Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta PPAT Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst)

(1)

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN

AKTA PPAT

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst)

TESIS

Oleh

ALDI SUBHAN LUBIS 077011004/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN

AKTA PPAT

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst)

TESIS

(Disusun Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara)

Oleh

ALDI SUBHAN LUBIS 077011004/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN AKTA PPAT (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst)

Nama Mahasiswa : Aldi Subhan Lubis Nomor Pokok : 077011004

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Sanwani Nasution, SH Ketua

Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum Chairani Bustami, SH, SpN, MKn Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum


(4)

Telah Diuji

Pada tanggal : 19 Januari 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Sanwani Nasution, SH Anggota : Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum

Chairani Bustami, SH, SpN, MKn Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Chadidjah Dalimunthe, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah seorang pejabat umum yang diberi wewenang oleh pemerintah untuk membuat suatu akta otentik berupa akta peralihan hak atas tanah dan pembebanan hak atas tanah. Akan tetapi masih banyak ditemukan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pejabat umum khususnya dalam pembuatan akta jual beli melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum. Hal ini disebabkan karena dalam membuat suatu akta jual beli Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut menggunakan surat kuasa yang diberikan oleh salah satu pihak, yang mana surat kuasa tersebut merupakan surat kuasa mutlak. Hal ini jelas bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak. Berdasarkan uraian di atas akan dikaji bagaimana peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak, bagaimana tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pembuatan akta PPAT, bagaimana akibat hukum terhadap akta PPAT yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah secara melawan hukum.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan cara meneliti bahan hukum pustaka, dilengkapi dengan pendekatan deskriptif analisis, di samping itu untuk mendukung hasil penelitian ini maka dilakukan penelitian lapangan dengan wawancara kepada narasumber.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, bahwa peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak diperlukan adanya ketelitian dan kecermatan dari seorang pejabat pembuat akta tanah apakah kuasa tersebut termasuk dalam kuasa mutlak atau tidak. Karena hal ini jelas bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak. Sedangkan yang menjadi tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta PPAT dapat berupa tanggung jawab yang diakibatkan karena perbuatan yang timbul dengan adanya kesengajaan atau kelalaian baik sebelum membuat akta, pada saat pelaksanaan membuat akta, maupun sesudah membuat akta. Dengan demikian akibat hukum terhadap akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah secara melawan hukum dapat menyebabkan akta jual beli tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan Pasal 1320 ke-4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kata kunci : Pejabat Pembuat Akta Tanah, Perbuatan melawan hukum, Akta PPAT


(6)

ABSTRACT

Constructor officials Land Act is a public official who is authorized by the government to create an authentic act of the deed transfer of land and the imposition of land rights. However, many found a land deed official maker in carrying out their duties and responsibilities as public officials, especially in the purchase and sale deed for it to act against the law that resulted in such act null and void. This is because in making a purchase and sale deed Deed Land Officer makers are using a power of attorney given by one party, in which a power of attorney is an absolute power of attorney. This is clearly contrary to the instructions of the Minister of Home Affairs No. 14 of 1982 dated March 6, 1982 on the Prohibition of Use of Absolute Power. Based on the above descriptions will be examined how the role of officials in the Land Deed Builders transitional land rights with the absolute power, how the responsibility of the Land Act Officer makers in the manufacture of PPAT deed, what the legal consequences of PPAT deed made by the Acting Land Deed Builders unlawfully.

This research is a normative legal research materials by examining the law library, complete with descriptive analysis approach, in addition to supporting the results of this research is conducted field research with interviews to the interviewees.

Thus, it can be concluded, that the role of officials in the Land Deed Builders transitional land rights with the power of the absolute necessity of precision and accuracy of an official certificate of the land if the manufacturer is included in the power of absolute power or not. Because this is clearly contrary to the instructions of the Minister of Home Affairs No. 14 of 1982 dated March 6, 1982 on the Prohibition of Use of Absolute Power. While the officials responsible for the Deed Land maker who did it against the law in PPAT deed can be a liability resulting from acts that arise with the intent or negligence both before making the deed, at the time of execution of a deed, and after making the deed. Thus the legal consequences of the deed drawn up before the Land Act Officer maker unlawfully cause the certificate of sale null and void as contrary to Article 4 of the 1320 Book of the Law of Civil Law.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan hidayah-Nya, tesis ini telah selesai penulis susun dengan baik.

Penulis menyadari bahwa mulai dari persiapan sampai penulisan tesis ini penulis sangat berhutang budi kepada semua pihak yang telah membimbing, mengarahkan, memberi dorongan semangat dan sumbangan pemikiran lain yang sangat berharga kepada penulis. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada yang amat terpelajar Bapak Prof. Sanwani Nasution, SH, Bapak Syafnil Gani, SH, M.Hum, dan Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku komisi pembimbing yang dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih ditujukan juga kepada yang terhormat dan terpelajar, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Ibu Chadidjah Dalimunthe, SH, MHum, yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P.Lubis, DTM&H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk


(8)

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktris sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para asisten Direktris serta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Pada Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.

6. Para pegawai/karyawan pada program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Kepada keluarga om dan tante yaitu Prof. Dr. Ediwarman, SH, M.Hum dan Jasmi Rivai, SH, yang telah memberikan dukungan, motivasi dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Para sahabat yang berbaik hati, yaitu Debora, Kak Ema, Era, Lia, Adam Malik Harahap, ST, Agung Pribadi Zulkarnaen, SE, Ak, M. Reza Syahputra, Iskandar


(9)

Mulia Nasution, AMd, Agung Pranoto, AMd, Safran, SH, Ridwan, SH, Fahmi Riza, SH dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu

yang telah banyak memberikan support kepada penulis selama masa pendidikan. Suatu rasa kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Dahri Lubis dan Ibunda Hj. Chairani Nasution, Nenekku tersayang Nurmala Lubis, serta abang dan adik-adik penulis yakni Nurcholis Anhari Lubis, Ikhsan Damhuri Lubis, ST, Fauzi Ilham Lubis, dan adikku Chairida Maysaroh Lubis, SE, yang telah memberikan doa dan perhatian yang cukup besar selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Serli Dwi Warmi, SH yang selama ini telah memberikan semangat dan doa serta

dorongan agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan yang sangat berharga ini dengan baik.

Akhirnya penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa tesis ini

tidak luput dari ketidak sempurnaan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata. Namun demikian besar harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca umumnya. Amin ya Robbal Alamin.

Medan, Desember 2009 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Aldi Subhan Lubis Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 2 Januari 1983

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Bilal Ujung Gg. Mesjid No. 38 C Medan

II. KELUARGA

Nama Ayah : Dahri Lubis

Nama Ibu : Hj. Chairani Nasution Nama Saudara Kandung : 1. Nurcholis Anhari Lubis

2. Ikhsan Damhuri Lubis, ST 3. Fauzi Ilham Lubis

4. Chairida Maysaroh Lubis, SE III. PENDIDIKAN

- SD : Tahun 1990 s/d 1996

SD Swasta Pertiwi – Medan - SLTP : Tahun 1996 s/d 1999

SLTP Negeri 7 – Medan

- SMU : Tahun 1999 s/d 2002

SMU Swasta Dharmawangsa – Medan - Perguruan Tinggi/S1 : Tahun 2002 s/d 2007

Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara - Medan


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penulisan... 11

F. KerangkaTeori dan Konsep ... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Kerangka Konsepsional ... 21

G. Metode Peneltian ... 21

1. Spesifikasi Penelitian ... 21

2. Metode Pendekatan ... 23

3. Alat Pengumpulan Data ... 24

4. Prosedur Pengambilan Data dan Pengumpulan Data ... 24

5. Analisis Data ... 25

BAB II PERANAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH DENGAN ADANYA KUASA MUTLAK... 26

A. Latar Belakang Timbulnya Peralihan Hak Atas Tanah ... 26

1. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat ... 26

2. Jual Beli Tanah Menurut UUPA ... 34


(12)

