Teknik Pengumpulan Data Analisa Data

26 h. Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. i. Peraturan menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor I Tahun 1999, Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, Bab I j. Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA006SKBVII1987 Nomor M-04-PR.08.05 Tahun 1987 Tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan diri Notaris. k. Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 Tentang KeNotarisan l. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.13-HT.03.10 Tahun 1993 Tentang Pembinaan Notaris b. Bahan hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer berupa buku-buku yang berhubungan dengan obyek yang diteliti. c. Bahan hukum tersier, yakni yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus besar hukum bahasa Indonesia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara library research dan field research yaitu: a. Studi Dokumen yaitu yang terdiri dari bahan hukum yang berkaitan dengan Universita Sumatera Utara 27 hukum agraria dan Hukum Perjanjian dibidang kenotariatan yang ditunjang dengan bahan hukum lainnya. b. Wawancara yaitu dengan melakukan Tanya jawab serta langsung dengan membuat daftar pertanyaan yang sudah direncanakan dengan nara sumber yaitu 1 satu orang Hakim Pengadilan Negeri Tingkat I Medan, 1 satu Majelis Pengawas Daerah, Notaris yang berkedudukan di Deli Serdang, dan Notaris yang berkedudukan di Medan.

4. Analisa Data

Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka dianalisis secara kualitatif yaitu data yang diperoleh melalui penelitian lapangan maupun penelitian kepustakaan kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif, data kemudian dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan kemudian secara induktif ditarik kesimpulan. 38 Metode penarikan kesimpulan yang dipakai adalah metode deduktif dan induktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diperoleh akan dijadikan pedoman untuk menjawab permasalahan dalam analisa tinjauan yuridis terhadap resiko dari Akta- Akta yang dibuat Notaris dibidang pertanahan. Dengan metode induktif, data primer yang diperoleh setelah dihubungkan dengan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan perjanjian yang dituangkan dalam Akta Notaris sehingga dapat ditarik kesimpulanya. 38 Romy Hanitidjo Soemitro, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali, 1984, hal 119 Universita Sumatera Utara 28

BAB II USAHA YANG DAPAT DILAKUKAN NOTARIS DALAM MENCEGAH

TERJADINYA PENGINGKARAN OLEH PARA PIHAK DALAM AKTA NOTARIS

A. Karakter Akta Notaris 1.

Pengertian Akta Notaris Menurut S. J. Fachema Andreae, kata Akta berasal dari bahasa latin “acta” yang berarti “geschrift” atau surat. 58 Sedangkan menurut R. Subekti dan R. Tjitro Sudibio, kata Akta berasal dari kata “acta” yang merupakan bentuk jamak dari kata “actum”, yang berasal dari bahasa latin yang berarti peraturan-peraturan. 39 Jika disimpulkan, maka terdapat beberapa pendapat yang mendefinisikan Akta, antara lain : 1. Menurut A. Pitlo, seorang ahli hukum, mengemukakan bahwa Akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan siapa surat itu dibuat. 2. Menurut Sudikno Mertokusumo, Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. 40 3. Menurut Prof. R. Subekti SH, Akta adalah suatu tulisan yang memang dengan 39 Suharjono, “Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum”, Varia Peradilan Tahun XI Nomor 123 Desember 1995 : hal. 128 40 Mertokusumo, op.cit. hal 116 28 Universita Sumatera Utara 29 sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. 41 Dari beberapa pengertian mengenai Akta yang diatas, jelaslah bahwa tidak semua surat dapat disebut suatu Akta, melainkan hanya surat-surat tertentu yang memenuhi beberapa syarat tertentu saja yang dapat disebut Akta. Adapun syarat yang harus dipenuhi agar suatu surat disebut Akta adalah: 42 1. Surat itu harus ditanda tangani. Keharusan ditanda tangani sesuatu surat untuk dapat disebut Akta ditentukan dalam pasal 1869 jo.1874 KUHPerdata. Tujuan dari keharusan ditanda tangani itu untuk memberikan ciri atau untuk mengindividualisasi sebuah Akta yang satu dengan Akta yang lainnya, sebab tanda tangan dari setiap orang mempunyai ciri tersendiri yang berbeda dengan tanda tangan orang lain. Dan dengan penanda-tangannya itu seseorang dianggap menjamin tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam Akta tersebut. 2. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan. Jadi surat itu harus berisikan suatu keterangan yang dapat menjadi bukti yang dibutuhkan, dan peristiwa hukum yang disebut dalam surat itu haruslah merupakan peristiwa hukum yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan.

2. Akta Notaris Sebagai Akta Otentik