8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Kajian
Keberadaan paradigma sangatlah diperlukan, karena paradigma merupakan cara pandang yang akan digunakan oleh seorang peneliti dalam
melakukan penelitiannya. Menurut Harmon dalam Moleong, 2006: 49, paradigma adalah cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan
melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas. Sedangkan Baker dalam Moleong, 2006: 49 mendefinisikan paradigma sebagai
seperangkat aturan yang membangun atau mendefinisikan batas-batas dan menjelaskan bagaimana sesuatu harus dilakukan dalam batas-batas itu agar
berhasil. Dalam penelitian ini paradigma yang digunakan adalah paradigma
Interpretif. Interpretif atau Interpretivisme adalah salah satu bagian dari paradigma yang menolak keberadaan paradigma positivistik. Interpretivisme ini
berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada pengalaman orang yang diteliti.
Interpretivisme ini menuntut pendekatan holistik dan menyeluruh, mengamati objek dalam konteks keseluruhan, tidak diparsialkan, tidak dieliminasi dalam
variabel-variabel guna mendapatkan pemahaman lengkap apa adanya, akrena objek bukan mekanik tetapi humanistis, penelitian ini tidak bebas nilai, karena
memang tidak ada aspek sosial yang benar-benar bebas nilai atas subjektif. Vardiansyah, 2008: 61.
Interpretivisme berangkat dari upaya mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial budaya yang didasarkan pada perspektif dan
pengalaman orang yang diteliti. Interpretif melihat fakta sebagai sesuatu yang unik dan memiliki konteks dan makan yang khusus sebagai esesni dalam
memahami makna sosial. Interpretif dibentuk oleh tiga pandangan dasar yaitu, hermeneutika,
fenomenologi dan interaksionalisme simbolik. Tiga padangan ini mendasari metode ilmu sosial yang khas, yaitu memberikan peran subjek dalam
Universitas Sumatera Utara
menentukan fakta sosial sekaligus memperlakukan manusia tidak sebagai benda-benda, lebih dari apa yang telah dicapai oleh post-positivisme awal.
Interpretivisme menurunkan motodologi penelitian yang dinamakan grounded theory. Metode ini menurunkan kriteria bahwa data harus
dikumpulkan dan dianalisis secara kualitatif bukan kuantitatif, kemudian teori yang dikembangkna bersifat membumi, serta kegiatan ilmu harus bersifat natural
apa adanya da menghindarkan penelitian yang diatur sebelumnya, baik melalui desain penelitian yang kaku maupun situasi laboratoris, dan karenanya penelitian
lebih bersifat partisipatif daripada mengontrol sumber-sumber informasi. Ditinjau dari aspek ontologis, interpretivisme menuntut pendekatan
holistik, menyeluruh yaitu mengamati objek dalam konteks keseluruhan, tidak diparsialkan dan tidak dieliminasi dalam variabel-variabel guna mendapatkan
pemahaman lengkap apa adanya, karena objek tidak mekanistis melainkan humanistis. Dari aspek epistemologis, interpretivisme menuntut menyatukan
subjek dengan objek penelitian serta subjek pendukungnya, karenanya pula menuntut keterlibatan langsung peneliti di lapangan serta menghayati
berprosesnya subjek pendukung lainnya. Dan dari aspek aksiologis, penelitian interpretivisme tidak bebas nilai, karena memang tidak ada aspek sosial yang
benar-benar bebas nilai Vardiansyah, 2008 : 61
2.2 Kajian Pustaka