BAB III TANGGUNG JAWAB PPAT YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN

AKTA PPAT ... 67

A. Tinjauan Tentang PPAT... 67

1. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah ... 67

2. Fungsi dan Tanggung Jawab PPAT ... 73

3. Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT... 73

B. Tanggung Jawab Profesi PPAT ... 75

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA YANG DIBUAT DIHADAPAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH SECARA MELAWAN HUKUM ... 86

A. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)... 86

B. Perbuatan Melawan Hukum... 92

C. Akibat Hukum Terhadap Akta yang Dibuat Dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah Secara Melawan Hukum ... 103

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 110 LAMPIRAN


(13)

ABSTRAK

Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah seorang pejabat umum yang diberi wewenang oleh pemerintah untuk membuat suatu akta otentik berupa akta peralihan hak atas tanah dan pembebanan hak atas tanah. Akan tetapi masih banyak ditemukan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pejabat umum khususnya dalam pembuatan akta jual beli melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum. Hal ini disebabkan karena dalam membuat suatu akta jual beli Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut menggunakan surat kuasa yang diberikan oleh salah satu pihak, yang mana surat kuasa tersebut merupakan surat kuasa mutlak. Hal ini jelas bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak. Berdasarkan uraian di atas akan dikaji bagaimana peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak, bagaimana tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pembuatan akta PPAT, bagaimana akibat hukum terhadap akta PPAT yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah secara melawan hukum.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan cara meneliti bahan hukum pustaka, dilengkapi dengan pendekatan deskriptif analisis, di samping itu untuk mendukung hasil penelitian ini maka dilakukan penelitian lapangan dengan wawancara kepada narasumber.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, bahwa peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak diperlukan adanya ketelitian dan kecermatan dari seorang pejabat pembuat akta tanah apakah kuasa tersebut termasuk dalam kuasa mutlak atau tidak. Karena hal ini jelas bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak. Sedangkan yang menjadi tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta PPAT dapat berupa tanggung jawab yang diakibatkan karena perbuatan yang timbul dengan adanya kesengajaan atau kelalaian baik sebelum membuat akta, pada saat pelaksanaan membuat akta, maupun sesudah membuat akta. Dengan demikian akibat hukum terhadap akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah secara melawan hukum dapat menyebabkan akta jual beli tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan Pasal 1320 ke-4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kata kunci : Pejabat Pembuat Akta Tanah, Perbuatan melawan hukum, Akta PPAT


(14)

ABSTRACT

Constructor officials Land Act is a public official who is authorized by the government to create an authentic act of the deed transfer of land and the imposition of land rights. However, many found a land deed official maker in carrying out their duties and responsibilities as public officials, especially in the purchase and sale deed for it to act against the law that resulted in such act null and void. This is because in making a purchase and sale deed Deed Land Officer makers are using a power of attorney given by one party, in which a power of attorney is an absolute power of attorney. This is clearly contrary to the instructions of the Minister of Home Affairs No. 14 of 1982 dated March 6, 1982 on the Prohibition of Use of Absolute Power. Based on the above descriptions will be examined how the role of officials in the Land Deed Builders transitional land rights with the absolute power, how the responsibility of the Land Act Officer makers in the manufacture of PPAT deed, what the legal consequences of PPAT deed made by the Acting Land Deed Builders unlawfully.

This research is a normative legal research materials by examining the law library, complete with descriptive analysis approach, in addition to supporting the results of this research is conducted field research with interviews to the interviewees.

Thus, it can be concluded, that the role of officials in the Land Deed Builders transitional land rights with the power of the absolute necessity of precision and accuracy of an official certificate of the land if the manufacturer is included in the power of absolute power or not. Because this is clearly contrary to the instructions of the Minister of Home Affairs No. 14 of 1982 dated March 6, 1982 on the Prohibition of Use of Absolute Power. While the officials responsible for the Deed Land maker who did it against the law in PPAT deed can be a liability resulting from acts that arise with the intent or negligence both before making the deed, at the time of execution of a deed, and after making the deed. Thus the legal consequences of the deed drawn up before the Land Act Officer maker unlawfully cause the certificate of sale null and void as contrary to Article 4 of the 1320 Book of the Law of Civil Law.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah bagi manusia memiliki kedudukan yang sangat penting dimana tanah merupakan kebutuhan primer, hal ini disebabkan karena segala aktivitas manusia dilaksanakan di atas tanah. Hak atas tanah dapat diperoleh melalui salah satunya dengan cara jual beli. Manusia dengan tanah mempunyai hubungan bersifat abadi, karena manusia sebagai makhluk sosial sekaligus pemilik tanah tidak bisa berbuat semana-mena mempergunakan hak atas tanah tanpa memperhatikan kepentingan orang lain yang melekat pada haknya yang berfungsi sosial, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 6 Undang-undang pokok agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang menyatakan :

“Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang antara lain berarti bahwa kepentingan bersamalah yang harus didahulukan, kepentingan perseorangan harus tunduk pada kepentingan umum”.

Mengingat kebutuhan akan tanah bagi masyarakat Indonesia maupun masyarakat asing yang ada di Indonesia masih sangat tinggi, maka harus ditingkatkan jaminan kepastian hukum dalam penguasaan tanah. Dengan kata lain meningkat pula kebutuhan dukungan berupa jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan.


(16)

Berkaitan dengan itu Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 telah memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum. Menurut pasal 1 butir 1 peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah menyebutkan :

“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.

Adapun yang menjadi tujuan dari pendaftaran tanah adalah :

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikkan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam


(17)

mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasinya pertanahan1

Sebagai konsistensi dari peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, maka peranan pejabat membuat Akta Tanah (PPAT) sangat diperlukan, baik dalam penyediaan tanah maupun dalam pemutakhiran data penguasaan tanah. Hal ini disesuaikan dengan peraturan kepada badan pertanahan nasional republik Indonesia nomor 7 tahun 2007 tentang panitia pemeriksaan tanah. Menurut peraturan pemerintah nomor 37 tahun 1998 tentang peraturan jabatan pejabat pembuat akta tanah pasal 1 butir 1, menyebutkan :

PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.2

Pejabat pembuat akta tanah diangkat oleh pemerintah, dalam hal ini badan pertanahan nasional dengan tugas dan kewenangan tertentu dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat akan akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undang yang berlaku.

       1

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. 2

Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No. 37 Tahun 1998, LN No. 52 Tahun 1998, TLN 3746, PS 1 ayat 1.


(18)

Dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat, PPAT berkewajiban untuk memberikan nasehat hukum kepada pihak-pihak yang meminta bantuan jasa, serta perlindungan atau pengayoman kepada pihak-pihak yang memerlukan bantuannya khususnya di bidang pertanahan.

Dalam hal melakukan perbuatan hukum untuk mengalihkan suatu hak atas tanah haruslah dihadapan seorang notaris atau pejabat pembuat akta tanah yang bertujuan untuk memperoleh kekuatan pembuktian yang sah dan dibuatkan dengan akta otentik. Khusus untuk tanah-tanah yang bersertifikat jual beli atau pengalihan hak ini dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah, tetapi ada kalanya pelaksanaan jual beli ini dilakukan dihadapan notaris, yang dinamakan dengan perjanjian jual beli/perikatan jual beli.

Akta otentik memiliki peranan penting apabila dalam pergaulan hukum di dalam masyarakat terdapat pelanggaran terhadap norma hukum. Pelanggaran terhadap hukum perdata akan menimbulkan perkara perdata dan untuk menyelesaikannya harus sesuai dengan yang diatur dalam hukum acara perdata3. Keberadaan akta otentik disebabkan karena adanya alat bukti untuk perbuatan hukum tertentu. Dapat pula karena para pihak menghendaki agar perbuatan hukum yang mereka lakukan diwujudkan dalam bentuk akta otentik. Apabila terdapat

       3

Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta : Pustaka Kartini, 1997), halaman 6.


