ketat. Adanya keterkaitan dan ketergantungan serta persaingan global tersebut menyebabkan hampir semua kehidupan dalan suatu negara terpengaruhi oleh ekonomi internasional. Dengan kata lain, dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, saat ini dapat dikatakan tidak ada lagi negara-negara yang ”autarki”, yaitu negara yang hidup terisolasi, tanpa mempunyai hubungan ekonomi, keuangan maupun perdagangan internasional (ekspor-impor).
Kemampuan yang nyata dari suatu bangsa dalam menghasilkan barang-jasa dan kenikmatan yang diperoleh setiap penduduk (perkapita) atas hasil itu disebut dengan produktivitas perkapita atau lebih dikenal dengan pendapatan perkapita. Suatu negara yang memiliki jumlah dan laju pertumbuhan penduduknya juga masih tinggi, mempunyai tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan negara yang penduduknya tergolong lebih kecil dengan laju pertumbuhan rendah (Suseno Triyanto,1990)
Kemampuan suatu negara untuk menyediakan kebutuhan konsumsi penduduknya dapat dilihat dari tingkat dan laju pertumbuhan konsumsi perkapita yang merupakan suatu indikator yang sangat bermanfaat untuk mengukur tingkat kehidupan masyarakat.
(21)
Perubahan-perubahan yang terjadi (melalui laju pertumbuhan seperti laju pertumbuhan ekonomi, laju pertumbuhan penduduk, dan laju pertumbuhan perkapita) di dalam tingkat konsumsi penduduk akan merefleksikan tingkat kehidupan masyarakatnya.
Indonesia merupakan negara sedang berkembang dengan jumlah penduduk sekitar 214.854 (tahun 2005) dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,34% per tahun (tahun 2005), memiliki tantangan yang cukup besar dalam menghasilkan barang-jasa dan kenikmatan yang diperoleh oleh setiap penduduk. Dengan tingkat konsumsi masyarakat yang semakin lama semakin meningkat yang dipicu oleh bertambahnya jumlah penduduk cenderung mendorong Indonesia untuk melakukan perdagangan internasional dengan melakukan ekspor maupun impor. Keterbatasan produktivitas barang dan jasa yang dihasilkan di Indonesia akan mendorong dilakukannya impor dengan tujuan agar kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi guna mencapai kemakmuran suatu negara.
Faktor-faktor yang mendorong dilakukannya impor adalah:
a. Keterbatasan kualitas sumber daya manusia dan teknologi yang dimiliki untuk
mengolah sumber daya alam yang tersedia agar tercapai efektifitas dan efisiensi yang optimal dalam kegiatan produksi dalam negeri.
b. Adanya barang-jasa yang belum atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. c. Adanya jumlah atau kuantitas barang di dalam negeri yang belum mencukupi.
Barang impor terdiri dari: a. Barang impor migas, yaitu:
1. Minyak.
(22)
b. Barang impor non migas, yaitu:
1. Barang modal.
2. Bahan baku/penolong.
3. Barang konsumsi.
Contoh barang konsumsi terdiri dari: a. Beras.
b. Tekstil
c. Susu, makanan, minuman dan buah-buahan.
d. Tembakau dan olahannya.
e. Alat-alat rumah tangga.
f. Dsb.
Negara Indonesia tentu memerlukan input untuk menghasilkan produk. Input yang diperlukan berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Variabel yang menentukan biaya input adalah harga dan jumlah input tersebut. Dalam kegiatan produksi tentu saja diperlukan cara produksi yang efektif dan efisien agar menekan biaya produksi. Hal ini didukung oleh teori klasik yakni teori absolute advantage (keunggulan mutlak) oleh Adam Smith yang menyatakan bahwa setiap negara akan memperoleh manfaat dari
perdagangan internasional (gain from trade) karena melakukan spesialisasi dengan
produksi dengan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak., serta mengimpor barang jika negara tersebut memiliki ketidakunggulan mutlak (absolute disadvantage). Dan juga teori cost comparative dari David Ricardo yang
menyempurnakan teori Adam Smith baik secara cost comparative (labor efficiency)
(23)
Faktor-faktor yang mempengaruhi impor barang konsumsi adalah valas (Dollar AS) dan Produk Domestik Bruto (PDB). Apabila terjadi depresiasi rupiah maka nilai impor barang konsumsi akan mengalami kenaikan. Hal ini akan mempengaruhi anggaran pendapatan dan pengeluaran pemerintah. Apabila kenaikan harga ini terjadi terus-menerus akan memicu terjadinya inflasi sehingga pemerintah perlu melakukan pengendalian terhadap jumlah impor barang konsumsi agar dampak dari kenaikan nilai impor barang konsumsi tidak berpengaruh secara universal dan signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Realisasi barang konsumsi impor pada tahun 2004 bernilai sebesar US$ 3786,5 juta dan mengalami kenaikan pada tahun 2005 dengan nilai sebesar US$ 4620,5 juta. Kenaikan ataupun penurunan jumlah dan nilai impor barang konsumsi yang terjadi setiap tahunnya tentu saja dipengaruhi oleh nilai valas negara yang berkaitan dan PDB.
Berdasarkan uraian - uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna penyelesaian skripsi dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Barang Konsumsi di Indonesia.”
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka ada rumusan masalah yang dapat diambil sebagai kajian dalam penelitian yang akan dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini. Selain itu, rumusan masalah ini diperlukan sebagai suatu cara untuk mengambil keputusan dari akhir penulisan skripsi, antara lain :
(24)
1. Bagaimana pengaruh valas, dalam hal ini adalah Dollar AS, terhadap perkembangan nilai impor barang konsumsi di Indonesia.
2. Bagaimana pengaruh Produk Domestik Bruto (PDB) dalam mendorong tingkat impor barang konsumsi guna mencapai kemakmuran masyarakat.
1.3Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang ada, dimana kebenarannya masih perlu dikaji dan diteliti melalui data yang terkumpul.
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penulis membuat hipotesis sebagai berikut :
1. Depresiasi rupiah atas valas (Dollar AS) berpengaruh negatif terhadap perkembangan nilai impor barang konsumsi Indonesia
2. Produk Domestik Bruto (PDB) berpengaruh positif terhadap nilai impor barang konsumsi.
1.4Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menjawab permasalahan yang telah dirumuskan yaitu mengetahui seberapa besar pengaruh nilai tukar rupiah atas Dollar AS, pendapatan perkapita dan laju inflasi terhadap besarnya barang konsumsi impor sehingga diharapkan para pengambil keputusan yang terkait mengetahui, memahami dan mengambil tindakan guna mengantisipasi segala kemungkinan baik bagi kalangan perbankan, eksportir-importir maupun bagi perekonomian Indonesia.
(25)
Dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat digunakan sebagai bahan studi atau tambahan literature bagi mahasiswa/i Fakultas Ekonomi khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan.
2. Sebagai bahan referensi dan informasi bagi masyarakat dan mahasiswa/i yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.
3. Untuk menambah dan memperkaya wawasan ilmiah penulis dalam disiplin ilmu yang penulis tekuni khususnya mengenai faktor - faktor yang mempengaruhi impor barang konsumsi di Indonesia.
(26)
BAB II
URAIAN TEORITIS
2.1 KURS 2.1.1 Pengertian
Kurs valuta asing atau foreign exchange rate diartikan sebagai mata uang asing dan alat pembayaran lainnya yang digunakan untuk melakukan atau membiayai transaksi ekonomi dan keuangan internasional atau luar negeri dan biasanya mempunyai catatan kurs resmi di Bank Sentral atau Bank Indonesia.
Mata uang yang sering digunakan sebagai alat pembayaran dan kesatuan hitung
dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional disebut sebagai hard currency,
yaitu mata uang yang nilainya relatif stabil dan kadang mengalami apresiasi atau kenaikan terhada[p mata uang lainnya. Umumnya berasal dari negara-negara industri maju, seperti USD, JPY, EURO, dan AUD.
Sedangkan soft currency adalah mata uang lemah yang jarang digunakan sebagai alat pembayaran dan kesatuan hitung karena nilainya relative tidak stabil dan sering mengalami deprsi atau penurunan nilai terhadap nilai mata uang lainnya. Umumnya berasal dari negara-negara yang sedang berkembang seperti Rupiah-Indonesia, Peso-Thailand, dan Rupee-India.
Total valas yang dimiliki oleh pemerintah dan swasta dari suatu negara disebut juga
sebagai cadangan devisa. Cadangan tersebut dapat diketahui dari posisi Balance of
Payment (BOP) atau neraca pembayaran internasionalnya. Makin banyak devisa yang dimiliki oleh pemerintah dan penduduk suatu negara maka berarti akan makin besar
(27)
kemampuan negara tersebut dalam melakukn transasksi ekonomi dan keuangan internasional dan makin kuat pula nilai mata uang negara tersebut. Adapun yang memperngaruhi nilai kurs adalah:
a. Permintaan dan penawaran mata uang asing tersebut.
b. Tingkat Bunga.
c. Tingkat inflasi
d. Produksi dan pendapatan.
e. Neraca pembayaran internasional.
f. Kebijakan pemerintah
g. Spekulasi
2.1.2 Sistem Kurs
Pada masa kini hampir seluruh negara yang ada di dunia tidak menggunakan sistem kurs yang murni. Negara-negara yang melakukan hubungan ekonomi internasional dengan negara lain menggunakan ssstem kurs campuran yang memadukan sebagian karakteristik sistem kurs baru dan sebagian lagi dengan sistem kurs mengambang yang masing-masing mnemiliki komposisi paduan karakteristik yang berbeda.
