Hasil Pengamatan dan Wawancara

37 Pria berusia 31 tahun ini memiliki istri yang bernama Made Santi dan seorang anak yang masih balita. Istri beliau juga berasal dari Suku Bali yang tinggal di Kampung Bali. Sehari-hari beliau bekerja sebagai seorang petani karet, di pagi hari terkadang beliau menghabiskan waktunya di ladang. Selain sebagi petani, pria lulusan Sarjana Agama ini juga mengajar di salah satu SMP Negeri yang ada di dekat Kampung Bali. Selain bertani dan mengajar, beliau juga handal dalam memperbaiki alat elektronik seperti televisi. Di malam hari beliau sering menghabiskan waktunya untuk memperbaiki televisi jika ada meminta tolong kepadanya. Pria yang ramah ini memiliki hobi memancing, sering menjelang sore hari beliau pergi memancing dengan teman-temannya.

4.1.4. Hasil Pengamatan dan Wawancara

Peneliti melakukan wawancara mendalam kepada enam orang masyarakat Hindu Bali sebagai informan dan satu orang masyarakat yang bersuku Jawa sebagai informan tambahan. Berikut hasil wawancara dengan masing-masing informan. Informan I Nama : Nyoman Sumandro Umur : 41 Tahun Pekerjaan : Petani Karet Tanggal Wawancara : 21 Februari 2016 dan 03 Maret 2016 Tempat : Rumah Bapak Nyoman Suyetno Kp. Bali, Kec. Sei Wampu Kab. Langkat. Peneliti melakukan wawancara dengan Bapak Nyoman Sumandro sebanyak dua kali di rumahnya. Di awal wawancara peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri dan menyampaikan maskud dan tujuan penelitian yang dilakukan. Kemudian peneliti menanyakan biodata diri dan keseharian informan di lingkungan tempat tinggalnya. Bapak Nyoman Sumandro merupakan Pria bersuku Bali yang lahir dan besar di Sumatera Utara, saat ini Bapak Nyoman Universitas Sumatera Utara 38 Sumandro telah berusia 41 tahun. Saat ini Bapak Nyoman Sumandro telah memiliki dua orang putra dan satu orang putri dari penrikahannya dengan istri yang bernama Ketut Triasih, istrinya adalah wanita bersuku Jawa dari Desa Paya Tusam yang awalnya beragama Islam kemudian ikut memeluk agama Hindu saat menikah dengan Bapak Nyoman Sumandro. Bapak Nyoman Sumandro adalah seorang Kepala Dusun di Kampung Bali, selain itu beliau juga seorang Pemangku yang bertugas untuk membimbing dan menuntun masyarakat Hindu Bali yang ada di Kampung Bali untuk melakukan persembahyangan di Pura. Selain itu beliau juga bertugas untuk menyelesaikan upacara-upacara keagamaan seperti tiga bulan anak, upcara kematian dan lain sebagainya. Iya saya seorang Pemangku. Sebagai pemangku tugas saya menyelesaikan upacara-upacara keagamaan, menuntun umat Hindu untuk bersembahyang di Pura, kalau hari raya Nyepi atau sebagainya disitu pemangku bertugas menuntun, membantu masnyarakat Hindu itu untuk sembahyang. Yang kedua menyelesaikan upacara-upacara apabila ada pernikahan, apabila ada tiga bulan anak, di rumah masyarakat Hindunya. Melaksanakan upacara-upacra keagamaan di kampung sini lah, itulah tugas pemangku. Bapak Nyoman Sumandro mengaku bahwa ia sering berinteraksi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali, baik itu yang bersuku Bali, Jawa maupun Karo tanpa terkecuali. Sebagai Kepala Dusun, ia sering berintekasi dengan semua masyarakat, dia juga sering memberikan nasihat dan solusi kepada warganya yang berkonsultasi kepadanya. Sering, apalagi saya Kepala Dusun, jadi ada masalah apapun mereka kemari. Saya berinteraksi sebagaimana baiknya saya bikin kepada masyarakat. Saya bimbing mereka, jangan, misalnya dia itu akan begini- akan begitu, ya saya arahkan. Apa solusinya, ya seringlah. Itu juga tugas dan tanggungjawab pemangku. Apa itu Pemangku? Ya, rohaniawan kan. Terus kedua sebagai Kepala Dusun, ya kalau saya tidak peduli masyarakat ini, bagaimana nasibnya. Dengan masyarakat Bapak Nyoman Sumandro memiliki hubungan yang akrab, beliau juga sosok yang terbuka dengan semua masyarakat yang ada di Kampung Bali tanpa membeda-bedakan mereka, beliau selalu menyambut dengan Universitas Sumatera Utara 39 hangat masyarakat yang datang ke rumahnya. Beliau selalu merasa senang saat berinteraksi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali. Iya, saya akrab sama semua masyarakat yang ada disini. Apalagi saya kepala dusun jadi saya memang harus akrab dengan masyarakat disini. Saya terbuka dengan mereka, mereka terbuka dengan saya. Kalau ada apa mereka datang ke rumah saya. Kalau mereka ada masalah kita cari solusinya sama-sama. Perasaan saya sih kalau masalahnya itu misalnya dia misalnya punya masalah dan itu bisa saya selesaikan, rasa saya itu gembiralah, kemudian itu masyarakat tadinya udah, masih ada masalah dan bisa saya selesaikan dengan berupaya saya. Kalau itu saya berinteraksi untuk gotong royong, ya kadang-kadang agak keras sedikit, karena ya kadang diajak gotong royong itu agak sulit, makanya kadang agak apa jugalah, agak ada penekanan, sedikit aja, dengan bah asa ajalah. “ Harus hadir karena untuk kita bersama jadi tolonglah untuk besokhari ini kita hadir bersama- sama” Bapak Nyoman Sumandro tidak memiliki pemikiran yang berbeda terhadap masyarakat yang ada di Kampung Bali, beliau tidak pernah membeda- bedakan mereka berdasarkan suku dan agama, beliau tidak pernah ada keberpihakan dengan masyarakat. Beliau menganggap bahwa semua masyarakat yang tinggal di Kampung Bali itu sama. Sama saja, sama saja saya menyayanginya, sama saja saya mengarahkannya, ibaratnya tid ak ada saya itu “ ah dia suku saya” tidak ada keberpihakan. Lagipun kita sudah satu kampung, suatu pimpinan kan tidak boleh berpihak, kebenaran yang diutamankan. Masyarakat yang tinggal di Kampung Bali ini memiliki kebiasaan yang sama dengan masyarakat di luar setiap ada hajatan atau pesta. Bapak Nyoman Sumandro mengatakan bahwa di Kampung Bali ini jika ada hajatan atau pesta mereka selalu saling mengundang, jika Suku Bali ada hajatan mereka mengundang masyarakat Suku jawa dan masyarakat lainnya, begitu pula jika ada masyarakat di luar suku Bali mengadakan hajatan atau pesta mereka juga mengundang rekan-rekannya Suku Bali. Bahkan masyarakat di Kampung Bali ini juga mengundang ke luar Kampung jika mereka melakukan hajatan atau pesta. Ya misalnya ada nikahan, sukuran rumah baru, ya saling mengundang. Kalau misalnya Hindu atapun masyarakat suku bali punya hajatan masuk rumah baru, selapan anak, kalau kami 3 bulan anak kalau kami orang bali, itu ya mengundang, jika dia mampu mengundang dia mengundang Universitas Sumatera Utara 40 seluruh masyarakat Kampung Bali ataupun mengundang keluar jug a, mengundang keluar kampung ini juga. Misalnya adalah saudara dia, misalnya ada yang di Patok nama desa, keluarga di Paya Tusam, ya dia mengundang juga. Ada kawinan, memasuki rumah baru, kami mengundang. Disini orang suku jawa juga mengundang kami dan pamilinya yang ada dimana-mana. Seperti apa yang dilaksanakan diluar sana, menikahkan anak, menghajatkan anak, seperti itu jugalah kami. Mengundang-undang sahabat, kerabat, orang kampung sebelah. Bapak Nyoman Sumandro mengaku sering bertamu ke rumah masyarakat yang ada di Kampung Bali, baik itu yang beragaam muslim maupun yang Hindu, tetapi beliau bertamu hanya jika ada kepentingan-kepentingan saja dan pada momen-momen tertentu. Beliau sering bertamu ke rumah masyarakat yang beragama muslim pada saat lebaran Idul Fitri. Dalam bertamu pun tidak semua rumah beliau masuki, beliau hanya bertamu ke rumah masyarakat-masyarakat yang memiliki hubungan yang erat dengannya, ke rumah orang-orang yang dituakannya. Kalau bertamu biasanya Bapak Nyoman Sumandro membicarakan hal-hal mengenai kehidupan mereka di Kampung Bali, selain itu beliau juga berbicara mengenai perekonomian. Saya kalau ada kepentingan-kepentingan ya bertamu saya, tapi nanti kalau misalnya itu ada hari raya, muslim misalnya hari raya, kalau misalnya bertamu ya bertamu saya. Tapi gak semua rumah saya masuki gitu. Ya bertamu saya, bertamu ke rumah yang erat persahabatannya, ke rumah orang-orang yang dituakan, itu saya bertamu. Ya banyak, cerita tentang kehidupan kita disini, tentang ekonomi kita. Ya banyak lah bang. Duduk dan berbincang di warung merupakan hal yang sering dilakukan kaum bapak di kampung-kampung. Namun, tidak dengan Bapak Nyoman Sumandro, Semenjak menjadi Pemangku beliau tidak pernah lagi duduk-duduk di warung, karena tersebut tidak dibenarkan bagi seorang rohaniawan. Menurutnya hal itu tidak dibenarkan, karena di warung merupakan tempat bercanda tawa sehingga sering terdengar hal-hal yang tidak enak di telinga. Dulu sering, tapi selama saya menjabat pemangku , ini tidak dibenarkan duduk di warung samapai lama-lama. Gak boleh, karena diakan seorang Rohaniawan. Di warung itukan penuh dengan canda dan tawa, jadi tidak dibenarkan. Nanti ada yang kita dengar tidak layak kan tidak enak. Sekarang udah gak pernah lagi. Universitas Sumatera Utara 41 Bapak Nyoman Sumandro sering melakukan Komunikasi Antarpribadi dengan masyarakat Kampung Bali. Biasanya dalam melakukan KAP masyarakat datang ke rumahnya untuk membicarakan hal-hal mengenai pemerintahan dan melakukan konsultasi untuk mendapatkan solusi dari Pak Mandro. Pernah, sering malah bang. Ya kalau mereka ada masalah atau mereka ada perlu tentang pemerintahan, mereka datang ke rumah saya. Kita bicara-bicara. Kalau mereka ada masalah ya saya carikan solusinya. Tapi kalau untuk interaksi secara santai itu tidak pernah. Paling yang sering sama tetangga depan ini. Dalam bertukar informasi Bapak Nyoman Sumandro sering melakukannya dengan masyarakat Kampung Bali. Biasanya informasi yang beliau sampaikan terkait dengan pemerintahan. Dalam menyampaikan informasi mengenai pemerintahan biasanya Bapak Nyoman Sumandro mengumpulkan masyarakat di balai dusun. Namun sebelum kumpul di balai dusun untuk memberitahukan kepada masyarakat Ia datang dari rumah ke rumah. Sering, Kalau ada informasi misalnya kata Kepala Desa ini perlu disampaikan kepada masyarakat, itu saya kumpulkan di balai dusun. Seperti ada perintah. Misalnya ini ada perintah yang penting dari Kepala Desa, ada instruksi besok harus..... apa..... ada.....tamu yang mau datang, misalnya Bupati gitu. Kalau kumpul biasanya di balai dusun. Jadi untuk mengumpulkannya saya buat strategi, saya cari waktu lowong mereka. Saya juga door to door, biasanyakan itu lewat tenagh hari “ besok jam 2 kita kumpul di balai dusun” door to door saya, besok di hari-H nya saya pukul kentong. Di balai dusun itukan ada kentong, saya pukul “ tung...tung...tung...” nanti ngumpul. Itulah dia kalau misalnya da penyambutan tamu, atau ada yang mau dibicarakan kepada masyarakat atau disampaikan kepada masyarakay secara formal. Harus kumpul di balai dusun, tapi door to door untuk membilanginya. Itu saya yang membilanginya, kadang kalau saya ada kegiatan tetangga depan saya suruh bilangi. Bapak Nyoman Sumandro sering berkomunikasi secara berkelompok denga masyarakat yang ada di Kampung Bali. Biasanya komunikasi kelompok tersebut dilaksakan di balai dusun atau di Pura sesuai dengan topik dan keperluan. Kalau di balai dusun topik yang dibahas mengenai pemerintahan atau kemasyarakatan, tetapi kalau di Pura itu dinamakan kelompok suka-suka, kelompok suka-duka ini khusus membahas mengenai masyarakat Hindu Bali. Universitas Sumatera Utara 42 Ya itu di balai dusun kalau ada hal-hal penting tentang pemerintahan atau tentang masyarakat. Kalau perkumpulan Pura Dulu ada muda-mudi, tapi sekarang udah gak ada karena banyak yang keluar, banyak yang kos, sekolah, kerja di luar jadi sekarang udah gak ada lagi. Kalau orang tua masih ada, Suka-Duka namanya. Kalau suka-duka itu tentang masyarakat Hindunya, entah ada pembangunan pura atau ada kemalangan. Dalam melakukan komunikasi, Bapak Nyoman Sumandro menggunakan alat komunikasi seperti Handphone untuk dapat berhubungan dengan masyarakat. Bapak Nyoman Sumandro menggunakan handphone untuk berbagai keperluan, seperti kepentingan pribadi untuk berhubungan dengan rekan dan saudara, kepentingan umum dan golongan seperti menghubungi warga yang ada keperluan untuk urusan pemerintahan. Sering, misalnya memberitahu surat sudah selesai, saya telpon aja. Kepentingan umum, pribadi, golongan. Tapi kalau untuk mengumpulkan orang itu tidak menggunkan handphone. Misalnya dia mau ngurus surat keterangan berkelakuan baik, buat keterangan tanah, yang tadinya udah jumpa tapi kemudian kurang lengkap datanya, saya telpon aja. Yang ada nomor telponnya ya. Karna gak semua masyarakat punya HP, ataupun gak semua nomornya saya tau. Masyarakat Kampung Bali dulunya aktif dalam melakukan gotong royong, namun untuk beberapa bulan belakangan gotong royong tersebut tidak lagi berjalan, dan sebagai penggantinya iuran BPKD yang dikutip dari masyarakat digunakan untuk membayar pekerja yang menggantikan pekerjaan masyarakat yang biasanya diselesaikan dengan cara gotong royong. Dulu rutin dulu, sekarang memang enggak lagi. Sudah dialihkan, sudah diupahkan. Dulu setiap hari kamis, rutin dulu, sekarang sudah diupahkan kepada pekerja itu. Karena ada juga income dari BPKD-Badan Pendapatan Perkapita Desa. Kita menjual sawit atau karet. Jadi, kalau untuk karet ini kepada tengkulak kami kutipkan perkilonya 20 perak, ya dari income itu perkilonya 20 perak, jadi perminggunya itu kalo dikali satu tokeh itu biasanya apa dia, hari ini masyarakat ini setoran kesitu. Jadi nanti diglobal dia berapa dapatnya. Misalnya dia 1 orang ada dapat 5 ton, itulah 5 ton dikali 20 perak. Untuk sawit gitu juga, kalo nanti kami masyarakat disini menyetor sawit kepada agen-agen, agen sawit disini ada dua. Misalnya nanti, dapat 10 ton jual sawit, itu nanti dikalikan, kalo sawit 10 perak. Itulah untuk pembenahan kampung, untuk dia juga nanti, untuk kami juga, untuk masyarakat juga.nanti kalau sistem gotong royong dipake itu kami belikan minuman, kami belikan snack, roti, makanalah ala Universitas Sumatera Utara 43 kadarnya. Jadi karena tidak gotong royong lagi itulah untuk pengganti daripada upah harian, untuk diupahkan. Jika ada kemalangan atau ada warga yang meninggal dunia, di Kampung Bali terdapat perbedaan cara dalam menyampaikan informasi tersebut kepada masyarakat agar masyarakat dapat mengetahui apakah yang meninggal tersebut dari Masyarakat Hindu Bali atau masyarakat yang beragama Islam. Bapak Nyoman Sumandro menjelaskan bahwa letak perbedaannya adalah jika masyarakat Hindu Bali yang meninggal maka pemeberitahuannya melalui kentongan yang ada di balai dusun, sedangkan untuk masyarakat yang beragama Islam melalui bedug masjid. Selain itu, informasi tersebut juga akan disampaikan dari mulut ke mulut. Ada dari kentongan, kalau masyarakat Hindu dia kalau misalnya meninggal dia ada kentong di balai dusun, kalau muslim pake bedug yang ada di masjid. Dari mulut ke mulut juga ada, tapi formalnya dikasih tau pake kentong atau bedug. Dalam kehidupan sehari-hari Bapak Nyoman Sumandro mengatakan bahwa masyarakat Hindu Bali di Kampung Bali ini sudah tidak menggunakan bahasa Bali dengan sesama mereka. Penggunaan bahasa Bali hanya sekali-sekali digunakan apabila berbicara dengan orang-orang tertentu. Menurut Bapak Nyoman Sumadro 90 masyarakat Bali di Kampung bali sudah menggunakan Bahasa Indonesia. Kalau dipersentasikan 90 sudah menggunakan Bahasa Indonesia, jarang sekali menggunakan bahasa Bali. 90 menggunakan Bahasa Indonesia, yang 10 paling menggunakan Bahasa Bali, paling diantara sang muda dan orang tualah. Misalnya dia datang kepada orang tua memang menggunakan Bahasa Bali. Diwajibkan setahu dia, tidal semua. Kalau dia tau Bahasa Bali ya pake Bahasa Bali, kalau enggak ya campur- campur, kalau kepada orang tua harus ada menggunakan Bahasa Bali. Bapak Nyoman Sumandro membenarkan bahwa dalam masyarakat Bali menggunakan sistem penyebutan nama. Menurutnya dalam sistem penyebutan nama tersebut untuk anak pertama menggunakan wayan, gede dan putu. Untuk anak kedua menggunakan made, nengah atau kadek, sementara untuk anak ketika menggunakan nyoman atau komang dan anak keempat sudah pasti menggunakan Universitas Sumatera Utara 44 ketut. Jika dalam keluarga mempunyai lebih dari empat anak, maka untuk anak keliam kembali menggunakan sebutan wayan, gede atau putu dan begitu seterusnya. Untuk anak-anaknya sendiri, Bapak Nyoman Sumandro menggunakan sebutan gede untuk anak pertamanya, made untuk anak keduanya dan nyoman untuk anak ketiganya. Dia gini tu, kalau anak pertama dia harus wayan, kalau dia gak mau wayan dia bisa pake gede, kayak anak saya ini pake gede. Kalau gak mau wayan atau gede dia pake Putu. Kalau anak kedua dia pake made, gak mau made nengah, dah gitu kadek. Terus anak ketiga komang, kalau enggak komang dia nyoman. Kayak saya nyoman, kalau gak salah Cuma dua aja. Yang terakhir gak ada gantinya, Ketut untuk anak keempat. Kalau misalnya punya anak lebih dari empat balik lagi ke dia ke gede atau putu, wayang pun bisa. Balik lagilah pokoknya ke semula. Kalau saya itu anak pertama gede, kedua itu made terus yang ketiga nyoman. Dalam masyarakat Bali masih sangat kental dengan upacara dan ritual- ritual tradisi atau keagamaan. Di Kampung Bali sendiri masih menjalankan tradisi dan ritual-ritual tersebut. Berdasarkan penuturan Bapak Nyoman Sumandro, saat ini ritual yang masih dijalankan oleh masyarkat Hindu Bali di Kampung Bali adalah mencaru atau tauruk sangu. Mencaru merupakan upacara untuk memberi upah-upah atau sesajen kepada Buto Galo, upacara ini dilaksanakan untuk menyambut Nyepi agar dalam melaksanakan Nyepi umat Hindu tidak diganggu oleh Buto Galo. Buto Galo ini merupakan makhluk jahat seperti iblis dansetan yang suka mengganggu manusia. Maka dari itu Umat Hindu melakukan upacara mencaru agar terjauh dari kejahatan Buto Galo. Mencaru, tauruk sangu atau mencaru. Sama perayaan, kami mengadakan persembahyangan di Pura,kami memakai sajen juga itu. Apakah itu kue- kue kue, bawa seadanya, semampu kami kepada Sanghiangwidi, itu kalo hari raya. Kalau tauruk sangu itu kepada Buto Galo dia, kepada iblis, setan, buto galo. Itu gini, mencaru itu untuk memberi upah-upah kepada Buto Galo atau roh-roh jahat, setan, iblis biar waktu Nyepi kami enggak diganggu. Jadi kami bisa melaksanakn nyepi dengan lancar. Itu sebenarnya. Selain upacara dan ritual, umat Hindu Bali di Kampung Bali juga merayakan hari-hari besar keagamaan mereka. Hari-hari besar atau perayaan yang meraka peringati adalah Galungan, Kuningan, Nyepi dan Sarasvati. Menurut Bapak Nyoman Sumandro, hari Galungan itu adalah hari kemenangan Dharma Universitas Sumatera Utara 45 melawan Adharma, sepuluh harti setelah Galungan kemudia diperingati hari Kuningan. Jarak anatara hari Galungan dan Kuningan adalah sepuluh hari. Selanjutnya hari Nyepi yaitu hari dimana umat Hindu tidak boleh keluar rumah dan harus berpuasa. Selain itu ada juga Sarasvati yaitu hari peringatan turunnya ilmu pengetahuan. Galungan, Sarasvati, itu dilaksanakn berdasarkan kalender bali. Kami pedomannya kalender bali aja, tapi yang gak bisa berubah hari itu Galungan, kalau galungan itu jautuhnya tetap hari rabu, bulannya berubah, saya juga kurang memahami. Galungan itu memperingati hari kemenangan Dharma, kemenangan kebenaran. Dharma melwan Adharma, kebenaran melawan ketidakbenaran. Maka dilakukanlah Galungan. Biasanya masyarajat bersembahyang ke Pura jam 9, jam 8 lah, dah gitu di rumah lagi di sanggah-sanggah, hanya sembahyang saja. Nyepi, kalau nyepi itu tidak boleh keluar rumah. Tapi saya tengok kalo di kampung sini ya tidak juga. Ada umat hindu gitu, dai keluar-keluar. Enggak kayak di Bali yang ketat. Sudah tidak terlalu ketat seperti di Bali karena tidak ada Hukuman. Tapi kalau dia kental agamanya dia akan melaksanakan meditasi, puasa. Tidak ada tuntutan kalau keluar, minum, beli ini itu, dolan. Itu tidak ada kami. Sarasvati itu memperingati lahirnya Dewi Sarasvati, lahitnya Ilmu Pengetahuan. Mengadakan upacara khusus kalau itu, hanya kepada Dewi Sarasvati, membuatkan sajen diatas weda, kalau sembahyang kepada Dewi Sarasvati, Khusu kepada Dewi Sarasvati. Kalau kuningan itu setelah Galungan, 10 harinya galungan, udah pasti itu. Itu gininya, mengadakan persembahyangan tapi itu pagi-pagi, itu Galungan Para Dewa turun semua, udah kami panggil Dewa itu pas hari Galungan turun semua, jadi bersemayanglah di Pura