(19)

penyimpangan yang menyangkut hal-hal yang bersifat formil maka hilanglah otensitas dari suatu akta.

Untuk pembuatan akta pemindahan hak, PPAT berhak menolak untuk membuat akta apabila :

1. Tidak disertai sertifikat asli/sertifikat tidak cocok dengan daftar-daftar yang ada di kantor pertanahan.

2. Para pihak atau saksi-saksi tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian.

3. Salah stu pihak bertindak atas dasar surat kuasa mutlak. 4. Belum ada izin dari suami/istri.

5. Sedang dalam sengketa/perkara dipengadilan negeri atau tidak dalam sita jaminan.

Selain itu dalam membuat akta jual beli, PPAT harus memperhatikan beberapa hal, yang juga merupakan kewenangannya yaitu :4

1. Kedudukan atau status penjual tanah adalah pihak yang berhak menjual tanah. 2. Penjual adalah pihak yang berwenang menjual.

Dalam peraturan kepala badan pertanahan nasional nomor 6 tahun 1989 dan peraturan pemerintah nomor 37 tahun 1998, telah ditekankan beberapa perbuatan hukum yang menjadi tanggung jawab PPAT yaitu : 5

       4


(20)

1. Mengenai kebenaran dari kejadian yang termuat dalam akta misalnya mengenai jenis perbuatan hukum yang dimaksud oleh para pihak, mengenai sudah dilakukannya pembayaran dalam jual beli dan lain sebagainya.

2. Mengenai objek perbuatan hukum, baik data fisik maupun data yuridisnya.

3. Mengenai identitasnya para penghadap yang merupakan pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum (seperti KTP, SIM, passport).

Hal penting yang harus diperhatikan di dalam pembuat akta jual beli yang dibuat oleh PPAT adalah identitas para penghadap dan bukti sah kepemilikan persil/tanah. Jika dalam hal pelaksanaan transaksi jual beli tanah, salah satu para penghadap bertindak berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh pemilik persil, maka PPAT harus teliti melihat tentang keabsahan suatu akta surat kuasa itu, apakah surat kuasa tersebut belum pernah dicabut atau dibatalkan, selain itu PPAT juga harus melihat apakah akta surat kuasa yang diberikan pemilik persil tersebut bertentangan dengan peraturan hukum yang ada atau tidak, sehingga penerima kuasa benar-benar melindungi si pemberi kuasa atau si pemilik persil.

Sebagaimana diketahui dari Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, PPAT telah diberikan kewenangan oleh Pemerintah untuk melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data       

5

Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), halaman 93.


(21)

pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu, sedangkan sebagian lagi dari kegiatan pendaftaran tanah tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional.

Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud salah satunya adalah jual beli tanah. Dalam hukum adat jual beli tanah merupakan perbuatan hukum pemindahan hak dalam bentuk penyerahan bidang tanah oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya dan pada waktu itu pula pembeli membayar harga tanahnya kepada penjual. Perbuatan jual beli tersebut sah apabila si penjual benar-benar orang yang berhak atas tanah itu atau kuasanya yang sah dan sipembeli juga tergolong orang yang berhak untuk mempunyai serta menguasai tanah itu.

Dalam praktiknya masih saja ditemukan adanya jual beli tanah dengan menggunakan kuasa mutlak. Tentunya hal ini dapat merugikan pihak pembeli dikemudian hari, terutama dalam penerbitan surat tanda bukti hak/penyelesaian status hak atas tanah yang menggunakan surat kuasa mutlak. Seperti yang terjadi dalam kasus putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 94/Pdt.G/2005/PN.JKT.Pst, antara Tuan Randy dan Tuan Syukri (Penggugat I dan II) melawan Nyonya Ellisa (Tergugat), Haji Dana Sasmita (Turut Tergugat I) dan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Pusat (Turut Tergugat II). Dalam hal kasus peralihan hak atas tanah dengan jual beli yang berdasarkan pada surat kuasa ini berasal dari suatu perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh Tuan Randy dengan Nyonya Elissa yang dituangkan dalam akta perjanjian kerjasama. Perjanjian ini dibuat dalam rangka


(22)

menjalankan usaha penyedia barang dimana Tuan Randy memerlukan sejumlah dana untuk melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan nyonya Elissa akan menerima keuntungan beserta penyertaan modal awal tersebut dalam waktu 3 bulan sejak diberikannya modal awal tersebut. Sebagai jaminan pelaksanaan kerjasama tersebut, Tuan Syukri memberikan jaminan Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2774 atas nama dirinya sendiri dengan disertai membuat akta kuasa menjual yang diberikan kepada Nyonya Ellisa.

Ternyata Tuan Randy selama dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan yang diperjanjikan dalam perjanjian kerjasama, tidak/belum mengembalikan uang beserta keuntungannya. Dengan adanya wanprestasi yang dilakukan oleh Tuan Randy, maka Nyonya Ellissa menjual tanah berikut bangunan milik Tuan Syukri kepada dirinya sendiri yang dilakukan tanpa persetujuan Tuan Syukri dengan berdasarkan surat kuasa menjual.

Padahal di dalam surat kuasa menjual yang dibuat antara Tuan Syukri dengan Nyonya Elissa, didalamnya terdapat salah satu syarat bahwa dalam kuasa menjual Tuan Syukri akan menunjuk property consultant untuk menentukan harga jual tanah berikut bangunan yang dijaminkan tersebut. Penjualan yang dilakukan oleh Nyonya Ellissa tanpa persetujuan property consultant menjadikan harga jual tanah berikut bangunan yang dilakukan berada dibawah harga normal.


(23)

Namun bila diperhatikan lebih mendalam, pembuatan kuasa menjual tersebut merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian kerjasama sebelumnya, sehingga kuasa menjual tersebut ada karena merupakan jaminan dari perjanjian kerjasama. Didalam kuasa menjual tersebut terdapat klausula-klausula yang di dalamnya mengandung unsur pengertian kuasa mutlak menurut instruksi menteri dalam negeri nomor 14 tahun 1982. Walaupun didalam kuasa menjual tersebut tidak ada pemakaian klausula “tidak dapat dicabut kembali” yang merupakan klausula yang secara nyata merupakan kuasa mutlak.

Unsur kuasa mutlak yang dimaksud adalah dengan memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya. Walaupun tidak secara nyata termasuk sebagai kuasa mutlak, tetapi dengan terkandungnya unsur dari pengertian kuasa mutlak yang telah dilarang penggunaannya melalui instruksi mendagri, maka kuasa menjual tuan Syukri kepada Nyonya Ellissa tersebut merupakan kuasa mutlak.

Dengan demikian maka PPAT yang membuat akta jual beli tersebut dapat dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum karena dengan adanya perbuatan pembuatan akta jual beli yang tidak memperhatikan syarat yang terdapat dalam kuasa menjual dari Tuan Syukri kepada Nyonya Ellissa berupa penunjukkan pihak agen property consultant sebagai penentu harga. Dalam pembuatan akta jual beli tersebut PPAT dapat dianggap paling tidak telah memenuhi unsur kelalaian


(24)

sehingga menimbulkan kerugian pada pihak Tuan Syukri. Sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan.

Dengan demikian PPAT harus memiliki kecermatan, kemampuan dan kecakapan serta pengetahuan yang luas dalam bidang hukum pertanahan karena dengan ketidakcermatan atau ketidaktahuan akan berakibat fatal. PPAT juga wajib memberikan penjelasan kepada pihak yang menghadap, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang melanggar hukum dan apa yang tidak melanggar hukum.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam proposal ini adalah :

1. Bagaimana Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Dengan Adanya Kuasa Mutlak?

2. Bagaimana tanggung jawab PPAT yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta PPAT ?

3. Bagaimana akibat hukum terhadap akta PPAT yang dibuat oleh PPAT secara melawan hukum ?


(25)

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengkaji peranan pejabat pembuat akta tanah dalam peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak.

