tetapi Welter tidak memberikan solusi ke depannya ke arah perubahan ketatanegaraan Indonesia.
B. Terbentuknya Majelis Rakyat Indonesia
Harapan akan pembentukan parlemen di Indonesia semakin sirna setelah Ratu Belanda menyampaikan pidato kenegaraan. Dalam rangka
pengembangan gagasan mengenai perubahan ketatanegaraan, pidato radio Ratu Wilhelmina pada tanggal 10 Mei 1941 merupakan peristiwa yang
menarik
40
. Hal ini dikarenakan dalam pidatonya tersebut, Ratu menegaskan bahwa beliau membuka kesempatan yang seluas-luasnya mengenai harapan-
harapan serta gagasan-gagasan mengenai usaha untuk mencari penyesuaian terhadap perubahan situasi sekarang. Ratu juga menambahkan oleh karenanya
maka dibutuhkanlah harapan, keinginan, serta gagasan yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pertimbangan. Pada prinsipnya Ratu bersedia
mempertimbangkan penyesuaian struktur daerah seberang serta kedudukannya dalam kerajaan
41
. Pidato tersebut kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Jendral yang menyatakan bahwa seusai perang akan diadakan Konferensi Kerajaan
yang nantinya akan dihadari oleh berbagai unsur dari wilayah Kerajaan. Pidato Ratu Wilhelmina di London tersebut justru ditanggapai dengan
rasa kecewa dan apatis dari rakyat Indonesia, juga oleh kaum nasionalis. Segala aksi dan usaha untuk melaksanakan rancangan kerjasama dengan
pemerintah Belanda
menjadi sia-sia
dengan keluarnya
Soetardjo Kartohadikoesoemo dari Volksraad.
40
Sartono Kartodirdjo, op. cit, hlm. 194.
41
Idem.
Perang Dunia II menyebabkan situasi dunia menjadi semakin tak menentu, begitu dengan posisi Belanda di Indonesia menjadi semakin sulit.
Kesulitan inilah yang menyebabkan pemerintah Belanda harus bersiap-siap dengan segala kemungkinan yang ada. Dengan mendesaknya front perang ke
arah selatan antara lain pendudukan Indonesia oleh Jepang
42
, maka pemerintah kolonial Belanda mulai mengerahkan tenaga untuk mempertahankan
Indonesia. Adapun cara yang harus ditempuh oleh pemerintah adalah dengan membentuk tentara milisi bumiputera, hal ini dikarenakan kekuatan KNIL dan
Marine milik kerajaan tidak memadai sehingga harus dibentuk segera bantuan militer.
Pembentukan tentara milisi bumiputera sebenarnya pernah dibahas sejak tahun 1915 pada saat Perang Dunia I oleh kaum pergerakan nasional,
yaitu oleh Budi Utomo dan Sarekat Islam. Rencana milisi bumiputera pada waktu itu disebut dengan aksi “Indie Weerbar”, akan tetapi gagasan tersebut
pada akhirnya tidak jadi direalisasikan. Setelah Perang Dunia II meletus pemerintah Belanda sudah sangat terdesak untuk membentuk milisi
bumiputera guna membantu pemerintah kolonial Belanda dalam menghadapi serangan Jepang. Adapun yang melatarbelakangi gagasan dari pihak
pemerintah Belanda ini adalah untuk membantu memperkuat angkatan perang yang sudah ada tanpa harus menyediakan anggaran yang sangat besar. Oleh
karena itu munculah gagasan mengenai peraturan wajib bela Inheemse Militie yang dikenakan kepada rakyat Indonesia. Mobilisasi tentara
42
Ibid., hlm. 195.