itu, jadi kami ingin mengasih bekal aja, bawa juga itu sajen-sajen, ngasih bekal para dewa, itulah dengan doa bahwa menyaksikan para dewa ataupun memberikan upah-upah kepad dewa itu. Dewa akan kembali ke kayanagan. Menyaksikan para dewa dari bumi kembali ke kayangan. Intinya Kuningan itu kembalinya para dewa ke kayangan. Dalam melakukan persembahyangan umat Hindu Bali selalu menggunakan sarana sesajen atau upah-upah. Bapak Nyoman Sumandro mangatakan bahwa sesajen tersebut memiliki makna sebagai wujud terimakasih mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena telah memberikan mereka rejeki. Sesajen ini dapat berbentuk makanan seperti kue, buah-buahan dan sebagainya. Universitas Sumatera Utara 46 Itu maknanya gini, kamikan udah dianugerahkan itu makanan, seperti dianugerahkannya itu rejeki, jadi kami karena hastiti kami kepada Sanghiangwidi sangat kental, karena kami itu memandang karena Sang hyang widi itulah kami hidup, terlahir atau selamat, karena Sanghiangwidi diberikan rejeki. Maka kami dengan tulus iklas memberikan itu, memberikan kue-kue itu untuk kami bawa ke pura, disamping saya nanti bersembahyang memohon kepda Sang hyang widi keselamatan. Kami bawakan nanti itu kue-kue sebagai unsur terimakasih kami. Karena cinta kasih kami kepada Sanghiangwidi, rasa ucapan terimakasih aja itu. Dialah yang memberikan segalanya. Apalagi yang bisa kami persembahkan, itulah tenaga kami buat kue kami persembahkan. Pada saat hari raya Galungan sampai hari Kuningan, di rumah-rumah masyarakat Hindu Bali terdapat sebuah bambu panjang yang melengkung dilengkapi dengan janur dan buah-buahan hasil alam. Berdasarkan informasi dari Bapak Nyoman Sumandro, Bambu tersebut dinakaman Penjor. Penjor ini memiliki makna sebagai simbol gunung agung atau perumpamaan manusia yang semakin tinggi semakin merunduk. Penjor itu, penjor itu maknanya kalau saya nilai ada dua, itu melambangkan seperti manusia semakin berisi semakin menunduk, dua melambangkan Gunung Agung. Ada dua itu, melambangkan gunung Agung, tapi kalau seperti manusia itu semakin tinggi pengetahuannya harus menunduk seperti padi itu dari orang tua bicara saya dengar. Itu wajib dipasang saat hari Raya Galungan, isinya itu ada buah-buahan seperti buah-buahan pisang, kelapa ada janur juga. Walaupun Kampung Bali dimukimi oleh masyarakat yang multietnis, tetapi kita dapat membedakan rumah-rumah masyarakat Suku Bali dengan rumah- rumah masyarakat yang lainnya. Hal ini dapat kita lihat dari sanggah-sanggah atau bangunan menyerupai Pura kecil yang berada di setiap rumah masyarkat Suku Bali. Apabila terdapat sanggah sudah pasti rumah tersebut milik masyarakat Suku Bali. Cara membedakannya itu kalau dia Hindu dia ada tempat persembahyangannya sehari-hari, sanggah namanya. Itu tempat persembahyangan sehari-hari, di rumah masing-masing. Itu setiap rumah wajib ada. Menurut Bapak Nyoman Sumandro, dalam masyarakat Hindu Bali digunakan beberapa simbol yang identik seperti Swastika dan Trisula. Kalau Universitas Sumatera Utara 47 Swastika merupakan lambang agama Hindu, bentuknya seperti anak panah dengan empat penjuru, swastika ini memiliki arti hubungan manusia kepada Tuhan dan kepada alam. Sedangkan trisula melambangkan trimurti yaitu tiga dewa yang dikenal dalam agama Hindu, yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Ada, Swastika, itu artinya hubungan kita kepada Sang hyang widhi yang keatas, dan yang vertikal ini hubungan kita kepada alam dan manusia, kepada sesama. Ada lagi trimurti, melambangkan tiga Dewa, Brahma, Wisnu, Siwa, melambangkan tiga dewa. Oh iya itu namanya Trisula,melambangkan Trimurti. Selain simbol, dalam masyarakat Hindu Bali juga menggunakan warna- warna yang identik. Warna yang identik dengan masyarakat hindu Bali adalah Putih dan Kuning. Warna putih dan kuning ini biasa digunakan di pura atau di sanggah-sanggah milik masyarakat. Pemilihan warna putih dan kuning karena dipercaya bahwa putih itu suci dan kuning itu kemakmuran. Selain itu penggunaan warna-warna juga dapat melambangkan arah mata angin. Ada, kalau timur dia putih, kalau mencaru itu berguna itu. Kalau yang di Barat Kuning, kalau yang di Selatan Merah, di Utara Hitam. Kalau untuk singgasana Dewa itu menggunakan kain putih kuning untuk tapakan singgasana. Tapi yang lebih sering digunakan itu putih kuning, karena puttih itukan artinya suci sedangkan kuning itu artinya kemakmuran. Dalam melakukan persembahyangan atau ritual, masyarakat Hindu Bali menggunakan beberapa atribut di tubuh mereka. Atribut tersebut seperti udeng, kain dan ikat pinggang atau selendang. Menurut Bapak Nyoman Sumandro atribut-atribut ini memiliki makna, udeng memiliki arti sebagai pengikat pikiran, ikat pinggang sebaagi pengikat jiwa dan kalau kain untuk kesopanan. Udeng; Saput, itu ikat pinggang; kamen itu kain, kalau mau ke Pura pake kain. Kalau makna gini, kitakan kalau ke pura itu harus sopan, harus bersih jadi dia gini, kalau udeng itu untuk mengikat pikiran kita, kalau saput atau ikat pinggang itu untuk mengikat jiwa raga kita, tapi kalau kain itu saya rasa biar sopan aja. Dalam tradisi kematian, masyarakat Hindu Bali menggunakan sistem kremasi atau pembakaran mayat. Bapak Nyoman Sumandro mengatakan bahwa Kremasi atau pembakaran mayat ini dipercaya dapat mengembalikan lima unsur pembentuk tubuh dengan cepat. Dalam masyarakat Hindu Bali dipercayai bahwa Universitas Sumatera Utara 48 ada lima unsur pembentuk tubuh yaitu, air, api, angin, tanah dan akase atau tenaga. Sehingga dipercaya bahwa jika mayat dikremasi akan mengembalikan kelima unsur tersebut dengan cepat. Itu mengembalikan kelima unsur pembentuk diri kita, Panca maha buto. Kalau kami Hindu mempercayai badan atau wadak ini terbentuk dari lima unsur seperti pertiwi atau tanah, api, air, angin dan akase. Itulah mengemablikan kelima unsur itu aja. Ketika wadak kita itu dibakar kembalilah yang dari api ke api, yang air inikan habis dibakar dihanyutkan ke laut, itu dikembalikan ke air, yang dari tanah inikan sendirinya ke tanah, yang dari angin inikan terbang dibawa angin. Kalau akase itu tenaga ya pulang ke Dewa. Intinya mengembalikan kelima unsur yang ada di wadak kita ini aja. Seiring perkembangan zaman, banyak dari masyarakat Suku Bali di Kampung Bali yang menikah dengan suku lain. Bapak Nyoman Sumandro sendiri mengaku bahwa instrinya bukan berasal dari Suku Bali, melainkan dari Suku Jawa yang berasal dari Desa Paya Tusam. Saat masih berpacaran dan ingin melanjutkan ke jenjang pernikahan, Bapak Nyoman Sumandro menjelaskan kepada istrinya bahwa sebagai anak laki-laki dia tidak mungkin berpindah keyakinan, setelah dilakukan komunikasi dan penjelasan kepada keluarga pihak istrinya maka disepakatilah bahwa istrinya yang mengikuti keyakinannya. Kalau orang rumah saya itu bukan Suku Bali, Dia orang Jawa, dulunya dia muslim, jadi waktu kita masih pacaran dan mau menikah saya bilang sama orang rumah saya kalau saya nggak mungkin pindah keyakinan, karena kalau kami orang Bali ini anak laki-laki yang bertanggungjawab atas keluarganya. Jadi setelah saya bicarakan sama orang rumah saya dan juga keluarganya, dia mau ikut sama saya, ikut sama keyakinan saya. Dalam berinteraksi dengan masyarakat yang multietnis tidak pernah membuat Bapak Nyoman Sumandro merasa kebingungan dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat dari suku lain. Pasalnya untuk berbahasa jawa beliau sudah sangat handal. Tetapi terkdang beliau bingung ketika mendengar masyarakat suku karo yang berbicara menggunakan bahasa karo, namun beliau selalu mengingatkan untuk berbahasa indonesia. Pernah saya bingung, dia bahasa karo. Kalau bahsa Jawa saya tau. Dia bahasa karo, karena saya tidak tau, itulah saya bingung. Tapi kadang- kadang saya bilangi kalau itu berinterkasi sama saya lah, saya bilangi “ Universitas Sumatera Utara 49 pake Bahasa Indonesia, pak” karena saya tidak mengerti Bahasa Karo, dia ya merubah juga. Dalam berkomunikasi dengan masyarakat di Kapung Bali yang menjadi hambatan bagi Bapak Nyoman Sumandro adalah waktu, karena masyarakat di Kamung Bali semua bekerja di siang hari sehingga sulit untuk diajak berkomunikasi. Masalah waktu, karna kalau pagi mereka bekerja, dia mayoritas pagi bekerja. Jadi hambatannya itu hanya waktu, kalau saya ingin menyampiakan sesuatu kepada masyarakat. Selama tinggal di Kampung Bali, Bapak Nyoman Sumandro tidak pernah memiliki masalah atau konflik dengan masyarakat yang lain, namun beliau mengaku pernah ada masyarakat yang ribut karena pringgan atau pembatas tanah, selain itu ada juga ribut karena buah-buahan, namun masalah ini dapat diselesaikan dan dicari jalan tengahnya. Kalau saya sendiri tidak pernah, tapi pernah ada masyarakat yang ribut karena pringgan Pembatas tanah, sama pernah karena buah-buahan punya nya diambil. Itu ya saya damaikan, kita ajak bicara sampai jumpa jalan tengahnya. Sebagai Suku yang pertama mendiami Kampung Bali, Bapak Nyoman Sumandro tidak pernah merasa terganggu dengan kehadiran masyarakat dari suku- suku yang lain. Tidak, kami disinikan orang yang pertama, kalau ada yang mau jual sama orang suku karo misalnya, tidak ada keberatan, itu terserah kepada mereka yang punya tanah. Menanggapi perbedaan yang terdapat di Kampung Bali ini, Bapak Nyoman Sumandro menyikapinya dengan santai, karena menurut beliau perbedaan itu memang ada, tanpa ada perbedaan maka kehidupan tidak akan maju. Beliau percaya bahwa perbedaan diciptakan untuk membuat masyarajat agar lebih maju cara berpikirnya. Perbedaan agama antara suku ini dengan suku itu sudah menjadi ini sama saya. Karna perbedaan itu memang ada, karna tanpa ada perbedaan, tanpa ada warna lain di kehidupan kita, kita tidak akan pernah maju cara berfikirnya. Itu saja kalau saya pribadi, karena perbedaan itu Tuhan ciptakan, karna supaya kita itu lebih maju dalam berpikir, itu saja saya menanggapi perbedaan itu. Selagi tidak ada benturan. Universitas Sumatera Utara 50 Informan II Nama : Nyoman Suyetno Umur : 35 Tahun Pekerjaan : Petani Karet Tanggal Wawancara : 10 Maret 2016 Tempat : Rumah Bapak Nyoman Suyetno Kp. Bali, Kec. Sei Wampu Kab. Langkat. Informan kedua yang peneliti wawancarai dalam penleitian ini adalah Bapak Nyoman Suyetno, beliau merupakan pria berdarah Bali yang lahir dan besar di Sumatera Utara. Saat ini Bapak Nyoman Suyetno berusia 35 tahun, beliau memiliki tiga orang anak dari hasil pernikahannya dengan istrinya yang bernama Ibu Sri. Istrinya merupakan wanita bersuku Jawa dari Desa Stungkit. Sebelum menikah denganny, Ibu Sri memeluk agama Islam dan kemudian memluk agama Hindu ketika menikah dengan Bapak Nyoman Suyetno. Dalam wawancara yang peneliti lakukan dengan Bapak Nyoman Suyetno, beliau mengatakan bahwa ia sering berinterkasi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali, baik itu masyarakat yang bersuku Bali, Jawa maupun Karo. Ya sering sih, kadangkan namanya kita satu kampung pasti sering jumpa, berinteraksilah ya sering. Terhadap masyarakat, Bapak Nyoman Suyetno memiliki hubungan yang akrab, tetapi tidak dengan semua masyarakat, beliau juga tidak terbuka dengan masyarakat secara keseluruhan, hanya dengan beberapa orang yang dekat-dekat saja. Ketika berinteraksi dengan masyarakat dari suku lain beliau memiliki perasaan yang sama dengan ketika berinteraksi dengan masyarakat suku Bali Universitas Sumatera Utara 51 karena beliau tidak pernah membeda-bedakannya. Bapak Nyoman Suyetno juga memiliki pikiran yang positif kepada masyarakat yang ada di Kampung Bali, beliau menilai semua masyarakat yang ada di Kampung Bali itu baik-baik, terutama yang bersuku Jawa. Akrab, tapi tidak semua. Kalau yang paling akrab itu bisa dibilang ya kepala dusunnya. Selain itu ya ketua BPKD itu, itu termasuk ada hubungan saudara juga itu. Kalau terbuka enggak semua, ya paling yang dekat-dekat aja. Gimana ya, sama aja sama semua masyarakat, sama yang Bali sama yang orang Jawa itu sama aja, karena agama pun kan nggak ngajarkan untuk membeda-bedakan. Ya baik, masyarakat disini itu baik-baik, apalagi yang Suku Jawa itu baik- baik. Berdasarkan informasi dari Bapak Nyoman Suyetno, jika ada hajatan atau pesta di Kampung Bali, masyarakat disini selalu saling mengundang, tidak hanya di dalam Kampung masyarakat disini juga mengundang sampai ke luar kampung. Ya bagus hubungannya, diundang. Pokoknya hubungan antara masyarakat disini gak ada masalah. Sama kayak di luar kalau ada pesta ya semua diundang. Termasuk di luar kampung pun diundang. Bapak Nyoman Suyetno jarang bertamu ke rumah masyarakat yang ada di Kampung Bali, kalau untuk masyarakat Bali beliau pernah. Beliau bertamu tanpa maksud dan tujuan tertentu beliau hanya bertamu untuk sekedar berbicara saja, hal-hal yang dibicarakanpun tidak jauh dari pembahasan kerohanian. Untuk bertamu ke rumah masyarakat dari suku lain beliau mengaku tidak pernah. Kalau untuk sesama masyarakat Bali pernah sih, tapi kalau ke rumah yang Jawa itu enggak. Ya biasa-biasa aja gitu, ya biasa-biasa aja untuk bincang-bincang. Kalau bertamu ya memang gak jauh gak lari dari kerohanian juga. Selain jarang bertamu, Bapak Nyoman Suyetno juga mengaku tidak pernah duduk-duduk di warung untuk berkumpul dengan teman-temannya. Beliau menilai duduk-duduk di warung tidak memiliki manfaat dan membuang-bunag waktu. Enggak pernah saya, memang gimana ya, saya rasa nggak ada manfaatnya kan gitu. Nggak ada manfaatnya sama kita, buang-buang waktu juga. Universitas Sumatera Utara 52 Namun, jika ada perkumpulan di balai dusun beliau selalu datang. Perkumpulan enam bulan sekali di balai dusun tujuannya untuk membahas mengenai BPKD, disinilah keluhan-keluhan dan laporan keuangan BPKD dibahas, selain untuk rapat BPKD, beliau juga pernah ikut kumpul di balai dusun jika ada kegiatan promosi atau partai. Ikut, selalu ikut saya. Itu sebenarnya udah lama, enam bulan yang lalu. Jadi setiap enam bulan itu ada perkumpulan BPKD di balai dusun, jadi disitu dia menyampaikan keluhan-keluhannya sama laporan keuangan. Udah enam bulan lah itu, enggak bergantung berapa minggu sekali. Kecuali misalnya ada dari Kepala Desa atau dari Partai gitu, entah ada promosilah, promosi apalah gitu, pernah juga. Tapi itu pun kadang- kadang. Bapak Nyoman Suyetno mengatakan bahwa dirinya pernah melakukan komunikasi antarpribadi dengan masyarakat di kampung Bali, jika melakukan KAP topik atau pembahasan yang dibicarakan tidak menentu. Pernah, ya paling sama orang-orag yang dekat aja. Ya nggak tentu apa aja yang dibicarakan. Bapak Nyoman Suyetno sering bertukar informsai dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali, salah satunya jika Bapak Nyoman Sumandro meminta tolong kepadanya untuk memebritahukan warga jika ada perkumpulan. Dan biasanya beliau datang ari rumah ke rumah untuk menyampaikan informasi tersebut. Sering juga. Ya kadang saya dimintai tolong sama pak kepala dusun untuk memberitahukan warga untuk kumpul di balai dusun, atau ada informasi apa gitu ya itu saya sampaikan. Saya datang dari rumah ke rumah. Bapak Nyoman Suyetno juga pernah berkomunikasi secara berkelompok saat ada perkumpulan di balai dusun. Saat melakukan komunikasi kelompok topik yang dibicarakan yaitu mengenai BPKD dan gotong royong desa. Ya paling waktu kumpul di balai dusun itu tadilah. Ya itu tadi, kalau ada pembahasan BPKD atau ada informasi apa yang mau disampaikan dari pemerintahan. Atau diskusi untuk gotong royong desa. Masyarakat Hindu Bali di Kampung Bali memiliki perkumpulan Pura yang bernama suka-duka. Perkumpulan suka-duka ini biasanya membahas Universitas Sumatera Utara 53 persiapan-persiapan jika akan dilaksanakan acara atau peringatan hari besar umat Hindu. Ada sih, termasuk banjar lah itu, disini banjar ada 34 Kepala Keluarga, Suka-duka itu namanya. Kalau untuk muda-mudi udah nggak apa juga udah nggak aktif. Karena mereka kebanyakan apa, nggak tinggal disini, kalau sekolah diluar mereka kos, Cuma nggak semua mereka ada juga yang laju. Biasanya bahas persiapan sebelum hari raya, Galungan misalnya, memang dua minggu sebelum itu misalnya rapat. Membahasa masalah itu, galungan tadi lah misalnya. Dari dana juga, perorangnya dikenalan berapa. Bapak Nyoman Suyetno mengaku jarang menggunakan handphone, kalaupun menggunakan handphone beliau hanya untuk keperluan-keperluan yang menurutnya tidak begitu serius. Beliau menggunakan handphone hanya sekedar untuk menjalin komunikasi saja. Nggak pernah sih bang, tapi pernah juga lah memang, pernah sih pernah. Ya kadang-kadang keperluan spele aja, untuk jalin komunikasi aja gitu. Menurut Bapak Nyoman Suyetno, masyarakat Kampung Bali sebelumnya rutin melakukan gotong-royong. Tetapi beberapa bulan belakangan memang terhenti, dan untuk menggantikan pekerjaan tersebut ketua BPKD mengambil tenaga pekerja dari luar. Sebelumnya itu memang ada, tapi beberapa hari belakangan ini macet, kesadaran orangnya itu kurang, kadang-kdang orangnya ya yang itu-itu aja. Jadi, apanya ini ketua BPKD nya ini terpaksa mengambil tenaga pekerja dari luar, dananya itu diambil dari BPKD. Dulu gotong royong itu dua minggu sekali, dua hari itu. Antara kamis atau jumat itu, kalau yang gak bisa ikut hari kamis nanti dia datang di hari jumat. Jika ada berita kemalangan atau untuk memberitahukan masyarakat jika ada warga yang meninggal, di Kampung Bali menggunakan cara yang berbeda untuk memberitahukan informasi kematian masyarakat Hindu Bali dengan masyarakat yang beragama muslim. Kalau masyarakat Hindu Bali yang meninggal menggunakan kentongan dan kentonganya itu sebanyak tiga kali, kalau untuk yang muslim itu menggunakan bedug masjid dan pengeras suara. Pake kentong, ada memang tandanya sendiri, kalau kentong orang meninggal itu, ini cerita orang Bali dulu ya, kalau orang Suku Bali itu kentongnya tiga kali untuk orang meninggal, supaya nanti bisa Universitas Sumatera Utara 54 membedakan, kalau kentong untuk mengumpulkan masyarajat itu beda lagi, lebih dari tiga kali dia. Kalau orang Jawa atau yang muslim itu mereka kan punya Masjid, mereka pake bedug Masjid terus pake pengeras suara. Dalam berkomunikasi dengan sesama masyarakat Suku Bali, masyarakat di Kampung Bali masih menggunakan bahasa daerah mereka. Namun penggunaan Bahasa Bali tersebut tidak lagi mendominasi, hanya orang-orang tertentu yang menggunakannya. Dalam keluarganya, Bapak Nyoman Suyetno tidak lagi menggunakan Bahasa Bali tetapi mereka lebih sering menggunakan Bahasa Jawa, hal ini dikarenakan istrinya yang berasal dari suku Jawa. Masih juga, tapi tidak begitu dominan, paling orang-orang tertentu. Kayak saya, istri saya bukan suku Bali, kayak bapak itu juga bukan suku Bali, jadi ya bahkan mereka ini berbahasa jawa Mengenai sistem penyebutan nama dalam masyarakat Suku Bali, Bapak Nyoman Suyetno menyebutkan bahwa kalau untuk anak pertama menggunakan wayan, kedua made, ketiga nyoman dan keempat ketut. Beliau juga mengatakan bahwa ada sebutan-sebutan yang lain, tetapi biasanya yang paling sering digunakan adalah wayan, made, nyoman dan ketut. Kalau lebih dari empat, sistem penyebutannya kembali lagi dari awal. Kalau pertama dia wayan, ada juga putu tapi kebanyakan wayan tadilah pada umumnya. Yang kedua made ataupun dia kadek, umumnya ya itu tadi made kebanyakan. Anak ketiga nyoman, kalau anak keempat itu ketut. Kayak saya nyoman saya bukan anak ketiga, karena gini dia kalau udah sampe anak keempat dia baik lagi tu. Untuk anak ketiga komang pun ada juga, tapi kitakan pake yang pada umumnya kebanyakan orang pake. Bapak Nyoman Suyetno mengatakan bahwa memang masyarakat Hindu Bali masih menjalankan ritual-ritual mereka, ritual yang selalu mereka laksanakan adalah mencaru. Menurutnya mencaru merupakan salah satu ritual butayatnya yang maksudnya ditujukan untuk makhluk-makhluk jahat. Ada seperti Mencaru. Itu jenis Butayatnya, kan ada dewayatnya, manusiayatnya, ada butayatnya, itu ada lima lah itu. Kalau butayatnya ini memberi sesajen agar tidak diganggu oleh makhluk-makhluk jahat. Universitas Sumatera Utara 55 Beliau dan masyarakat Hindu Bali lainnya di Kampung Bali juga masih memperingati hari-hari besar keagamaan Hindu. Hari-hari yang mereka peringati adalah Galungan, Nyepi, dan Kuningan. Hari raya Galungan, hari