15
grup. Ketakutan akan penyerangan ini maksudnya seorang korban menahan diri untuk membalas penyerang karena ia takut menerima
pembalasan lagi oleh lawannya tersebut. Pada motivasi ini, reward yang diharapkan adalah agar konflik tidak semakin membesar. Menjaga suatu
hubungan adalah menahan diri dari pembalasan dendam karena takut mendapatkan hukuman berupa rasa tertolak dan tidak disukai oleh orang
lain, dan harapannya adalah tetap menjaga hubungan baik. Kemudian, motivasi dengan koherensi grup adalah memaafkan
seseorang yang telah menyakitinya dikarenakan ia mempedulikan akan reaksi dari orang lain daripada reaksinya sendiri. Jika korban dan pelaku
tergabung dalam 1 kelompok, korban akan mengaitkan konflik dengan orang lain dalam kelompok tersebut dan hal itu justru akan mengancam
ikatan dalam kelompok. Dalam perilaku memaafkan ini, reward yang diharapkan adalah menjaga keharmonisan sosial. Dalam motivasi
ekstrinsik ini, korban tidak benar-benar rela untuk memaafkan, dan ia masih memiliki rasa marah dengan menunjukkan permusuhan terhadap
orang yang menyakitinya.
3. Proses Memaafkan
Menurut North dalam Enright North, 2010, ada beberapa tahap-tahap yang dilakukan seseorang dalam memaafkan yaitu:
Mengalami atau mengetahui adanya perasaaan negatif yaitu kemarahan, kegusaran, kebencian, kepahitan, dan lain-lain. Hal ini mungkin direpress
16
atau tidak penuh diakui untuk beberapa alasan. Akan tetapi, dengan pengakuan dan kesadaran terhadap perasaan dan kebenaran tersebut
merupakan suatu proses esensial untuk diproses. Kedua, adanya tuntutan akan keadilan, hukuman, dan ganti rugi yang dilakukan untuk mengurangi
emosi negatif korban. Ketiga, Korban masih menunjukkan rasa permusuhan terhadap
pelanggar. Namun, disini korban mulai terbuka untuk memaafkan dengan membebaskan perasaan negative tersebut sebagai cara untuk memulihkan
dirinya. Untuk memaafkan, korban melihat diluar dirinya terhadap pelaku. Lalu, korban mungkin memegang moral atau kewajiban agama untuk
memaafkan pelaku manusia bermoral atau sebagai seorang yang diciptakan Tuhan. Hal ini bisa menjadi jenis tuntutan impersonal
Impersonal claim yang mendukung korban untuk memaafkan, contohnya adalah saya harus memaafkan pelaku karena sebagai seorang yang
bermoral, pelaku juga memerlukan rasa hormat dan pertimbangan dari saya”. Disisi lain, korban menggunakan tuntutan akan hubungan personal
personal claim dalam pengampunannya. Maksudnya korban mungkin memiliki hubungan yang dekat dengan pelaku, misalnya pelaku dan
korban memliki hubungan darah atau perkawinan, dan hubungan tersebut bisa menjadi alasan untuk memaafkan yang harus diusahakan.
Dari motivasi tersebut, akan muncul hasrat untuk memaafkan. Disini korban mengakui bukan adanya keharusan ia memaafkan tapi ia
berkeinginan untuk memaafkan. Korban merasakan emosi yang lebih
17
positif terhadap pelaku, seperti belas kasihan, memahami, atau mengasihi pelaku. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan pelaku juga merasakan
adanya penyesalan dan hasrat untuk mendapatkan pengampunan. Tahap selanjutnya, korban mengambil keputusan untuk memaafkan. Korban
berusaha memahami keadaan, latar belakang, dan perasaan pelaku. Dengan kata lain, korban memisahkan antara pelaku dari pelanggaran
yang telah dilakukannya. Kemudian, adanya ekspresi dari memaafkan korban untuk pelaku.
Seringnya terjadi hubungan baik kembali antara pelaku dan korban, misalnya dengan bersalaman cukup menjadi indikasi seseorang telah
memaafkan. Bisa juga, korban mengatakan ke orang lain bahwa ia telah memaafkan pelaku. Terakhir, perasaaan negatif menghilang dan terganti
menjadi emosi yang positif terhadap pelaku. Memaafkan adalah secara prinsipan adanya perubahan internal dari hati dan pikiran, bahkan secara
langsung ke orang lain. Proses yang dikemukakan North ini adalah proses memaafkan yang ideal. Ia juga mengatakan bahwa setiap tahap ini tidak
selalu dialami oleh korban secara nyata dalam Enright North, 2010. Model proses memaafkan yang lain dikemukakan oleh
Fitzgibbons’s dalam Enright North, 2010 menjelaskan proses-proses ini harus terjadi agar seseorang sampai dapat memaafkan. Model empat
tahap ini meliputi 1 fase pembukaan uncovering yaitu seseorang benar- benar merasakan seberapa besar rasa sakit emosional atau marah atas
perlakuan tidak adil terhadapnya, 2 fase pengambilan keputusan
18
decision, ketika korban cukup menderita atas konsekuensi dari kejadian marah, mereka akan termotivasi untuk melakukan sesuatu untuk
mengurangi penderitaan yang dialami. Motivasi untuk memaafkan ini dapat dinpengaruhi oleh kondisi kultur, dukungan dari keluarga, teman,
dan kelompok sosial, serta ajaran agama atau filosofi. 3 fase tindakan working on forgiveness, di mana ada ada usaha pembentukan perpektif
yang baru, bertambahnya pemahaman, dan membangun perasaan, pikiran, dan perilaku yang positif terhadap pelaku, dan 4 fase hasil outcome or
deepening phase, di mana korban memperoleh pembebasan emosi, kelegaan, menemukan sebuah tujuan baru dalam hidup.
Dari kedua model proses memafkan ini, tampak bahwa kunci dari memaafkan adalah proses yang disimpulkan menurut Wade, Johnson, and
Meyer 2008 yang terdiri dari 2 proses. Pertama, seseorang menurunkan tingkat pikiran, perasaan, dan perilaku negatif pada diri sendiri. Kemudian
yang kedua adalah seseorang meningkatkan pikiran, perasaan, dan perilaku positif. Meskipun Wade dll 2008 memasukkan perubahan
perilaku dalam suatu kriteria dalam memafkan, pengarang terdahulu mengatakan bahwa memafkan hanya perubahan kognisi dan emosi.
Pendapat ini juga mengatakan bahwa memperbaiki hubungan yang rusak bukan termasuk konsep dari memaafkan.
19
4. Dampak Memaafkan