Sistem kurs campuran antara lain: a. Sistem kurs terbatas.
Sistem kurs ini biasanya memungkinkan fluktuasi kurs sampai batas tertentu. Sistem kurs yang didasarkan pada batas-batas fluktuasi atau system kurs terbatas dimana negara-negara dapat menetukan sendiri nilai patokan kursnya, kemudian membiarkan mata uangnya bergerak di atas/di bawah nilai patokan
(28)
tersebut secara terbatas. Kelebihan dari sistem kurs terbatas adalah dimana otoritas moneter di berbagai negara masih tetap memungkinkan untuk melakukan intervensi. Otoritas moneter hanya perlu sesekali melakukan intervensi terhadap pasar valuta asing apabila kurs mata uang domestiknya bergerak terlalu jauh sehingga cenderung melampaui batas-batas yang telah ditetapkan.
b. Sistem kurs baku yang dapat disesuaikan.
Sistem kurs baku yang dapat disesuaikan (adjustable peg system) lebih
menitikberatkan pada nilai patokan kurs daripada batas-batas nilai inflasi. Dalam sistem ini yang sering diubah ialah nilai patokannya sehingga sistem ini mengirim uang bagi negara-negara untuk melakukan devaluasi ataupun revaluasi (mengoreksi neraca pembayaran).
c. Sistem kurs baku merayap.
Dalam sistem ini nilai patokan masih boleh diubah. Namun setiap perubahan diusahakan sekecil mungkin. Sistem ini memungkinkan dilakukannya perubahan nilai patokan dalam frekuensi tinggi bahkan secara berkala. Misalnya, sekali dalam sebulan perubahan ini dapat dilakukan berulang-ulang sampai tingkat ekuilibrium.
d. Sistem kurs mengambang terkendali.
Fluktuasi kurs yang terlalu tajam atau terlalu sering terjadi cenderung makin surutnya arus perdagangan dan investasi internasional. Dalam system kurs mengambang terkendali (managed floating exchange rate system) ini, otoritas moneter di masing-masing negara dibebani kewajiban untuk melakukan
(29)
intervensi terhadap pasar-pasar valas dalam rangka mendukung inflasi jangka pendek dan mencegah kecenderungan jangka panjangnya. Dalam system kurs ini masih diperlukan adanya cadangan internasional sedangkam dalam sistem kurs mengambang bebas tidak diperlukan cadangan internasional karena ketidakseimbangan dalam neraca pemayaran secara otomatis dikoreksi oleh perubahan-perubahan kurs. Koreksi ini dapat berjalan secara lancer apabila pasar valas bersifat stabil sehingga intervensi pemerintah maupun cadangan internasional sama sekali tidak diperlukan.
2.1.3 Mekanisme Pasar Valas
Bursa atau pasar valas diartikan sebagai suatu tempat atau sistem dimana perorangan, perusahaan dan bank dapat melakukan transasksi keuangan internasional dengan jalan melakukan pembelian atau permintaan dan penjualan atau penawaran atas valas.
Misalnya, Indonesia ingin mengimpor barang konsumsi dari Cina seharga US$1050 juta. Karena pembayaran harus dilakukan dalam bentuk US$, maka Indonesia sebagai importir, Indonesia harus menggunakan cadangan devisanya untuk melakukan pembayaran dalam bentuk US$ tersebut. Jumlah nilai yang dibayarkan Indonesia terhadap Cina harus sesuai dengan kurs US$ yang berlaku pada waktu tersebut.
Transaksi penjualan dan pembelian kurs valas dapat dilakukan dengan cara spot
rate-spot market dan forward rate-forward market. Spot market adalah bursa valas dimana dilakukan transaksi jual dan beli valas dengan kurs spot dalam jangka waktu 2 x 24jam. Spot market diartikan sebagai suatu bursa valas setempat, misalnya di Jakarta,
(30)
Tokyo, New York, Paris, Hong Kong, dan di tempat lain, dimana berlaku spot rate, yaitu nilai kurs valas yang berlaku di tempat-tempat tersebut untuk jangka waktu maksimum
2x24jam. Pada umumnya international spot transaction interbank market untuk US$
dapat berlangsung dengan cara cepat (online and real time) karena diselenggarakan atau
diselesaikan dengan sistem komputer yang dikenal dengan CHIPS (Clearing House
Interbank Payments System) yang dioperasikan oleh New York Clearing House Association.
Sedangkan nilai kurs yang ditetapkan sekarang atau saat ini disebut dengan kurs forward, dimana kurs forward ini digunakan dalam kurs market sehingga transasksi
pembelian dan penjualan valas diberlakukan untuk waktu yang akan datang (future
period) antara lebih dari 2 x 24jam hingga biasanya satu tahun atau 12 bulan.
Forward rate dan forward market ini timbul karena adanya ketidakpastian dan
fluktuasi kurs, terutama semenjak berlakunya sistem kurs mengambang (floating
exchange rate system) setelah Dekrit presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971 yang antara lain menyatakan bahwa nilai mata uang US$ tidak dikaitkan lagi dengan emas.
Sebelumnya berdasarkan persetujuan Bretton Woods tahun 1944, sistem moneter
internasional didasarkan pada sistem kurs tetap atau (fixed exchange rate system) dimana US$ dapat ditukardan dijamin sepenuhnya dengan emas dengan ketentuan US$35 sama dengan satu ons emas.
Semenjak diberlakukan sistem kurs mengambang tersebut maka banyak perusahaan
dan perbankan, termasuk badan usaha pemerintah yang mengunakan forward market
untuk mengadakan forward contact guna melindungi transaksi perdagangan dan
(31)
keuntungan dari fluktuasi kurs. Ada empat pelaku transaksi dalam pasar valas dilihat dari tingkatan yang berbeda, yaitu:
a. Pada tingkatan yang pertama yaitu para pelaku transaksi tradisional seperti
wisatawan, importir, eksportir, investor dan sebagainya yang melakukan transaksi secara langsung.
b. Pada tingkatan yang kedua yakni bank-bank komersial yang bertindak sebagai
perantara atau lembaga kliring atau antara pemakai atau sumber permintaan/para penghimpun sumber penawaran valas. Bank-bank komersial merupakan inti atau pusat pasar valas karena hampir semua transaksi internasional dalam nilai yang cukup besar melibatkan kegiatan pencatatan debet ataupun kredit pada bank-bank komersil di berbagai pusat keuangan
dunia. Perdagangan valas di sesama bank disebut interbank trading yang
nilainya cukup besar sehingga menjadi kegiatan utama dalam pasar valas.
c. Pada tingkatan ketiga adalah para pialang valas yang bertindak sebagai
perantara pada bank-bank komersial untuk menukarkan berbagai jenis mata uang di kalangan bank-bank itu sendiri. Mereka berperan utama dalam pasar antar bank atau pasar mata uang asing berskala besar.
d. Pada tingkatan keempat adalah bank sentral yang bertindak sebagai pembeli dan penjual valas pada suatu negara. Peranan bank sentral adalah untuk mengurangi atau menambah cadangan valas atau sewaktu-waktu melakukan intervensi di pasar valas dengan tujuan untuk menstabilkan kurs.
(32)
2.1.4 Sistem Bretton Woods
Satu pelajaran yang diperoleh dari tahun 1930 bahwa sistem nilai tukar yang berfluktuasi bebas ataupun system nilai tukar tetap akan dimungkinkan setiap Negara dapat melakukan devaluasi untuk memulihkan keseimbangan neraca pembayarannya, walaupun tindakan devaluasi ini tidak pasti memulihkan keseimbangan neraca pembayarannya. Untuk mencapai suatu sistem nilai tukar yang tertib agar memudahkan arus bebas perdagangan setelah Perang Dunia II, maka banyak wakil berbagai negara mengadakan pertemuan di Bretton Woods tahun 1944 yang disponsori oleh Amerika Serikat dan Inggris. Sistem Bretton Woods memiliki tiga sasaran pokok, yaitu:
a. Menciptakan seperangkat aturan yang akan memelihara nilai tukar tetap dalam
waktu jangka pendek.
b. Menjamin bahwa perubahan nilai tukar (nilai tukar mata uang suatu negara)
akan dapat dilakukan bilaman terjadi defisit ataupun surplus yang mendasar pada neraca pembayarannya.
c. Memastikan bilamana terjadi devaluasi pada suatu negara tidak akan diikuti
oleh devaluasi pada negara lain, sehingga persaingan devaluasi antar negara dapat dihindarkan.
Sifat yang mendasari system ini adalah Dollar Amerika Serikat, dimana Dollar ini akan disimpan oleh negara lain sebagai valuta asing yang dapat ditukar langsung dengan emas pada harga yang telah ditentukan oleh pemerintah Amerika Serikat. Sedangkan pemerintah negara lain menetapkan harga mata uang negaranya dan membandingkannya dengan US Dollar. Dasar inilah yang membuat sistem ini merupakan standar emas karena mata uang asing (US$) secara langsung atau tidak langsung dapat ditukarkan dengan
(33)
emas. Bila mata uang suatu negara mengalami penawaran yang lebih besar, penguasa moneter akan menjual emas, Dollar dan Poundsterling. Sebaliknya, jika suatu negara mengalami permintaan yang lebih besar, penguasa moneter akan membeli emas, Dollar dan Poundsterling.