raya Nyepi itulah yang besarnya. Tapi kalau mengikuti apanya itu, seperti Galungan, hari Raya Kuningan. Kalau Galungan itu sepuluh harinya itu Kuningan. Kalau Nyepi itu sebenarnya tahun barunya, tahun baru saka. Menurut Bapak Nyoman Suyetno, sesajen yang sering mereka gunakan dalam persembahyangan merupakan wujud persembahan dan bakti mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itu bisa dikatakan ya persembahan, persembahan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai rasa bakti kita gitu, terimakasih kita. Menurut Bapak Nyoman Suyetno Penjor atau bambu yang digantungi buah-buahan dan janur adalah hal yang wajib dipasang setiap Galungan hingga Kuningan. Namun, beliau menagku tidak terlalu paham mengenai makna di balik penjor tersebut. Itu gimana ya, memang ada itu tapi saya tidak mencerna sekali itu semua. Sebenarnya ini dipasang waktu hari Raya Galungan, kalau hari raya Galungan itu memperingati hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Itu yang biasa digantung disitu kueh, pisang, kelapa, buah-buahan. Bisa dibilang hasil bumi gitulah. Untuk membedakan rumah masyarakat suku Bali dengan masyarakat suku lainnya, Bapak Nyoman Suyetno mengatakan bahwa perbedaanya itu dapat dilihat dari sanggah yang ada di rumah masyarakat Bali, hal ini merupakan ciri khas dari masyarakat suku Bali. Salah satunya memang kalau orang Bali ini kan memang yang menjadi ciri khas itu sanggah, memang itulah yang menandakan. Masyarakat Hindu Bali memiliki simbol yang identik, menurut Bapak Nyoman Suyetno simbol-simbol tersebut seperti Swastika dan Trisula, beliau juga mengatakan bahwa sebenarnya terdapat banyak sekali simbol-simbol dalam agama Hindu tetapi beliau kurang mendalami. Ada...ada bang, itu kita Bali lah, Hindu misalnya gitu ada lambangnya. Swastika, itulah memang lambangnya agama Hindu. Sebenarnya dalam Universitas Sumatera Utara 56 agama Hindu banyak kita jumpai simbol-simbol. Untuk maknanya memang ada tapi saya tidak mendalami, tapi memang itu tadi lambang agama Hindu. Kalau Trisula itu bisa dikatakan senjatanya Dewa Siwa. Banyak sih lambang-lambang seperti senjata para Dewa tapi jarang digunakan. Dalam masyarakat Hindu Bali penggunaan warna kuning dan putih merupakan hal sangat identik. Namun menurut penuturan Bapak Nyoman Suyetno, penggunaan warna kuning dan putih tersebut tidak menjadi keharusan. Terkait makna di balik penggunaan warna tersebut, Bapak Nyoman Suyetno mengaku tidak terlalu paham, beliau hanya mengatakan bahwa penggunaan warna kuning karena warna tersebut terlihat indah dan penggunaan warna putih karena melambangkan kesucian. Ya, paling yang identik kuning sama putih, tapi tidak diharuskan. Itu hanya kalau kuning indah putih suci, tapi enggak mesti, enggak harus. Kalau itu saya juga kurang tau, kayaknya nggak ada atau gimana ya saya juga kurang paham. Ya paling itu tadilah kalau kuning dia kan indah, kalau putih suci. Selain penggunaan simbol dan warna, masyarakat Hindu Bali juga menggunakan beberapa atribut atau pakaian yang biasanya wajib mereka gunakan ketika bersembahyang di Pura. Bapak Nyoman Suyetno mengatakan atribut tersebut seperti Udang dan Anteng atau ikat pinggang. Penggunaan Udeng dan Anteng memiliki makna tertentu. Penggunaan Udeng dipercaya dapat mengikat pikiran, dan penggunaan Anteng atau ikat pinggang dipercaya dapat mengikat jiwa ketika menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Kayak pakaian resmi gitu, kayak Udeng, Anteng ikat pinggang. Kalau udeng itu mengikat pikiran kita, kalau anteng atau ikat pinggang itu mengikat jiwa kita, karena inikan mau menghadap Tuhan. Dalam upacara kematian masyarakat Hindu Bali menggunakan sistem kremasi atau pembakaran mayat, hal tersebut berlaku juga untuk masyarakat Hindu Bali yang ada di Kampung Bali. Berdasarkan penuturan Bapak Nyoman Suyetno, pembakaran mayat tersebut dipercaya dapat mempercepat proses pengembalian unsur-unsur tubuh ke alam. Kalau menurut apanya sih, kalau dibakar itu lebih cepat prosesnya mengembalikan unsur-unsur badan tadi, yang terdiri dari lima elemen. Universitas Sumatera Utara 57 Kan lebih cepat dia, kalau misalnya tanah dia ya kembali ke tanah, kalau yang air kembali ke air, kalau yang angin kembali ke udara, kan gitu. . Dalam melakukan persembahyangan, ada beberapa hal yang harus disediakan oleh masyarakat Hindu Bali. Menurut Bapak Nyoman Suyetno beberapa hal tersebut seperti Api yang diwujudkan dengan Dupa dan Air. Bapak Nyoman Suyetno juga mengatakan bahwa api merupakan saksi dan penghantar doa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan air digunakan untuk mensucikan diri. Ada itu api, kalau kami pake dupa itu maksudnya sebagai saksi lah saksi persembahyangan kita, dan juga untuk menyampaikan atau menghantarkan doa-doa kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada Tuhan yang berada di alam Transenden kan gitu. Kalau air itu mensucikan, diminum tiga kali, di...di cuci muka tiga kali, begitulah apanya, apa....apa... istilahnya pelaksanaannya. Kalau bunga itu sebagai pikiran yang suci. Dalam hal pernikahan, Bapak Nyoman Suyetno mengatakan bahwa istrinya bukan berasal dari Suku Bali asli melainkan dari Suku Jawa yang berasal dari Desa Stungkit. Sebelum menikah Bapak Nyoman Suyetno melakukan komunikasi dengan istri dan keluarganya yang kemudian disepakati bhawa sang istri ikut dengan keyakinannya. Kalau istri saya dia Muslim, bukan dari Suku Bali dia. Dia dari Suku Jawa, dia dulunya muslim. Jadi waktu kita mau nikah kita bicarakan dengan pihak keluarga, ya itu disepakati kalau dia ikut sama keyakinan saya. Bapak Nyoman Suyetno tidak pernah merasa bingung dengan bahasa yang digunakan masyarakat dari suku lain ketika berkomunikasi. Ia mengaku dapat berbahasa Jawa namun untuk bahasa Karo beliau tidak terlalu mengerti. Tidak, Ya kalau Jawa sih saya ngerti, kalau karo yang saya nggak ngerti. Kalau sedikit-sedikit ngerti sih tapi sangat sedikit sekali. Ketika berkomunikasi dengan masyarakat di Kampung Bali, Bapak Nyoman Suyetno tidak memiliki hambatan, hanya saja terkdang beliau merasa tanggapan dan respon yang didapatnya kurang sesuai. Beliau juga tidak pernah memiliki konflik dengan sesama masyarakat yang ada di Kampung Bali. Universitas Sumatera Utara 58 Itu kadang-kadang apa, mungkin tanggapan atau respon yang kurang pas. Sebenarnya sih kalau hambatan tidak ada. Kalau konflik tidak ada, kalau ada pun mungkin dulu-dulu, kalau sekarang ini nggak ada. Bapak Nyoman Suyetno tidak pernah merasa terganggu dengan kehadiran masyarakat dari suku lain ke Kampung Bali. Beliau juga menilai bahwa perbedaan yang terdapat di Kampung Bali merupakan hal yang dapat dimaklumi karena hal tersebut sangatlah wajar. Kalau dengan keadatangan mereka mungkin tidak. Dan tanggapan saya Itu wajar saja, itu kita maklumi, itu memang wajar-wajar saja. Dimana- dimana ada, mana bisa kita mendirikan negara sendiri. Informan III Nama : Wayan Weto Umur : 60 Tahun Pekerjaan : Petani Karet dan Sawit Tanggal wawancara : 23 Maret 2016 Tempat : Rumah Bapak I Wayan Weto Kp. Bali Kec. Sei Wampu Kab. Langkat Bapak Wayan Weto adalah informan ketiga yang peneliti wawancarai dalam penelitian ini. Bapak Wayan Weto merupakan pria Suku Balin yang datang ke Kmapung Bali saat usianya 18 tahun. Bapak Wayan Weto memiliki empat orang anak hasil dari pernikahannya dengan Ibu Ni Made Sara. Saat ini Bapak Wayan Weto menginjak usia 60 tahun. Dalam wawancara yang peneliti lakukan dengannya, beliau mengaku bahwa dirinya sering berinterkasi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali, baik itu dengan yang bersuku Bali maupun dengan masyarakat yang berlainan suku. Beliau sangat ingin duduk berdampingan dengan seluruh masyrakat yang ada di Kampung Bali, maka tidak heran jika sejak tahun 1977 beliau sering menghadiri perwiritan yang diadakan oleh masyarakat yang beragama Islam. Sering, sering. Bahkan dulu dari boleh dikatakan lah tahun 77 ya saya juga entah kenapa, saya juga kalau dari muslim itu wirit saya ikut. Jadi ada rasa apa, kepengen lo rasanya duduk berdampingan sama mereka. Universitas Sumatera Utara 59 Padahal nggak nya disuruh tapi ada panggilan dari hati untuk ikut wirit gitu. Apalagi sekarang orang Bali ambil orang Jawa, orang Jawa ambil orang Bali, orang Bali mabil orang Karo, orang Karo ambil orang Bali, ya gitu sekarang udah berputar-putar disitu aja, jadi kita nggak lagi membesar-besarkan masalah si polan begini, si polan begitu, yasudah yang penting kita sekarang disini memperbaiki diri kita. Kalau kita menyalahkan orang lain itu kan..kan.. gak wajar, ataupun tujuan hidup kita bukan itu. Orang lain salah, diri kita udah benar gak, kan gitu. Bapak Wayan Weto adalah orang yang sangat terbuka dengan masyarakat, beliau menganggap bahwa seluruh masyarakat yang ada di Kampung Bali sudah menjadi saudara sehingga tidak ada yang membedakan. Bapak Wayan Weto dan masyarakat yang ada di Kampung Bali saling terbuka, hal ini dapat dilihat jika tetangganya yang beragama Islam mengadakan perwiritan, mereka selalu membawakan kue-kue untuk Bapak Wayan Weto dan keluarganya, begitu juga sebaliknya, setiap Galungan beliau memberikan kue-kue kepada tetangganya tetangganya. Terbuka, terbuka ya kayak saya bilang tadi, disini udah jadi satu, udah kayak saudara semua jadi enggak ada beda-beda. Mereka pun terbuka, kenapa saya bilang terbuka karena kalau ada wirit dibawakannya juga lemet entah kue-kue, itu kan terbuka namanya. Ya gitu saya, kalau kita hari Raya Galungan, karena mereka memberi ya kita memberi, jadi sama- sama memberi kan gitu. Itu lah yang sama-sama kita pupuk disini. Ya itulah kalau wirit dibawakannya entah pisang goreng entah gemblong di bawakannya. Itu lah keguyupannya disini. Bapak Wayan Weto memiliki hubungan yang akrab dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali, baik masyarakat yang bersuku Bali, Jawa, Karo maupun Batak mereka memiliki kesatuan yang sangat erat. Beliau selalu berpikiran positif dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali, hubungan yang erat layaknya saudara membuat beliau tidak perah berburuk sangka dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali. Iya, kita disini udah kayak saudara jadi semuanya akrab, ya itu tadi disini keguyupannya udah kuat antara orang kita Jawa, orang kita Bali, orang kita Karo dan orang kita Batak. Saya rasa selama hidup berdampingan di kampung ini saya rasa positif-positif aja, karena gimana ya, itu lah yang saya bilang tadi kalau dia ada pesta kita pun dikasih tau, kalau dari orang Bali pesta kita kasih tau. Saya rasa cemana ya hidup ini rasanya orang Jawa orang Bali rasanya sudah seperti satu darah gitu. Universitas Sumatera Utara 60 Hubungan yang akrab layaknya saudara membuat Bapak Wayan Weto tidak merasa canggung ketika berinteraksi dengan masyarakat, beliau kerap menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Jika masyarakat berkomunikasi menggunakan Bahasa Jawa maka beliaupun ikut menggunakan Bahasa Jawa. Ya rasanya, rasanya seperti saudara iya. Nggak ada dedeng aleng-aleng gitu. Seperti saudara ya, ngomong ya dia Bahasa Jawa ya bapak Bahasa Jawa. Nggak cemana, nggak canggung. ya kita membahasabagaimana kedepannya, kok ekonomi kita begini. Cemana cara kita cari hasil tambahan, ya itu yang dibahas heheheh... Bapak Wayan Weto mengatakan bahwa satu yang membedakan masyarakat Suku Bali dengan masyarakat suku lain yang ada di Kampung Bali adalah makanan ketika diadakannya hajatan atau pesta, karena masyarakat Hindu Bali mengkonsumsi daging babi dan tidak mengkonsumsi daging sapi dan hal yang sebaliknya berlaku bagi masyarakat yang ada di Kampung Bali khususnya yang beragama Islam. Kemudian Bapak Wayan Weto menegaskan bahwa yang menjadi perbedaan antara masyarakat Suku Bali dengan masyarakat suku lainnya adalah kepercayaan dan tradisi. Cuma kadang-kadang bedanya dari masyarakat kita Jawa dengan orang kita Bali ini satu, kalau kita Bali ini kalau ada pesta nggak sah rasanya kalau enggak potong babi, jadi untuk yang Jawa kita masakan untuk mereka di rumah yang Jawa. Itu aja mungkin ya lebih dari segi kepercayaan dan tradisi. Masyarakat di Kampung Bali juga memiliki kebiasaan yang sama masyarakat pada umumnya jika ada hajatan atau pesta, mereka selalu mengundang rekan tetangganya yang ada di Kampung Bali. Namun ada satu kebiasaan yang selalu dilakukan oleh masyarakat Kampung Bali jika ada hajatan atau pesta, khususnya jika masyarakat Bali yang memiliki hajatan mereka selalu meminta tetangganya yang beragama muslim untuk memasakkan makanan untuk rekan-rekannya yang beragama muslim. Hal ini dilakukan agar makanan yang disajikan untuk masyarakat Suku Bali dengan masyarakat yang beragama Islam tidak bercampur. Hal inilah yang selalu terjadi untuk mensiasati perbedaan di Kampung Bali jika ada hajatan atau pesta. Ya kalau ada pesta kita saling mengundang, kalau orang kita Jawa pesta mereka mengundang kita, dan kalau kita Bali pesta mengundang mereka. Universitas Sumatera Utara 61 Tapi ada bedanya yaitu tadi, kalau kita Bali kan kalau ada pesta nggak sah rasanya kalau enggak ada babi jadi untuk orang kita Jawa itu kita masakan makanan untuk mereka di rumah orang kita Jawa, jadi kita suruh mereka masak di salah satu rumah orang kita Jawa. Bapak Wayan Weto selalu menjaga hubungannya dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali, beliau sering mengunjungi tetangganya untuk menyambung tali persaudaraan. Biasanya ketika Idul fitri beliau selalu bertamu ke rumah tetangganya yang Muslim, begitu juga hal nya yang beliau lakukan kepada sesama masyarakat Suku Bali jika Galungan atau menjenguk rekannya yang sakit. Jika sedang bertamu hal-hal yang sering beliau bicarakan mengenai Desa tempat mereka bermukim, selain itu beliau yang sering beliau bicarakan ketika bertamu seperti pendapatan yang menurun maupun tanaman karet mereka yang rusak. Kalau mereka pas ada Idul fitri misalnya, bapak kunjung mengunjungi, itulah cara kita menyambung persaudaraan. Itu orang kita muslim dan orang kita kristen pun kalau bapak hari raya Galungan ya mereka datang kemari. Kalau untuk sesama masyarakat Bali ya sering, kalau misalnya ada yang sakit ya kita datangi. Ya ngomong-ngomong aja, yang sering kita omongkan ya kita nggak nyangka akan begini jadinya kampung kita. Kalau dulu untuk keluar aja kita harus 2-3 orang baru berani keluar, orang mau kemari pun mikir- mikir lagi, terus paling ya kita bicara-bicara masalah-masalah gitulah, masalah ekonomi, ya kadang-kadang masalah pendapatan menurun, karet rusak ya gitu-gitulah yang kita bahas, kalau yang lain-lain itukan enggak terpikir sama kita, kita orang awam ini nggak mampu sampe kesana- kesana cara pikirnya. Semenjak memiliki usia yang tidak lagi muda, Bapak Wayan Weto mengaku jarang duduk-duduk di warung. Beliau hanya ke warung jika ada keperluan saja. Menurutnya duduk di warung dan berbicara kesana-kemari tidak memiliki arti. Semenjak udah tua gini ya pernah-pernah tapi nggak seperti dulu, paling ya kalau beli gula setelah itu ya pulang. Kalau dulu pas anak masih kecil- kecil ya dari tengah hari sampe magrib baru pulang. Inikan ceritanya jujur ya ngapai ditutup-tutupi hehehehe...Kalau sekarang ya seperlunya ajalah karena kan udah tua, kalau kita ngobrol kesana-kemari juga gak ada arti. Kalau kita orang tua ini mau ngobrol-ngobrol nantikan ada waktunya, ntah nanti ada orang nikah misalnya, disitulah kita ngobrol. Universitas Sumatera Utara 62 Bapak Wayan Weto sering berpartisipasi dalam komunikasi kelompok yang ada di Kampung Bali. Komunikasi kelompok biasanya diselenggarakan di balai dusun, perkumpulan di balai dusun ini dilaksanakan setiap enam bulan sekali untuk membahas BPKD Badan Pendapatan Perkapita Desa dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pembangunan desa seperti gotong royong atau renovasi fasilitas umum. Selain di balai dusun, komunikasi kelompok dengan sesama masyarakat Hindu Bali juga sering diadakan, perkumpulan ini dinamakan Suka- duka. Dalam perkumpulan Suka-duka ini hal-hal yang dibahas berkaitan dengan kehidupan masyarakat Hindu Bali, seperti pembangunan Pura, Perayaan hari besar dan sebagainya. Kalau berkelompok ya di Balai Dusun. Balai Dusun, di balai dusun itulah biasa masyarakat berkumpul, biasanya kita setiap enam bulan sekali kita kumpul ke balai dusun untuk membahas masalah BPKD dan keadaan di kampung kita ini, entah mau gotong royong atau ada yang mau diperbaiki. Kalau orang Balinya itu ya perkumpulan Suka-Duka. Yang dibahas itu ya kalau di pura itu nanti membangun, misalnya banyak kekurangan bangunan di pura itu, atau ada yang ditimpa musibah atau sakit kita harus gimana ya gitu-gitu lah. Pak Weto juga mengaku bahwa dirinya sering melakukan komunikasi antarpribadi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali. Jika sedang melakukan komunikasi antarpribadi hal-hal yang sering dibicarakan yaitu mengenai tempat tinggal dan kondisi ekonomi yang mereka alami. Pernah, sering malah saya bicara-bicara sama masyarakat disini berdua atau empat mata gitu. Ya kayak yang saya bilang tadi, paling bahas masalah kampung kita, bahas-bahas masalah ekonomi, ya gitu-gitu aja. Sebagai pribadi yang senang berinteraksi dengan masyarakat, Bapak Wayan Weto juga sering bertukar informasi dengan teman-temannya. Beliau berpendapat bahwa dalam kehidupan bermasyarakat harus selalu berbagi informasi. Menurutnya informasi-informasi yang sering disampaikannya atau yang diperolehnya sangat beragam, dari yang penting sampai dengan informasi- informasi yang dianggap tidak penting. Pertukaran informasi ini biasa terjadi jika sedang bertamu, di tempat pesta atau bahkan ketika beliau sedang ikut perwiritan dengan masyarakat yang bergama Islam. Universitas Sumatera Utara 63 Sering, sering sekali malah. Jadi kita ini kan hidup bermasyarakat jadi kalau ada informasi itu kita selalu kasih tau. Ya apa aja, enggak tentu ya. Namanya juga kadang ada info ini info itu ya sampe ke telinga kita gitu. Kadang informasi-informasi nggak penting pun bisa sampek gitu. Ya kadang kalau lagi bertamu, atau lagi di tempat orang pesta, kayak bapak juga kan suka ikut muslim wirit jadi disitu banyak dapat-dapat informasi. Dalam berkomunikasi, Bapak Wayan Weto mengaku kurang pandai dalam menggunakan handphone, terlebih jika handphone tersebut berbentuk layar sentuh touch screen. Belaiu menggunakan handphone hanya untuk berkomunikasi dengan anaknya yang berada di luar kota. Ketika berkomunikasi menggunakan handphone, hal yang dibicarakan Bapak Wayan Weto biasanya hanya bertanya kabar atau berbagi informasi dengan anaknya. Itu kalau saya apalagi yang layar sentuh katanya sama sekali tidak tau. Tapi kalau yang manual katanya ya paling untuk hubungi anak. Kalau sengaja untuk komunikasi sama orang lain enggak pernah. Kadang- kadang anak yang hubungi itu baru saya angkat. Ya itu paling tanya kabar atau kalau ada informasi gitu, karena anak saya kan ada yang di luar, enggak disini tinggalnya. Menurut Bapak Wayan Weto masyarakat di Kampung Bali masih sering melakukan gotong royong, namun untuk saat ini diberhentikan karena musim kemarau yang panjang membuat tanah menjadi keras. Menurutnya kebiasaan gotong royong ini sudah hampir dua bulan tidak dilaksanakan. Secara jujur beliau mengatakan bahwa dalam melaksanakan gotong royong, ada masyarakat yang nakal yang tidak ikut dalam kegiatan tersebut, namun dari pihak BPKD membuat siasat untuk mengatasi hal tersebut. Beliau mengaku tidak dapat mengatakan bahwa masyarakat yang nakal tersebut dari Suku Bali, Jawa, Karo atau Batak karena semua masyarakat sekali-sekali pernah tidak ikut melakukan gotong royong. Masih, sering pun masih sering. Inilah diberhentikan dulu karena inikan kemarau panjang jadi agak keras tanahnya, kalau enggak ya ini lanjut. Ya ini pun udah mau lanjut, karena gimana ya titi disana udah mau diperbaiki, jalan ini rencananya itulah ketua BPKD rencananya kalau ada dana entah dua atau tiga juta daripada kita gotong royong nanti kita apa bagus kita ambilkan nanti tractor jadikan adakan sedikit menyimpan tenaga masyarakat. Kalau pake tractor ini dua jam kan tembus. Gitulah apanya. Jadi kalau untuk gotong royong ini memang udah hampir dua bulan nggak dijalankan ya, selama musim kemarau inilah. Universitas Sumatera Utara 64 Ada, itu ada yang kayak gitu. Bukannya kita nutup-nutupi memang ada, Cuma sekarang caranya untuk orang yang bandel itu biar tidak selamanya dia mempengaruhi orang yang rajin gitu. Sekarang ketua BPKD itu membuat suatu kelompok, misalnya nanti disini dibuat tiga kelompok, yang rumahnya dekat inpres mereka khusus membersihkan yang disana, ada yang sebagai mandornya. Kalau yang dari candi itu kesana ada yang mandori, kalau yang disini ada yang mandori. Apabila anggotanya tidak hadir itu menjadi tanggungjawab mandornya, jadi kalau udah dibuat kelompok gitu yang malas itu agak enggan dia, karena nanti kalau nggak hadir dikenakan biaya dia, nanti orang gotong royong paling dua jam dia nanti kena 50 ribu kan rugi dia. Jadi ikut dia, alhasil semua ikut gotong royong. Kalau itu tidak bisa kita bilang orang kita Jawa atau orang kita Bali atau Karo, karena rasanya sama saja, tidak ada masyarakat Jawa malas gotong royong atau masyarakat suku Bali yang malas, itu tidak ada. Ya kalau ada yang tidak ikut gotong royong ya itu dari Bali ada, dari jawa pun ada. Dalam mengumumkan berita kematian, terdapat cara yang berbeda untuk menyampaikan apakah yang meninggal berasal dari Suku Bali atau dari Suku lain yang beragama Islam. Bagi masyarakat Hindu Bali, jika ada berita kematian cara memberitahukannya dengan menggunakan kentongan yang dipukul sebanyak tiga kali, sedangkan untuk masyarakat yang beragama Islam cara untuk mengumumkannya dengan menggunakan bedug yang terdapat di Masjid. Kalau kemalangan bagi umat Hindu itu cara memberitahunya pukul kentongan, kalau umat hindu pukul kentong itu ada artinya, kalau tiga kali itu artinya ada kemalangan, kalau tujuh kali berarti ntah ada perkumpulan, kalau dipukul macam bulus katanya, pukul bulus itu artinya entah ada kebakaran. Nah kalau dari warga muslim tandanya kalau ada orang medi ninggal itu dari bedug. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu Bali di Kampung Bali sudah menggunakan bahasa yang bercampur, hanya yang lahir di Bali yang masih menggunakan bahasa Bali sehari-harinya, sementara yang lahir dan besar di Sumatera menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Jawa dan Bahawa Bali. Kalau yang masih lahir di Bali iya, masih menggunakan bahasa daerahnya, kalau yang besar di Sumatera campur aduk, ada yang bahas Bali, ada yang bahasa Jawa, ada yang bahasa Indonesia, itu campur aduk. Kalau yang lahir di Bali itu memang untuk bahasa sehari-harinya menggunakan bahasa daerah Bali, kalau yang lahir disini besar disini ya udah sesama orang Bali malah pake bahasa Jawa. Universitas Sumatera Utara 65 Dalam tradisi Suku Bali, terdapat sistem penyebutan nama yang digunakan untuk anak. Menurut Bapak Wayan Weto untuk anak pertama biasa menggunakan Wayan atau juga bisa Gede atau Putu, anak kedua menggunakan Made, anak ketiga menggunakan Nyoman dan anak keempat menggunakan Ketut. Menurutnya penggunaan sistem penyebutan tersebut berdasarkan beberapa daerah yang ada di Bali, namun untuk di Kampung Bali sendiri sistem penyebutan nama dipilih berdasarkan keinginan. Dalam keluarga Bapak Wayan Weto sendiri beliau menggunakan sebutan Wayan, Made, Nyoman dan Ketut untuk keempat anaknya. Itu ada pertama wayan, kedua made, ketiga nyoman, keempat ketut. Sebenarnya ada juga gede, putu, made dan lainnya, kalau di Bali itu digunakan berdasarkan daerah misalnya di karang asem atau di gianyar itu pake yang mana, tapi kalau disini ya pake yang mana yang disuka aja. Anak pertama itu Wayan, kedua itu Made, yang ketiga baru Nyoman, kalau anak ke empat pasti Ketut. Saat ini masyarakat Hindu Bali yang bermukim di Kampung Bali masih melaksanakan ritual atau upacara-upacara yang menjadi tradisi dalam kebudayaan mereka. Menurut Bapak Wayan Weto beberapa tradisi yang masih mereka jalankan seperti tiga bulanan anak, enam bulanan anak, potong gigi dan lain sebagainya. Mengenaia maknanya sendiri, menurut Bapak Wayan Weto tradisi tiga bulanan anak dan enam bulan anak bertujuan untuk keselamatan anak, sementara untuk potong gigi sendiri merupakan batas dimana anak sudah menjadi dewasa dan sudah mulia menanggung dosanya sendiri. Selain ketiga hal tersebut ada juga tradisi mencaru yang masih sering dilakukan masyarakat Hindu Bali di Kampung Bali. Tradisi mencaru ini bertujuan memberi upah-upah kepada Panca Maha Buto. Kalau disini masih itu aja, 3 bulan anak, 1 weton atau 6 bulanan, kalau sudah dewasa ya potong gigi, itu kalau orang bali ini memang dari lahir sampe tua ada aja ritualnya. Ini kalau ritual-ritual untuk anak ya, kalau di luar itu ya paling mencaru lah. Kalau 3 bulan anak, 6 bulan anak itu sebenarnya itu untuk keselamatan anak atau bisa dibilang doa selamat untuk anak. Kalau potong gigi itu nah disitu lah tanda dia seorang anak kalau udah potong gigi dia sudah menanggung dosanya sendiri, bukan tanggungan orang tua lagi.Kalau caru atau mecaru itu kita memberi upah-upah kepada Panca maha Buto. Universitas Sumatera Utara 66 Selain melaksanakan Tradisi yang masih melekat dengan kebudayaan masyarakat Hindu Bali di Kampung Bali, mereka juga memperingati hari besar keagamaan bagi Umat Hindu Bali. Menurut Bapak Wayan Weto hari-hari tersebut seperti hari Raya Galungan yang disusul oleh hari Kuningan, dimana hari raya Galungan ini merupakan hari kemenangan Dharma melawan Adhrma atau kebenaran melawan ketidakbenaran, selain itu juga ada hari Raya Nyepi yang bertujuan untuk menahan diri dari segala nafsu. Masyarakat Hindu Bali di Kampung Bali juga melaksanakan Odalan atau peringatan hari jadi Pura setiap tahunnya. Hari raya yang utama ya kalau apa Galungan, Nyepi, Kuningan sama Odalan di Pura. kalau Galungan itu kan memang hari kemenangan Dharma melawan Adharma, kalau Nyepi itu kan tujuannya menahan diri, sepi dari segala hawa nafsu dan segala macam gitu. Sepi itu kan luas maknanya, bisa dibilang tidak meyalakan api, tidak bepergian, tidak melakukan aktivitas, tidak mendengarkan musik, itu sepi. Sebenarnya tujuannya pada intinya menahan nafsu. Kalau odalan atau piodalan itu merayakan hari jadi Pura. kalau Kuningan itu kan menyambung dari Galungan, sepuluh hari Galungan itu pasti kuningan. Dalam upacara atau persembahyangan, masyarakat Hindu Bali selalu menggunakan sesajen atau yang sering juga disebut upah-upah atau banten. Menurut Bapak Wayan Weto sesajen memiliki makna sebagai perwujudan. Jika ditujuakn kepada Buta Kala dimaksudkan sebagai upah-upah, sedangkan jika ditujukan kepada Sang Hyang Widi dimaksudkan sebagai wujud terimakasih. Itu gini, kalau sajen itu sudah jelas perwujudan. Kalau kepada Buta Kala itu artinya upah-upah karena Buta Kala ini sifatnya menggangu, kalau dalam sembahyang ini sebagai perwujudan terimaksih kita kepada Sang Hyang Widi. Selain sesajen, setiap Galungan hingga Kuningan masyarakat Hindu Bali selalu memasang Penjor di depan rumah. Menurut Bapak Wayan Weto Penjor ini merupakan simbol gunung Agung yang ada di Pulau Bali. Penjor terbuat dari sebuah bambu yang melengkung dan dihiasai oleh janur dan hasil-hasil alam. Itu gini, kalau penjor itu sebenarnya simbol. Jadi penjor itu menyimbulkan gunung agung, jadi gunung agung itu kan hutan, jadi penjor itu kita ibaratkan hutan, jadi disitu ada kue dari pulut, ada pisang, ada buah- buahan. Jadi umat Hindu Bali itukan menyembah ke arah gunung agung jadi disini penjor itu sebagai pengganti Gunung Agung. Universitas Sumatera Utara 67 Di setiap rumah masyarakat Suku Bali terdapat sanggah yang digunakan untuk bersembahyang, sanggah ini adalah hal yang dapat membedakan rumah masyarakat Suku Bali dengan rumah masyarakat lainnya, karena keberadaan sanggah ini merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat Hindu Bali. Ya itu, kalau untuk membedakan yang mana rumah orang kita Jawa atau yang mana rumah orang kita Bali itu bisa kita lihat dari Sanggah atau tempat sembahyang yang ada di depan atau di sebelah rumahnya. Itu aja untuk membedakannya. Dalam masyarakat Hindu Bali juga dikenal berbagai macam simbol, terdapat banyak jenis simbol yang ada dalam masyarakat Hindu Bali. Namun saat ini simbol-simbol yang masih sering digunakan adalah simbol swastika dan trisula. Swastika merupakan simbol dari agama Hindu. Sementara trisula merupakan lambang dari senjata Dewa Siwa. Ada, itu karena sekarang yang buat tidak bisa karena udah muda-muda jadi enggak lagi kreatif. Itu ada lamak, lamak itu melambangkan seluruh isi dunia. Kalau sekarang sudah tidak ada yang bisa buat itu. Swastika, itu lambang Agama, terus Trisula itu senjata Dewa Siwa kalau nggak salah. Selain simbol, dalam masyarakat Hindu Bali juga digunakan warna-warna yang sangat identik. Beberapa warna tersebut seperti kuning dan putih. Menurut Bapak Wayan Weto penggunaan warna putih dan kuning tersebut dianalogikan seperti telur yang disebut dengan tatwa susila upacara. Telur yang terdiri dari tiga lapisan yaitu kulitnya yang putih, isinya yang putih dan sarinya yang kuning, dimana putih memiliki arti suci dan kuning memiliki arti kesejahteraan. Ada, itu memang warna yang paling identik itu yang melekat sampe sekarang itu putih-kuning. Itu maknanya kayak telur dia, itu disebut tatwa susila upara. Kalau telur itu kan putih kulitnya, putih isinya, kuning sarinya. Jadikan putih itu kan suci, sementara kuning itu sejahtera jadi kurang lebih gitulah dia putih kuning itu. Masyarakat Hindu Bali memiliki atribut atau pakaian yang sangat identik, atribut dan pakaian ini biasanya digunakan ketika bersembahyang di sanggah maaupun di Pura. atribut atau pakaian tersbeut seperti Udeng yang memiliki filosofi sebagai pengikat nafsu pikiran yang jelek, Kain panjang yang digunakan Universitas Sumatera Utara 68 unuk menutupi aurat, Kampo digunakan sebagi sopan santun, dan Anteng yang bertujuan untuk mengikat hawa nafsu. Kalau kita mengadakan persembahyangan itu Udeng, kain panjang, udah gitu Kampo, kampo itu lebih pendek dia dari kain. Udah gitu anteng. Itu filosofinya gini kalau udeng itu mengikat nafsu-nafsu pikiran kita yang jelek. Kalau kain panjang ini kan boleh dikatakan menutupi daripda aurat kita. Kalau kampo itu sebagai sopan santun kita, kalau anteng ini mengikat hawa nafsu kita, seperti nafsu birahi kita, itulah anteng. Dalam tradisi upacara kematian, masyarakat Hindu Bali menggunakan sistem kremasi atau pembakaran mayat. Menurut Bapak Wayan Weto hal ini bertujuan untuk mengembalikan raga kepada alam. Itu sebenarnya gini, kalau orang hindu meninggal itu memang sudah menjadi kewajiban kita karena lebih cepat mengembalikan raganya itu kepada pertiwi akase dan lain-lainnya itu, karena apa ya itu tergantug juga dana, karena apa ya kalau ada dana kita langsung kita bakar masih setingkat kremasi, nanti ada nanti dana baru kita aben kan. Dalam melakukan persembahyangan ada beberapa benda yang wajid disediakan bagi masyarakat Hindu Bali. Beberpa benda tersebut seperti air, api dan bunga. Air digunakan sebagai pembersih tubuh, api sebagai persaksian dan bungan sebagai perwujudan. Sebenarnya inti dari pada kita melakukan puja-puja sembahyang itu ya intinya itulah, air, bunga dan api. Kalau kita nggak mampu membuat banten atau sajen ya itu intinya itu aja, api, bunga dan air. Karena itu tujuan kita berdoa. Karena bunga itu sebagai perwujudan, api sebagai persaksi, air adalah kehidupan atau membersihkan tubuh kita. Pernikahan berbeda suku dan agama juga dialami oleh cucu laki-laki dari Bapak Wayan Weto. Sebelum menikah telah dilakukan komunikasi lebih dulu dengan pihak wanita dan kemudian disepakati bahwa si wanita yang ikut memeluk Agama Hindu. Kalau itu cucu ada, jadi memang istrinya yang ikut ke Hindu. Sebelum menikah kita bicarakan dulu baik-baik sama keluarganya,karena inikan menyangkut hal yang serius. Jadi steelha kita bicarakan barulah kita sepakati bahwa yang perempuan ini yang ikut kita. Ketika berkomunikasi dengan masyarakat yang berbeda suku, Bapak Wayan Weto tidak pernah mengalami kendala dalam hal bahasa. Namun dahulu Universitas Sumatera Utara 69 pernah terjadi perbedaan persepsi yang terjadi antara masyarakat Suku Bali dengan masyarakat Suku Jawa karena penggunaan bahasa yang berbeda. Dulu iya, baru-baru disini, kalau ingat itu memang menggelikan. Kalau sama orang Bali “uwong” itu jamur, anggapan orang kita jawa ini uwong itu kan orang, jadi sama dikerjaan ini jadi kawannya apa nanya laut bontotnya jadi “Jukut Uwong” katanya, jadi lari lah orang Jawa ini, jadi beredarlah isu jangan dekat-dekat orang Bali mereka makan orang. Jadi lama- lama dijelaskan lah kalau “uwong” itu dalam bahasa Bali artinya jamur. Itulah dulu pernah kejadian. Pernah juga dulu anak saya waktu masih kecil dengan anak Pak Payung orang kita karo, ribut gara-gara kodok, anak saya bilang ini dongkang, anak itu pake bahasa indonesia bilang itu kodok, sampe betengkar sampe nangis. Padahal itu sama kodok bahasa indonesia, kalau dongkang bahasa bali. Disitulah, dua itu yang pernah terjadi. Tapi itu dulu. Bapak Wayan Weto mengaku tidak pernah mengalami hambatan dalam berkomunikasi dengan masyarakat di Kampung Bali, baik itu yang bersuku Bali mapun dari suku lainnya. Beliau yang mahir dalam berbahasa Jawa mengaku tidak pernah mengalami hambatan komunikasi dari segi bahasa. Kalau hambatan udah gak ada, apalagi dari segi bahasa itu gak ada hambatan, orang jawa malah ada yang bisa bahasa bali, yang bali bisa bahasa jawa, bahasa karo. Jadi kalau untuk hambatan itu memang sudah tidak ada lagi. Bapak Wayan Weto tidak pernah memiliki konflik dengan masyarakat di Kampung Bali, beliau juga mengatakan bahwa kehidupan masyarakat di Kampung Bali aman, rukun dan tidak pernah terjadi perselisihan. Tidak, tidak pernah kita berkonflik disini, orang jawa, orang bali, orang karo disini hidupnya aman-aman aja, rukun-rukun aja. Tidak pernah terjadi cek-cok. Sebagai generasi pertama yang bermukim di Kampung Bali, Bapak Wayan Weto tidak pernah merasa terganggu dengan kehadiran masyarakat dari suku lain. Perbedaan yang ada pada masyarakat awalnya membuat Pak Weto merasa aneh, namun dia menyadari bahwa sebenarnya perbedaan itu memang harus ada dan kemabali kepada bagaimana cara menyikapinya. Tidak, tidak pernah terganggu sama sekali, karena kita disinikan sama- sama melangsungkan hidup, jadi tidak ada rasa terganggu sama sekali. Awalnya kita menganggap agak aneh, tetapi setelah kita telusuri kita Universitas Sumatera Utara 70 pahami ternyata perbedaan itu, itu memang harus sebenarnya. Jadi gimana ya, perbedaan itu memang ada antara suku jawa, suku bali, suku karo, muslim atau itu hindu perbedaannya memang ada, jadi caranya menyikapi perbedaan itu jadi kita, kita kembalikan kepada diri kita. Jangan menilai dia itu salah, kita kembalikan dulu ke diri kita, apa yang berbeda di diri kita berbeda juga dengan mereka, jadi perbedaan itu tidak perlu dibesar-besarkan. Informan IV Nama : Nyoman Sutejo Umur : 36 Tahun Pekerjaan : Petani Karet Tokeh Karet Tanggal wawancara : 30 Maret 2016 Tempat : Rumah Bapak Nyoman Sutejo Kp. Bali, Kec. Sei Wampu, Kab. Langkat Bapak Nyoman Sutejo merupakan informan keempat yang peneliti wawancarai dalam penelitian ini. Bapak Nyoman Sutejo merupakan pria berdarah Bali yang lahir dan besar di Sumatera Utara tepatnya di Kampung Bali. Pria berusia 36 tahun ini tealh memiliki dua orang anak hasil dari pernikahannya dengan istrinya Ni Ketut Santi, istrinya adalah wanita berdarah Jawa yang berasal dari Desa Patok Delapan Belas yang kemudian berpindah keyakinan mengikutinya saat menikah. Bapak Nyoman Sutejo adalah ketua Badan Pendapat perkapita Desa atau BPKD di Kampung Bali. Beliau bertugas untuk mengajak masyarakat memebangun desa, bergotong royong serta menampung aspirasi masyarakat yang ada di Kampung Bali terkait pembenehan saran dan prasarana desa. BPKD itu Badan Pendapatan perKapita Desa, tugasnya ya untuk membangun desa ini, dusun ini. Kita ajak masyarakat gotong royong, atau Universitas Sumatera Utara 71 untuk membangun. Semua pendapat masyarakat disini kita tampung untuk kita diskusikan. Dipilihnya Bapak Nyoman Sutejo sebagai Ketua BPKD membuktikan bahwa beliau merupakan pribadi yang senang berinteraksi dengan masyarakat. Selain dengan sesama masyarakat Suku Bali, beliau juga sering berinteraksi dengan masyarakat dari suku lain, khususnya masyarakat Suku Jawa. Belaiu juga sering menghadiri acara kenduri yang diadakan oleh masyarakat yang beragama Islam. Beliau menganggap bahwa tidak ada batasan antara masyarakat Suku Bali dengan masyarakat Suku Jawa atau yang lainnya. Ya seringlah, kalau misalnya ada acara kenduri saya datang, ya namanya kita bertetangga kan, orang itu jawa kan ada kenduri ya saya datang. Mereka gitu juga, kalau kami ada acara ya mereka datang. Karena disinikan tidak ada batasan ini orang Bali, ini orang Jawa itu nggak ada, kami udah jadi satu. Makanya kami bilangkan disinikan udah jadi satu kelompok. Bapak Nyoman Sutejo mengatakan bahwa dirinya memiliki hubungan yang akrab dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali, hal ini bisa dilihat ketika beliau mengajak masyarakat untuk bergotong-royong, maka hampir seluruh masyarakat akan datang. Menurutnya masyarakat akrab dengannya karena ucapan dan tindakananya sejalan, sehingga masyarakat menyenanginya. Ya gini, masyarakat disini kalau misalnya saya ajak gotong royong ya mudah-mudahan 90 ikut, karena saya gini, walaupun saya orang Bali dan disini lingkungan kita banyak jawa kan, saya ini prinsipnya yang penting sikap dan omongan saya itu sejalan, soalnya orang ini kan enggak lihat cara kita ngomong tapi cara kerja kita, tindakan kita. Ya mungkin bisa ditanya disini bagaimana saya disini. Karena prinsip saya gini, walaupun dia muda kalau di menghargai saya ya saya juga menghargai dia. Selain memiliki hubungan yang akrab dengan masyarakat, Bapak Nyoman Sutejo juga merupakan sosok yang terbuka, terlebih dipercayakan sebagai ketua BPKD, Pak Tejo selalu mendengarkan dan menampung keluhan dan pendapat masyarakat. Selain itu Ia juga transparan terhadap laporan keuangan yang dikelolanya. Ya, kalau saya istilahnya gini, saya ketua BPKD saya membangun semua ini saya transfaran, misalnya gini lah, dalam enam bulan sekali kami Universitas Sumatera Utara 72 kumpul di balai desa, kami bicarakan apa yang menjadi keluhan masyarakat, apa yang kami ambil kan gitu. Istilahnya kayak kami ini kan, kayak saya kan mengambil uang dari masyarakat juga, melalui BPKD dari hasil bumi itukan, misalnya sawit kita ambil 20 perak setiap kilo, nanti getah pun gitu juga saya ambil. Jadi nanti kami yang kelola. Karena kami disinikan jarang dapat bantuan dari pemerintah, karena kami jauh jadi nggak tau. Bapak Nyoman Sutejo memiliki pemikiran yang sangat positif terhadap masyarakat yang ada di Kampung Bali, terlebih kepada masyarakat Suku Jawa karena Suku Jawa lah yang mendominasi Kampung Bali saat ini. Menurutnya masyarakat dari Suku Jawa mudah diajak bergaul dan mudah menerima. Begitu pula dengan masyarakat Suku karo dan Bali. Kalau masyarakat Jawa ini enak, istilahnya gini mereka mudah nerima, mereka mudah diajak bergaul. Kalau karo pun gitu, kalau yang Bali ya sudah pasti lah ya karena kita kan sama. Ada sebuah kebiasaan yang terjadi jika masyarakat di Kampung Bali melaksanakan hajatan atau pesta. Jika makanan yang ditujukan untuk masyarakat Suku Bali maka yang memasak makanan tersebut adalah masyarakat dari Suku Bali dan jika makanan tersebut ditujukan untuk masyarakat di luar Suku Bali maka yang memasak makanan tersebut adalah masyarakat Suku Jawa. Masyarakat di Kampung Bali juga memiliki kebiasaan yang sama dengan masyarakat pada umunya jika melaksanakan hajatan atau pesta, mereka juga mengundang rekan- rekan mereka baik yang bersuku Jawa, Karo maupuun Bali. Kita ya ngundang-ngundang juga sama yang Jawa, Bali dan yang lain, ya itu kayak yang saya bilang tadi, kalau orang Jawa yang masak orang Jawa, kalau orang Bali ya orang Bali. Jadi kalau orang Bali ada acara untuk orang Jawa atau Muslim itu masaknya di rumah orang Jawa, begitu juga kalau yang Bali. Jadi kita gini saling menghargai. Sebagai pribadi yang senang