Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu hal penting yang dapat mendukung majunya suatu bangsa. Dunia pendidikan diperlukan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang saling berkompetisi dalam lingkup pekerjaan atau studi. Salah satu usaha yang paling umum dan paling sering ditempuh oleh seseorang dalam mengembangkan dirinya adalah dengan menempuh sistem pendidikan formal. Hal ini disebabkan karena cukup banyak orang yang beranggapan bahwa untuk menjadi seseorang yang berhasil dalam hidupnya, orang itu harus berpendidikan, khususnya pendidikan formal Tjundjing, 2001. Pendidikan formal tidak lepas dari proses pembelajaran. Proses pembelajaran tidak hanya bergantung pada aspek intelegensi atau kemampuan yang didasari oleh fungsi kognitif saja, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek lain seperti emosi dan sosial. Seringkali tujuan proses pembelajaran tidak tercapai bukan karena ketidakmampuan pelajar dalam berpikir, namun karena ia mengalami masalah dalam aspek emosi atau aspek sosial yang mengakibatkan terhambatnya proses pembelajaran tersebut Rostiana, 1997. Setiap orang pernah mengalami kecemasan yang normal oleh karena suatu sebab, misalnya menghadapi ujian, sidang di pengadilan, promosi, atau penurunan jabatan. Kecemasan dirasakan sebagai akibat dari sesuatu yang jelas penyebabnya dan akan kembali normal setelah objek yang menjadi kecemasan berlalu. 1 Kecemasan dapat merupakan manifestasi gangguan kepribadian menghindar atau gangguan fobik. Sebagai gangguan yang berdiri sendiri, kecemasan dapat berupa gangguan cemas umum menyeluruh, disini cemas dirasakan mengambang free floating, tidak menentu dan tidak jelas penyebabnya Kaplan dan Sadock, 1994. Kecemasan merupakan gangguan emosi yang menjadi salah satu permasalahan paling sering dialami remaja. Kecemasan sangat berpengaruh pada kepribadian dan prestasi belajar. Mahasiswa yang mempunyai kecemasan yang tinggi lebih berhasil dalam kondisi ujian yang kurang menekan, sedangkan mahasiswa yang mempunyai kecemasan yang rendah lebih berhasil dalam kondisi yang menekan Martaniah dalam Kusningsih, 1994. Siswa berinisial AA meraih juara IV olimpiade fisika Jawa Tengah tetapi tidak lulus ujian nasional. Di kalangan teman-temannya, AA dikenal sebagai anak pintar. Hampir tiap tahun ia meraih ranking I atau setidaknya ranking II di kelas. Setelah menjuarai olimpiade fisika se-Jawa Tengah, Universitas Semarang siap menerima AA menjadi mahasiswa di jurusan fisika melalui jalur penerimaan siswa berprestasi. Kesempatan ini pupus karena ia tidak lulus ujian nasional Kompas, 2006. Melihat dari kasus tersebut, menurut analisa penulis sesuai yang diutarakan oleh Toepra dalam Nasution, 2007 bahwa remaja SMA yang akan menghadapi ujian akhir dan UMPTN sering mengalami ketegangan dan kecemasan, Selanjutnya menurut Davidof dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007 orang yang mengalami kecemasan biasanya mempunyai penilaian yang kurang baik terhadap dirinya, mempunyai kecerdasan emosi yang rendah dan kurang percaya diri. Sedangkan Collins dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007 berpendapat bahwa kecemasan dapat diatasi bila seseorang mempunyai kecerdasan emosional yang baik dengan cara berfikir realistis dan bersikap secara tepat. Tetapi dalam kasus diatas, AA tidak dapat mengelola emosi, berpikir realistis sehingga ia gagal dalam ujian. Stroufe dalam Amir, 2004 mengemukakan bahwa remaja yang berada pada masa menuju kematangan mempunyai kemungkinan yang besar untuk mengalami kecemasan. Pada masa ini, remaja digambarkan aktif menjelajahi berbagai pilihan untuk menentukan identitas diri. Mereka masih bingung untuk menentukan identitas yang sesuai dengan dirinya sehingga emosi mereka sangat labil. Usia remaja merupakan masa stress dan storm dimana remaja mengalami guncangan yang dapat menyebabkan timbulnys stress dan kecemasan. Arnett dalam Leonni dan Hadi, 2007 mengemukakan bahwa remaja juga mempunyai reputasi berani mengambil resiko paling tinggi dibandingkan periode