Sistem Bretton Woods bekerja cukup baik selama hampir 20 tahun, kemudian sistem ini dikacaukan oleh serangkaian krisis yang mencerminkan kelemahan sistem ini. Runtuhnya sistem ini disebabkan oleh:
a. Spekulasi Poundsterling Inggris.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an ekonomi Inggris lebih rawan mengalami inflasi dibandingkan ekonomi Amerika dan neraca pembayaran Inggris mengalami defisit. Para pemegang Poundsterlingpun merasa kuatir, mereka beranggapan bahwa pemerintah Inggris tidak mampu menjaga konvertibilitas pound terhadap Dollar dengan nilai tukar tertentu. Sehingga timbullah gerakan spekulasi untuk menjual mata uamg ini sebelum mata uang ini didevaluasi. Tahun 1967, pounds didevaluasi di tengah krisis spekulasi. Banyak negara yang mengalami defisit mengikuti jejak devaluasi ini.
b. Spekulasi Dollar Amerika Serikat.
Dalam sistem Bretton woods, apabila Amerika melakukan devaluasi terhadap mata uangnya maka akan mengakibatkan naiknya harga emas terhadap Dollar. Devaluasi ini didorong oleh defisitnya neraca pembayaran Amerika tahun 1967 sehingga menghasilkan spekulasi. Pada tahun 1968, negara pedagang utama terpaksa berhenti mematok harga emas di pasar bebas, akibat tekanan spekulasi untuk membeli emas yang tidak dapat ditahan. Sehingga terjadi dua harga emas
(34)
yaitu harga emas resmi dipergunakan penguasa monter untuk menyelesaikan utang dengan mentransfer emas dan harga emas pasar bebas yang ditentukan oleh kuatnya permintaan dan penawaran swasta tanpa campur tangan bank sentral. Dengan adanya harga emas pasar bebas ini, maka para spekulan beralih ke mata uangnya yang nilainya masih rendah terhadap US$ sehingga kemampuan bank sentral untuk mempertahankan nilai tukar yang telah dipatok dalam mengahadapi arus dana yang cepat sangat diragukan.
2.2 Impor. 2.2.1 Pengertian
Impor adalah arus masuk dari sejumlah barang-barang dan atau jasa ke dalam sebuah pasar suatu negara baik untuk keperluan konsumsi ataupun sebagai barang-barang modal atau bahn baku produksi dalam negeri. Semakin besar impor suatu negara dari satu sis dianggap baik guna memenuhi kebutuhan akan barang ataupun jasa. Namun, di sis lain hal tersebut berpeluang mematikan produksi barang atau jasa sejenis yang ada di dalam negeri dan juga dapat menguras cadangan devisa negara tersebut.
2.2.2 Kebijakan Impor.
Kebijakan perdagangan internasional di bidang impor diartikan sebagai tindakan dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap importir dari luar negeri dimana akan mempengaruhi struktur, komposisi, dan kelancaran usaha dalam negeri yang ditujukan untuk melindungi/mendorong pertumbuhan industri dalam negeri dan penghematan devisa negara dimana pada sisi
(35)
berlawanan, tujuan utama yaitu kebutuhan masyarakat juga dapat terpenuhi. Kebijakan-kebijakan tersebut terdiri dari, antara lain:
a. Kebijakan Tariff Barrier:
1. Pembebasan bea masuk/tariff rendah adalah antara 0-5%: dikenakan untuk bahan
kebutuhan pokok dan vital seperti beras, mesin-mesin vital, alat-alat pertahanan/kemanan militer, dan sebagainya.
2. Tarif sedang antara >5-20%: dikenakan untuk barang setengah jadi dan barang-barang lain yang belum cukup diproduksi dalam negeri.
3. Tarif tinggi >20%: dikenakan untuk barang-barang mewah dan barang-barang
lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri dan bukan kebutuhan pokok. Tarif adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang masuk untuk dipakai/dikonsumsi habis di dalam negeri. Dalam pelaksanaannya, sistem/cara pemungutan tariff bea masuk ini dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Bea harga (Ad Volorem Tariff)
Besarnya pemungutan bea masuk atas barang impor ditentukan oleh tingkat persentase tarif dikalikan harga CIF dari barang tersebut (BM = %tarif x Harga CIF). Misalnya, harga CIF suatu barang X = $100 dan tariff bea masuknya 10%, sedangkan kurs = Rp.10000/USD. Maka pungutan bea masuknya = 10% x $100 x Rp10000 = Rp.100000.
Bea ini memiliki bersifat proporsional. Keuntungannya adalah:
1. Dapat mengikuti perkembangan tingkat harga/inflasi.
(36)
Kerugiannya adalah:
1. Memberikan beban yang cukup berat bagi administrasi pemerintahan,
khususnya bea cukai karena memerlukan data dan perincian harga barang yang lengkap.
2. Sering menimbulkan perselisihan dalam penetapan harga untuk
perhitungan bea masuk antara importer dan bea cukai, sehingga dapat menimbulkan kemacetan stagnasi/kemacetan arus barang di pelabuhan a. Bea spesifik (Specific Tariff)
Pungutan bea masuk ini didasarkan pada ukuran atau satuan tertentu dari barang impor. Di Indonesia sistem tarif ini digunakan sebelum tahun 1991. misalnya bea masuk untuk:
•Semen : Rp.3000 per ton. •Sepatu : Rp.14500 per pasang. •Piring : Rp.5000 per lusin. •Jeruk :Rp.500 per kg. Keuntungannya adalah:
1. Mudah dilaksanakan karena tidak memerlukan perincian harga barang
sesuai kualitasnya.
2. Dapat digunakan sebagai alat nkontrol proteksi industri dalam negeri. Kerugiannya adalah:
1. Pengenaan tarif dirasakan kurang-tidak adil karena tidak membedakan
harga/kualitas.
(37)
b. Bea campuran (Compound Tariff)
Pungutan bea masuk ini merupakan campuran antara system bea spesifik dan bea harga.
Menurut tujuannya, kebijakan tarif bea masuk dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Tarif proteksi, yaitu pengenaan tariff bea masuk yang tinggi untuk
mencegah/membatasi impor barang tertentu.
b. Tarif revenue, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang bertujuan untuk
meningkatkan penerimaan negara.
Berdasarkan tujuan tersebut maka fungsi tarif bea masuk adalah:
a. Fungsi mengatur (regulerend), yaitu untuk mengatur perlindungan
kepentingan/ekonomi industri dalam negeri.
b. Fungsi budgeter, yaitu sebagai salah satu sumber penerimaan negara.
c. Fungsi demokrasi, yaitu penetapan tarif bea masuk melalui persetujuan DPR.
d. Fungsi pemerataan, yaitu untuk pemerataan distribusi pendapatan nasional,
misalnya dengan pengenaan tarif bea masuk yang tinggi untuk barang mewah. b. Kebijakan Nontariff Barrier:
Kebijakan nontariff barrier adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional. Secara garis besar Nontariff Barrier dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pembatasan Spesifik (specific limtitation): a. Larangan impor secara mutlak. b. Pembatasan impor atau quota system.
(38)
d. Peraturan kesehatan/karantina.
e. Peraturan pertahanan dan kemanan negara. f. Peraturan kebudayaan.
g. Perizinan impor/import licenses. h. Embargo
2. Peraturan bea cukai (customs administration rules) a. Tatalaksana impor tertentu (procedure). b. Penetapan harga pabean (customs value). c. Penetapan kurs valas dan pengawasan devisa. d. Consulat formalities
e. Packaging/labeling regulations. f. Documentations needed.
g. Quality and testing standard. h. Pungutan administrasi
i. Tariff classification. 3. Government participation
1. Kebijakan pengadaan pemrintah. 2. Subsidi dan insentif impor. 3. Countervailing duties.
4. Domestic assistance programs. 5. Trade-diverting.
4. Import charges
(39)
2. Suplementary duties . 3. Variable levies
Kuota adalah pembatasan fisik secara kuantitatif yang dilakukan atas pemasukan barang (kuota impor) dan pengeluaran barang (kuota ekspor) dari ke suatu negara untuk melindungi kepentingan industri dan konsumen. Menurut ketentuan GATT/WTO, sistem kuota ini hanya dapat digunakan dalam hal sebagai berikut:
1. Untuk melindungi hasil pertanian.
2. Untuk menjaga keseimbangan Balance of Payment.
3. Untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional.
Macam-macam kuota impor:
1. Absolute/unilateral quota, yaitu sistem kuota yang ditetapkan secara sepihak (tanpa negoisasi).
2. Negotiated/bilateral quota, yaitu sistem kuota yang ditetapkan atas kesepakatan atau perjanjian.
3. Tarif kuota, yaitu pembatasan impor yang dilakukan dengan mengkombinasikan
sistem tarif dan sistem kuota.
4. Mixing quota, yaitu pembatasan impor bahan baku tertentu untuk melindungi industri dalam negeri.
Subsidi adalah kebijakan pemerintah untuk memberikan perlindungan atau bantuan kepada industri dalam negeri dalam bentuk keringanan pajak, fasilitas kredit, subsidi harga, dan lain-lainh yang bertujuan:
1. Menambah produksi dalam negeri.
(40)
3. Menjual dengan harga yang lebih murah daripada produk impor.
Kebijakan subsidi ini merupakan proteksi terhadap industri dalam negeri yang tentunya mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan cara proteksi lainnya, yaitu:
1. Subsidi biasanya diberikan untuk barang kebutuhan pokok masyarakat banyak. 2. Subsidi biasanya bersifat transparan dan dapat dikontrol oleh masyarakat.