2. Untuk mengkaji tanggung jawab PPAT yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta PPAT.

3. Untuk mengkaji akibat hukum terhadap akta PPAT yang dibuat oleh PPAT secara melawan hukum.

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya mengenai akta jual beli yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

2. Secara Praktis

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang diteliti dan disamping itu hasil penelitian ini dapat mengungkapkan teori-teori baru serta pengembangan teori-teori yang sudah ada.


(26)

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran kepustakaan baik perpustakaan pusat maupun yang ada di sekolah pasca sarjana Universitas Sumatera Utara, ternyata belum ditemukan judul mengenai Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta PPAT (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst).

Namun ada penelitian yang menyangkut masalah aspek hukum peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh :

1. Husna, mahasiswa program pasca sarjana, studi magister kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2003, dengan judul “Analisa Hukum Terhadap Sengketa Akibat Peralihan Hak Atas Tanah (Studi Mengenai Akta yang dibuat PPAT di kota Banda Aceh.

2. Kartika Sari, mahasiswa program pasca sarjana, studi magister kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2004, dengan judul “Pemberian Kuasa Menjual Tanah Dalam Praktek Notaris (penelitian di Kota Medan)”.

Akan tetapi materi, substansi dan permasalahan serta pengkajian dan penelitiannya berbeda sama sekali. Jadi dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.


(27)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi1, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.2. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.3

Teori yang akan dijadikan landasan dalam tesis ini adalah teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman, yaitu hukum dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri. Keterkaitan dengan elemen-elemen lain merupakan penanda khas atas sistem hukum tersebut. Elemen lain yang dimaksudkan friedman adalah ekonomi dan politik. Gambaran tentang kaitan antar subsistem tersebut tercakup dalam uraiannya mengenai sistem hukum dalam suatu masyarakat merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat tersebut. Tiga komponen utama yang dimiliki sistem hukum adalah legal

       1

J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta : FE UI, 1996), halaman 203. M. Jolly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian (Bandung CV. Mandar Maju 1994) halaman 27 menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasioal digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkn, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

2

Ibid, halaman 16. 3


(28)

structure, legal substance, and legal culture. Ketiga komponen tersebut saling

menentukan satu sama lainnya, demikian juga saling berpengaruh satu sama lainnya.4

Komponen struktur hukum misalnya merupakan representasi dari aspek institusional (birokrasi) yang memerankan tugas pelaksanaan hukum dan pembuatan undang-undang. Substansi hukum, sebagai suatu aspek dari sistem hukum, merupakan refleksi dari aturan-aturan yang berlaku, norma dan perilaku masyarakat dalam sistem tersebut. Tercakup dalam konsep tersebut adalah bagaimana apresiasi masyarakat terhadap aturan-aturan formal yang berlaku. Disinilah muncul konsep hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Oleh karena itu, maka konsep legal subtance juga meliputi apa yang dihasilkan oleh masyarakat.5

Sedangkan budaya hukum dimaksudkan sebagai sikap atau apresiasi masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Ke dalam komponen tersebut adalah kepercayaan terhadap hukum, nilai (value), ide atau gagasannya dan harapan-harapannya. Dengan kata lain hal itu merupakan bagian dari budaya secara umum yang diorientasikan pada sistem hukum. Gagasan-gagasan dan opini harus dimengerti sebagai hal yang berhubungan dengan perkembangan proses hukum.6

Sistem hukum, sebagai bagian dari sistem sosial harus dapat memenuhi harapan sosial. Oleh karena itu maka sistem hukum harus menghasilkan sesuatu yang       

4

Lawrence M. Friedman, American Law, (New York-London : W.W. Norton & Company, 1984), halaman 5-6.

5

Ibid, halaman 6. 6


(29)

bercorak hukum (output of law) yang pada dirinya signifikan dengan harapan sosial. Ada empat hal yang harus dihasilkan atau di penuhi oleh suatu sistem hukum: 7

1. Sistem hukum secara umum harus dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan masyarakat atas sistem tersebut.

2. Harus dapat menyediakan skema normatif, walaupun fungsi penyelesaian konflik tidak semata-mata menjadi monopoli sistem hukum.Dimana sistem hukum harus dapat menyediakan mekanisme dan tempat dimana orang dapat membawa kasusnya untuk diselesaikan.

3. Sistem hukum sebagai kontrol sosial yang esensinya adalah aparatur hukum, Polisi dan hakim misalnya harus menegakkan hukum.

4. Dalam kaitan dengan fungsi kontrol sosial, desakan kekuatan sosial untuk membuat hukum, harus direspon oleh institusi hukum, mengkristalkannya, menuangkannya kedalam aturan hukum, dan menentukan prinsipnya. Dalam konteks ini, sistem dapat dikatakan sebagai instrumen perubahan tatanan sosial atau rekayasa sosial.

Hukum pertanahan tidak terlepas dari sistem sosial, yang mana salah satu syarat untuk memperoleh Hak atas tanah harus melalui prosedur pendaftaran tanah yang tujuan pokoknya adalah adanya kepastian hak atas tanah. Dengan kepastian hak setidak-tidaknya akan dapat dicegah sengketa tanah. Dengan sertipikat tanah, maka jelaslah tanah tersebut sudah terdaftar di Kantor Pendaftaran tanah, sehingga setiap       

7

Adrian Sutedi, Tinjauan Hukum Pertanahan, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2009), halaman 104.


(30)

orang dapat mengetahui bahwa tanah tersebut telah ada pemiliknya. Demikian pula pendaftaran yang dilakukan atas hak seseorang mencegah klaim seseorang atas tanah kecuali dia lebih berhak dan dapat mengajukan ke pengadilan negeri setempat dengan membuktikan tentang kebenaran haknya itu sesuai dengan asas pendaftaran tanah yang negatif yang dianut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Pada dasarnya tujuan pelayanan pendaftaran tanah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam mencapai tujuan tersebut sasaran pemerintahan dalam mengelola pertanahan adalah catur tertib pertanahan, yaitu tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah, dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Catur tertib pertanahan tersebut merupakan tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional sendiri, tetapi merupakan tugas dan fungsi lintas departemen. Dari keempat tertib pertanahan tersebut di atas salah satu sasaran yang cukup urgen adalah menyangkut administrasi Pertanahan. Badan Pertanahan Nasional merupakan pelaku utama untuk tercapainya tertib administrasi pertanahan.

Selain untuk mewujudkan tertib administrasi pertanahan, maka Badan Pertanahan Nasional sebagai organisasi publik mempunyai tugas pelayanan kepada masyarakat. Sebagai organisasi publik dan mendorong good governance, Badan Pertanahan Nasional sudah semestinya menciptakan pelayanan yang lebih transparan, sederhana, murah dan akuntabilitasnya dapat dipertanggung jawabkan kepada publik.


(31)

Dalam rangka memberikan kepastian hukum atas hak dan batas tanah, Pasal 19 UUPA menugaskan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah yang sangat penting artinya untuk mendapat ketenangan dan kepercayaan diri bagi masyarakat yang mempunyai hak atas tanah. Pendaftaran tanah pertama kali yang meliputi kegiatan pengukuran dan pemetaan, pembukuan tanah, ajudikasi, pembukuan hak atas tanah dan penerbitan sertipikat memerlukan biaya yang relatif tinggi.8

Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya9 agar orang dalam melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dengan tanah mendapat jaminan kepastian hukum dan jaminan kepastian hak atas tanah.

Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapa pun yang berkepentingan akan mudah mengetahui kemungkinan apa yang tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang diperlukannya, bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta larangan-larangan apa yang ada didalam menguasai tanah dengan hak-hak tertentu, sanksi apa yang dihadapinya jika diabaikan

       8

Adrian Sutedi, Tinjauan Hukum Pertanaha, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2009), halaman 2.

9

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 2005), halaman 69.


(32)

ketentuan-ketentuan yang bersangkutan, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai.10

Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut maka diperlukan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai salah satu pelaksanaan pendaftaran tanah dengan membuat akta PPAT, di mana akta PPAT merupakan salah satu sumber utama kedalam rangka pemilharaan data pendaftaran tanah. Akta PPAT wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan hak dan pembebanan hak yang bersangkutan.

PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta-akta mengenai tanah tentunya harus memiliki kemampuan dan kecakapan khusus di bidang pertanahan agar akta-akta yang dibuatnya tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari mengingat akta yang dibuatnya dapat digunakan sebagai alat bukti.

PPAT telah diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu,11 sedangkan sebagian lagi dari kegiatan pendaftaran tanah tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional.

       10

Ibid., halaman 69. 11

Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No. 37 Tahun 1998, Pasal 2 ayat (1).


(33)

Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud salah satunya adalah jual beli tanah12 dengan dibuatkan akta jual beli tanah oleh PPAT yang merupakan transaksi yang sering terjadi didalam kehidupan bagi setiap orang, tidak hanya untuk tempat tinggal melainkan juga sebagai investasi atau bisnis yang harganya cenderung meningkat dari waktu ke waktu, karena tanah semakin banyak dibutuhkan orang. Perbuatan jual beli adalah sah apabila si penjual benar-benar orang yang berhak atas tanah itu atau kuasanya yang sah dan si pembeli juga tergolong orang yang berhak untuk mempunyai serta menguasai tanah itu.

Di dalam praktiknya, tidak sedikit PPAT yang mengalami masalah sehubungan dengan akta jual beli yang telah dibuatnya dinyatakan batal demi hukum oleh suatu putusan pengadilan sebagai akibat ditemukannya cacat hukum dalam perbuatannya ( setelah akta jual beli tersebut ditandatangani oleh para pihak bahkan setelah diterbitkan sertipikat oleh kantor pertanahan ) seperti dapat dilihat dalam kasus putusan nomor 94/Pdt.G/2005/PN.JKT.PST, yang terdapat adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Nyonya Ellisa dan PPAT Haji Dana Sasmita, SH dalam hal pembuatan akta jual beli yang tidak memenuhi ketentuan isi dari akta kuasa menjual yang diberikan Tuan Syukri kepada Nyonya Ellisa, dimana isi dari perjanjian tersebut harga jual tanah dan bangunan sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 2774 atas nama Tuan Syukri di tentukan melalui property consultan yang ditunjuk oleh Tuan syukri, akan tetapi Nyonya Elissa justru menentukan harga jual       

12


(34)

tanah dan bangunan tersebut berdasarkan nilai jual objek pajak. Sehingga mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum. Hal ini terjadi akibat adanya kelalaian yang dilakukan oleh PPAT sehingga mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pihak lain yaitu tuan Syukri sebagai jaminan atas hubungan hukum hutang piutang dalam bentuk (formalitas) kerjasama dimana tuan Rendi meminjam uang

kepada Nyonya Ellisa untuk menambah modal usaha sebesar Rp 800.000.000. (delapan ratus juta rupiah) yang harus dikembalikan dalam waktu 3 (tiga) bulan

dengan memberi keuntungan sebanyak Rp 550.000.000 (lima ratus lima puluh juta) sehingga uang yang harus dikembalikan sebesar Rp. 1.350.000.000 (satu milyar tiga ratus lima puluh juta rupiah). Disamping itu akta kuasa menjual tersebut dapat dikualifisir sebagai akta kuasa mutlak yang tidak dapat ditarik kembali yang nyatanya bertentangan dengan Intruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982.

Dalam menciptakan dan menerapkan hukum, notaris/PPAT haruslah senantiasa berpedoman pada nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dimana nilai-nilai ini merupakan sumber dari norma bagi penegak hukum dalam menjalankan fungsinya sebagai aparatur Negara yang dimaksudkan disini adalah norma-norma atau kaidah-kaidah yang wajib ditaati oleh para penegak hukum atau pemelihara hukum, norma-norma tersebut perlu ditaati terutama dalam menegakkan hukum,


(35)

menyusun serta memelihara hukum menurut O Notohamidjojo ada empat norma yang penting dalam penegakan hukum, yaitu :13

1. Kemanusiaan

Norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran pribadi.

2. Keadilan

Keadilan adalah kehendak yang kekal untuk memberikan kepada orang lain apa saja yang menjadi haknya.

3. Kepatuhan

Kepatuhan adalah hal yang wajib dipelihara dalam pemberlakuan undang-undang dengan maksud untuk menghilangkan ketajamannya. Kepatuhan ini perlu diperhatikan terutama dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat kejujuran.

4. Kejujuran

Pemeliharaan hukum atau penegak hukum harus bersikap jujur dalam mengurus atau menangani hukum, serta dalam melayani justitiable yang berupaya untuk mencari hukum dan keadilan. Atau dengan kata lain, setiap yurist diharapkan sedapat mungkin memelihara kejujuran dalam artinya dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang curang dalam mengurus perkara.

       13

E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum (Norma-norma Bagi Penegak Hukum), (Yogyakarta : Kanisius, 1995), halaman. 115.


(36)

2. Kerangka Konsep

Beberapa konsep dasar sehubungan penelitian ini dapat di jelaskan sebagai berikut :

1. Hukum adalah suatu peraturan yang menguasai tingkah laku dan perbuatan tertentu dari manusia dalam hidup bermasyarakat.

2. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum objektif, hak subjektif perseorangan, kepatutan yang berlaku dalam masyarakat, tidak mempunyai hak sendiri.14

3. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan melawan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

4. Akta adalah otentik, bukan karena penetapan undang-undang, akan tetapi karena dibuat dihadapan seorang pejabat umum.

5. Tanggung Jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu atau akibat perbuatan yang ditimbulkan dengan adanya kesengajaan ataupun kelalaian.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

       14


(37)

Penelitian mengenai Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta PPAT merupakan penelitian hukum normatif yang juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen, karena lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan. Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada :

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum. 2. Penelitian terhadap sistematika hukum. 3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum. 4. Perbandingan Hukum.

5. Sejarah Hukum.15

Dari unsur-unsur penelitian hukum normatif tersebut diatas dikaitkan dengan judul penelitian tersebut diatas, peneliti lebih memberatkan terhadap menemukan asas-asas hukum dalam peraturan PPAT mengenai kapan seorang PPAT dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan tugasnya serta sinkronisasi aturan-aturan hukum mengenai perbuatan PPAT ke dalam sistem hukum nasional di Indonesia.

Penelitian ini dititik beratkan pada studi kepustakaan, sehingga data sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan dari data primer. Data sekunder yang diteliti terdiri atas :

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa :       

15

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1985), halaman 14.


(38)

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun tentang Pendaftaran Tanah.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

d. Intruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, antara lain :

a. Rancangan peraturan perundang-undangan. b. Hasil karya ilmiah para sarjana.

c. Hasil-hasil penelitian.

3. Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder antara lain :

a. Kamus besar bahasa Indonesia. b. Ensiklopedi Indonesia.

c. Berbagai majalah hukum yang berkaitan dengan PPAT.16

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini mempergunakan metode pendekatan deskriptif analisis dengan pendekatan yuridis normatif, dimulai analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang menjadi permasalahan diatas, dengan mengingat permasalahan yang

       16


(39)

diteliti berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yaitu hubungan peraturan satu dengan peraturan lain serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek.

3. Alat Pengumpulan Data

Pada umumnya para peneliti mempergunakan alat pengumpulan data berupa:

1. Studi kepustakaan/studi dokumen (Documentary Study). 2. Wawancara (Interview).

3. Daftar pertanyaan (Kuesioner angket).

Pada prakteknya ketiga jenis alat pengumpul data tersebut dapat dipergunakan secara bersama-sama, karena disamping studi kepustakaan, juga peneliti melakukan wawancara kepada penegak hukum lain dalam kaitannya dengan penelitian ini.

4. Prosedur Pengambil Data dan Pengumpul Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dilaksanakan dua tahap penelitian :

a. Studi Kepustakaan.

