tersebut didukung oleh hampir semua organisasi dan partai politik pergerakan, kecuali Pendidikan Nasional Indonesia, yang menilai bahwa apa yang
dilakukan oleh GAPI tersebut sama saja dengan mengemis atau meminta- minta kepada pihak Belanda.
Dengan dibentuknya Komite Parlemen Indonesia di daerah-daerah di Indonesia, baik di Jawa maupun di luar Jawa maka terbentuklah panitia-
panitia lokal di bawah naungan GAPI. Tujuan dari dibentuknya panitia-panitia lokal adalah untuk mempersiapkan Konggres Rakyat Indonesia yang akan
berlangsung pada tanggal 23 hingga 25 Desember 1945. Pada tanggal 17 Desember diadakan rapat panitia sebagai bentuk persiapan terakhir untuk
menyambut diselenggarakannya konferensi tersebut.
B. Menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia
Pada tanggal 23-25 Desember 1939 diselenggarakanlah Kongres Rakyat Indonesia di Gedung Permufakatan, Gang Kenari, Jakarta, dihadiri
oleh 99 utusan dari organisasi-organisasi nasional, termasuk organisasi- organisasi non politik organisasi-organisasi sosial, perkumpulan sekerja.
Tujuan dari diselenggarakannya Kongres ini adalah menjaga keselamatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Langkah awal yang dilakukan adalah harus
segera dibentuknya parlemen, sebagai salah satu realisasi dalam aksi “Indonesia Berparlemen”. Dalam kongres ini pula dihasilkan beberapa
keputusan penting, seperti berikut: a.
Penyusunan program kerja Kongres Rakyat Indonesia yang ditugaskan kepada perwakilan GAPI, Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri,
Persatuan Jurnalis Indonesia, dan Istri Indonesia. Dalam penyusunannya GAPI akan bertindak sebagai badan pelaksana.
b. Yang menjadi anggota Kongres Rakyat Indonesia itu ialah perkumpulan-
perkumpulan dan partai-partai, yang cukup pentingnya, sedang sebagai badan pekerja dari Kongres Rakyat Indonesia itu, ditunjuk GAPI federasi
dari partai-partai politik
26
. c.
Aksi “Indonesia Berparlemen” tetap diteruskan, dan Kongres Rakyat Indonesia menetapkan GAPI sebagai pelaksananya.
d. Ditetapkannya bendera Indonesia “Merah Putih”, sebagai bendera
persatuan, bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan, dan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.
Saat Kongres tersebut berlangsung disinggung pula mengenai sikap apa yang harus dilakukan apabila pemerintah Belanda menolak gagasan mengenai
pembentukan parlemen tersebut. Pernyataan ini disampaikan oleh PPPI Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia. Perhimpunan ini juga menyarankan
apabila memang pada akhirnya manifesto ini ditolak, ada baiknya para anggota dewan yang berjuang di bawah bendera kongres memilih mundur,
sebagai bentuk protes dari penolakan tersebut. Akan tetapi saran yang disampaikan oleh PPPI yang dinilai tegas ini justru ditolak oleh GAPI. GAPI
malah memberi label bahwa PPPI merupakan perkumpulan kaum ekstremis, sehingga akhirnya PPPI memilih mundur dari kongres. Usul PPPI ini pada
hakikatnya dilontarkan untuk menjajaki, sampai mana para pemimpin nasional
26
A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, 1991, Jakarta, hlm. 164.
yang tergabung dalam GAPI khususnya dan dalam kongres umumnya sanggup memikul konsekuensi dari aksi “Indonesia Berparlemen”
27
. Bentuk penolakan yang dilakukan oleh GAPI terhadap usulan PPPI ini justru memperlihatkan
bahwa GAPI masih memiliki rasa takut kepada pemerintah Belanda. Namun apabila saran yang disampaikan oleh PPPI itu dijalankan, GAPI bisa
terperangkap ke dalam situasi yang gawat, karena ada kemungkinan pihak pemerintah akan melakukan pengawasan ketat melalui peningkatan militer
untuk menindak organisasi-organisasi nasional, yang dapat berakibat buruk bagi semua.