2.2.3 Rintangan-Rintangan Impor yang Bersifat Teknis.
Walaupun sekarang ini sudah banyak dilakukan penurunan tariff proteksi oleh banyak Negara yang terkait dengan penerapan era perdagangan bebas, termasuk dalam perdagangan antarnegara ASEAN (AFTA), namun sebenarnya apakah perdagangan yang betul-betul bebas akan terwujud masih merupakan suatu pertanyaan. Masalahnya adalah bahwa sekarang ini semakin banyak negara atau kelompok negara (Uni Eropa) yang menghalangi kelancaran impor yang disebut rintangan-rintangan non-tarif.
Misalnya, baru-baru ini suatu peraturan di dalam perdagangan internasional yang dikaitkan dengan keamanan adalah undang-undang antiterorisme biologi oleh pemerintah AS. Dengan ketentuan ini, produk-produk makanan dan minuman yang akan masuk ke AS harus diseleksi dulu oleh pemrintah AS. Tujuannya adalah untuk memastikan apakah produk-produk tersebut membawa virus yang dapat mengakibatkan wabah penyakit tertentu. UU tersebut dikeluarkan pada tanggal 12 Juni 2002. ketentuan ini tentu akan menghambat kelancaran atau bahkan mengurangi volume ekspor produk-produk makanan dan minuman atau komoditas-komoditas pertanian ke AS, termasuk dari Indonesia.
(41)
Sebenarnya, hambatan terhadap impor dengan alasan keselamatan konsumen di negara pengimpor akan semakin banyak, selain UU tersebut, termasuk baru-baru ini flu burung. Hal ini akan mengahmbat perdagangan internasional untuk ayam dan bahkan produk-produk turunannya.
Juga ekspor udang dari Indonesia mengalami NTB, khususnya ke pasar Jepang dan UE. Pemerintah Jepang dan UE menerapkan kebijakan yang mengharuskan udang yang
diimpor dari Asia terbebas dari kandungan antibiotic chlorampenicol, oxytetracylin,
chlortetracycline, nitrofuransi dan furazolidon. Bahkan pemerintah Jepang mulai 1
Januari 2004 semakin memperketat impor udang dari Indonesia. Kandungan antibiotic
oxytetracylin dan chlortetracycline pada komoditas itu yang biasanya hanya 0.05 part per million (ppm) akan ditekan lebih rendah menjadi 0.01 ppm guna melindungi konsumen udang di negara tersebut.
Masalah yang sama juga dialami oleh ekspor kayu dari Indonesia untuk keperluan konstruksi ke pasar Eropa. Para eksportir diwajibkan mencantumkan EC Marking mulai 1
April 2004. EC Marking merupakan pernyataan bahwa produk manufaktur yang
diproduksi telah memenuhi persyaratan fundamental mengenai kesehatang, kemanan serta proteksi lingkungan.
NTB lainnya yang muncul sejak tahun lalu adalah peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah AS mengenai penggunaan bahan kemasan dari kayu bagi produk-produk yang masuk ke pasar Negara tersebut, walaupun sebagian produsen telah menggunakan kemasan bukan kayu. Peraturan baru yang telah dinotifikasi ke WTO pada Mei 2003 itu mewajibkan setiap produk kayu untuk kemasan yang tidak diproses atau dimanufaktur
(42)
untuk mencegah wabah kumbang jenis pine shoot beetle dan longhorned beetle, yang memilih kayu sebagai wadah untuk berkembang biak. AS dan Kanada serta Meksiko menerapkan peraturan ini secara serentak sejak 1 Januari 2004. bahkan UE berencana menerapkan pertauran tersebut sebelum akhir tahun 2003 lalu.
Berdasarkan data dari Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, tabel di bawah ini memberikan informasi mengeani produk-produk yang dilarang impornya karena isu lingkungan, termasuk kayu lapis dari Indonesia. Hal ini sangat merugikan Indonesia karena kayu lapis merupakan salah satu produk ekspor unggulan dari Indonesia dari kategori nonmigas selama ini. UE menganggap bahwa hutan di Indonesia nyaris hilang, dan oleh sebab itu negara-negara anggota UE dilarang membeli kayu dan produk-produknya dari Indonesia.
Tabel 2.1: Produk-Produk yang Dilarang Impornya oleh Negara-Negara yang Terkait
dengan Kebijakan Pelestarian Lingkungan
Produk Larangan Negara yang
Melarang
Negara Produsen
Ikan tuna (dan produknya) Impor/dibatasi AS Kanada,
Meksiko
Udang dan produknya Impor AS -
Ikan herring dan salmon yang belum diproses
Ekspor Kanada -
Rokok dan tembakau Impor Thailand -
(43)
disuntik hormon pertumbuhan
Ikan salmon Impor Australia -
Produk pertanian Impor Jepang -
Kayu Impor UE Indonesia
Kayu lapis Impor Jepang Indonesia
Sumber: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
Walupun belum ada suatu studi yang komprehensif hingga saat ini mengenai ekstra biaya yang muncul dari penerapan NTBs seperti di atas bagi eksportir, namun dapat diduga sebagai suatu hipotesis bahwa biaya ekonomi tersebut sangat besar, bahkan pada tingkat makro bisa melebihi kerugian akibat pengenaan tarif impor. Alasannya dalam sistem tarif ada kepastian sehingga si eksportir dari awal sudah bisa menyesuaikan dengan harga jualnya. Dalam kata lain, selama barabgnya tetap laku walaupun harga jualnya di negara importir meningkat akibat dikenakan bea masuk, tidak ada masalah bagi eksportir, ekspornya jalan terus. Sedangkan dalam sistem NTBs yang sangat bervariasi, bisa sangat menyulitkan si penjual, dan bahkan akibat terlalu ketatnya peraturan di negara pembeli bisa membuat ekspornya terhenti atau ditolak sama sekali.
2.2.4 Tren Perkembangan Tarif dan NTBs Belakangan Ini.
Dengan berakhirnya peraturan Uruguay (PU) yang ditandai dengan berdirinya WTO pada tahun 1994, maka dapat dikatakan bahwa secara resmi dunia memulai proses menuju era perdagangan bebas, yang akan diberlakukan di seluruh dunia paling lambat tahun 2020. sebenarnya, jauh sebelum tercapainya kesepakatan WTO tersebut, sudah banyak negara yang mulai melakukan reformasi tarif. Hal ini dapat dilihat dari penurunan
(44)
tarif impor di dunia sebagai suatu pangsa dari nilai impor di semua wilayah dalam 25 tahun terakhir, tetapi lebih nyata di negara-negara dari kelompok OECD. Di wilayah-wilayah lainnya tidak ada perubahan yang nyata hingga akhir tahun 1980-an, dan setelah itu semua wilayah menunjukkan suatu penurunan.
Tabel 2.2: Pemasukan Tarif Impor Secara Kolektif Sebagai Persentase dari Impor
Wilayah
Periode
1975 1980 1985 1990 1995 Tahun
Terakhir
Semua Negara 22.4 22.5 22.0 21.0 18.9 16.2
Uni Eropa 3.2 1.8 1.2 0.5 0.1 0
Jepang 2.6 2.4 1.7 1.3 1.3 13
AS 1.5 1.4 1.6 1.6 1.4 1.0
Negara maju lain 9.2 6.9 5.8 4.0 1.6 1.3
Cina tad tad tad 13.8 8.8 9.5
India 16.4 22.0 26.7 28.8 24.4 18.5
Indonesia 10.3 7.2 3.2 6.4 4.0 3.1
NSB lain yang sudah maju 24.4 23.5 21.0 20.4 17.9 14.2
NSB yang masih terbelakang/miskin*
35.9 36.2 37.4 35.0 33.8 32.0
Keterangan: *NSB yang sudah maju seperti India, Cina, Indonesia, Malaysia, Thailand. Sedangkan NSB yang masih terbelakang seperti di Afrika dan Asia Selatan selain India.
Sumber: World Development Indicators CD Rom 2003, dikutip dari de Cordoba dkk
(45)
Dua hal penting yang disepakati bersama di dalam PU adalah pemotongan tarif impor terhadap produk-produk pertanian dan menhilangkan rintangan-rintangan terhadap perdagangan internasional untuk tekstil dan produk-produk lainnya, khususnya pakaian
jadi di dalam Multi-Fibre Agreement (MFA) paling lambat pada akhir tahun 2004.
Kesepakatan tersebut mengharuskan negara-negara maju memotong bea masuk impor sebesar 1/3 dan NSB yang sudah maju sebesar 1/4, dan ini dicapai dengan negoisasi garis per garis dari tarif. Pada akhirnya, negara maju dan NSB yang sudah maju memotong sekitar 30% dari garis-garis tarif mereka (Tulus Tambunan, 2004)
Akan tetapi, dalam kenyataan, hasil yang muncul dari kesepakatan di dalam PU adalah kelangsungan bias yang tidak proporsional dalam proteksi terhadap ekspor dari NSB (yang sudah maju maupun belum) lewat batas-batas tertinggi dan ekskalasi dari tariff (UNTACD, 2003c ). Pentingnya batas-batas maksimum dari tarif atas produk-produk yang penting bagi ekspor dari NSB tetap menjadi suatu prioritas di dalam agenda perdagangan multilateral. Hasil penelitian dari de Cordoba dkk (2004) menunjukkan hampir 10% dari garis-garis tarif negara-negara maju tiga kali lebih besar dari rata-rata nasional.