bermasyarakat, Bapak Nyoman Sutejo mengaku sering bertamu ke rumah masyarakat yang ada di Kampung Bali, biasanya beliau bertamu ke rumah masyarakat yang muslim jika Hari Raya Idul Fitri atau pada saat Galungan ke rumah masyarakat yang Hindu. Selain itu Ia juga sering bertamu saat hari-hari biasa. Ketika bertamu yang sering dibicarakan Bapak Universitas Sumatera Utara 73 Nyoman Sutejo mengenai gotong royong atau bahkan hanya sekedar bersenda gurau saja. Kalau kami, kalau yang namanya Idul Fitri itu kan ya silaturahmi lah ke rumah-rumah yang muslim itu, tapi kalau kami Galungan ya mereka datang. Ya istilahnya saling silaturahmi lah. Kalau untuk hari biasa itu sering juga, kadang kalau malam itu kadang ya rame kumpul-kumpul disini, rame-rame duduk-duduk. Ya yang dibahas ya masalah gotong royong, atau hanya sekedar senda gurau aja. Untuk berinteraksi dengan masyarakat Bapak Nyoman Sutejo setiap hari duduk-duduk di warung. Saat duduk-duduk di warung bersama teman-temannya yang sering dibicarakan Bapak Nyoman Sutejo pun beragam, mulai dari pemerintahan, politik hingga bantuan pemerintah yang tidak pernah dirasakan oleh masyarakat Kampung Bali. Tiap hari saya, kalau duduk di warung tiap hari saya hehehe..., Masa- masa ini paling pun masalah pemerintah, masalah politik ini. Ya kadang- kadang cerita tentang bantuan yang nggak pernah masuk kesini, padahal di luar banyak yang dapat. Memegang kepercayaan sebagai Ketua BPKD membuat Bapak Nyoman Sutejo sering terlibat dalam komunikasi kelompok. Dalam komunikasi kelompok yang dilakukan di balai dusun biasa yang menjadi pembahasan yaitu BPKD atau pun membahas masalah gotong royong. Selain itu tidak jarang sekedar duduk- duduk di pekan getah untuk membahs hal-hal yang ringan. Ya itu kan kalau rapat BPKD, kalau kita duduk-duduk rame-rame pekan getah itu kan kelompok juga namanya. Ya kalau di balai dusun tentang BPKD atau tentang pembangunan desa. Kalau yang kumpul-kumpul gitu ya nggak tentu yang dibahas. Ya itu masalah gotong royong, kayak kemarin itu kita bahas untuk perbaikan titi, ini juga kita mau buat jaga malam karena udah mulai nggak aman kan, udah mulai ada yang kehilangan. Selain di balai dusun, Bapak Nyoman Sutejo dan masyarakat Hindu Bali lainnya biasa melakukan komunikasi kelompok jika ada perkumpulan Pura atau perkumpulan Suka-duka. Dalam perkumpulan Suka-duka ini yang dibahas hanya mengenai kehidupan masyarakat Hindu Bali dan Pura. Universitas Sumatera Utara 74 Ada, itu namanya Suka-duka, itulah ketuanya Pak Dangin. Ya banyak, tentang pura atau tentang masyarakat Bali nya, kalau suka-duka ini untuk orang kita Bali aja. Tempat lain yang biasa dijadikan masyarakat sebagai tempat berkumpul dan saling berinteraksi adalah pekan getah atau tempat penjualan getah serta jika ada kenduri yang juga dihadiri oleh masyarakat Suku Bali. Ya paling di pekan-pekan getah ini lah, banyak masyarakat yang kumpul disini, kalau lagi ada nolak getah atau hanya sekedar duduk-duduk aja disini. Kalau orang kita Jawa itu di wiritan tapi kalau di Kenduri baru ada orang kita juga. Selain berkomunikasi secara kelompok, Bapak Nyoman Sutejo juga sering melakukan komunikasi antarpribadi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali. Biasanya Ia melakukan komunikasi antarpribadi dengan masyarakat di pekan getah ketika menjual karet kepadanya. Jika sedang melakukan komunikasi antarpribadi hal-hal yang sering dibicarakan seperti hasil karet yang menurun, perekonomian, pemerintahan dan sebagainya. Pernah, sering pun. Ya kadang kalau ada yang antar getah gitu, kita duduk-duduk dulu di gubuk yang di pekan getah itu kita ngobrol-ngobrol. Ya biasanya itu tentang getah, hasil getah lah yang trek, kadang ya tentang yang lain pun sering. Entah itu tentang ekonomi atau pemerintah, ya kayak yang saya bilang tadi itulah. Bapak Nyoman Sutejo juga sering bertukar informasi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali, biasanya informasi-informasi yang ia berikan terkait harga karet, BPKD atau hal-hal lain yang dianggapnya penting untuk diberitahukan. Biasanya ia melakukannya di warung dan pekan getah. Sering, sering saya bertukar informasi sama masyarakat disini. Tentang harga getah, entah tentang BPKD atau ada informasi apa gitu yang saya rasa perlu dikasih tau ya saya kasih tau. Ya kadang di warung, kadang di pekan getah gini. Bapak Nyoman Sutejo tidak terlepas dari penggunaan handphone, ia mengaku bahwa handphone milikinya selalu aktif 24 jam. Biasanya ia menggunakan handphone-nya untuk keperluan yang beragam. Sering, HP 24 jam Aktif hehehe..., Ya banyak lah, karena sekarang semua nya bisa pake hp. Universitas Sumatera Utara 75 Sebagai orang yang bertanggungjawab langsung untuk kegiatan gotong royong di Kampung Bali, Bapak Nyoman Sutejo menagatakan bahwa sekitar satu sampai dua bulan terkahir kegiatan gotong royong tidak lagi berjalan. Menurutnya hal ini disebabkan oleh hasil karet yang menurun dan harganya yang rendah, sehingga masyarakat lebih fokus ke lahan karet mereka masing-masing. Sebelumnya memang kegiatan gotong-royong ini menjadi sebuah kegiatan rutin yang apabila ada masyarakat yang tidak ikut akan dikenakan denda sebesar Rp 20.000. Sekitar 1-2 bulan belakangan udah enggak, karena lagi kemarau gini kan, getah trek, tambah lagi harga getah murah, jadi ya masyarakat fokus kesitu. Kalau sebelumnya ya jalan. Kalau dulu gotong royong semua wajib, mau Bali, Jawa Karo itu wajib, kalau enggak bapaknya ya anaknya, karena kami kalau enggak keluar itu kena denda Rp 20.000. Dalam melaksanakan gotong-royong, Bapak Nyoman Sutejo mengakui memang ada beberapa masyarakat yang nakal tidak ikut, tetapi masyarakat tersebut tidak secara mutlak tidak pernah ikut gotong-royong sama sekali. Kalau yang bandel itu memang ada ya, tapi kalau dibilang ya misalnya tiga kali gotong royong ada sekali dia gak masuk. Tapi kalau yang mutlak gak ikut itu nggak ada. Di Kampung Bali, jika ada masyarakat yang meninggal dunia ada cara yang berbeda antara masyarakat Hindu Bali dengan masyarakat Muslim dalam cara mengumumkan berita kemalangan tersebut. Masyarakat Hindu Bali menggunakan kentongan yang dipukul sebanyak tiga kali, jika ada bagian dari mereka yang meninggal dunia. Sementara untuk masyarakat yang Muslim menggunakan bedug yang ada di masjid. Pake kentongan, kalau orang kita Hindu kentongan itu tiga kali kentong, kalau orang kita Muslim itu kan dari bedug, disitu bedanya. Tapi kentong pun kalau ada kentong kemalingan atau kentong kebakaran itu pake kentongan panjang tu. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Suku Bali di Kampung Bali sudah jarang menggunakan bahasa bali, Dalam keluarga Bapak Nyoman Sutejo sendiri anak dan istrinya tidak mengerti bahasa bali karena istrinya berasal dari Universitas Sumatera Utara 76 suku jawa, tetapi jika berbicara dengan orang tuanya, Bapak Nyoman Sutejo masih menggunakan bahasa bali. Udah jarang, masih ada tapi jarang. Kayak saya sama anak saya ya mereka nggak ngerti Bahasa Bali karena mamaknya Jawa, tapi kalau saya sama mamak saya masih pake bahasa Bali, masih ngerti, masih seringlah pake bahasa Bali, tapi kalau sama anak nggak ngerti pun dia. Dalam masyarakat Bali, ada sistem penyebutan nama yang digunakan untuk membedakan urutan anak, hal ini juga masih digunakan oleh masyarakat Suku Bali yang ada di Kampung Bali. Menurut Bapak Nyoman Sutejo sistem penyebutan nama tersebut seperti Wayan untuk anak pertama, Made untuk anak kedua, Nyoman untuk anak ketiga dan Ketut untuk anak keempat. Dalam keluarganya sendiri, Bapak Nyoman Sutejo menggunakan Made untuk anak sulungnya dan Nyoman untuk anak bungsunya. Kalau anak pertama itu pake Wayan, kedua Made, ketiga itu Nyoman yang keempat itu Ketut. Kalau anak saya itu yang besar Made, yang kecil itu Nyoman. Kekayaan masyarakat Suku Bali akan tradisi dan ritual masih dijaga dan dilaksanakan oleh masyarakat Hindu Bali yang ada di Kampun Bali. Menurut Bapak Nyoman Sutejo ritual tersebut banyak sekali mulai dari kelahiran, pernikahan hingga kematian. Ya masih, semua masih dilaksanakan. Ya istilahnya memang kalau dimulai dari rumah ya misalnya nanti anak lahir itu, nanti menikah, nanti ada tradisi kematian juga. Selain ritual dan tradisi, masyarakat Hindu Bali yang ada di Kampung Bali juga memperingati hari-hari besar keagamaan umat Hindu seperti Galungan, Kuningan dan Nyepi. Kalau hari raya itu kan nanti ada Galungan, Kuningan, Nyepi. Semua masih kita rayakan. Dalam melaksanakan persembahyangan atau ritual upacara, masyarakat Hindu Bali seallu menggunakan Sesajen, menurut Bapak Nyoman Sutejo sesajen merupakan sarana yang digunakan untuk menghubungan mereka kepada Tuhan. Universitas Sumatera Utara 77 Walaupun tidak menggunakan sesajen yang beragam, bagi mereka api, air dan bunga saja sudah cukup karena tiga hal inilah yang paling penting. Sajen, sajen itu kan untuk menghubungkan manusia dengan Tuhan, walaupun nggak pake sajen apa-apa gitu, kami pake api, air sama bunga aja udah cukup. Penggunaan api, air dan bunga yang dinilai sangat penting dalam upacara maupun persembahyangan yang dilakukan oleh masyarakat Hindu Bali tentu memiliki makna dan tujuan. Menurut Bapak Nyoman Sutejo penggunaan api yang diwujudkan denga dupa memiliki fungsi sebagai saksi untuk menyampaikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, namun untuk air dan bunga Bapak Nyoman Sutejo mengaku kurang paham. Ya itu tadilah, kalau kami orang Bali yang diperlukan Cuma tiga itu tadi aja, api, air sama bunga. Kalau api itu kami pake dupa, dupa itu saksi untuk menyampaikan kita kepada yang Maha Kuasa gitu. Saya juga nggak terlalu paham ya, karna saya juga orang awam jadi kurang tau. Setiap hari Raya Galungan hingga Kuningan, masyarakat Hindu Bali memasang bambu yang dihiasai dengan janur dan hasil alam, bambu ini dinamakan dengan Penjor. Bapak Nyoman Sutejo sendiri kurang memahami makna dibalik penggunaan penjor ini, tetapi menurutnya yang juga didapatnya dari orang tua bahwa penjor itu melambangkan kemenangan. Hari Raya Galungan merupakan hari raya yang memperingati hari kemenangan Dharma melawan Adharma, sehingga penjor yang dipasang setiap Galungan hingga Kuningan dianggap sebagai lambang kemenangan. Itu melambangkan itu, kalau kita... saya pun kurang ngerti juga, kurang paham. Cuma memang kalau menurut orang tua itu melambangkan kemenangan. Itu kan dulu antara Dharma melawang Adharma, antara kebenaran melawan ketidakbenaran, yaitulah kemenangan kebenaran itu, ditandai dengan penjor. Jadi kalau Galungan dia nggak masang itu orang Bali berarti dia belum menang, dia masih kalah sama keburukan. Sejak pertama kali dibuka, banyak masyarakat dari berbagai suku yang datang dan bermukim di Kampung Bali, hingga saat ini ada sekitar sembilan puluh kepala keluarga yang bermukim disini. Untuk membedakan rumah masyarakat Suku Bali dengan masyarakat yang lainnya dapt kita lihat dari Universitas Sumatera Utara 78 keberadaan sanggah atau tempet peribadahan yang ada di setiap rumah masyarakat Suku Bali. Kalau sekarang ya gimana kita bilang, kalau ya ada sanggah gini ya cara kita bedakan. Tapi kalau orang Bali enggak ada sanggah dia punya pelangkiran itu, ada tempat kecil itu untuk tempat sajen, itu ada di depan pintu biasanya itu kalau dia belum punya sanggah. Kalau orang kita jawa atau muslim kan nggak ada. Kalau yang jelas ya sanggah itu lah. Dalam masyarakat Hindu Bali dikenal berbagai macam simbol atau lambang-lambang. Menurut Bapak Nyoman Sutejo simbol yang masih sering digunakan oleh masyarakat Hindu Bali di Kampung Bali adalah simbol Swastika yang merupakan lambang agama Hindu. Untuk simbol atau lambang-lambang lain menurutnya sangat jarang digunakan. Kalau simbol kami itu Swastika, itu kalau Hindu memang lambang agamanya itu Swastika. Kalau lambang-lambang lain kayaknya nggak ada yang sering digunakan, kalau di ukiran-ukiran itu memangkan tergantung selera. Selain penggunaan simbol dan lambang, masyarakat Hindu Bali juga menggunakan warna yang sangat identik. Menurut Bapak Nyoman Sutejo warna yang identik dengan masyarakat Hindu Bali adalah warna putih, karena menurutnya warna putih melambangkan kesucian. Kalau warna, paling sembahyang lah pake warna putih. Karena putih itu kan melambangkan kesucian. Masyarakat Hindu Bali juga menggunakan beberapa atribut dan pakaian yang biasanya digunakan ketika bersembahyang. Menurut Bapak Nyoman Sutejo atribut atau pakaian tersebut seperti Udeng dan selendang. Mengenai maknanya Bapak Nyoman Sutejo mengaku kurang tahu tentang hal tersebut. Ya kalau kami bilang, yang di kepala itu Udeng, selendang. Itu Udeng itu maknanya cemana ya, kalau kita Jawa itu peci lah, kayakmana peci itu gitu lah hehehe. Kalau selendang itu kurang tau juga. Hehehe Dalam ritual kematian, masyarakat Hindu Bali menggunakan sistem kremasi atau pembakaran mayat. Menurut Bapak Nyoman Sutejo makna kremasi Universitas Sumatera Utara 79 tersebut bertujuan untuk mengembalikan mayat ke asalnya, seperti yang berasal dari tanah kembali ke tanah, yang berasal dari angin kembali ke angin, kremasi atau pembakaran mayat dipercaya dapat mempercepat arwah kembali ke nirwana. Itu kalau orang dikremasi itu kan kalau kami orang Bali kita balik ke asal lagi, kita kan dari tanah, dari air , dari angin itu kita kembali lagi. Itu kan kita mau kembali ke nirwana jadi kalau dikremasi itu lebih cepat dia. Mengenai pernikahan berbeda suku, Bapak Nyoman Sutejo sendiri mengaku bahwa istrinya bukan berasal dari Suku Bali melainkan dari Suku Jawa yang berasal dari Desa Patok Delapan Belas. Sebelum menikah Bapak Nyoman Sutejo telah memberikan membicarakan kepada istrinya dan keluarganya yang kemudian didapati kesepakatan bahwa istrinya mau ikut dengan keyakinannya. Ya itu, istri saya dulunya muslim, jadi waktu mau nikah kita sepakat kalau dia yang ikut sama saya, ikut sama kayakinan saya, sebelumnya ya kita biacarkaan dulu sama pihak keluarga, setelah sepakat barulah kita menikah. Sebagai seseorang yang senang berinteraksi dengan masyarakat, Bapak Nyoman Sutejo mengaku tidak pernah merasa kebingunan ketika masyarakat dari suku lain menggunakan bahasa daerah mereka. Kampung Bali yang didominasi oleh masyarakat Jawa membuat Bapak Nyoman Sutejo handal dalam menggunakan bahasa Jawa, sealin itu ia juga mengerti bahasa Karo, sehingga ia tidak pernah kebingungan mendengar bahasa daerah yang digunakan masyarakat lain. Kalau bahasa Jawa saya pande, bahasa karo pun saya ngerti kan gitu, jadi nggak pernah bingung kalau mereka ngomong. Menurut Bapak Nyoman Sutejo, hambatan yang dialaminya ketika berkomunikasi dengan masyarakat adalah masalah waktu. Jam kerja yang berbeda-beda di siang hari menjadi hambatan yang dialami Bapak Nyoman Sutejo ketika berkomunikasi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali. Kalau kami nggak pernah kayaknya, waktu aja kayaknya. Kadang masyarakat disini kan kalau siang kan waktu kerja nya nggak sama. Kalau malam dia nggak sempat itu aja paling. Kalau maslah bahasa atau lain dari itu nggak ada. Setelah berpuluh tahun hidup berdampingan dengan masyarakat yang berbeda budaya dan agama, tidak pernah membuat Bapak Nyoman Sutejo memiliki konflik dengan mereka. Belaiu juga tidak pernah merasa terganggu Universitas Sumatera Utara 80 dengan kehadiran masyarakat dari suku lain yang datang dan bermukim di Kampung Bali. Dari dulu kami ya nggak pernah ada konflik untuk masalah agama atau adat itu ya nggak ada. Ya saya selaku orang Bali disini, yang tinggal disini lebih dulu saya nggak ada mikir apa-apa, ya adem-adem aja. Istilahnya nggak ada kami rasa kami duluan yang punya itu nggak ada. Walaupun kami duluan ya itu kita sama-sama menjaga. `Mengenai perbedaan yang ada diantara masyarakat di Kampung Bali ini, Bapak Nyoman Sutejo hanya menanggapi bahwa jika perbedaan tersebut negatif maka harus dihilangkan. Perbedaan itu kan gimana ya, kayak saya ini bermasyarakat ini kan, kalau bisa perbedaan itu dihilangkan, kalau dari sisi saya ya. Soalnya kan saya kayak saya Hindu, orang rumah saya dulu Islam bisa kita hilangkan perbedaan jadi kenapa dalam masyarakat perbedaan-perbedaan itu nggak bisa kita hilangkan. Informan V Nama : Wayan Dangin Umur : 42 Tahun Pekerjaan : Petani Karet Tanggal wawancara : 30 Maret 2016 Tempat : Rumah Bapak Wayan Dangin. Kp. Bali, Kec. Sei Wampu, Kab. Langkat Bapak Wayan Dangin merupakan informan kelima yang peneliti wawancarai dalam penelitian ini. Bapak Wayan Dangin adalah seorang pria berdarah Bali yang lahir dan besar di Sumatera Utara. Saat ini Bapak Wayan Dangin menjabat sebagi ketua Suka-Duka di Kampung Bali, untuk mempertanggungjwabkan jabatan tersebut ia memiliki kewajiban untuk membimbing dan mengarahkan masyarakat Suku Bali yang ada di Kampung Bali untuk beribadah di Pura serta mengumpulkan masyarakat Suku Bali di Pura jika akan melaksankan acara keagamaan atau perayaan. Saat ini Bapak Wayan Dangin Universitas Sumatera Utara 81 telah berusia 41 tahun dan telah memiliki tiga orang anak dari pernikahannya dengan istrinya Ibu Nyoman Suyati yang juga berasal dari Suku Bali. Dalam kehidupan bermasyarakat Bapak Wayan Dangin merupakan sosok yang sering berinteraksi dengan masyarakat, baik itu yang bersuku Bali, Jawa, Batak maupun Karo. Sering, sering interaksi sama masyarakat. Kadang bahas pertanian, tentang kebutuhan kita, kehidupan kita. Paling ya gitu-gitu lah. Bapak Wayan Dangin mengatakan bahwa dirinya memiliki hubungan yang akrab dan terbuka dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali. Selain itu Ia juga memiliki pemikiran yang positif terhadap masyarakat yang ada di Kampung Bali, Ia mengatakan bahwa masyarakat Kampung Bali saling menghormati satu sama lainnya. Iya, saya akrab sama masyrakat disini, mau itu orang kita Jawa atau orang kita Bali itu saya akrab-akrab sama mereka. Terbuka, saya sangat terbuka sama masyarakat disini. Masyarakat disini bagus, saling menghormati, tidak pernah merendahkan agama yang tidak kita anut. Jika ada hajatan atau pesta, masyarakat Kampung Bali saling membantu, mereka mengerjakan apa yang bisa dikerjakan untuk meringankan pekerjaan masyarakat yang memiliki hajatan atau pesta. sealin itu mereka juga saling mengundang satu sama lainnya. Kalau ada hajatan ya sama-sama datang, kalau ada yang disa dibantu ya kita bantu, kalau ada yang bisa dikerjakan ya kita kerjakan, misalnya buat jenang ya kita bantu. Kalau ada hajatan kita pun diundang, kalau kita Hindu pun kalau ada hajatan kita undang. Bapak Wayan Dangin mengaku bahwa dirinya sering bertamu ke rumah- rumah masyarakat yang ada di Kampung Bali, baik itu ke rumah Suku Bali maupun ke rumah suku-suku lainnya. Saat Idul Fitri Bapak Wayan Dangin selalu bertamu ke rumah masyarakat yang beragama Islam. Saat hari-hari biasa Pak Dangin juga sering bertamu ke rumah masyarakat sambil duduk-duduk di bawah pohon rindang. Topik yang sering dibicarakan Pak Dangin ketika sedang bertamu biasanya hal-hal yang sederhana dan ringan, seperti humor-humor dan semacamnya. Sering, sering saya bertamu. Sering bertamu. Seperti kalau Islam ya pas Idul Fitri ya itu kita bertamu, kalau orang Islam pas kita Nyepi atau Universitas Sumatera Utara 82 Galungan ya mereka bertamu, gitu lah. Ya kalau mislanya hari-hari biasa gini paling kalau bertamu kita duduk-duduk di bawah pohon rindang, kuyuk-kuyuk gitu. Ya itu kuyuk-kuyuklah, humor-humor, kalau masalah bidang politik itu nggak pernah. „ Bapak Wayan Dangin mengatakan bahwa dirinya jarang duduk-duduk di warung, Ia hanya ke warung di saat-saat tertentu saja. Ia juga menuturkan bahwa ke warung bukan merupakan kebiasaan bagi Umat Hindu. Saya ke warung ya di waktu tertentu lah, ya kalau mau beli gorengan itu saya ke warung, kalau enggak ya enggak pernah. Kalau untuk duduk- duduk di warung itu saya nggak pernah. Kalau orang Hindu ini ya, ke warung itu nggak kesitu dia, itu kan kalau orang kita Karo itu sering dia, kalau kita ya kalau sore itu ya fokusnya itu di kebun. Sebagai Ketua Suka-duka, Bapak Wayan Dangin sering melakukan komunikasi kelompok, ia sering mengajak Masyartakat Suku Bali untuk berdiskusi, selain itu Ia juga selalu hadir jika ada pertemuan di Balai Dusun untuk