Pasca diselenggarakannya Kongres Rakyat Indonesia yang berlangsung pada bulan Desember 1939 tersebut, oleh GAPI dibentuklah badan-badan
yaitu Komite Parlemen Indonesia di seluruh wilayah, yang tujuannya adalah untuk memudahkan usaha meningka
tkan program dari aksi “Indonesia Berparlemen” di daerah-daerah. Panitia-panitia di daerah dianjurkan
mengadakan kursus-kursus dan rapat-rapat bersifat tertutup dan umum
28
. Untuk menguatkan aksi tersebut, GAPI berusaha meyakinkan rakyat akan
kewajibannya untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita bangsa
29
. Ketika GAPI sedang memperjuangkan realisasi atas aksi “Indonesia
Berparlemen”, tiba-tiba muncul kabar mengenai telah dikirimkannya surat permohonan pembentukan parlemen kepada Staten Generaal pada tanggal 16
Oktober 1939. Adapun yang bertindak demikian bukanlah GAPI melainkan
27
Slamet Muljana, op. cit, hlm 70.
28
Marwati Djoened Poesponegoro, op. cit, hlm. 233.
29
Idem.
Golongan Nasional Indonesia yang dipimpin oleh Moh. Yamin dan disokong oleh Parpindo, partainya. Hal yang dilakukan secara sepihak oleh GNI ini
memberikan gambaran tentang kesan bahwa, Moh. Yamin yang tidak diajak dalam pembentukan GAPI, sebagai bentuk kekecewaannya, segera
membentuk GNI sebagai tandingannya. Ini dapat dilihat ketika GAPI mengeluarkan manifesto mengenai aksi “Indonesia Berparlemen”, dengan
cepat GNI segera membuat permohonan kepada pemerintah Belanda. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya ketegangan antara kubu GAPI dengan
kubu GNI yang jelas sekali sangat ditunggu oleh pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda atas insiden tersebut justru memanfaatkannya sebagai alat
untuk me nunda aksi “Indonesia Berparlemen”, serta melumpuhkan organisasi-
organisasi nasionalis tersebut. Selain memanfaatkan ketegangan hubungan antara GAPI dan GNI,
pihak Belanda mulai melakukan tindakan-tindakan yang dinilai mengganggu dominasi pemerintahan mereka, sehingga mulailah diberlakukan pengawasan
terhadap gerakan-gerakan kaum nasionalis, seperti yang dilakukan oleh Procureur Generaal, H. Marcella yang telah memberikan instruksi rahasia
kepada polisi PID untuk mengawasi gerak-gerik Gerindo mulai tanggal 1 Februari 1939
30
, atau beberapa bulan sebelum dibentuknya GAPI dan dicetuskannya aksi “Indonesia Berparlemen”, begitu pula dengan partai-partai
lain seperti PSII dan Parindra, yang juga diawasi oleh polisi PID. Adapun bentuk-bentuk dari pengawasan ini adalah dengan peringatan keras serta
30
Slamet Muljana, op. cit, hlm. 72.
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh polisi terhadap kegiatan yang dilakukan oleh partai-partai tersebut, seperti rapat-rapat yang diselenggarakan
oleh partai politik, misalnya yang dilaksanakan Parindra di Medan pada bulan Desember 1939 dengan sepihak dibubarkan oleh polisi. Rapat-rapat yang
dilaksanakan di Bengkulu dan Cirebon pada bulan Januari-Februari juga mengalami kesulitan masalah berkenaan dengan perizinan oleh pihak polisi.
Sikap reaktif yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap GAPI, mendapat tanggapan beragam, tak terkecuali oleh G.F. Pijper,
seorang Penasehat Urusan Dalam Negeri pemerintah kolonial Belanda. Pijper mengemukakan bahwa pihak Belanda tidaklah perlu bertindak terlalu keras
terhadap program yang sedang digalakkan oleh GAPI, terutama terhadap program aksi “Indonesia Berparlemen”, karena menurutnya berhasil atau
tidaknya program tersebut tergantung dari keputusan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, apakah mereka menyetujui program tersebut, ataukah
mereka justru menolaknya, sehingga dapat dikatakan bahwa program yang tengah diperjuangkan oleh GAPI tersebut gagal.