Tabel 2.3: Batas-Batas Tertinggi dari Tarif Sebagai Persentase dari Garis-Garis dari Tarif
Skenario Batas Tertinggi Yang Diterapkan
Negara-negara maju 8.2 9.9
NSB yang sudah maju 0.4 3.5
NSB yang belum maju 0.4 0.7
(46)
Hasil dari studi mereka juga menunjukkan bahwa ekskalasi tarif merupakan suatu fenomena yang umum dan signifikan pada ekspor dari NSB yang muncul dari PU. NSB yang sangat tergantung pada ekspor dari komoditi-komoditi primer menghadapi mengahadapi suatu beban di dalam usaha mereka ke produk-produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Peningkatan dalam tarif-tarif sepanjang rantai produksi terutama sangat berpengaruh pada tahap tengah yang menghasilkan produk-produk setengah jadi.
Tabel 2.4: Ekskalasi Tarif: Rata-Rata Tarif yang Diterapkan Menurut Tahap dari Proses Produksi (%)
Primer Tengah Akhir
Negara-negara maju 0.6 3.0 3.4
NSB yang sudah maju 6.0 9.1 8.0
NSB yang belum maju 6.9 18.0 12.0
2.3 Pendapatan Domestik Bruto (PDB) 2.3.1. Pengertian.
Produk Domestik Bruto menghitung hasil produksi suatu perekonomian tanpa memperhatikan siapa pemilik faktor produksi tersebut. Semua faktor produksi yang
beralokasi dalam perekonomian tersebut outputnya diperhitungkan dalam PDB.
Akibatnya, PDB kurang memberikan gambaran tentang berapa sebenarnya output yang
dihasilkan oleh faktor-faktor produksi miliki perekonomian domestik.
Nilai PDB suatu periode tertentu sebenarnya merupakan hasil perkalian antara harga barang yang diproduksi dengan jumlah barang yang dihasilkan. Misalnya, PDB tahun
(47)
2000 adalah hasil perkalian antara harga barang pada tahun 2000 dengan jumlah produksi tahun 2000. Contoh, dalam perekonomian yang hanya memproduksi satu jenis produk yaitu baju. Selama tahun 2000 baju diproduksi sebanyak 1000 potong. Bila harga jual baju per potong Rp 120,00, maka PDB 2000 sebesar Rp 120.000,00.
Jika PDB tahun 1999 nilainya adalah Rp 100.000,00 dapatkah diambil kesimpulan bahwa perekonomian tahun 2000 lebih baik disbanding tahun 1999? Atau dapatkah dikatakan telah terjadi pertumbuhan output sebesar 20% per tahun? Dalam hal ini, kita harus berhati-hati! Nilai PDB yang lebih besar tidaklah berarti jumlah output otomatis lebih besar. Perekonomian 2000 dikatakan lebih baik dibanding perekonomian 1999, bila jumlah output yang dihasilkan di tahun 2000 lebih banyak disbanding tahun 1999.
Andaikan harga sepotong baju tahun 1999 adalah Rp 80,00, maka jumlah pakaian yang diproduksi tahun 1999 adalah 1250 unit (Rp 100000,00 : Rp 80,00). Ternyata, walaupun nilai PDB 2000 lebih besar daripada nilai PDB 1999, namun outputnya lebih sedikit. Naiknya nilai PDB 2000 disebabkan oleh naiknya harga baju selama tahun 2000 dari RP 80,00 menjadi Rp 120,00 per potong. Kenaikan harga sebesar 50%. Inilah yang disebut dengan perhitungan PDB berdasarkan harga berlaku. Karene menambahkan laju inflasi pada tahun tersebut. Sedangkan perhitungan PDB berdasarkan harga konstan menghilangkan pengaruh inflasi. Dimana, harga konstan yang dimaksud adalah harga yang dianggap berubah. Untuk memperoleh PDB harga konstan, maka kita harus menentukan tahun dasar yang merupakan tahun dimana perekonomian berada dalam kondisi baik/stabil.
(48)
2.3.2. Cara Perhitungan PDB.
Rumus umum untuk PDB dengan pendekatan pengeluaran adalah: PDB = C + I + G + ( X – M )
Dimana, C (konsumsi) adalah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, I (investasi) oleh sektor usaha, G (government) adalah pengeluaran oleh pemerintah dan (X-M) melibatkan luar negeri.
Sementara rumus umum dengan pendekatan pendapatan dari faktor produksi: PDB = sewa + upah + bunga + laba
Dimana, sewa adalah pendapatan pemilik modal dan laba untuk pengusaha. Secara teori, PDB dengan pendekatan pengeluaran dan pendapatan harus menghasilkan hasil yang angka sama. Namun, karena dalam praktek menghitung PDB dengan pendekatan pendapatan sulit dilakukan maka yang sering digunakan adalah pendekatan pengeluaran.
2.3.3. Manfaat dan Keterbatasan Perhitungan PDB.
Perhitungan PDB akan memberikan gambaran ringkas tentang tingkat kemakmuran suatu negara, dengan cara membaginya dengan jumlah penduduk. Angka tersebut dikenal dengan PDB perkapita. Biasanya makin tinggi angka PDB perkapita, kemakmuran rakyat dianggap makin tinggi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menggunakan PDB perkapita untuk menyusun kategori tingkat kemakmuran suatu negara. Berdasarkan standar tahun 1992, sebuah negara dikatakan miskin bila PDB perkapitanya lebih kecil daripada US$ 450,00. Berdasarkan standar ini, maka sebagian negara-negara di dunia dapat dikatakan miskin. Suatu negara dapat dikatakan makmur (kaya) jika PDB
(49)
perkapitanya lebih besar daripada US$ 8000,00. Jika menggunakan standar ini, hanya sebagian kecil negara-negara di dunia ini yang dianggap kaya.
Perhitungan PDB ataupun PDB perkapita juga dapat digunakan untuk menganalisis tingkat kesejahteraan sosial masyarakat. Umumnya ukuran tingkat kesejahteraan yang dipakai adalah tingkat pendidikan, kesehatan dan gizi, kebebasan memilih pekerjaan dan jaminan masa depan yang lebih baik. Ada hubungan yang positif antara PDB perkapita dengan kesejahteraan sosial. Makin tinggi PDB perkapita maka kesejahteraan sosial makin membaik. Jika PDB perkapita makin tinggi, maka daya beli masyarakat, kesempatan kerja serta masa depan perekonomian makin membaik, sehingga gizi, kesehatan, pendidikan dan kebebasan memilih pekerjaan dan masa depan kondisinya akan semakin meningkat, apabila disertai dengan pemerataan distribusi pendapatan.
Namun dalam perhitungan PDB maupun PDB perkapita juga terdapat kelemahan yang tidak dapat menjamin seratus persen kebenarannya dalam realita. Kelemahan tersebut adalah:
1. PDB kurang memberikan gambaran yang lebih rinci tentang kondisi kemakmuran
suatu negara dan tidak terlalu memperhatikan aspek distribusi pendapatan. Misalnya, walaupun perekonomian Amerika Serikat salah satu negara termakmur di dunia dengan PDB (tahun 1997) sebesar US$ 29.080,00 (64 kali lebih tinggi dari batas ukuran miskin), namun negara tersebut masih bergelut dalam masalah kemiskinan dan pengangguran. Faktor utama yang memicu masalah tersebut adalah distribusi pendapatan. Pada tahun 1996 sekitar 46% aset finansial dikuasai oleh sekitar 1% penduduk. Karena untuk faktor produksi nontenaga kerja, terutama uang dan modal, distribusi penguasaanya relatif sangat buruk.
(50)
2. Masalah mendasar perhitungan PDB adalah tidak diperhatikannya dimensi non
material. Sebab PDB hanya menghitung output yang dianggap memenuhi
kebutuhan fisik/materi yang dapat diukur dengan uang. PDB tidak menghitung output yang tidak terukur dengan uang, misalnya ketenangan batin yang diperoleh dengan menyandarkan hidup pada norma-norma agama/spiritual.
3. PDB Indonesia, pada khususnya, yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
hanya mencatat kegiatan-kegiatan ekonomi formal. Karena itu, statistik PDB belum mencerminkan seluruh kegiatan perekonomian suatu negara. Misalnya sektor informal, seperti upah pembantu rumah tangga, kegiatan petani buah yang langsung menjual produknya ke pasar.
2.3.5 Teori Pertumbuhan Ekonomi Modern oleh W.W Rostow
Tahap-tahap pertumbuhan ekonomi menurut Profesor W.W Rostow merupakan tahap pertumbuhan ekonomi yang memakai pendekatan sejarah dalam menjelaskan proses perkembangan ekonomi. Ia membedakan adanya lima tahap pertumbuhan ekonomi, yaitu:
1. Masyarakat tradisional.
Pada masa ini, umumnya, banyak tanah dapat digarap, skala dan pola perdagangan dapat diperluas, manufaktur dapat dibangun dan produktivitas pertanian dapat ditingkatkan sejalan dengan peningkatan penduduk dan pendapatan nyata. Tetapi fakta menunjukkan bahwa keinginan untuk menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi modern secara teratur dan sistematis bertumbuh pada adanya suatu batas (pagu) yaitu tingkat iutput
(51)
perkapita yang dapat dicapai. Bukan karena tidak adanya daya cipta dan pemabaharuan, namun karena tidak adanya saranan dan pandangan terhadap hal tersebut. Struktur sosial masyarakat seperti itu bersifat jenjang, hubungan darah dan keluarga memainkan peranan yang menentukan., kekuasaan politik terpusat di daerah, di tangan bangsawan pemilik tanah yang didukung oleh sekelompok serdadu dan pegawai negeri. Lebih dari 75% penduduk bergerak di bidang pertanian. Pertanian biasanya menjadi sumber utama pendapatan negara dan bangsawan, yang kemudian dihamburkan untuk pembanguan candi atau monumen lain serta pesta penguburan atau perkawinan atau untuk perang.