membahas BPKD. Topik yang dibahas pun beragam, jika di Suka-duka biasanya yang dibahas jika ada perayaan dan di BPKD biasanya yang dibahas mengenai Pembangunan Desa. Pernah, ya itu kalau ada perkumpulan suka-duka di pura kan itu saya yang pimpin, saya yang ajak umat hindu untuk diskusi. Kalau ada kumpul di balai dusun bahas BPKD juga saya selaalu ikut. Ya kayak yang saya bilang tadi lah, kalau di suka-duka paling rundingan kalau mau buat acara atau perayaan, entah per KK dikenakan berapa untuk itu ya gitu-gitu lha, klaau di balai dusun tentang BPKD ya kita bahas masalah BPKD, tentang perbaikan desa. Selain berkomunikasi secara berkelompok, Bapak Wayan Dangin juga sering melakukan komunikasi Antarpribadi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali. Jika sesama masyarakat Suku Bali biasanya yang dibicarakan mengenai kerohanian tetapi jika dengan masyarakat dari suku lain biasanya yang dibicarakan mengenai humor-humor ringan dan perkembangan Desa. Pernah, sering pun saya kalau ngomong-ngomong gitu, kayak kemaren waktu adek pulang itu kan saya duduk-duduk sama Made Prapto di depan rumahnya itu. Ya kalau sesama orang kita Bali lebih sering bahas tentang rohani, kalau sama yang lain ya paling kuyuk-kuyuk gitu, bahas-bahsa tentang kampung kita. Universitas Sumatera Utara 83 Sebagai pribadi yang sering berinteraksi, Bapak Wayan Dangin juga sering melakukan pertukaran informasi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali. Biasanya informasi tersebut mengenai adat istadat, tanya jawab dan tukar pikiran. Sering, ya sering lah. Ya masalah adat istiadat, tanya jawab, sharing, tukar-tukar pikiran lah gitu. Kalau masalah-masalah yang nggak bidang kita kayak ekonomi, politik itu enggak lah, kita kan nggak ngerti. Berkembangnya teknologi komunikasi tidak membuat Bapak Wayan Dangin terpengaruh oleh terpaan arus teknologi tersebut. Ia mengaku bahwa dirinya tidak bisa menggunakan handphone walauoun telah diajari oleh anak dan istrinya. Ia hanya bisa menerima panggilan saja, jika ingin melakukan panggilan Ia selalu meminta bantuan kepada anak dan istrinya. Ini lah, istri sama anak-anak di rumah, kalau saya enggak bisa. Kalau ngagk hobi tadi gimana ya, payah. Padahal udah diajari sama orang rumah, tapi kalau nggak hobi ya cemana. Terus terang aja saya. Kalau nelpon atau terima telpon itu ya pernah sekali-sekali, tapi ya itu tinggal bicara aja, nggak pande ngapainya, ya paling orang rumah saya suruh. Masyarakat Kampung Bali masih menjunjung tinggi budaya gotong royong, Bapak Wayan Dangin mengatakan bahwa gotong royong masih sering dilaksanakan dan sudah menjadi tradisi. Namun, dalam beberapa bulan belakangan kegiatan gotong royong tidak dilaksanakan karena kondisi cuaca. Sering, disini gotong royong masih sering, masih menjadi tradisi. Tapi memang beberapa bulan belakangan berhenti, karena mungkin kondisi saat ini masyarakat karetnya lagi seret karena musim kemarau ini. Jika ada kemalangan, biasanya masyarakat di Kampung Bali menggunakan medai yang berbeda untuk memberitahukan kepada masyarakat agar dapat dibedakan apakah yang meninggal tersebut dari Suku Bali atau dari Suku lainnya. menurut Bapak Wayan Dangin, jika masyarakat Suku Bali yang meninggal pemberitahuannya menggunakan kentongan yang dipukul sebanyak tiga kali, sedangkan untuk masyarakat muslim pemberitahuannya menggunakan bedug masjid dan pengeras suara. Melalui kentong, kentongan, pukul kentong itu tiga kali. Kalau kita muslim itu dari masjid pake bedug terus pake pengeras suara, kalau kita Hindu dari kentongan itu tadi. Universitas Sumatera Utara 84 Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Suku Bali sudah jarang menggunkan Bahasa Bali, mereka lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia. Bapak Wayan Dangin sendiri menggunakana Bahasa Indonesia jika berkomunikasi dengan anka-anaknya. Kadang-kadang masih digunai, kadang-kadang ya bahasa indonesia, karena disini sudah tiga keturunan, yang tua-tua dulu udah nggak ada jadi kalau kami-kami yaudah pake bahasa indonesia. Saya sama anak- anak udah pake bahasa indonesia. Dalam masyarakat Suku Bali berlaku sistem penyebutan nama, dimana sistem penyebutan nama ini digunakan untuk membedakan urutan anak dalam keluarga Suku Bali. Menurut Bapak Wayan Dangin, untuk anak pertama menggunakan Wayan, anak kedua menggunakan Made, anak ketiga menggunakan Nyoman dan anak keempat menggunakan Ketut, untuk anak kelima dan seterusnya sistem penyebutan kembali lagi dari awal. Bapak Wayan Dangin sendiri menggunakan Wayan, Nengah dan Komang untuk ketiga anak-anaknya. Iya ada, kalau anak pertama Wayan, anak kedua Made, anak ketiga Nyoman ya kan, anak keempat Ketut. Kalau ada kelima itu nanti balik lagi ke Wayan. Tapi kalau sekarang anak pertama ini bukan Wayan aja ada yang Putu, Gede. Anak saya yang pertama wayan, yang kedua Nengah, yang ketiga Komang. Dalam Agama Hindu, terdapat beberapa hari besar yang diperingati oleh penganutnya. Menurut Bapak Wayan Dangin dalam masyarakat Kampung Bali sendiri yang masih diperingati seperti hari Raya Nyepi, Galungan, Kuningan dan Saraswati. Ya kayak Nyepi itu hari raya yang terbesar, Galungan itu disucikan, Kuningan itu juga disucikan, hari raya saravati itu juga disucikan, itu haru lahirnya ilmu pengetahuan Dalam melaksanakan peribadahan dan ritual, masyrakat Hindu Bali tidak terlepas dari sesajen. Bapak Wayan Dangin mengatakan bahwa asesajen merupakan sarana peribadahan sebagai wujud terimakasih kepada Sang Hyang Widhi. Sajen itu ya sarana, sajen itu ya sarana aja. Sarana kita dalam beribadah untuk wujud terimakasih kita kepada Sang Hyang Widhi. Universitas Sumatera Utara 85 Setiap hari Raya Galungan hingga Kuningan, masyarakat Hindu Bali diwajibkan memasang Penjor atau bambu melengkung ynag dihiasi dengan janur dan hasil bumi. Menurut Bapak Wayan Dangin Penjor ini melambangkan kemenangan. Penjor itu sebagai lambang bahwa kita di dunia ini sudah menang, sudah cukup sandang dan pangan. Karena itu kan dipasang waktu hari raya galungan, Galungan itu kan hari kemenangan Dharma melawan Adharma, jadi penjor itulah yang melambangkna kalau kita sudah menang. Di Kampung Bali, kehidupan masyarakat sudah membaur menjadi satu, hampir tidak ada perbedaan natara masyarakat Suku Bali dengan masyarajat Suku lainnya, tetapi untuk membedakan rumah masyarakat Suku Bali dengan masyarakat Suku lainnya dapat dilihat dari sanggah yang ada di depam rumah masyarajat Suku Bali. Keberadaan sanggah ini merupakan hal yang wajib di setiap rumah masyarakat Suku Bali. Yang membedakan inilah sanggah atau nerajan ini, inilah yang membedakannya. Kalau ada sanggah seperti ini pasti orang kita Hindu ya kan. Swastika merupakan simbol yang sangat identik dengan masyarakat Hindu Bali, Swastika merupakan lambang dari agama Hindu. Selain simbol, penggunaan warna yang identik juga berlaku bagi masyarakat Hindu Bali. Dalam masyarakat Hindu Bali dikenal warna Kuning dan Putih yang memiliki makna Suci dan kemakmuran. Simbol adalah, Swastika itu lambang agama. Sebenarnya banyak itu lah tapi jarang yang tahu. Kalau yang tahu itu lah Swastika, itu semua tahu itu. Kalau warna ya putih sama kuning, itu-itu aja warnanya. Kalau putih ini melambangkan suci dia, kalau yang kuning melambangkan ya kemakmuran. Leih identik sama kuning dan putih. Dalam ritual kematian, masyarakat Hindu Bali menggunakna sistem kremasi. Sistem kremasi ini memiliki makna mengembalikan unsur pembentuk tubuh kepada alam. Ya kremasi, itu namanya adat. Maknanya ya kembali lagi ke alam, yang disebut panca maha buta. Yang dari air ke air, yang dari api ke api. Mengembalikan panca maha buta. Universitas Sumatera Utara 86 Mengenai pernikahan beda suku dan agama, Bapak Wayan Dangin mengatakan bahwa dirinya tidak pernah mengalami hal tersebut, baik itu kepada anak-anaknya maupun kepada saudara-saudaranya. Anak saya baru satu yang menikah, itu yang paling besar, dia nikah sama orang kita Bali. Kalau adik, abang atau kakak saya itu enggak ada ya. Bapak Wayan Dangin mengatakan bahwa dirinya tidak perah bingung dengan bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat ari suku lain yang ada di Kampung Bali, Ia mengaku bahwa dirinya bisa berbahasa jawa, tetapi untuk bahasa karo ia mengaku bahwa dirinya masih bingung. Kalau saya bahasa jawa nggak bingung, bisa saya bahasa jawa. Kalau bahasa karo memang saya bingung, jujur saya bingung, padahal kepingin belajara bahasa karo, tapi ya nggak bisa-bisa. Kalau bahasa jawa ya kita dari kecil pake bahas jawa. Selain faktor bahasa Bapak Wayan Dangin mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki kendala yang menjadi hambatan ketika berkomunikasi dengan masyarakat. Ya kendalanya itu ya saya rasa nggak ada. Nggak adalah yang menjadi hambatan dalam berkomunikasi Bapak Wayan Dangin tidak pernah memiliki konflik dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali, baik itu dengan sesama masyartakat Suku Bali maupoun dengan masyarakat suku lainnya. Ia mengatakan bahwa konflik tersebut sangat dihindarinya. Tidak pernah, tiak pernah terjadi itu, memang itu lah yang kami hindari. Saya dan semua masyarakat disini aman kondusif lah itu. Sebagai suku yang pertama menginjakan kaki di Kampung Bali, Bapak Wayan Dangin tidak pernah merasa terganggu dengan kehadiran masyarakat Suku lain yang datang dan bermukim di Kampung Bali. Saya rasa nggak pernah, kalau hubungan kami ya saling harmonis kayak yang saya bilang tadi, tidak pernah selisih paham, tidak pernah cekcok, udah 40 Tahun Kmi disini. Universitas Sumatera Utara 87 Ia menilai bhawa perbedaan yang terdapat di Kampung Bali tidak menjadi masalah, karena ia beranggapan bahwa hidup memang harus ada perbedaan. Ya perbedaannya ya memang ada tapi ya bagaimana kita membuat perbedaan itu tidak menjadi masalah, karena memang kita hidup ini kan memang harus ada perbedaan kalau nggak ada perbedaan kan nggak mungkin. Informan VI Nama : Made Suprapto Umur : 31 Tahun Pekerjaan : Petani Karet dan Guru Agama di SMPN 5 Selesai. Tanggal wawancara : 1April 2016 Tempat : Rumah Bapak Made Suprapto Kp. Bali, Kec. Sei Wampu, Kab. Langkat Bapak Made Suprapto merupakan informan keenam yang peneliti wawancarai dalam penelitian ini. Bapak Made Suprapto adalah seorang pria berdarah Bali yang lahir dan besar di Sumatera Utara teoatnya di Kampung Bali. Bapak Made Suprapto saat ini berusia 31 tahun dan telah memiliki seorang anak hasil dari pernikahannya dengan istrinya Ibu Made Santi yang juga bersuku Bali. selain berprofesi sebagai seorang guru agama dan petani, Bapak Made Suprapto juga aktif dalam kepengurusan Suka-duka. Universitas Sumatera Utara 88 Dalam kesehariannya Bapak Made Suprapto merupakan sosok yang sering berinterkasi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali. Ia mengatakan bahwa masyarakat di Kampung Bali sudah seperti saudara. Kalau interaksi ya gimana ya, kalau kita disini ya seperti saudara, campur baur kita baik agama Hindu, Islam, karo, campur baur udah kita semua disini. Tidak pernah ada cek-cokan apa gitu tidak pernah. Bapak Made Suprapto sangat terbuka dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali, setiap ada masalah Ia selalu bercerita. Ia tidak membeda-bedakan masyarakat berdasarkan suku, ia menggap semanya sama. Terbuka, apapun kita ada masalah kita selalu cerita. Ya saya rasa bagus semua masyarakat disini sama, mereka juga nggak pernah menganggap kita beda-beda suku itu enggak pernah. Ibaratnya ya sudah merata lah, kita sudah sama-sama menghormati. Jika ada hajatan atau pesta masyarakat Kampung Bali juga memiliki kebiasaan untuk mengundang sanak saudara dan teman-temannya. Hanya saja jika masyarakat Suku Bali yang memiliki hajatan atau pesta sangat jarang menggunakan acara hiburan. Kita ya sama juga ya seperti orang kita jawa atau yang lainnya, kalau mereka mengundang kita datang, kalau pun kami ada hajatan ya kami mengundang. Cuma gini bedanya kalau Islam ini kalau pesta itu ada keyboard rame-rame gitu, kalau kami Hindu itu enggak, jarang, sekali- sekali ada juga sih. Tapi intinya kita undang mengundang gitu. Bapak Made Suprapto mengatakan bahwa dirinya sering bertamu ke rumah masyrakat yang ada di Kampung Bali, Ia mengatakan bahwa masyarakat di Kampung Bali sudah seperti saudara sehingga untuk bertamu dalam satu hingga dua minggu merupakan hal yang sudah pasti. Dalam bertamu biasanya yang dibicarakan Bapak Made Suprapto mengenai kegiatan sehari-hari dan hasil perkembunann yang mereka olah. Sering, karena gini bang, kita disini gini bang, kita udah saudara semua, udah kayak satu rumpun bambu. Jadi kalau untuk bertamu sekali-sekali atau seminggu sekali itu sudah pasti. Sering, karena gini bang, kita disini gini bang, kita udah saudara semua, udah kayak satu rumpun bambu. Jadi kalau untuk bertamu sekali-sekali atau seminggu sekali itu sudah pasti. Universitas Sumatera Utara 89 Bapak Made Suprapto memiliki jadwal yang padat dalam melakukan aktivitasya seahri-hari, hal ini membuatnya jarang untuk duduk-duduk di warung bersama rekan-rekannya. Sejak pagi ia pergi ke ladang dan di malam hari ia menerima revarasi TV. Kalau saya, saya terus terang jarang, jarang sekali saya duduk-duduk di warung, karena terus terang saya banyak kali kegiatan. Dari pagi ke ladang, nanti siang kawan-kawan ajak nyari ikan kan ya nyari ikan, kalau malam itu saya juga buka reparasi TV gitu kan jadi banyak kerjaan jadi jarang memang saya duduk-duduk di warung. Bapak Made Suprapto sering melakukan komunikasi Antrapribadi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali. Hal-hal yang dibicarakan pun beragam tergantung dengan siapa ia berkomunikasi. Jika lawan komunikasinya masyarakat Suku Bali biasanya yang dibicarakan tentang kerohanian atau tentang ladang, jika lawan bicaranya masyarakat dari suku lain biasanya yang dibicarakan bermacam- macam hal. Pernah, sering saya. Duduk berdua sama gitu kan sama teman entah itu orang kita Bali atau orang kita Jawa, itu sering kita duduk entah itu di depan rumah gini, atau saya datang ke rumahnya gitu. Ya nggak tentu, kalau sama orang kita Bali cerita tentang kerohanian atau tentang ladang gitu, kalau sama yang orang kita jawa ya macam-macam kita bicarakan. Bapak Made Suprapto juga sering melakukan pertukaran informasi dengan masyarakat di Kampung Bali. Informasi yang diberikan Bapak Made Suprapto pun beragam, mulai dari kerohanian, Pura hingga informasi pemerintahan. Kalau saya pribadi saya sering, kalau saya pribadikan ibaratnya di Pura itu sebagai pengurus kan gitu kan, di pemerintahan juga saya sering juga open-open perduli gitu jadi saya sering tukar-tukar informasi gitu. Tentang apapun sering saya tukar informasi, ya itu tadi entah tentang kerohanian, pura atau ada informasi dari pemerintahan. Bapak Made Suprapto juga sering terlibat dalam komunikasi kelompok yang ada di Kampung Bali. Biasanya komunikasi Kelompok tersebut dilakukan di Balai dusun unuk membhasa BPKD. Ya pernah, di balai dusun atau ada perkumpulan suka-duka. Kebetulan kita ada pertemuan sekitar enam bulan sekali, kalau enam bulan sekali kita kumpul, kita pukul kentiong terus kita kumpul. Adalah pembahasan- pembahasan masalah BPKD gitu kan, Masalah BPKd itu abang saya tadi yang pegang, bang Tejo. Ada lagi yang lain, entah masalah gotong royong atau hal-hal yang lain lah yang sifatnya untuk masyarakat. Universitas Sumatera Utara 90 Selain komunikasi kelompok yang dilakukan di balai dusun, Bapak Made Suprapto juga sering terlibat dalam komunikasi kelompok yang di laksanakan oleh perkumpulan Pura atau kelompok Suka-duka. Biasanya yang dibicarakan adalah hal-hal menganai upacara, perayaan hari besar dan lain-lain. Kalau orang tuanya itu perkumpulan suka-duka itu. Suka-duka itu khusus kita Bali ya namanya suka-duka gitu. Kalau suka-duka itu banyak ya, mulai dari kalau ada kegiatan mau buat upacara atau perayaan apa gitu ya kita kumpulkan, kita biacarakan terus kita kalau ada acara gitu kita iuran, itulah kita kumpulkan kita tentui berapa iuranya, hari apa kumpulnya, sampai dengan kalau ada kemalangan dan lainnya lah yang berkaitan sama masyarakat Hindu nya. Berkembangnya arus teknologi komunikasi membuat setiap orang terpengaruh oelh terpaannya, tidak terkecuali Bapak Made Suprapto. Ia mengatakan bahwa dirinya sering menggunakan handphone untuk berkomunikasi. Sering...sering, ya gimana ya kita bilang ya, ya gitu lah untuk keperluan sehari-hari, tau lah kita nanya apa gitu kan atau ada mau perlu apa gitu. Masyarakat di Kampung Bali masih menjunjung tinggi bidaya gotong royong. Namun beberapa waktu belakangan kegiatan kerja bakti untuk bersih- bersih dan perbaiki jalan memang tidak lagi dilaksanakan. Masih, disini masih kuat gotong royongnya, ada apa pun kita gotong royong. Tapi memang kalau gotong royong bersih-bersih kayak perbaiki jalan atau bersih-bersih itu udah beberapa bulan ini enggak. Ya kalau gotong royong itu kita siang turunnya, karena kalau pagi kan kita masing- masing kerja. Di Kampung Bali memiliki cara yang berbeda-beda dalam menginformasikan berita kemalangan,hal ini bertujuan untuk membedakan apakah yang meninggal masyarakat Suku Bali atau masyarakat Muslim. Untuk kita yang Bali kita pake kentong, Cuma bunyi kentong ini kita harus tau. Bunyi nanti kentong gotong royong atau kentong orang meninggal pasti lain. Kalau kentong orang meninggal itu tiga kali dia. Kalau yang muslim itu dari Masjid, bedug itu namanya, terus dari orang-orang lah juga,dari mulut ke mulut gitu. Universitas Sumatera Utara 91 Dalam kehidupan sehari-hari, Bapak Made Suprapto mengatakan masih menggunakan bahsa bali, tergantung dengan siapa lawan bicaranaya. Kalau sehari-hari masih, kadang saya pake bahasa Bali kadang pake bahasa Indonesia, ya tergantung sama siapa kita bicara. Dalam tradisi Suku Bali, dikenal sistem penyebutan nama untuk membedakan urutan anak. Menurut Bapak Made Suprapto urutan tersebut biasanya dimulai dari Wayan, Made, Nyoman dan Ketut. Selain itu juga ada Putu, Kadek, komang dan lainnya. Jika lebih dari empat maka sistem penyebutan nama akan kembali lagi dari awal. Dalam keluarga Bapak Made Suprapto sendiri menggunakan Wayan,Made, Nyoman dan Ketut. Iya itu ada urutannya itu, kalau kami biasanya itu wayan,made, nyoman, ketut. Ada juga nanti putu, kadek, komang dan lainnya. Kalau lebih dari empat ya kita ulang lagi dari atas. Iya itu yang saya sebuti tadi yang saya pake dikeluarga saya, wayan, made, nyoman, ketut. Ya itu lah. Menurut Bapak Made Suprapto ada banyak hari besar dalam Suku Bali, namun pada intinya yang masih diperingati dan dijalankna oleh masyarakat Suku Bali di Kampung Bali yaitu Galungan, Kuningan, Nyepi dan Odalan. Kalau disini semua dirayakan, kalau ikut hari raya Bali itu sebenarnya banyak kali, tapi kita ambil intinya, dari nanti Galungan, Kuningan, Nyepi, Odalan itulah yang sering. Dalam tradisi Suku Bali, sesajen memiliki peran yang sangat penting dalam persembahyangan maupun ritual tradisi. Menurut Bapak Made Suprapto Sesajen memiliki makna sebagai ucapan rasa syukur kepada Ynag Maha Kuasa. ` Kalau itu maknanya ya kita syukuri lah apa yang diberikan kepada kita. Itu mengucapkan rasa syukur kita kepada yang diatas, intinya itu bersyukurlah kita kepada yang Maha Kuasa. Setiap Hari Raya Galungan hingga Kuningan, Umat Hindu Bali diwajibkan memasang Penjor di deapn rumah. Menurut Bapak Made Suprapto Penjor merupakan simbol kemenangan. Kalau penjor itu artinya simbol kemenangan itu. Simbol kemenangan itu dulu peperangan Dharma melawan Adharma, itu penjor itu kan melengkung ke bawah itu, jadi itu artinya walaupun kita udah menang kita Universitas Sumatera Utara 92 nggak boleh sombong, kita harus menunduk. Itu tandanya lambang kemenanganlah gitu. Di Kampung Bali sendiri, untuk membedakan rumah masyarakat Suku Bali dengan rumah masyarakat Suku lainnya dapat dibedakan ari keberadaan sanggah ayang ada di depan rumah masyarakat suku Bali, keberadaan sanggah ini merupakan kewajiban bagi setiap rumah Suku Bali. Kalau untuk membedakan itu kita lihat disini aja bang, kita lihat sanggah ini, ini pasti ada di rumah orang Bali. Dalam Agama Hindu, Swastika merupkan simbol yang sangat identik karena