bumiputera inipun hanya bersifat sementara saja, karena apabila perang telah usai milisi bumiputera akan dibubarkan. Pihak pemerintah kolonial juga hanya
membutuhkan tenaga sekitar lima sampai enam ribu saja. Rencana pembentukan milisi bumiputera ini akan dikemukakan oleh
pemerintah dalam sidang Volksraad yang diselenggarakan pada bulan Juni dan Juli tahun 1941. Rupanya gagasan dari pemerintah kolonial Belanda mengenai
pembentukan milisi bumiputera mendapat tanggapan keberatan dari pihak kaum nasionalis Indonesia yang kecewa dengan ditolaknya aksi pembentukan
parlemen oleh pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu pihak kaum nasionalis menyatakan bahwa mereka menolak gagasan mengenai milisi
bumiputera, seperti yang dilakukan oleh Parindra, salah satu anggota GAPI yang dalam kongresnya pada tanggal 29 hingga 30 Juni 1941 memutuskan
keberatan atas gagasan pemerintah kolonial Belanda mengenai pembentukan milisi bumiputera. Adapun alasan yang mendasari sikap keberatan ini adalah,
bahwa gagasan pembentukan milisi bumiputera yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dinilai sangat terlambat, karena baru muncul saat
situasi sudah genting
43
. Selain itu peraturan dalam sistem perekrutan anggota milisi bumiputera berbeda sekali dengan sistem perekrutan dalam wajib milisi
di Belanda, serta ada kemungkinan apabila nantinya para pemuda yang sudah menjadi anggota milisi justru ditugaskan di luar negeri, padahal Indonesia
sangat membutuhkan tenaga mereka. Juga dalam mengeluarkan gagasan tersebut, pemerintah kolonial tidak pula menindaklanjuti tuntutan rakyat
43
Slamet Muljana, op. cit, hlm 85.
Indonesia untuk segera dibentuknya parlemen. Sikap keberatan Parindra ini disampaikan oleh Soekardjo Wirjopranoto dalam sidang Volksraad, selain itu
beliau juga mengancam akan berhenti dari Dewan Rakyat apabila gagasan mengenai pembentukan milisi bumiputera dikabulkan oleh Dewan Rakyat.
Dalam sidang Volksraad yang membahas mengenai pembentukan milisi bumiputera, beberapa anggota seperti Parindra, Partai Islam Indonesia,
Paguyuban Pasundan, dan Gerindo menolak rancangan yang digagas oleh pemerintah tersebut. Hal tersebut disebabkan Volksraad tidak mempunyai hak
untuk menyetujui gagasan tersebut, karena yang dapat memutuskan gagasan tentang pembentukan milisi bumiputera adalah parlemen, dan sampai
kapanpun gagasan tersebut tak akan disetujui atau diputuskan selama tidak adanya parlemen. Bentuk penolakan yang dilakukan oleh kaum nasionalis
Indonesia ini dapat dianggap sebagai bentuk protes terhadap sikap pemerintah kolonial Belanda yang sebelumnya selalu menolak gagasan pembentukan
parlemen di Indonesia. Pada tanggal 4 Juli 1941 diadakan rapat Volksraad yang membahas
mengenai rencana ordonansi
44
milisi bumiputera. Dalam rapat tersebut Parindra tidak ikut serta sebagai bentuk protes mereka terhadap sikap
Volksraad, dan rupanya apa yang telah diperkirakan oleh Parindra terjadi juga, karena pada tanggal 11 Juli 1941, rencana ordonansi milisi bumiputera
disetujui oleh Volksraad, keputusan ini didapat berdasarkan hasil pemungutan suara yang dilakukan oleh anggota-anggota Volksraad.
44
Ordonansi, penyampai laporanperintah militer.
Keputusan Volksraad dengan mengabulkan gagasan pemerintah kolonial Belanda mendapat tanggapan dingin dari rakyat Indonesia. Selain itu
sebagai bentuk protes dan rasa kecewa akan keputusan Dewan Rakyat tersebut, semua organisasi nasional yang sejak awal memang menentang
pemerintah dan yang besikap kooperatif terhadap pemerintah mulai menjauhi pemerintah kolonial Belanda, juga dengan Volksraad. Seperti yang dilakukan
oleh Fraksi Nasional dan GNI yang membentuk Fraksi Nasional Indonesia Frani, yang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Aksi
lainnya seperti yang dilakukan oleh PPBB dan beberapa organisasi lain membentuk Indonesische Midden Groep Golongan Tengah Indonesia pada
tanggal 15 Juli 1941. Tujuan untuk mengadakan otonomi Indonesia dengan sistem ketatanegaraan demokrasi
45
. Bentuk sikap menentang lainnya terhadap pemerintah kolonial Belanda, adalah dengan tetap melancarkan program
GAPI, yaitu aksi “Indonesia Berparlemen”. Langkah yang harus dilaksanakan adalah dengan membentuk parlemen partikelir sebagai tandingan dari pseudo-
parlemen buatan pemerintah, yaitu Volksraad. Pembentukan parlemen partikelir yang digagas oleh GAPI dan kaum
nasionalis lainnya terjadi pada tanggal 13 hingga 14 September 1941 di Yogyakarta pada saat digelarnya Kongres Rakyat Indonesia. Kongres tersebut
menghasilkan pembentukan Majelis Rakyat Indonesia yang berasaskan demokrasi sebagai bentuk dari parlemen partikelir yang digagas oleh GAPI.