2. Prasyarat untuk tinggal landas.
Tahap kedua ini merupakan masa transisi dimana prasyarat-prasyarat pertumbuhan swadaya dibangun atau diciptakan dan secara perlahan diciptakan. Prasyarat tinggal landas didorong atau didahului oleh empat kekuatan yaitu renesans/era pencerahan, kerajaan baru, dunia baru dan agama baru/reformasi. Kekuatan ini menempatkan “penalaran” (reasoning), dan “ketidakpercayaan” (scepticism) sebagai pengganti “kepercayaan” (faith) dan “kewenangan” (authority), mengakhiri feodalisme dan membawa ke kebangkitan negara kebangsaan, menanamkan semangat pengembaraan yang menghasilkan berbagai penemuan baru dan pembaharuan serta timbulnya kaum borjuasi-golongan elit- di kota-kota dagang baru. Kekuatan ini bersifat instrumental di dalam melahirkan perubahan sikap, harapan, struktur dan nilai-nilai social. Singkatnya, prasyarat-prasyarat tersebut muncul tidak dari dalam tapi merupakan desakan dari luar. Pendidikan sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern.
(52)
Manusia –manusia baru yang mau bekerja keras muncul memasuki sektor ekonomi swasta atau pemerintah atau kedua-duanya, manusia baru yang bersedia menggalakkan tabungan dan mengambil resiko dalam mengejar keuntungan modernisasi. Investasi meningkat di bidang perhubungan, pengankutan dan di bidang bahan mentah yang mempunyai daya tarik bagi negara lain sehingga jangkauan ke dalam dan keluar negeri meluas. Dimana-dimana muncul perusahaan manufaktur yang menggunakan metode baru. Hal-hal ini dipengaruhi moleh perluasan modal, revolusi teknologi di bidang pertanian dan perluasan impor (termasuk impor modal yang dibiayai oleh produksi yang efisien dan pemasaran sumber alam untuk ekspor). Peranan faktor sosial dan politik berfungsi sebagai kekutan potensial dalam melakukan masa transisi tersebut.
3. Tinggal landas.
Tahap tinggal landas merupakan titik yang menentukan di dalam kehidupan suatu masyrakat. Rostow juga mendefinisikan tinggal landas sebagai revolusi industri yang bertalian secara langsung dengan perubahan radikal di dalam metode produksi yang dalam jangka waktu singkat menimbulkan konsekuensi yang menentukan periode tinggal landas diduga tidak memakan waktu yang lama, kira-kira hanya dua dasawarsa. Syarat tinggal landas adalah:
a. kenaikan laju investasi produktif, misalnya 5-10% dari pendapatan
nasional/produk nasional neto.
b. Perkembangan salah satu atau beberapa sector manufaktur penting dengan
(53)
c. Hadirnya secara cepat kerangka politik, sosial, dan organisasi yang menampung hasrat ekspansi di sektor modern tersebut dan memberikan daya dorong pertumbuhan.
Syarat lain tinggal landas adalah perkembangan salah satu atau bebrapa sektor penting dalam perekonomian. Rostow menganggap perkembangan sektor penting itu sebagai “tulang punggung analitis” dari tahap pertumbuhan ekonomi tersebut. Biasanya ada tiga sektor di dalam suatu perekonomian, yaitu:
a. Sektor pertanian primer : kemungkinan inovasi atau menggarap sumber
baru atau yang belum tergarap menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi daripada sektor ekonomi lainnya.
b. Sektor pertanian suplementer : pertumbuhan pesat terjadi sebagai
konsekuensi perkembangan sektor pertanian primer tersebut.
Pembangunan kereta api, misalnya adalah suatu sektor pertumbuhan primer dan perluasan industri di bidang besi, batu bara dan baja dapat dianggap sebagai sektor suplementer.
c. Sektor pertanian turunan : pertumbuhan terjadi dalam kaitan yang agak
tetap dengan pertumbuhan di bidang pendapatan nasional, penduduk, produksi industri atau beberapa variabel lain yang secara keseluruhan meningkat agak cepat.
4. Dorongan menuju kedewasaan.
Rostow mendefinisikan sebagai tahap ketika masyarakat telah dengan efektif menerapkan serentetan teknologi modern terhadap keseluruhan sumber daya mereka. Itu merupakan satu pertumbuhan swadaya jangka panjang yang
(54)
merentang melebihi masa empat dasawarsa. Teknik produksi baru menggantikan teknik yang lama. Berbagai sector penting baru tercipta, tingkat investasi neto lebih dari 10% pendapatan nasional dan perekonomian mampu menahan segala goncangan yang tak terduga. Pada waktu suatu negara berada dalam tahap kedewasaan teknologi ada tiga perubahan penting terjadi, yaitu:
a. Sifat tenaga kerja berubah. Ia berubah menjadi terdidik, orang lebih suka tinggal/hidup di kota daripada didesa, upah nyata mulai meningkat dan para pekerja mengorganisasikan diri untuk mendapatkan jaminan sosial dan ekonomi yang lebih besar.
b. Watak para pengusaha berubah. Pekerja kasar berubah menjadi manajer
efisien yang halus dan sopan.
c. Masyarakat merasa bosan pada kewajiban internasioanl dan
menginginkan sesuatu yang baru menuju perubahan yang lebih jauh. 5. Era konsumsi tinggi.
Abad konsumsi massa besar-besaran ditandai dengan migrasi ke pinggiran kota, pemakaian mobil secara meluas, barang konsumsi dan peralatan rumah tangga yang tahan lama. Pada tahap ini, keseimbangan perhatian masyarakat beralih dari penawaran kepada permintaan, dari persoalan produksi kepada persoalan konsumsi dan kesajahetraan dalam arti luas. Tetapi ada tiga kekuatan yang nampak cenderung meningkatkan kesejafteraan di dalam tahap purna-dewasa ini, yaitu:
a. Penerapan kebijaksanaan nasional guna meningkatkan kekuasaan dan
(55)
b. Ingin memiliki satu negara dengan kesejahteraan dengan pemerataan pendapatan nasional yang lebih adil melalui pajak progresif, peningkatan jaminan sosial dan fasilitas hiburan bagi para pekerja.
c. Keputusan untuk membangun pusat perdagangan dan sektor penting
seperti mobil, rumah murah dan berbagai peralatan rumah tangga yang menggunakan listrik dan sebagainya.
Kecenderungan kepada konsumsi besar-besaran, barang yang tahan lama, ketiadaan pengangguran dan peningkatan kesadaran akan jaminan sosial membawa kepada laju peretumbuhan penduduk yang semakin tinggi.
(56)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji hipotesis penelitian.
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memfokuskan kajian pada tiga variabel utama yaitu kurs valas, laju inflasi dan pendapatan perkapita.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan dan digunakan serta diolah dalam rangka penulisan skripsi ini ialah data sekunder. Data sekunder diperoleh dalam bentuk Time Series dalam kurun waktu tahunan. Sumber data adalah data dari Biro Pusat Statistik (BPS) kota Medan, Bank Indonesia (BI) Kota Medan. Di samping itu, data lainnya yang mendukung penelitian ini diperoleh dari sumber bacaan seperti, buletin penelitian, jurnal, majalah, dan buku bacaan.
3.3Pengolahan Data
Penulis menggunakan program komputer E-Views 4.1 untuk mengolah data dalam skripsi ini.
(57)
3.4 Model Analisis Data
Model analisis yang digunakan dalam menganalisa data adalah fungsi linier
berganda, dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk
meregresikan variabel - variabel yang ada. Fungsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Y = f (X1,X2)
Kemudian dari fungsi tersebut ditransformasikan ke dalam model persamaan regresi linear dengan spesifikasi model, yakni:
Y= α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + µ Dimana:
Y : Barang Konsumsi Impor di Indonesia
X1 : Valas (Dollar AS)
X2 : PDB (Rupiah)
β1 β2 β3
, 1
Ο 〉 Χ ∂∂Υ
: Koefisien Regresi
α : Intercept
µ : Tingkat Kesalahan (Term of Error)
Bentuk Hipotesisnya secara matematis adalah sebagai berikut :
artinya jika terjadi kenaikan pada X1 (valas/dollar AS), maka Y (barang
(58)
, 2
Ο 〈 Χ
∂∂Υ artinya jika terjadi kenaikan pada X2 (PDB) maka Y (barang konsumsi
impor) mengalami kenaikan, ceteris paribus.
3.5. Test of goodness of fit (Uji Kesesuaian)
3.5.1. Koefisien Determinan (R2)
Koefisien Determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar variabel-variabel independen secara bersama mampu memberi penjelasan mengenai variabel dependen. Nilai R2 digunakan antara 0 sampai 1 (0<R2<1).
3.5.2. Uji t-Statistik
Uji t merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel dependen.
Dengan menganggap variabel independen lainnya konstan. Dalam uji ini digunakan hipotesis sebagai berikut:
Ho : bi = b Ha : bi ≠ b
Dimana bi adalah koefisien variabel independen pertama nilai parameter hipotesis, biasanya b dianggap = 0. Artinya tidak ada pengaruh variabel Xi terhadap Y. Bila nilai t-hitung > t-tabel maka pada tingkat kepercayaan tertentu ho ditolak. Hal ini berarti bahwa variabel independen yang diuji berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap variabel dependen. Nilai t-hitung diperoleh dengan rumus:
t-hitung =
(bi-b) Sbi
(59)
Dimana:
bi : koefisien variabel independen ke-i b : Nilai hipotesis nol
Sbi : Simpangan baku dari variabel independen ke-i Kriteria Pengambilan Keputusan :
H0 : β = 0 H0 diterima (t*< t tabel) artinya variabel independen secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
Ha : β≠ 0 Ha diterima (t*> t tabel) artinya variabel independen secara parsial berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
H0 H
diterima
a diterima Ha diterima
0
Gambar 3.1 Kurva Uji t statistic
3.5.3. Uji F-Statistik
Uji F digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen secara bersama-sama (serempak) terhadap variabel dependen.