swastika merupakan lambang dari agama Hindu. Kalau kita Swastika, dia anak panah berbentuk empat itu, swastika itu, lambang agama Hindu itu. Selain Simbol, dalam masyarakat Suku Bali juga dikenal penggunaan warna yang identik, warna tersebut adalah Putih dan Kuning. Namun, Bapak Made Suprapto mengaku tidak mengetahui makna dibalik putih dan kuning tersebut. Kuning sama putih itu ciri khasnya, kalau artinya apa saya kurang ngerti. Dalam tradisi kematian, masyarakat Hindu ali menggunaan sistem kremasi. Menurut Bapak Made Suprapto Kremasi dipercaya dapat menyatukan arwah kepada asalnya sebelum reinkarnasi. Kalau maknanya ya itu bersih, ibaratnya ya biar kita bisa menyatu ke asal kita biar nanti kita bisa reinkarnasi lagi. Kita orang Hindu itu ada percaya sama Panca Serada, Panca Serada itu lima keyakinan itu. Kita yakin kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa; kita percaya ada jiwa dalam diri kita; percaya adanya karma pala; yang keempat itu kita percatya adanya reinkarnasi; yang kelima itu kita percaya adanya moksa, moksa itu tempat yang abadi lah. Dalam melakuakn persembahyangan, ada tiga hal yang wajid disediakan oleh masyarakat Hindu Bali. Tiga hal tersebut adalah api, air dan bunga. Api menandakan hubungan kita kepada Yang Maha Kuasa, Bunga menandakan pikiran yang bening dan air sebagi penyuci diri. Ada api, air dan bunga. Kalau api itu menandankan hubungan kita sama yang diatas, kalau bunga itu menandakan pikiran kita harus bening, air Universitas Sumatera Utara 93 itu kita sebagai penyucian diri. Tiga itu harus memang ahrus ada itu, nggak boleh nggak. Dalam hal pernikahan berbeda Suku dan Agama, Bapak Made Suprapto tidak mengalami hal tersebut, hanya saja tiga saudara kandunganya mengalami hal tersebut, abang kandungnya menikah dengan wanita bersuku Jawa yang kemudian memeluk agama Hindu, dan kedua kakaknya yang menikah dengan Suku Karo dan Jawa yang kemudia memilih untuk ikut dengan kepercayaan suaminya. Ya kayak yang saya bilang tadi, disini tu udha nggak ada lagi perbedaan antara orang kita Jawa, Bali dan Karo. Udah mutar-mutar disitu aja, kayak abang saya nikah sama suku Jawa yang dukunya Muslim, kakak saya nikah sama muslim dia masuk muslim, yang satu lagi nikah sama karo dia masuk kristen. Bapak Made Suprapto tidak pernah merasa bingung ketika masyarakat Suku lain berkomunikasi menggunakan bahasa daerah mereka. Ia mengatakan bahwa dirinya mengerti bahasa Jawa dan sedikit mengerti dengan bahasa Karo, sehingga jika menggunkana bhasa jawa ia tidak pernah kebingungan, sementara dengan masyarakat Suku Karo mereka selalu berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Kalau bahasa Jawa saya ngerti, tapi kalau karo itu pun sikit-sikit ngerti. Jadi kalau bahasa jawa saya enggak pernah bingung. Kalau orang kita karo itu kalau bicara sama kita ya dia pake Bahasa Indonesia. Hambatan Komunikasi yang dialami Bapak Made Suprapto biasanya mengani perbedaan persepsi, ia mengatakan bahwa perbedaan persepsi tidak bisa dipungkiri. Selain persepsi, faktor waktu juga sering menjadi hambatan bagi Pak Prapto dalam berkomunikasi dengan masyarakat di Kampung Bali. Perbedaan persepsi itu kadang ada, ya nggak bisa kita pungkiri itu. Kalau waktu pun iya, karena kita kan disini semuanya kerja kalau siang, semua punya aktivitas masing-masing. Ya paling itu ajalah. Bapak Made Suprapto tidak pernah memiliki konflik dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali. Kehairan masyarakat dari suku lain ke Kampung Bali juga tidak pernah membuatnya merasa terganggu. Kalau konflik saya pribadi tiak pernah, masyarakat disini pun nggak perah ada cek-cok gitu, aman-aman aja kita disini. Universitas Sumatera Utara 94 Enggak, enggak pernah terganggu sama sekali. Karean disini kan kita semua punya hak yang sama, walaupun kami suku Bali yang duluan disini, orang kita Jawa atau Karo itu kan juga punya hak yang sama. Bapak Made Suprapto berpendapat bahwa perbedaan merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri, karena sejatinya perbedaan merupakan hal yang benar keberadaannya. Perbedaan itu tidak bisa dipungkiri, karena perbedaan itu kan memang ada. Tapi saya rasa perbedaan itu kan hal yang biasa, sudah menjadi hal yang biasa lah perbedaan itu. Informan Tambahan Informan tambahan diperlukan untuk membandingkan dan mengecek derajat kepercayaan informasi yang telah penleiti peroleh dari keenam informan. Informan tambahan ini juga diperlukan sebagai metode keabsahan data. Keabsahan data dalam hal ini merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan validitas informasi yang telah peneliti peroleh dari penelitian ini. Untuk menentukan kebasahan data, peneliti menggunakan teknik triangulasi data, teknik ini memnfaatkan hal lain di luar data untuk keperluan pemeriksaan dan pembanding terhadap data tersebut. Berikut merupakan profil informan tambahan yang peneliti gunakan dalam penelitain ini. Nama : Abu Hanifah Umur : 41 Tahun Agama : Islam Suku : Jawa Status : Menikah Pekerjaan : Petani Karet Bapak Abu Hanifah merupakan Informan tambahan dalam penelitian ini, Ia merupakan pria bersuku Jawa yang datang ke Kampung Bali pada tahun 1981. Sehari-hari Bapak Abu Hanifah bekerja sebagai seorang petani karet peninggalan orang tuanya. Bapak Abu Hanifah saat ini berusia 41 tahun dan telah menikah serta memiliki dua orang anak. Sebagai pendatang di Kampung Bali Bapak Abu Universitas Sumatera Utara 95 Hanifah dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan tempat dia tinggal, bahkan Ia mengatakan bahwa dirinya sering berinteraksi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali. Sering, saya sering berinterkasi dengan masyarakat disini. Disini kita memang udah seperti saudara ya, satu sama lainnya sudah saling akrab. Menurut Bapak Abu Hanifah, masyarakat Suku Bali yang ada di Kampung Bali juga selalu beriteraksi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali, baik itu yang muslim maupun dengan sesama Suku Bali. Selalu, mereka selalu berinterkasi dengan semua masyarakat yang ada disini, baik itu sama kita yang muslim maupun ya sesama mereka. Bapak Abu Hanifah membenarkan bahwa masyarakat Suku Bali yang ada di Kampung Bali sangat terbuka dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali. Terbuka, mereka sangat terbuka. Kebiasaan bertamu sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Kampung Bali, tidak terkecuali bagi masyarakjat Suku Bali. Bapak Abu Hanifah mengatakan bahwa setiap lebaran masyarakat Suku Bali sering berkunjung ke rumah-rumah msyarakat yang beragama Islam, begitu pula sebaliknya jika Suku Bali memperingati hari Raya Galungan. Iya, kita disini memang suka bertamu atau mengunjungi ya, apalagi kalau kita muslim lebaran mereka datang ke rumah kita, kita pun kalau mereka Galungan atau Nyepi gitu ya kita datang juga. Masyarakat Suku Bali memang tidak memiliki kebiasaan untuk duduk- duduk di warung, menurut Bapak Abu Hanifah biasanya masyarakat Muslim yang lebih banyak duduk-duduk di warung. Ada, ada yang suka duduk-duduk di warung tapi memang kalau di warung itu, kita yang muslim yang banyak disitu. Masyarakat Kampung Bali masih menjalankan budaya gotong royong. Jika dilaksanakan gotong royong semua masyarakat akan turun untuk bekerja bersama-sama. Universitas Sumatera Utara 96 Masih, kita memang masih suka gotong royong, kalau gotong royong memang semua ikut turun tanpa terkecuali ya. Bapak Abu Hanifah membenarkan jika saat melaksanakan gotong royong ada segelintir masyarakat yang nakal tidak ikut andil, namun tidak dapat dipastikan apakah segelintir orang tersbeut berasal dari suku Bali atau suku lainnya. Kalau dibilang siapa itu ya tidak tau juga ya, karena kadang memang ada yang kayak gitu, tapi orang-orangnya itu ya tidak bisa kita bilang yang Jawa atau yang Bali, karena sama saja kalau yang mau bandel itu. Jika ada hajatan, masyarakat Kampung Bali saling mengundang satu sama lainnya. Bapak Abu Hanifah mengatakan bahwa jika Suku Bali yang berhajatan maka makanan untuk mayarakat yang muslim akan dimasak di rumah masyarakat yang muslim, sehingga tidka ada keragu-raguan ketiak mengkonsumsi makanan tersebut. Itu kita ya kayak di luar, saling mengundang kita. Itu biasanya kalau mereka pesta itu untuk kami muslim yang masak itu harus orang kami muslim. Tapi kalau kami pesta itu kalau ada yang mereka nggak boleh makan gitu ya kami sedia ikan ayam. Tapi kalau kami diundang ke tempat mereka memang yang masak selalu ambil orang kita muslim, jadi rasa kita untuk makan pun nggak ada ragu-ragu. Bapak Abu Hanifah juga sering mengikuti perkumpulan BPKD di Balai Dusun, menurut Bapak Abu Hanifah masyarakat Suku Bali juga turut berpartisipasi aktif dalam perkumpulan BPKD tersebut. Masih, kalau kita ada bahas entah mau gotong royong atau maslah BPKD itu kita rapat di balai dusun. Mereka pun yang suku Bali itu ikut, ketuanya pun kan orang Suku Bali itu. Bapak Abu Hanifah memberikan tanggapan yang positif terhadap ritual dan tradisi yang dijalankan oleh masyarakat Suku Bali, Ia menilai bhawa hal tersebut meruapka ajaran kepercayaan yang telah dianut sehingga tidak menimbulkan permasalahan. Kita gimana ya, karena kita udah hidup berdampingan tadi ya kita tidak mempermasalahkan lagi, yasudah bagaimana ajaran dia ya gitu, jadikan tidak mempermasalahkan lagi. Universitas Sumatera Utara 97 Menurut Bapak Abu Hanifah, masyarakat di Kampung Bali tidak perah memiliki konflik satu sama lainnya, kehidupan masyarakat yang membaur membuat masyarakat saling mengerti satu sama lain. Tidak, tidak pernah kita berkonflik atau cekcok disini, karena memang disini kita sudah membaur gitu, udah mengerti satu sama lain yasudah jalankan hidup kita disini. Menurut Bapak Abu Hanifah, Masyarat Suku Bali yang ada di Kampung Bali secara umum memiliki sifat yang baik, hampir tidak ada yang membedakan masyarakat suku Bali dengan masyarakat Suku lainnya. Ya mereka baik-baik, disini memang hampir sudah tidak ada beda yang Bali dengan yang Jawa atau yang lainnya, jadi memang kita tidak ada tanggapan apa-apa, yasudah sama semua. Universitas Sumatera Utara 98 Tabel 4.1.4. Reduksi Data Hasil Wawancara NO Nama Informan Tujuan Penelitian Pola Komunikasi Hambatan Komunikasi Pola Komunikasi Sesama Masyarakat Suku Bali Pola Komunikasi Masyarakat Suku Bali dengan Masyarakat Berbeda Suku 1 Nyoman Sumandro  Pernah melakukan komunikasi dan interaksi  Pernah bertamu dan dikunjungi oleh masyarakat Suku Bali untuk berkonsultasi dan tukar pikiran mengenai kerohanian Hindu  Pola komunikasi yang digunakan ketika bertamu atau dikunjungi oleh masyarakat Suku Bali adalah pola komunikasi dua arah, dimana ada hubungan timbal balik anatara komunikator dengan komunikan dan pertukaran fungsi dan peran.  Pernah melakukan komunikasi dan interkasi. Memiliki sikap yang terbuka dan memiliki hubungan yang akrab.  Pernah bertamu ke rumah masyarakat ketika Hari Raya Idul Fitri.  Melakukan komunikasi antarpribadi dengan masyarakat untuk bertukar pikiran.  Menggunakan HP untuk kepentingan pribadi seperti menghubungi rekan dan kerabat, serta untuk kepentingan pemerintahan seperti menghubungi masyarakat yang mengurus administrasi kependudukan.  Menghadiri pertemuan BKPD di balai dusun setiap enam  Waktu menjadi hambatan dalam berkomunikasi dengan masyarakat di Kampung Bali  Tidak pernah memiliki konflik  Tidak pernah beranggapan bahwa Suku Bali adalah yang paling baik tidak memiliki etnosentrisme Universitas Sumatera Utara 99  Aktif dalam pertemuan Suka-duka.  Menggunakan sistem penyebutan nama dalam keluarga  Menjalankan upacara ritual dan perayaan hari besar keagamaan  Menggunakan sesajen dalam persembahyangan  Memasang penjor ketika Hari Raya Galungan dan Kuningan  Menggunakan simbol- simbol dan warna yang identik  Menggunakan atribut tubuh ketika melakukan persembahyangan  Menjalankan tradisi kremasi  Menggunakan api, air dan bunga dalam persembahyangan  Bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi dengan sesama Suku bulan.  Melakukan komunikasi kelompok dengan masyarakat apabila ada instruksi dari pemerintah daerah atau ketika ada instansi yang datang.  Menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Jawa ketika berkomunikasi dengan masyarakat yang berbeda suku. Penggunaan bahasa disesuaikan dengan lawan komunikasinya Universitas Sumatera Utara 100 Bali yaitu Bahasa Bali, Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia, disesuaikan dengan kemampuan bahasa yang dimiliki lawan komunikasinya 2 Nyoman Suyetno  Pernah berinteraksi dan melakukan komunikasi  Pernah bertamu dan membahas kerohanian  Selalu hadir di perkumpulan Suka-duka  Tidak menggunakan sistem penyebutan nama untuk anak-anaknya  Menjalankan upacara ritual dan perayaan hari besar keagamaan  Menggunakan sesajen dalam persembahyangan  Memasang penjor ketika Hari Raya Galungan dan Kuningan  Menggunakan simbol- simbol dan warna yang identik  Pernah berinteraksi dengan masyarakat berbeda Suku, Kurang terbuka dan kurang akrab  Tidak pernah bertamu dengan alasan kesibukan  Tidak menggunakan HP secara aktif. Menggunakan HP hanya untuk sekedar melakukan komunikasi saja.  Selalu hadir dalam pertemuan di balai dusun sebagai peserta.  Kesalahan persepsi yang mengakibatkan respon yang tidak tepat  Tidak pernah memiliki konflik  Tidak memiliki etnosentrisme Universitas Sumatera Utara 101  Menggunakan atribut tubuh ketika melakukan persembahyangan  Menjalankan tradisi kremasi  Menggunakan api, air dan bunga dalam persembahyangan  Bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi dengan sesama masyarakat Suku Bali adalah Bahasa Bali, Bahasa Jawa atau Bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa disesuaikan dengan kemampuan bahasa lawan komunikasi. 3 Wayan Weto  Memiliki hubungan yang akrab  Bertamu ketika Hari Raya Galungan  Selalu menjenguk teman ataupun saudara yang sakit  Melakukan KAP membahasaperekonomia  Pernah berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat yang berbeda suku. Memiliki hubungan yang akrab dan terbuka  Bertamu ke rumah masyarakat Suku Jawa ketika hari Raya Idul Fitri  Melakukan KAP unuk  Tidak memiliki hambatan dalam berkomunikasi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali  Tidak pernah memiliki konflik  Tidak memiliki sifat Universitas Sumatera Utara 102 n dan kondisi Kampung  Selalu hadir di perkumpulan Suka-duka  Menggunakan sistem penyebutan nama dalam keluarga  Menjalankan upacara ritual dan perayaan hari besar keagamaan  Menggunakan sesajen dalam persembahyangan  Memasang penjor ketika Hari Raya Galungan dan Kuningan  Menggunakan simbol- simbol dan warna yang identik  Menggunakan atribut tubuh ketika melakukan persembahyangan  Menjalankan tradisi kremasi  Menggunakan api, air dan bunga dalam persembahyangan  Bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi bertukar informasi dengan masyarakat. Topik yang biasa dibahas mengenai perekonomian dan keadaan desa  Jarang menggunakan HP karena tidak dapat mengoperasikannya. Menggunakan HP untuk menerima panggilan masuk saja  Selalau hadir dalam pertemuan di balai dusun, baik pertemuan BPKD maupun pertemuan yang sifatnya tidak rutin.  Ketika berkomunikasi dengan masyarakat yang berbeda suku, bahasa yang digunakan disesuaikan dengan lawan komunikasinya etnosntrisme Universitas Sumatera Utara 103 dengan sesama Suku Bali yaitu Bahasa Bali, jika lawan komunikasinya juga lahir di Bali. Jika lawan komunikasi lahir dan besar di Sumatera maka bahasa yang digunakan adalah bahasa campuran antara Bali,Jawa dan Bahasa Indonesia 4 Nyoman Sutejo  Pernah berinteraksi dan memiliki hubungan yang akrab dan terbuka  Pernah berkunjung dan dikunjungi oleh sesama masyarakat Suku Bali  Melakukan KAP dan membahas perekonomian, pemerintahan dan politik  Selalu menghadiri pertemuan Suka-duka  Menggunakan sistem penyebutan nama dalam keluarga  Menjalankan upacara ritual dan perayaan hari  Pernah berinteraksi, memiliki hubungan yang akrab dan terbuka  bertamu ketika Idul Fitri  Duduk di warung untuk berinteraksi dengan masyarakat  Melakukan KAP dan kumpul bersama teman-temannya di Pekan Getah untuk berbincang dan bertukar informasi  Topik yang dibahas biasanya tentang ekonomi, pemerintahan dan politik  Aktif dalam menggunakan HP untuk mempermudah proses komunikasi  Memiliki hambatan dalam hal waktu ketika berkomunikasi dengan masyarakat di Kampung Bali  Tidak pernah memiliki konflik  Tidak memiliki sifat etnosentrisme Universitas Sumatera Utara 104 besar keagamaan  Menggunakan sesajen dalam persembahyangan  Memasang penjor ketika Hari Raya Galungan dan Kuningan  Menggunakan simbol- simbol dan warna yang identik  Menggunakan atribut tubuh ketika melakukan persembahyangan  Menjalankan tradisi kremasi  Menggunakan api, air dan bunga dalam persembahyangan  Menggunakan Bahasa Bali atau Bahasa Jawa ketika berkomunikasi dengan sesama masyarakat Suku Bali. penggunaan bahasa disesuaikan dengan kemampuan bahasa yang dimiliki lawan komunikasi  Selalu aktif di pertemuan BPKD sebagai Ketua  Lebih sering menggunakan Bahasa Jawa 5 Wayan Dangin  Pernah berinteraksi,  Pernah berinteraksi, terbuka  Tidak memiliki Universitas Sumatera Utara 105 terbuka dan memiliki hubungan yang akrab dengan sesama Suku Bali  Bertamu dan melakukan KAP  Biasa duduk di bawah pohon rindang untuk membahas kerohanian  Membimbing dan memberi arahan kepada masyarakat Suku Bali  Menggunakan sistem penyebutan nama dalam keluarga  Menjalankan upacara ritual dan perayaan hari besar keagamaan  Menggunakan sesajen dalam persembahyangan  Memasang penjor ketika Hari Raya Galungan dan Kuningan  Menggunakan simbol- simbol dan warna yang identik  Menggunakan atribut dan memiliki hubungan yang akrab.  Bertamu ke rumah masyarakat suku lainnya ketika Idul Fitri  Melakukan KAP dan bertukar informasi  Topik yang dibahas biasanya hal-hal yang ringan, seperti humor dan bercanda  Jarang menggunakan HP karena tidak dapat mengoperasikannya, menggunakan HP hanya untuk menerima panggilan dan dengan bantuan anak-istri  Sering hadir di pertemuan BPKD di Balai Dusun sebagai peserta pertemuan  Menggunakan Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia disesuaikan dengan lawan bicara hambatan dalam berkomunikasi dengan masyarakat di Kampung Bali  Tidak pernah memiliki konflik  Tidak memiliki sifat etnosentrisme Universitas Sumatera Utara 106 tubuh ketika melakukan persembahyangan  Menjalankan tradisi kremasi  Menggunakan api, air dan bunga dalam persembahyangan  Jarang menggunakan Bahasa Bali, lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia 6 Made Suprapto  Pernah berinteraksi dan berkomunikasi  Bertamu dan melakukan KAP dengan sesama Suku Bali  Topik yang dibahas mengenai ladang dan kerohanian  Aktif di perkumpulan Suka-duka sebagai salah satu pengurus  Sering membantu Pak Dangin dalam membimbing masyarakat Suku Bali  Menggunakan sistem  Pernah berinterkasi, terbuka dan memiliki hubungan yang akrab dengan masyarakat yang berbeda suku  Bertamu minimal satu kali dalam seminggu  Melakukan KAP dan bertukar informasi dengan duduk di bawah pohon rindang  Topik yang dibahas mengenai kegiatan sehari-hari  Sering menggunakan HP untuk keperluan komunikasi  Selalu hadir dalam pertemuan BPKD di Balai Dusun sebagi peserta pertemuan  Perbedaan persepsi mejadi hambatan dalam berkomunikasi dengan masyarakat di Kampung Bali  Tidak pernah memiliki konflik  Tidak memiliki sifat etnosentrisme Universitas Sumatera Utara 107 penyebutan nama dalam keluarga  Menjalankan upacara ritual dan perayaan hari besar keagamaan  Menggunakan sesajen dalam persembahyangan  Memasang penjor ketika Hari Raya Galungan dan Kuningan  Menggunakan simbol- simbol dan warna yang identik  Menggunakan atribut tubuh ketika melakukan persembahyangan  Menjalankan tradisi kremasi  Menggunakan api, air dan bunga dalam persembahyangan  Bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi dengan sesama Suku Bali yaitu Bahasa Bali atau Bahasa Jawa dan disesuaikan dengan lawan komunikasi.  Menggunakan Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan masyarakat yang berbeda suku, disesuaikan dengan lawan bicara Universitas Sumatera Utara