Selain badan konsentrasi nasional ini, organisasi lain yang terlibat di dalamnya
45
Sartono Kartodirdjo, op. cit, hlm. 189.
adalah MIAI Majlisul Islamil A’la Indonesia, PVPN Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri. Tujuan dari dibentuknya Majelis Rakyat Indonesia adalah
sebagai badan perwakilan rakyat Indonesia yang berlandaskan demokrasi yang memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Tugas dari Majelis Rakyat Indonesia
adalah mengadakan dan mengurus kongres-kongres, menyelenggarakan rapat- rapat umum, mempropagandakan program aksi “Indonesia berparlemen”, dan
mendengarkan aspirasi rakyat serta mengambil keputusan penting yang berdasarkan atas aspirasi rakyat tersebut.
Kepengurusan Majelis Rakyat Indonesia dipimpin oleh Dewan Pemimpin yang terdiri atas organisasi pendirinya, yaitu GAPI, MIAI, dan
PVPN. Sementara yang menjadi anggota dari majelis ini adalah semua organisasi di Indonesia yang telah mendapatkan persetujuan dari rapat
anggota. Dibentuknya Majelis Rakyat Indonesia ini mendapatkan sambutan baik dari berbagai pihak, seperti kaum nasionalis Indonesia dan termasuk pula
dari pihak pers yang menganggap bahwa pembentukan dari majelis ini merupakan pelopor dari parlemen Indonesia.
Pembentukan Majelis Rakyat Indonesia membuat pemerintah kolonial Belanda terganggu, karena desakan mengenai pembentukan parlemen tidak
hanya melalui Volksraad saja, tetapi juga melalui MRI. Hal itulah yang membuat pemerintah kolonial Belanda memilih untuk bersikap diam. Sikap
diam pemerintah itu justru membuat kaum nasionalis menjadi semakin jengkel, seperti yang ditunjukkan oleh Soekardjo Wirjopranoto pada tanggal
12 Agustus 1941. Soekardjo menyatakan bahwa segenap pikiran dan
tenaganya perlu dicurahkan untuk program aksi “Indonesia Berparlemen”, karena menurutnya, semua warga Indonesia wajib mengikuti program aksi
tersebut. Sikap Soekardjo ini mengundang amarah dari pihak pemerintah Belanda, dan yang menjadi sasaran kemarahan adalah Fraksi Nasional
Indonesia di Dewan Rakyat. Adapun alasan yang disampaikan oleh pihak pemerintah Belanda pada saaat sidang Volksraad adalah, dibentuknya Fraksi
Nasional Indonesia bukan semakin mempererat tali persatuan dan kesatuan, tetapi justru memecah belah karena tuntutan-tuntutan yang diusung oleh kaum
nasionalis tersebut. Situasi dunia yang semakin genting menyebabkan para kaum nasionalis
harus bergerak cepat dalam menjalankan aksinya. Oleh karena itu pada tanggal 16 November 1941, Dewan Pemimpin MRI dengan anggotanya yang
berjumlah 15 orang mengadakan rapat, dan rapat tersebut menghasilkan keputusan agar Dewan Pemimpin segera melaksanakan pemilihan 3 orang
yang nantinya akan menduduki jabatan dalam Pengurus Harian Dewan Pemimpin. Pemilihan ini dilakukan hingga menjelang Kongres Majelis Rakyat
Indonesia yang diselenggarakan pada bulan Mei 1942. Tujuan dari diselenggarakannya Kongres Majelis Rakyat Indonesia adalah untuk semakin
memperkuat dan mematangkan program aksi “Indonesia Berparlemen”. Dalam pemilihan tersebut akhirnya terpilihlah Mr. Sartono sebagai ketua,
Soekardjo Wirjopranoto sebagai penulis, dan Atik Suardi sebagai bendahara. Ketika kaum nasionalis sedang berusaha keras melaksanakan strategi
agar segera dibentuknya parlemen, pemerintah kolonial Belanda justru tidak
memfokuskan diri pada aksi tersebut, hal ini dikarenakan fokus utama pemerintah kolonial Belanda saat itu adalah situasi dunia internasional saat