Pada awal Februari datanglah jawaban dari Menteri Welter, selaku menteri jajahan mengenai masalah aksi “Indonesia Berparlemen”
31
. Menurut pendapat Welter, diakui bahwa adalah hal yang wajar dan sah apabila menurut
perkembangan masyarakat, baik dalam bidang materiel maupun spiritual, akan muncul kecakapan dan kegairahan dalam masyarakat itu untuk memegang
31
Sartono Kartodirdjo, op. cit, hlm. 190.
peranan dalam kerangka kelembagaan politik yang pada saat itu ada
32
. Ditambahkan pula bahwa aksi “Indonesia Berparlemen” tidaklah perlu, karena
selama Belanda masih memegang penuh tanggung jawab kebijakan politik dan ketatanegaraan di Indonesia, maka selama itu pula tidak diperbolehkannya
pembentukan parlemen di Indonesia. Dengan ditolaknya program aksi “Indonesia Berparlemen” oleh pemerintah Belanda, jelas menimbulkan
kekecewaan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia di mana-mana. Ditambah lagi dengan alasan yang mendasari penolakan terhadap program aksi tersebut
yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia belumlah sanggup dalam mengatur dirinya dan wilayahnya sendiri. Penolakan yang dikeluarkan pemerintah
Belanda ini dilakukan pada tanggal 10 Februari 1940. Penolakan aksi “Indonesia Berparlemen” oleh pemerintah Belanda
justru semakin membuat GAPI menjadi tak gentar, dan badan konsentrasi nasional ini semakin gencar dalam menjalankan aksinya. Ini dibuktikan oleh
GAPI pada tanggal 23 Februari 1940 dengan meneruskan program aksi “Indonesia Berparlemen” dengan segera mendirikan Panitia Parlemen
Indonesia. Pembentukan badan kepanitiaan ini mendapatkan dukungan dari Paguyuban Pasundan, Parindra, PSII, dan anggota GAPI lainnya. Segera
dibentuknya badan kepanitiaan ini didasarkan atas posisi Belanda yang semakin gawat.
Gagasan yang diusung oleh GAPI tersebut, tetap dibahas dalam Tweede Kamer ketika membahas mengenai anggaran belanja Hindia Belanda yang
32
Idem.
dilakukan pada tanggal 26 Februari hingga tanggal 6 Maret 1940. Dalam pembahasan tersebut, sayangnya tuntutan yang diusung oleh GAPI ini hanya
mendapat dukungan dari Social Demokratische Arbeiders Partij SDAP dan Stokvis, sedangkan partai lainnya menolak, begitu juga dengan pers Belanda
yang pada umumnya juga menolak tuntutan yang diusung oleh GAPI. Alasan yang melatarbelakangi penolakan mereka adalah sama dengan yang
dikemukan oleh pemerintah Belanda. Namun partai-partai dan pers Belanda yang menolak tersebut juga menambahkan perlunya pemerintah Belanda
segera melakukan perubahan sistem pemerintahan Belanda di Indonesia, mengingat situasi internasional terutama di wilayah Eropa yang semakin
genting dan gawat. Adapun mosi yang diajukan oleh kedua partai pendukung GAPI, yaitu SDAP dan Stokvis adalah permohonan kepada pemerintah
Belanda untuk meninjau kembali keputusan sebelumnya untuk memberikan Indonesia kewenangan politik, akan tetapi pada akhirnya mosi tersebut tetap
ditolak oleh Menteri Jajahan Welter. Selain itu dalam pengambilan suara, mosi yang diusung oleh kedua partai ini mengalami kekalahan dalam
pengumpulan suara, sehingga dapat dikatakan bahwa gagasan “Indonesia Berparlemen” ditolak oleh pemerintah tertinggi Belanda.
Ditolaknya gagasan aksi “Indonesia Berparlemen” yang dilakukan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 10 Februari 1940 dan kekalahan dalam
pemungutan suara dalam Twedee Kamer, membuat GAPI pada tanggal 5 Maret 1940 melancarkan manifesto yang menyatakan bahwa aksi “Indonesia
Berparlemen” merupakan soal yang serius, dan gagasan ini mempertaruhkan
kehormatan segenap bangsa Indonesia, oleh karenanya maka aksi ini perlu ditingkatkan dan bagaimanapun parlemen harus diteruskan sampai berhasil.
