Alasan atau Motivasi untuk Tidak Memaafkan dan Memaafkan

12 McCullough dan koleganya 1998 mengidentifikasikan dua motivasi yang mendasari adanya keputusan untuk memaafkan adalah menjauhi dan balas dendam. Ketika seseorang merasa tersakiti, biasanya ia akan menjaga jarak atau menjauh secara fisik dan psikologis atau mencari ganti rugi atas perbuatan tersebut dengan berharap adanya pembalasan terhadap orang yang menyakitinya. Lalu ketika memutuskan untuk memaafkan, tidak akan ada lagi kebutuhan untuk menjauhi atau mencari pembalasan atas perlakukan jahat yang dialami korban. Pembagian aspek ini juga turut dinyatakan oleh penulis yang menemukan bahwa memaafkan sebagai suatu set perubahan motivasi dari seseorang yang menjadi: a Menurunnya motivasi membalas perlawanan dengan menyerang partner dalam hubungan tersebut, b Menurunnya motivasi untuk menghindari pelanggar, dan c Meningkatnya motivasi akan penerimaan, dan ada keinginan untuk rekonsiliasi walaupun perilaku pelanggar membahayakan.

2. Alasan atau Motivasi untuk Tidak Memaafkan dan Memaafkan

Dalam kondisi tersakiti atau terluka, akan muncul motivasi untuk mengembalikan rasa sakit tersebut ke pelanggar. Donnelly 1979 mengemukakan ada 6 alasan seseorang tidak memaafkan, yaitu 1 seseorang memilih untuk tidak memaafkan karena kejadian yang menyakitkan baru dialami dan peristiwa tersebut terlalu mendalam, 2 Seseorang tidak memaafkan karena masih menyimpan kemarahan, kecemburuan, dan kebencian, 3 Seseorang tidak memaafkan karena ingin 13 atau berencana untuk membalas dendam, 4 Seseorang tidak memaafkan karena lingkungan sosial tidak melakukan perilaku memaafkan saat mengalami hal yang menyakitkan juga, 5 Seseorang tidak memaafkan karena ada cara lain yang lebih mudah, dan 6 Seseorang tidak memaafkan karena ada kaitannya dengan harga diri. Disisi lain, McCullough 2007 menjelaskan adanya motivasi untuk memaafkan oleh korban biasanya didasari oleh sifat yang peduli. Seseorang lebih siap untuk memaafkan seseorang yang kepada siapa ia merasa dekat dan ia mengetahui untuk siapa ia memberikan rasa empati. Lalu, adanya nilai yang diharapkan terhadap suatu hubungan bisa menjadi motivasi seseorang untuk memaafkan. Ketika seseorang memiliki harapan yang positif untuk sebuah interaksi sosial yang akan datang, maka otak memberi sinyal akan adanya imbalan atau keuntungan yang akan datang. Motivasi ketiga yaitu perasaan aman. Seseorang lebih siap memaafkan orang lain yang mereka percaya, dan kurang bisa memaafkan orang yang menyakitinya secara mendalam karena lebih berbahaya. Memaafkan juga memiliki hubungan dengan tipe kepribadian. Ada empat kepribadian yang digunakan untuk memprediksi perilaku memaafkan, yaitu neurosis, ramah, narsistik, dan relijius. Kepribadian yang neurosis, membuat serangan-serangan kepada dirinya menjadi lebih parah. Kepribadian yang ramah lebih mudah untuk merasakan empati dan percaya pada orang yang menyakitinya. Narsistik adalah variabel kepribadian lain yang memiliki asosiasi negatif dengan memaafkan. 14 Setelah ada pelanggaran, individu ini lebih meminta adanya hukuman dan pergantian untuk memaafkan Exline, Baumeister, Campbell, Finkel, 2004. Memaafkan lebih memiliki relasi konsisten dengan skala yang tinggi pada pribadi yang relijius. Pribadi yang relijius lebih memiliki motivasi untuk memaafkan. Ohbuci Takada 2001 mengatakan bahwa didalam diri manusia, ada dua motivasi yang mendorong seseorang untuk memaafkan, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi Intrinsik meliputi personal belief, Self-ideal, rasa bersalah, dan empati. Personal belief ini adalah seseorang yang memiliki kepercayaan untuk menentang pembalasan dendam dan hukuman, contohnya ia akan mengatakan “Kita seharusnya tidak menyakiti orang lain walau a papun alasannya”. Self-ideal adalah sebuah harapan untuk menjadi orang yang murah hati. Rasa bersalah disebabkan oleh persepsi seseorang yang mengambil bagian untuk bertanggung jawab dengan suatu konflik. Terakhir, empati adalah perspektif dan rasa kasihan dalam memahami keadaan yang dialaminya. Motivasi intrinsik ini tidak mengharapkan adanya eksternal rewards, tapi hanya mendapatkan internal rewards seperti perasaan akan kepuasaan atau harga diri. Setelah memaafkan, korban tidak memiliki kemarahan yang besar atau penyerangan pada orang yang menyakitinya. Kedua, motivasi ekstrinsik adalah memaafkan seseorang dengan adanya harapan eksternal rewards. Motivasi Ekstrinsik ini meliputi ketakutan akan penyerangan, Menjaga suatu hubungan, dan Koherensi 15 grup. Ketakutan akan penyerangan ini maksudnya seorang korban menahan diri untuk membalas penyerang karena ia takut menerima pembalasan lagi oleh lawannya tersebut. Pada motivasi ini, reward yang diharapkan adalah agar konflik tidak semakin membesar. Menjaga suatu hubungan adalah menahan diri dari pembalasan dendam karena takut mendapatkan hukuman berupa rasa tertolak dan tidak disukai oleh orang lain, dan harapannya adalah tetap menjaga hubungan baik. Kemudian, motivasi dengan koherensi grup adalah memaafkan seseorang yang telah menyakitinya dikarenakan ia mempedulikan akan reaksi dari orang lain daripada reaksinya sendiri. Jika korban dan pelaku tergabung dalam 1 kelompok, korban akan mengaitkan konflik dengan orang lain dalam kelompok tersebut dan hal itu justru akan mengancam ikatan dalam kelompok. Dalam perilaku memaafkan ini, reward yang diharapkan adalah menjaga keharmonisan sosial. Dalam motivasi ekstrinsik ini, korban tidak benar-benar rela untuk memaafkan, dan ia masih memiliki rasa marah dengan menunjukkan permusuhan terhadap orang yang menyakitinya.

3. Proses Memaafkan