lainnya. Hal ini pula yang mendorong remaja berpotensi mudah meningkat kecemasanya karena kenekatannya sering mengiring pada suatu perilaku atau tindakan dengan hasil yang tidak pasti. Keinginan yang besar untuk mencoba banyak hal menjadi salah satu pemicu utama timbulnya perilaku nekat dan hasil yang tidak selalu jelas yang dapat menyebabkan meningkatnya kecemasan pada remaja. Menurut Danusio dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007 emosi berperan besar dalam suatu tindakan bahkan dalam pengambilan keputusan yang paling rasional. Kecerdasan emosional yang tinggi akan membantu remaja dalam mengatasi konflik secara tepat dan menciptakan kondisi lingkungan yang menyenangkan. Steinberg dalam Nasution, 2007 mengungkapkan bahwa remaja pada usia 15-18 tahun mengalami banyak perubahan secara kognitif, emosional dan sosial, mereka berpikir lebih kompleks, secara emosional lebih sensitif dan lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Menurut Lestari dan Purwanto 2003 kecerdasan emosi mencakup kemampuan untuk memotivasi diri dan bertahan terhadap frustasi, kemampuan untuk mengontrol impuls dan menunda pemuasannya, kemampuan untuk mengatur mood dan mencegah keadaan yang berbahaya yang mempengaruhi kemampuan berpikir, serta kemampuan untuk empati dan menolong. Penelitian dari Hill dalam Hasan, 2009 yang melibatkan 10.000 siswa Sekolah Dasar dan Menengah di Amerika menunjukkan bahwa sebagian besar siswa yang mengikuti tes, gagal menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya disebabkan oleh situasi dan suasana tes yang membuat mereka cemas. Sebaliknya, para siswa ini memperlihatkan hasil yang lebih baik jika berada pada kondisi yang lebih optimal, dalam arti unsur-unsur yang membuat siswa berada dibawah tekanan dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya para siswa tersebut menguasai materi yang diujikan tapi gagal memperlihatkan kemampuan mereka yang sebenarnya karena kecemasan yang melanda mereka saat menghadapi tes. Goleman 2007 melakukan sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kesuksesan mahasiswa di masa yang akan datang. Hasil penelitianya membuktikan bahwa para mahasiswa di Harvard University yang berprestasi tinggi, ternyata banyak yang tidak mempunyai keberhasilan yang lebih tinggi daripada mahasiswa yang berprestasi biasa-biasa saja. Sebaliknya mahasiswa yang mempunyai prestasi yang biasa-biasa saja justru mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi dibandingkan dengan yang berprestasi akademik tinggi di kemudian hari. Hal itu dikarenakan mahasiswa yang berprestasi tinggi kebanyakan memiliki emosi yang terlampau ditekan, terlampau ekstrim dan bila berlangsung secara terus menerus akan menjadi sumber penyakit. Selain itu, emosi dengan intensitas yang tinggi akan melampaui titik wajar akan beralih menjadi kecemasan kronis, amarah yang tidak terkendali dan depresi, begitu pula dengan remaja santri yang belajar, menuntut ilmu di pondok pesantren dan terbiasa hidup jauh dari keluarga. Kalangan remaja santri di domunasi oleh remaja yang memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi di masa remaja. Menurut uraian hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi yang tinggi akan berpengaruh terhadap keberhasilan seseorang karena seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi tidak akan mudah cemas. Ohman dan Soares dalam Adrian, 2009 melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa sistem emosi mempercepat sistem kognitif untuk mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi. Stimuli yang relevan dengan rasa takut menimbulkan reaksi bahwa hal buruk akan terjadi. Terlihat bahwa rasa takut mempersiapkan individu untuk antisipasi datangnya hal tidak menyenangkan yang mungkin akan terjadi. Secara otomatis individu akan bersiap menghadapi hal-hal buruk yang mungkin terjadi bila muncul kecemasan dan rasa takut. Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Tingkat Kecemasan Pada Remaja Kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo”.

B. Rumusan Masalah