Perang Dunia II berlangsung. Belanda khawatir terhadap strategi yang akan dilakukan oleh Jepang, menyusul akan kegagalan perundingan antara
Indonesia dengan Jepang. Melihat situasi yang sudah sedemikian genting, kemungkinan besar bisa saja Jepang menyerang Belanda dan Inggris secara
tiba-tiba, sehingga mereka bisa dengan mudah menguasai wilayah jajahan milik Belanda dan Inggris. Oleh karena itu salah satu persiapan yang
dilakukan untuk menangkal serangan Jepang adalah seperti yang dilakukan oleh Inggris dengan mempersiapkan kapal perang Prince of Wales dan
Reapulse di pesisir Singapura. Pada tanggal 7 Desember 1941 angkatan udara perang Jepang telah
berhasil menyerang pangkalan militer milik Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawai. Penyerangan sepihak yang dilakukan oleh Jepang tersebut
menyebabkan kekuatan militer Amerika Serikat yang awalnya sudah terkonsentrasikan
dalam menghadapi
Perang Dunia
II tiba-tiba
diluluhlantahkan oleh Angkatan Udara Jepang dalam sekejap. Dua hari pasca penyerangan yang dilakukan oleh Jepang di pangkalan milter Amerika Serikat
di Pearl Harbour, hal yang paling dikhawatirkan oleh Belanda akhirnya terjadi. Melalui radio Tokyo, Jepang mengklaim sudah berhasil menduduki
kota Bharu di pantai Timur Malaya. Pada tanggal 11 Desember 1941, Jepang berhasil pula menenggelamkan kapal perang milik Inggris, yaitu Prince of
Wales dan Reapulse yang dilakukan oleh Kamikaze Jepang Barisan Berani Mati, yang berhasil masuk melalui cerobong kapal.
Hal-hal yang telah dilakukan oleh Jepang tersebut menyebabkan pemerintah kolonial Belanda menjadi semakin gusar. Belum lagi dengan
strategi-strategi cerdik Jepang yang telah berhasil menarik hati rakyat Indonesia, seperti dengan menyatakan bahwa mereka adalah saudara tua
Indonesia yang datang dari timur jauh untuk membebaskan Indonesia dari penderitaan karena lama dijajah oleh Belanda, belum lagi Jepang selalu
memutar lagu Indonesia Raya di Radio Tokyo, hal inilah yang menjadikan Jepang mendapatkan banyak simpati dari rakyat Indonesia.
Berbeda dengan Jepang yang memperoleh simpati dari rakyat Indonesia, Belanda justru mendapat sikap antipati dari rakyat Indonesia. Sikap
demikian didasarkan atas pengalaman-pengalaman mengenai perilaku dan sikap pemerintah kolonial yang cenderung menindas rakyat Indonesia, belum
lagi dengan sikap dingin pemerintah terhadap perjuangan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia juga oleh kaum nasionalis. Meskipun dalam perjuangannya
mendapatkan tentangan dari pemerintah Belanda, pada akhirnya tanggal 13 Desember 1941, GAPI dan MRI mengeluarkan manifesto mengenai kesetiaan
kedua badan tersebut kepada pemerintah kolonial Belanda. Sikap demikian berbeda dengan sikap kedua badan tersebut setelah seringnya mendapat
penolakan dari pihak pemerintah kolonial Belanda mengenai program aksi “Indonesia Berparlemen”.
Di saat situasi semakin genting pada tanggal 25 Desember 1941 Abikoesno selaku salah satu petinggi GAPI dan MRI mengundurkan diri dari
kedua badan politik tersebut. Adapun alasan yang melatarbelakangi dari keluarnya dia adalah mengenai sikap dari Mr. Sartono dan Soekardjo yang
sudah bertindak tidak sesuai dengan aturan-aturan GAPI dan MRI yang dibuat sebelumnya
46
. Akibatnya dalam situasi yang tidak kondusif justru terjadi perpecahan di GAPI dan MRI yang seharusnya dapat memanfaatkan
momentum saat pihak pemerintah kolonial Belanda dalam kondisi terjepit, akibat ancaman akan ekspansi Jepang ke Indonesia.
46
A. K. Pringgodigdo, op. cit, hlm. 151.
BAB V KESIMPULAN