Studi kepustakaan ini untuk mencari konsep-konsep, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan tersebut dapat berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah para sarjana dan lain-lain.


(40)

b. Studi Lapangan.

Studi lapangan adalah cara memperoleh data yang bersifat primer. Hal ini akan diusahakan untuk memperoleh data-data dengan mengadakan tanya jawab (wawancara) dengan penegak hukum.

5. Analisis Data

Setelah pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisa secara

kualitatif17 yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Karena penelitian ini normatif , dilakukan interpretasi dan konstruksi hukum dengan menarik kesimpulan menggunakan cara deduktif menjawab dari permasalahan dan tujuan penelitian yang ditetapkan.

       17

Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), halaman 10.


(41)

BAB II

PERANAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH DENGAN ADANYA KUASA MUTLAK

A. Latar Belakang Timbulnya Peralihan Hak Atas Tanah

Sebagaimana dengan timbulnya suatu Peralihan Hak Atas Tanah tersebut, maka dapat diketahui bahwa ada beberapa hal yang menyinggung suatu Peralihan Hak Atas Tanah tersebut, yaitu seperti:

1. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat

Jual beli tanah sebagai suatu lembaga hukum, tidak secara tegas dan terperinci diatur dalam UUPA. Bahkan, sampai sekarang belum ada peraturan yang mengatur khusus mengenai pelaksanaan jual beli tanah.

Dalam Pasal 5 UUPA terdapat pernyataan bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum dan sistem hukum adat. Hukum adat yang dimaksud tentunya hukum adat yang telah di-saneer yang dihilangkan cacat-cacatnya/disempurnakan. Jadi, pengertian jual beli tanah menurut Hukum Tanah Nasional kita adalah pengertian jual beli tanah menurut hukum adat.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sumber-sumber Hukum Tanah Nasional kita berupa norma-norma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis. Sumber-sumber hukum yang tertulis berupa Undang-Undang Dasar 1945, UUPA,


(42)

peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA, dan peraturan-peraturan lama yang masih berlaku. Adapun sumber-sumber hukum yang tidak tertulis adalah norma-norma Hukum Adat yang telah di-saneer dan hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi.18

Dengan demikian ada dua fungsi atau peranan dari Hukum Adat, yaitu sebagai sumber utama pembangunan Hukum Tanah Nasional dan sebagai pelengkap dari ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang belum ada peraturannya agar tidak terjadi kekosongan hukum karena hukumnya belum diatur sehingga kegiatan masyarakat yang berhubungan dengan Hukum Tanah tidak terhambat karenanya.

Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar sebagian (tunai dianggap tunai). Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka

       18

Boedi Harsono (a), Hukum Agraria : Sejarah Pembentukan Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 1997), halaman. 235.


(43)

penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang-piutang.19

Kadang-kadang seorang pembeli tanah dalam pelaksanaan jual belinya belum tentu mempunyai uang tunai sebesar harga tanah yang ditetapkan. Dalam hal yang demikian ini berarti pada saat terjadinya jual-beli, uang pembayaran dari harga tanah yang ditetapkan belum semuanya terbayar lunas (hanya sebagian saja). Belum lunasnya pembayaran harga tanah yang ditetapkan tersebut tidak menghalangi pemindahan haknya atas tanah, artinya pelaksanaan jual beli tetap dianggap telah selesai. Adapun sisa uang yang harus dibayar oleh pembeli kepada penjual dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual, jadi hubungan ini merupakan hubungan utang piutang antara penjual dengan pembeli. Meskipun pembeli masih menanggung utang kepada penjual berkenaan dengan jual belinya tanah penjual, namun hak atas tanah tetap telah pindah dari penjual kepada pembeli saat terselesainya jual beli.

Dalam hukum adat, jual beli tanah dimasukkan dalam hukum benda, khususnya hukum benda tetap atau hukum tanah, tidak dalam hukum perikatan khususnya hukum perjanjian, hal ini karena :20

1. Jual beli tanah menurut Hukum Adat bukan merupakan suatu perjanjian, sehingga tidak mewajibkan para pihak untuk melaksanakan jual-beli tersebut.

       19

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : Rajawali, 1983), halaman. 211. 20


(44)

2. Jual beli tanah menurut Hukum Adat tidak menimbulkan hak dan kewajiban, yang ada hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi, apabila pembeli baru membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah tersebut.

Ciri-ciri yang menandai dari jual beli tersebut antara lain, jual beli tersebut serentak selesai dengan tercapainya persetujuan atau persesuaian kehendak (konsensus) yang diikuti dengan ikrar/pembuatan kontrak jual beli di hadapan Kepala Persekutuan hukum yang berwenang, dibuktikan dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan kesediaan penjual untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli. Dengan terjadinya jual beli tersebut, hak milik atas tanah telah berpindah, meskipun formalitas balik nama belum terselesaikan. Kemudian ciri yang kedua adalah sifatnya yang terang, Sifat ini ditandai dengan peranan dari Kepala Persekutuan, yaitu menanggung bahwa perbuatan itu sudah cukup tertib dan cukup sah menurut hukumnya. Adanya tanggungan dari Kepala Persekutuan tersebut menjadikan perbuatan tersebut terangkat menjadi suatu perbuatan yang mengarah pada ketertiban hukum umum sehingga menjadikannya di dalam lalu lintas hukum yang bebas dan terjamin.

Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara calon penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui musyawarah di antara mereka sendiri. Setelah mereka sepakat akan harga dari tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi,


(45)

diikuti dengan pemberian uang sebagai jaminan. Pemberian uang sebagai jaminan tidak diartikan sebagai harus dilaksanakan jual beli itu. Dengan demikian pemberian uang sebagai jaminan disini fungsinya adalah hanya sebagai tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli. Dengan adanya pemberian uang sebagi jaminan, para pihak akan merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan jual beli tersebut. Apabila telah ada panjer, maka akan timbul hak ingkar. Bila yang ingkar si pemberi jaminan, uang tersebut menjadi milik penerima jaminan. Sebaliknya, bila keingkaran tersebut ada pada pihak penerima jaminan, uang yang menjadi jaminan harus dikembalikan kepada pemberi jaminan. Jika para pihak tidak menggunakan hak ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual beli tanahnya, dengan calon penjual dan calon pembeli menghadap Kepala Desa (Adat) untuk menyatakan maksud mereka itu. Inilah yang dimaksud dengan terang. Kemudian oleh penjual dibuat suatu akta bermeterai yang menyatakan bahwa benar ia telah menyerahkan tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada pembeli dan bahwa benar ia telah menerima harga secara penuh. Akta tersebut turut ditandatangani oleh pembeli dan Kepala Desa (Adat). Dengan telah ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan jual beli itu selesai. Pembeli kini menjadi pemegang hak atas tanahnya yang baru dan sebagai tanda buktinya adalah surat jual beli tersebut.

Transaksi tanah, di lapangan hukum harta kekayaan merupakan salah satu bentuk perbuatan tunai dan berobjek tanah. Intinya adalah penyerahan benda (sebagai prestasi) yang berjalan serentak dengan penerimaan pembayaran tunai (seluruhnya,


(46)

kadang-kadang sebagian, selaku kontra prestasi). Perbuatan menyerahkan itu dinyatakan dengan istilah jual (Indonesia), adol, sade (Jawa).21

Transaksi jual tanah dalam sistem Hukum Adat mempunyai 3 muatan, yakni : 22

a. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai sedemikian rupa dengan hak untuk mendapatkan tanahnya kembali setelah membayar sejumlah uang yang pernah dibayarnya.

b. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai tanpa hak untuk membeli kembali, jadi menjual lepas untuk selama-lamanya.

c. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran dengan perjanjian bahwa setelah beberapa tahun panen dan tanpa tindakan hukum tertentu tanah akan kembali.