4.2. Pembahasan 4.2 .1. Pola Komunikasi Masyarakat Hindu Bali

Dokumen yang terkait

POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL ORANG DENGAN LUPUS (ODAPUS) DALAM MASYARAKAT Pola Komunikasi Interpersonal Orang Dengan Lupus (Odapus) Dalam Masyarakat (Studi Fenomenologi Pola Komunikasi Interpersonal Odapus Pada Komunitas Griya Kupu Solo Dalam Masyarakat

0 2 12

Pola Pemukiman Masyarakat Tenganan Pegringsingan Bali.

0 1 2

Pola Komunikasi Masyarakat Kampung Bali (Studi Deskriptif Etnografi Pola Komunikasi Masyarakat Suku Bali dalam Berinteraksi dengan Masyarakat yang Multietnis di Desa Cipta Dharma)

0 0 14

Pola Komunikasi Masyarakat Kampung Bali (Studi Deskriptif Etnografi Pola Komunikasi Masyarakat Suku Bali dalam Berinteraksi dengan Masyarakat yang Multietnis di Desa Cipta Dharma)

0 0 2

Pola Komunikasi Masyarakat Kampung Bali (Studi Deskriptif Etnografi Pola Komunikasi Masyarakat Suku Bali dalam Berinteraksi dengan Masyarakat yang Multietnis di Desa Cipta Dharma)

0 0 7

Pola Komunikasi Masyarakat Kampung Bali (Studi Deskriptif Etnografi Pola Komunikasi Masyarakat Suku Bali dalam Berinteraksi dengan Masyarakat yang Multietnis di Desa Cipta Dharma)

0 0 14

Pola Komunikasi Masyarakat Kampung Bali (Studi Deskriptif Etnografi Pola Komunikasi Masyarakat Suku Bali dalam Berinteraksi dengan Masyarakat yang Multietnis di Desa Cipta Dharma)

0 0 3

Pola Komunikasi Masyarakat Kampung Bali (Studi Deskriptif Etnografi Pola Komunikasi Masyarakat Suku Bali dalam Berinteraksi dengan Masyarakat yang Multietnis di Desa Cipta Dharma)

0 0 59

MAKALAH POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT DESA

0 0 16

POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT MISKIN

1 2 221