Rumus untuk mencari F hitung (F*) adalah:
Ho ; b1 = b2 =b3………...= bk = 0 (tidak ada pengaruh) Ho ; bi =
Jika F hitung > F-tabel, maka Ho ditolak, yang berarti nilai variabel independen 0……….i=1 (ada pengaruh)
(60)
Nilai F-hitung diperoleh dengan rumus:
F-hitung = R2/(k-1) (1-R2)/(n-k)
Dimana:
R2 = koefisien determinasi K = jumlah variabel independen N = jumlah sample
Kriteria pengambilan keputusan :
H0: β1 = β2 = β3 = 0
Ho diterima (F*< F tabel), artinya variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
Ha: β1 ≠ β2≠ β3≠ 0 Ha Diterima (F*> F tabel
H
), artinya variabel independen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
0 diterima
Ha
Gambar 3.2 Kurva Uji F statistic
diterima 0
(61)
3.6. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
a.
• Standar error tidak terhingga Uji Multikolinearity
Multikolinearity adalah alat yang digunakan untuk mengetahui apakah ada kolerasi variabel independent diantara satu sama lainnya. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearity dapat dilihat dari nilai R-square, F-hitung, t-hitung serta standar error. Adanya multikolinearity dapat ditandai dengan :
• R2 sangat tinggi akan tetapi t-statistik berubah tanda dan tidak signifikan • Tidak ada satupun t-statistik yang signifikan pada α = 10%, α = 5%, α = 1%
3.7. Serial Correlation/Autocorrelation 1. Uji Durbin-Watson (Uji D-W).
Uji Durbin-Watson (D-W Test) digunakan untuk mengetahui apakah di dalam model yang digunakan terdapat autokorelasi diantara variabel-variabel yang diamati. Uji Durbin-watson dirumuskan sebagai berikut:
D-hitung =
Bentuk hipotesisnya adalah sebagai berikut: Ho : ρ = 0 berarti tidak ada autokorelasi Ha : ρ≠ 0 berarti ada autokorelasi
∑(et-et-1)2
(62)
Dengan jumlah sampel tertentu dan jumlah variabel independen tertentu, diperoleh nilai kritis dl dan du dalam tabel distribusi Durbin-Watson untuk berbagai nilai. Hipotesis yang digunakan adalah :
Tidak ada keputusan (inconclusive)
Positif autokorelasi negatif autokorelasi
Dl Du 2 4 – Du 4 - Dl H0 diterima
Gambar 3.3
Kurva Uji DW statistic
Keterangan :
Ho : tidak ada autokorelasi
D < DL : tolak Ho (ada korelasi positif)
D > 4 – DL : tolak Ho (ada korelasi negatif)
DU < D < 4 – DU : terima Ho (tidak ada autokorelasi)
DL ≤ D ≤ DU : pengujian tidak bisa disimpulkan (inconclusive) (4 – DU) ≤ D ≤ (4 – DL) :
1. Impor barang konsumsi adalah arus masuk dari sejumlah barang-barang konsumsi
dalam negeri.
pengujian tidak bisa disimpulkan (inconclusive)
(63)
2. Inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus menerus
3. Kurs valas adalah harga suatu mata uang asing atau harga mata uang luar negeri terhadap mata uang domestik.
4. PDB merupakan perhitungan hasil produksi suatu perekonomian tanpa
(64)
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Gambaran Umum Negara Indonesia 4.1.1 Kondisi Geografis
Indonesia terletak antara 6° 08` LU dan 11º 15` LS dan antara 94º 45` BT dan 141º 05` BT. Negara kesatuan yang berbentuk Republik ini sejak tahun 2005 dibagi atas 33 provinsi dengan tiga tambahan provinsi.
Indonesia merupakan negara bahari dengan luas lautnya sekitar 719 juta km² (termasuk zona ekonomi eksklusif) atau 81% dari luas keseluruhan. Daratan Indonesia mempunyai luas lebih dari 1,86 juta km², mempunyai ratusan gunung dan juga sungai. Sehubungan dengan letak Indonesia yang dikelilingi beberapa samudera, serta banyak terdapat gunung berapi yang masih aktif menyebabkan Indonesia sering dilanda gempa.
4.1.2 Kondisi Iklim dan Topografi.
Di Indonesia dikenal dengan dua musim yaitu musim kemarau dan penghujan. Pada bulan Juni-September arus angin bertiup dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember-Maret arus angin yang bertiup banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik. Sehingga terjadi musim hujan. Keadaan seperti itu berganti setiap tengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-November.
(65)
Suhu udara di suatu tempat ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut dari permukaan air laut dan jaraknya dari pantai. Pada tahun 2004 suhu udara rata-rata berkisar antara 25,30º C sampai 31,47º. Indonesia mempunyai kelembaban udara relatif tinggi dimana pada tahun 2003 rata-rata berkisar antara 61,53% sampai 80,98%.
Curah hujan di suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan orografi dan perputaran/pertemuan arus udara. Oleh karena itu jumlah curah hujan beragam menurut bulan dan letak stasiun pengamat. Rata-rata curah hujan selama tahun 2003 berkisar antara 996,60 mm sampai 492,7 mm.
Kecepatan angin hampir di seluruh provinsi di Indonesia umumnya merata setiap bulannya, yaitu berkisar antara 2,48 km/jam hingga 21,0 km/jam. Faktor lain yang mempengaruhi hujan dan arah/kecepatan angin adalah perbedaan tekanan udara.
4.1.3 Kondisi Demografi Indonesia
Kesejahteraan penduduk merupakan sasaran utama pembangunan dalam rangka membentuk manusia Indonesia seutuhnya dari masyarakat Indonesia. Untuk itu pemerintah telah melaksanakan berbagai usaha dalam rangka memecahkan masalah kependudukan. Usaha-usaha yang mengarah pada pemerataan penyebaran penduduk dilakukan dengan cara memindahkan penduduk yang padat ke daerah yang tidak banyak jumlah penduduknya, yaitu dikenal dengan transmigrasi. Ataupun juga perpindahan penduduk dari kota ke desa yang disebut dengan urbanisasi. Selain itu dengan mulai diberlakukannya program otonomi daerah, diharapkan dapat mengurangi perpindahan penduduk terutama ke Pulau Jawa. Usaha untuk menekan laju pertumbuhan penduduk
(66)
juga dilakukan pemerintah melalui program KB (Keluarga Berencana) yang dimulai awal tahun 1970-an.
Dari aspek kependudukan, Indonesia sebenarnya merupakan potensi yang besar bagi pembangunan. Jumlah penduduk yang relatif besar merupakan sumber tenaga kerja sekaligus pasar. Namun sayangnya, jumlah tenaga kerja yang banyak tersebut tidak diikuti dengan tingkat pendidikan yang memadai, dalam konteks pembangunan yang rendah, membimbing masyarakat dari kemampuan berpikir. Keadaan ini berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat itu dalam bekerja atau berproduksi guna memenuhi hidupnya dalam keluarganya. Bila sifat kegiatan produksinya subsistence, maka balas jasa yang diperoleh oleh sebagian besar tenaga kerja Indonesia tidak begitu besar, sehingga kemampuannya dalam berkonsumsipun sangat terbatas.
4.2 Gambaran Perekonomian Indonesia
Sampai pada paruh pertama tahun 1997, perekonomian Indonesia menunjukkan kinerja yang cukup baik ditandai dengan menguatnya beberapa indikator makro ekonomi. Pada tahun 1996, tercatat bahwa tingkat pertumbuhan perekonomian Indonesia mencapai 7,8% per tahun dan inflasi pada lima bulan pertama mampu mencapai tingkat terendah selama sepuluh tahun terakhir pada periode yang sama. Adapun investasi langsung luar negeri mencapai US$ 6,5 juta pada tahun fiskal 1996/1997, cadangan pemerintah mencapai US$ 20 juta pada bulan Maret 1997 (cukup untuk lima bulan impor), sementara tingkat depresiasi rupiah pada kisaran 3%-5% (Bank Indonesia, 1997).