Bentuk-bentuk pemindahan hak milik menurut sistem Hukum Adat sebagai berikut :

1. Yang mengakibatkan pemindahan hak milik untuk selama-lamanya

a. Jual lepas

       21

Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta : Liberty, 1981), halaman. 28. 22


(47)

Jual lepas merupakan proses pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai, di mana semua ikatan antara bekas penjual dengan tanahnya menjadi lepas sama sekali.23

Biasanya, pada jual lepas, calon pembeli memberikan sesuatu tanda jadi sebagai pengikat yang disebut uang sebagai jaminan. Meskipun telah ada jaminan uang di muka, perjanjian pokok belum terlaksana hanya dengan uang sebagai jaminan semata-mata. Dengan demikian uang sebagai jaminan di sini fungsinya hanya sebagai tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli. Apabila telah ada panjer, konsekuensinya manakala jual beli tidak jadi dilaksanakan, akan ada dua kemungkinan, yaitu bila yang ingkar si calon pembeli, maka uang sebagai jaminan tersebut menetap pada si calon penjual, bila keingkaran itu ada pada pihak si calon penjual, maka ia harus mengembalikan panjernya pada si calon pembeli, adakalanya bahkan dua kali lipat nilainya dari uang muka semula.

Fungsi uang sebagai jaminan itu sendiri dalam jual lepas adalah :

1) Pembicaraan yang mengandung janji saja tidak mengakibatkan suatu kewajiban. Tetapi adakalanya janji lisan yang diikuti dengan pembayaran sesuatu (uang/benda) dapat menimbulkan suatu kewajiban, namun hanya ikatan moral untuk berbuat sesuatu, misalnya untuk menjual atau untuk membeli.

       23


(48)

2) Tanpa jaminan uang, orang tidak merasa terikat. Sebaliknya dengan uang sebagai jaminan orang merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan apa yang ditentukan dalam janji tersebut (pada angka 1 diatas).

3) Perjanjian pokok (jual beli) belum terlaksana hanya dengan pemberian uang sebagai jaminan. Setelah tidak digunakannya hak ingkar oleh para pihak, jual beli baru dapat dilaksanakan.

2. Yang mengakibatkan pemindahan hak milik yang bersifat sementara

a. Jual gadai

Jual gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak secara sementara atas tanah kepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian rupa, sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut. Dengan demikian, maka pemindahan hak atas tanah pada jual gadai bersifat sementara, walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas mengenai sifat sementara waktu tersebut.24

Dengan penerimaan tanah itu, si pembeli gadai (penerima gadai) berhak :

1) Menikmati manfaat yang melekat pada hak milik.

2) Mengopergadaikan atau menggadaikan kembali di bawah harga tanah tersebut kepada orang lain jika sangat membutuhkan uang, karena ia tidak dapat memaksa si penjual gadai untuk menebus tanahnya.

       24


(49)

3) Mengadakan perjanjian bagi hasil.

Transaksi ini biasanya disertai dengan perjanjian tambahan seperti :

1) Kalau tidak ditebus dalam masa yang dijanjikan, maka tanah menjadi milik yang membeli gadai.

2) Tanah tidak boleh ditebus sebelum satu, dua atau beberapa tahun dalam tangan pembeli gadai.

b. Jual tahunan

Jual tahunan merupakan suatu perilaku hukum yang berisikan penyerahan hak atas sebidang tanah tertentu kepada subjek hukum lain, dengan menerima sejumlah uang tertentu dengan ketentuan bahwa sesudah jangka waktu tertentu, maka tanah tersebut akan kembali dengan sendirinya tanpa melalui perilaku hukum tertentu. Dalam hal ini, terjadi peralihan hak atas tanah yang bersifat sementara waktu.25

Kewenangan yang diperoleh si pembeli tahunan adalah mengolah tanah, menanami dan memetik hasilnya, dan berbuat dengan tanah itu seakan-akan miliknya sendiri dalam jangka waktu yang diperjanjikan.

Selain dari 3 bentuk jual tanah di atas, Prof. Soerjono Soekanto menambahkan bentuk jual gangsur. Menurutnya, pada jual gangsur ini, walaupun telah terjadi pemindahan hak atas tanah kepada pembeli, akan tetapi tanah masih tetap berada di

       25


(50)

tangan penjual. Artinya, bekas penjual masih tetap mempunyai hak pakai, yang bersumber pada ketentuan yang disepakati oleh penjual dengan pembeli.26

2. Jual Beli Tanah Menurut UUPA

Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal-pasal lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar-menukar, dan hibah wasiat. Jadi, meskipun dalam pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli.

Apa yang dimaksud jual beli itu sendiri oleh UUPA tidak diterangkan secara jelas, akan tetapi mengingat dalam pasal 5 UUPA disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita mnggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum, dan sistem Hukum Adat. Maka pengertian jual beli tanah menurut Hukum Tanah Nasional adalah pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat. Hukum Adat yang dimaksud pasal 5 UUPA tersebut adalah Hukum Adat yang telah di-saneer yang dihilangkan dari cacat-cacatnya/Hukum Adat yang sudah

       26


(51)

disempurnakan/Hukum Adat yang telah dihilangkan sifat kedaerahannya dan diberi sifat nasional.

Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat merupakan perbuatan pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belum lah terjadi

jual beli, hal ini dikuatkan dalam Putusan MA No. 271/K/Sip/1956 dan No. 840/K/Sip/1971. Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual

beli di muka Kepala Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun tanah yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual.27 Sifat terang dipenuhi pada umumnya pada saat dilakukannya jual beli itu disaksikan oleh Kepala Desa, karena Kepala Desa dianggap orang yang mengetahui hukum dan kehadiran Kepala Desa mewakili warga masyarakat desa tersebut. Sekarang sifat terang berarti jual beli itu dilakukan menurut peraturan tertulis yang berlaku.

Sejak berlakunya PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta jual beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual       

27

Boedi Harsono, (d) “Perkembangan Hukum Tanah Adat Melalui Yurisprudensi”, (Ceramah disampaikan pada Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah-Tanah Adat Dewasa ini, Banjarmasin, 7 Oktober 1977), halaman. 50.


(52)

kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya dan pembayaran harganya. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak (pembeli) sudah menjadi pemegang haknya yang baru. Akan tetapi, hal itu baru diketahui oleh para pihak dan ahli warisnya, karenanya juga baru mengikat para pihak dan ahli warisnya karena administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum.28

Syarat jual beli tanah ada dua, yaitu syarat materiil dan syarat formil.

1. Syarat materiil

Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara lain sebagai berikut :

a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan

Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai. Menurut UUPA, yang dapat mempunyai hak milik       

28


(53)

atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah (pasal 21 UUPA). Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing di samping kewarganegaraan Indonesianya atau kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah jatuh pada negara (Pasal 26 ayat (2) UUPA).

b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan

Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.29

c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam sengketa.

Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha (Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41). Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas       

29

Effendi Perangin, Praktik Jual Beli Tanah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), halaman. 2.


(54)

tanah yang dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah atau tanah, yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi hukum artinya, sejak semula hukum mengganggap tidak pernah terjadi jual beli.30

2. Syarat formal

Setelah semua persyaratan materil dipenuhi maka PPAT (Pejabat Pembuat Akt Tanah) akan membuat akta jual belinya. Akta jual beli menurut Pasal 37 PP 24/1997 harus dibuat oleh PPAT. Jual beli yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada Hukum Adat (Pasal 5 UUPA), sedangkan dalam Hukum Adat sistem yang dipakai adalah sistem yang konkrit/kontan/nyata/riil. Dengan demikian, untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah, PP No. 24 Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksana dari UUPA telah menentukan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT.31

Sebelum akta jual beli dibuat PPAT, maka disyaratkan bagi para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada PPAT, yaitu :

       30

Ibid, halaman 2. 31

Bachtiar Effendi, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, (Bandung : Alumni, 1993), halaman. 23.


(55)

1. Jika tanahnya sudah bersertifikat : sertifikat tanahnya yang asli dan tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya.