Manifesto ini didukung sepenuhnya oleh Parindra dan Paguyuban Pasundan. Setelah dibentuknya Panitia Parlemen Indonesia pada tanggal 23 Februari
194 0, aksi “Indonesia Berparlemen” segera dilanjutkan sebagai bentuk
keseriusan bahwa bangsa Indonesia ingin merdeka dan mandiri dalam mengatur negaranya sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah
Belanda. Meskipun aksi ini mendapatkan penolakan dari pemerintah Belanda, yang secara tidak langsung memperlihatkan kesan bahwa sebenarnya
pemerintah Belanda memang tidak ada keinginan sama sekali untuk memberikan kepercayaan dan wewenang politik kepada Indonesia untuk
menjadi negara yang merdeka dan dapat mengatur pemerintahannya sendiri, karena Belanda sendiri memang ingin menguasai mutlak Indonesia agar tetap
menjadi tanah jajahannya. Penolakan yang dilakukan oleh Belanda ini juga menyebabkan perubahan sikap dari pihak kooperatif yang awalnya bersikap
baik dan cenderung lunak kepada Belanda justru berubah sikap menjadi mulai tidak mempercayai pemerintah Belanda.
Pada tanggal 10 Mei 1940, ketika wilayah Belanda diduduki oleh tentara Nazi Jerman, para pemimpin Belanda melarikan diri ke London
Inggris. Mengetahui situasi demikian, rakyat Indonesia gembira, tetapi juga bersimpati kepada bangsa Belanda, sehingga ada kesediaan kerjasama antara
Indonesia dan Belanda dalam usaha penanggulangan masalah perang yang perlu ditingkatkan. Melihat kondisi Belanda yang demikian, justru Indonesia
harus berperan aktif dalam membantu Belanda, agar Indonesia mendapatkan kepercayaan yang lebih besar dari Belanda, sehingga bangsa Indonesia dapat
memperjuangkan tuntutannya untuk merdeka dan segera dibentuknya parlemen.
Meskipun wilayah Belanda diduduki oleh tentara Nazi Jerman, pengawasan pemerintah Belanda terhadap partai-partai dan organisasi-
organisasi politik Indonesia tidak mengendor. Semakin berkobarnya semangat bangsa Indonesia untuk menuntut kemerdekaan, semakin ketat pula
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda terhadap segala kegiatan yang dilakukan oleh partai-partai maupun organisasi-organisasi
politik. Gubernur Jendral Tjarda van Starkenborg-Stachouwer pada tanggal 15 Juni 1940 mengumumkan, bahwa Indonesia memasuki situasi berperang
sehingga mengharuskan dilarangnya partai-partai politik untuk berkumpul dan bersidang, dan apabila harus mengadakan sidang mereka harus mendapatkan
izin dari pemerintah setempat. Gubernur Jendral juga menegaskan bahwa segala macam rencana mengenai perubahan ketatanegaraan seperti yang
diperjuangkan oleh kaum nasionalis Indonesia harus ditunda dahulu hingga perang usai. Pernyataan tersebut jelas membuat rakyat Indonesia termasuk
pula kaum nasionalis kecewa. Apalagi rakyat Indonesia sudah banyak membantu pihak Belanda, seperti dengan menyerahkan sebagian derma sosial
yang dilakukan oleh pemuda-pemuda Suryawirawan dari Parindra Jawa Timur setiap tanggal 20 Mei untuk membantu dana perang Belanda.
Penolakan pemerintah Belanda terhadap tuntutan tersebut membuat rakyat Indonesia termasuk kaum nasionalis menjadi bosan dengan sikap
Belanda, karena sudah bisa ditebak apapun gagasan yang mereka usung demi masa depan Indonesia yang merdeka hasilnya akan sama saja, pemerintah
Belanda akan selalu menolaknya. Sikap Belanda tersebut juga semakin membuat jurang pemisah yang amat dalam antara pemerintah Belanda dengan
rakyat Indonesia. Kepercayaan rakyat Indonesia terhadap pemerintahan Belanda makin menipis, sehingga muncul pandangan baru bahwa tak ada
gunanya memohon dan menaruh harapan besar terhadap pemerintah kolonial, karena sampai kapanpun Belanda tak akan pernah mau menerima dan
mengabulkan tuntutan rakyat Indonesia. Sikap konservatif Belanda terhadap aspirasi-aspirasi nasional bangsa
Indonesia semakin menumbuhkan kesadaran akan solidaritas nasional dalam diri rakyat Indonesia. Hal ini jugalah yang membuat fokus utama dari kaum
nasionalis dalam menjalankan usahanya untuk memperjuangkan Indonesia menjadi negara yang merdeka yang awalnya ditujukan kepada pemerintah
Belanda, kini lebih difokuskan kepada rakyat Indonesia, yang tentu sangat mendukung gagasan mulia itu, karena rakyat Indonesia sangat menginginkan
Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat penuh.
C. Mengeluarkan Resolusi Perubahan Ketatanegaraan