Perekonomian Indonesia kemudian mengalami perubahan mendadak setelah pada pertengahan tahun 1997, muncul masalah yang menghantam perdagangan valuta asing di
(67)
kawasan Asia, diawali dengan guncangnya pasar valuta asing di Thailand dan kemudian menjalar ke pasar valas negara-negara lain termasuk Indonesia. Pada akhir 1997, depresiasi riil nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mencapai angka 68,7. (IDE, 1999) melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tersebut tentunya berdampak negatif terhadap posisi neraca pembayaran, terutama karena jumlah utang luar negeri makin membengkak dimana pada tahun 1997 total stok utang luar negeri secara luar negeri mencapai 64,2% PDB dan membengkak menjadi 95,3% (World Bank, 1999)
Pada saat keseimbangan eksternal tergangggu terjadi pula ketidakseimbangan internal, kenaikan harga barang-barang, serta merta memperbesar angka inflasi. Pada akhir tahun 1997, angka inflasi mencapai 11,1% per tahun dan terus meningkat sampai 77,6% per tahun pada tahun berikuttnya. Dalam kasus Indonesia, krisis nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar terus menular ke sektor-sektor lainnya hingga menimbulkan krisis ekonomi. Pada akhir tahun 1997, pertumbuhan ekonomi tahunan (PDB riil) tercatat sebesar 4,7% dan pada akhir tahun 1998 turun sebesar 3,2% (BI, 1999)
Untuk memperbaiki kondisi perekonomian secara eksternal dan internal, pemerintah juga sepakat meminta bantuan terhadap IMF dengan tujuan untuk mencapai stabilisasi inflasi dan defisit anggaran. Krisis ekonomi bisa muncul sebagai dampak negatif dari kebijakan ekonomi yang kemudian diperburuk oleh kondisi perekonomian dunia. Pengalaman-pengalaman negara berkembang yang mengalami krisis ekonomi pada dekade 1980-an membuktikan bahwa perubahan harga dunia sering kali menyebabkan munculnya defisit dalam neraca pembayaran (BOP) suatu negara dan pengeluaran yang berlebihan akan mendorong inflasi, dalam kegiatan produksi juga mengalami kemacetan, (Krueger, 1999). Secara teoritis, kebijakan ekonomi di
(68)
negara-negara sedang berkembang muncul karena adanya asumsi bahwa pasar gagal melaksanakan fungsinya (market failure) sehingga dibutuhkan intervensi pemerintah. Namun, jika kebijakan pemerintah tersebut tidak diarahkan dengan baik maka justru akan mendorong munculnya kegagalan pemerintah (government failure).
Hingga pertengahan tahun 1990-an, indonesia membangun ekonomi dengan pertumbuhan PDB sebesar 6-8% per tahun. Bagi beberapa pihak prestasi ini diartikan sebagai keajaiban ekonomi Asia yang diimbangi dengan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (pada saat itu) dan diimbangi juga dengan PDB perkapita meningkat dari US$ 700 pada tahun 1990 menjadi hampir US$ 1200 pada tahun 1996.
4.3 Perkembangan Impor Barang Konsumsi di Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa impor barang konsumsi Indonesia terdiri dari klasifikasi jenis barang, yaitu:
1. Makanan dan minuman untuk rumah tangga.
2. Bahan bakar dan pelumas olahan.
3. Alat angkutan bukan untuk produksi.
4. Barang konsumsi lainnya yang tahan lama, tahan setengah lama dan tidak tahan
lama.
Perkembangan sektor industri pengolahan di dalam negeri terlihat pula dampaknya terhadap komposisi barang konsumsi impor yang mengalami fluktuasi dipandang dari segi nilai. Dimana, hal ini dipengaruihi oleh besarnya kebutuhan masyarakat terhadap jenis barang konsumsi dan juga dipengaruhi oleh fluktuasi kurs
(69)
yang menentukan nilai mata uang yang digunakan untuk transaksi pembayaran dalam perdagangan barang-barang konsumsi tersebut.
Table 4.1. Perkembangan Nilai Impor Barang Konsumsi di Indonesia Periode 1980-2007 (US $ 000.000)
Tahun Nilai
1980 1414.4
1981 807.1
1982 1236.3
1983 1726.2
1984 825.3
1985 380.5
1986 448.2
1987 460.6
1988 469.4
1989 688.6
1990 876.9
1991 958.4
1992 1212.8
1993 1146.1
1994 1430.2
1995 2350.2
1996 2805.9
(1)
H0
0 0.77 1.25 2 2.75 3.23 4 Gambar 4.4
Uji Durbin-Watson
diterima. Berarti bahwa tidak terdapat autokorelasi di dalam model ataupun antara nilai pengganggunya (disturbance error-nya).
Autokorelasi (+) Autokorelasi (-)
inconclusive
H0 diterima
(2)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1KESIMPULAN1. Berdasarkan uji t-statistik untuk Nilai Tukar Rupiah terhadap dollar AS (X1
2. Berdasarkan uji t-statistik untuk Produk Domestik Bruto (PDB) di atas, dapat disimpulkan bahwa t-hitung > t-tabel (hasil olahan data untuk 6.567 > 2. 797), artinya Ha diterima (Ho ditolak). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa PDB berpengaruh nyata (signifikan) terhadap Nilai Impor Barang Konsumsi di Indonesia pada tingkat kepercayaan 99% ( α = 1%).
) di atas, dapat diketahui bahwa thitung > ttabel (hasil olahan data untuk -2.952 > -2.064). artinya Ha diterima (Ho ditolak). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Nilai Tukar Rupiah berpengaruh nyata (signifikan) terhadap Nilai Impor Barang Konsumsi di Indonesia pada tingkat kepercayaan 95% (α = 5%).
3. Berdasarkan uji F-statistik di atas, dapat diketahui bahwa F-hitung > F-tabel (hasil olahan data untuk 63.61 > 5.57), artinya Ha diterima (Ho ditolak). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara bersama-sama Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar AS, Produk Domestik Bruto berpengaruh nyata (signifikan) terhadap Nilai Impor Barang Konsumsi di Indonesia pada tingkat kepercayaan 99% ( α= 1%).
(3)
4. Dari hasil regresi yang telah diolah tersebut maka diperoleh nilai koefisien determinasi R-square sebesar 0.9008. Hal ini menggambarkan bahwa variabel bebas yang secara bersamaan memberikan pengaruhnya terhadap variabel terikat sebesar 90% sedangkan sisanya sebesar 10% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam estimasi model atau disebabkan oleh
disturbance error.
5. Dapat disimpulkan bahwa Nilai maupun Volume Impor Barang Konsumsi di Indonesia yang terus meningkat setiap tahun tidak dipengaruhi sepenuhnya oleh fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang setiap waktu selalu mengalami perubahan. Sebab tujuan dilakukannya impor adalah guna memenuhi kebutuhan masyarakat dalam negeri. Dimana barang-barang konsumsi ini belum diproduksi di dalam negeri ataupun jumlah yang tersedia di dalam negeri tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat dalam negeri.
5.2 SARAN
Berdasarkan analisis dari hasil penelitian serta kesimpulan yang telah dirumuskan di atas, maka penulis perlu untuk mengajukan saran-saran yang relevan sebagai usaha untuk memecahkan permasalahan yang ditentukan dalam analisis serta diharapkan dapat berguna sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terkait. Adapun saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:
(4)
1) Bagi pihak pemerintah Indonesia harus lebih memperhatikan volume barang konsumsi yang setiap tahunnya terus meningkat. Hal ini merupakan indikator bahwa Indonesia masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap barang-barang konsumsi luar negeri. Seharusnya hal tersebut dapat ditekan dengan meningkatkan kualitas serta kuantitas produk dalam negeri agar ketergantungan terhadap barang impor dapat diminimalisir dan juga dengan kebijakan impor yang dilaksanakan oleh pemerintah, agar dapat melindungi produk dalam negeri. Hal ini juga sejalan dengan kualitas barang-barang konsumsi impor yang masuk ke dalam negeri agar tidak mengancam kesehatan konsumen dalam negeri dan juga lingkungan hidup. Dimana standar kesehatan produk luar negeri dapat terus ditingkatkan agar kesehatan konsumen dan lingkungan tidak terancam bakteri maupun virus yang mebawa penyakit.
2) Bagi Bank Indonesia selaku otoritas moneter dapat mengendalikan nilai tukar rupiah agar tetap mampu berfluktuasi secara wajar. Dimana nilai mata uang rupiah terhadap valas (khususnya Dollar AS) sangat mempengaruhi jumlah atau volume impor barang konsumsi yang masuk ke Indonesia sebab pembayaran transaksi perdagangan internasional ini dilakukan dalam bentuk cadangan devisa. Apabila nilai tukar rupiah melemah terhadap valas maka hal ini akan berpengaruh negatif terhadap volume impor dan juga cadangan devisa negara. Semakin melemah nilai tukar rupiah maka semakin rendah pula volume impor barang konsumsi yang masuk ke Indonesia.
(5)
3) Bagi masyarakat Indonesia selaku konsumen barang konsumsi sebaiknya lebih meningkatkan rasa cinta produk dalam negeri. Hal ini dapat mengurangi ketergantungan akan barang-barang konsumsi impor begitu juga dengan produsen dalam negeri, lebih meningkatkan produktivitas dalam memproduksi barang-barang konsumsi vital seperti beras agar volume impor dapat ditekan dan produk domestik sehingga dapat bersaing dengan produk luar negeri dalam pasar internasional.
(6)
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Sritua, Metodologi Penelitian Ekonomi, UI PRESS, Jakarta, 1993 Boediono, Teori Pertumbuhan Ekonomi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001 Djamin, Zulkarnain, Perekonomian Indonesia, BPFE UI, Jakarta, 1993
Gujarati, Damodar, Ekonometrika Dasar (terjemahan), Penerbit Erlangga, Jakarta, 2003 Hady, Hamdy, Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2001
Hadis, Syahfril, Ekonomi Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996 Kelana, Said, Teori Ekonomi Makro, Raja Grafindo, Jakarta, 1996
Manurung, Mandala, Pengantar Ilmu Ekonomi, BPFE UI, Jakarta, 2002
Todaro, Michael P, Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga, Edisi pertama, Erlangga, Jakarta, 2004
Tambunan, Tulus, Globalisasi dan Perdagangan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004
Widodo, Suseno Triyanto, Indikator Ekonomi, Kanisius, Yogyakarta, 1990 ………Bank Indonesia, Medan