2. Jika tanahnya belum bersertifikat : surat keterangan bahwa tanah tersebut belum bersertifikat, surat-surat tanah yang aa yang memerlukan penguatan oleh Kepala Desa dan Camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk persertifikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli.

Setelah akta dibuat, selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak akta tersebut ditandatangani, PPAT menyerahkan akta tersebut kepada kantor pendaftaran tanah untuk pendaftaran pemindahan haknya (Pasal 40 PP No. 24 Tahun 1997).

Mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli, Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah. Menurut Boedi Harsono, akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah menurut PP No. 10 Tahun (yang sekarang sudah disempurnakan dengan PP No. 24 Tahun 1997), pendaftaran jual beli itu hanya dapat (boleh) dilakukan dengan akta PPAT sebagai buktinya. Orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertifikat, biarpun jual belinya sah


(56)

menurut hukum.32 Tata usaha PPAT bersifat tertutup untuk umum, pembuktian mengenai berpindahnya hak tersebut berlakunya terbatas pada para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan para ahli warisnya.33

Dalam Yurisprudensi MA No. 123/K/Sip/1971, pendaftaran tanah hanyalah perbuatan administrasi belaka, artinya bahwa pendaftaran bukan merupakan syarat bagi sahnya atau menentukan saat berpindahnya hak atas tanah dalam jual beli. Menurut ketentuan UUPA, pendaftaran merupakan pembuktian yang kuat mengenai sahnya jual beli yang dilakukan terutama dalam hubungannya dengan pihak ketiga yang beritikad baik. Administrasi pendaftaran bersifat terbuka sehingga setiap orang dianggap mengetahuinya.34

Pasal 19 UUPA mengatur mengenai pendaftaran tanah. Dan sebagai pelaksanaan dari Pasal 19 UUPA mengenai pendaftaran tanah itu dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Menurut Pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa objek pendaftaran tanah adalh bidang-bidang yang dipunyai dengan hak milik, HGU, HGB, hak pakai, tanah hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, hak tanggungan, dan tanah Negara. Didaftar maksudnya dibukukan dan diterbitkan tanda bukti haknya. Tanda bukti hak itu disebut sertifikat hak tanah yang terdiri atas salinan buku tanah dan surat ukur yang dijilid menjadi satu dalam satu sampul. Sertifikat itu merupakan       

32

Boedi Harsono, Op. cit., halaman.52. 33

Boedi Harsono, Op. cit., halaman. 459. 34


(57)

alat pembuktian yang kuat, maksudnya bahwa keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar, selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan kekuatan sertifikat sebagai alat bukti sebagaimana penjelasan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

Bagi tanah-tanah yang telah bersertifikat, proses pendaftaran peralihan hanyalah dengan cara membubuhkan catatan pada lajur-lajur yang terdapat pada halaman ketiga dari buku tanah dan sertifikat hak atas tanahnya. Kalau peralihan hak itu untuk pertama kali, maka selain mencatat peralihan hak itu, nama pemegang hak yang tertulis pada halaman dua dicoret. Proses pendaftaran bagi tanah yang belum bersertifikat tentunya memakan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan proses pendaftaran tanah yang sudah bersertifikat karena diperlukan penerbitan sertifikatnya dulu sebelum mencatat peralihan haknya. Adapun untuk menerbitkan sertifikatnya itu harus melalui proses seperti pengumuman, pengukuran tanahnya, dan sebagainya.

Buku tanah memuat data yuridis mengenai tanahnya yaitu mengenai status tanah, pemegang haknya dan hak-hak lain yang membebaninya, sedangkan surat ukur


(58)

memuat data fisik mengenai letak, batas-batas dan luas tanah yang bersangkutan, serta bangunan-bangunan penting yang ada di atasnya.35

Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT yang berwenang menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Untuk dibuatkan akta peralihan hak tersebut, pihak yang memindahkan hak dan pihak yang menerima hak harus menghadap PPAT. Masing-masing pihak dapat diwakili oleh seorang kuasa berdasarkan surat kuasa yang sah untuk melakukan perbuatan hukum tersebut.36 Pihak yang menerima harus memenuhi syarat subjek dari tanah yang akan dibelinya itu. Demikian pula pihak yang memindahkan hak, harus pula memenuhi syarat yaitu berwenang memindahkan hak tersebut, untuk itu PPAT berkewajiban mengadakan penyelidikan. Pembuatan akta peralihan hak atas tanah dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu (Pasal 38 PP No. 24 Tahun 1997). Kemudian selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta tersebut, PPAT wajib untuk mendaftarkannya ke Kantor Pertanahan (Pasal 40 PP No. 24 Tahun 1997).

       35

Op. cit., Boedi Harsono, halaman. 425-426. 36


(59)

Dalam pendaftaran itu, pemindahan haknya yang didaftarkan dalam buku tanah dan dicatat peralihan haknya kepada penerima hak dalam sertifikat. Dengan demikian penerima hak mempunyai alat bukti yang kuat atas tanah yang diperolehnya. Perlindungan hukum tersebut dengan jelas disebutkan dalam Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 bahwa suatu bidang tanah yang sudah diterbitkan sertifikatnya secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan iktikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah ini tidak dapat menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang hak dan kepada Kantor Pertanahan/kepada Pengadilan.

Pendaftaran di sini bukan merupakan syarat terjadinya pemindahan hak karena pemindahan hak telah terjadi setelah dilakukan jual belinya di hadapan PPAT. Dengan demikian jual beli tanah telah sah dan selesai dengan pembuatan akta PPAT dan akta PPAT tersebut merupakan bukti bahwa telah terjadi jual beli, yakni bahwa pembeli telah menjadi pemiliknya dan pendaftaran peralihan hak di Kantor Agraria bukanlah merupakan syarat bagi sahnya transaksi jual beli tanah dan pendaftaran di sini hanya berfungsi untuk memperkuat pembuktiannya terhadap pihak ketiga atau umum.37 Memperkuat pembuktian maksudnya memperkuat pembuktian mengenai terjadinya jual beli dengan mencatat pada buku tanah dan sertifikat hak tanah yang       

37


(60)

bersangkutan, sedangkan memperluas pembuktian dimaksudkan untuk memenuhi asas publisitas karena dengan dilakukannya pendaftaran jual belinya maka diketahui oleh pihak ketiga yang berkepentingan.

Mengenai tanah yang di atasnya didirikan bangunan atau ditanami tanaman, Hukum Tanah Nasional kita menggunakan asas dalam Hukum Adat, yaitu adanya pemisahan antara tanah dengan benda-benda yang erat melekat di atasnya seperti bangunan dan tanaman. Tanah tunduk pada hukum tanah dan bangunan tunduk pada Hukum Perikatan. Yang mempunyai tanah itu tidak dengan sendirinya menjadi pemilik bangunan yang didirikan orang lain di atas tanahnya. Oleh karena itu, jika pemilik tanah dan bangunan yang ada di atas tanah berbeda maka jual beli tanahnya tidak termasuk dengan bangunannya. Hal ini terjadi karena masyarakat dalam mana Hukum Adat itu berlaku adalah masyarakat yang masih sederhana.

Namun demikian, dalam praktik dimungkinkan suatu perbuatan hukum mengenai tanah meliputi juga bangunan dan tanaman yang ada di atasnya, dengan ketentuan :

1. Bangunan dan tanaman tersebut secara fisik merupakan satu-kesatuan dengan tanah yang bersangkutan, artinya bangunan yang berfondasi dan tanaman merupakan tanaman keras.


(1)

demikian transaksi jual beli antara ny isa sebagai pemegang kuasa menjual dengan nyonya Ellisa sebagai pembeli dalam akte jual beli yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT H. Dana Sasmita, SH adal h bertentangan dengan Pasal 1320 ke-4

berakibat perjanjian batal demi hukum.

Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan sebelumnya maka penulis onya Ell

a KUHPerdata yang

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

menyimpulkan sebagai berikut :

1. Peranan pejabat pembuat akta tanah dalam peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak sangat diperlukan, karena PPAT selaku pejabat yang diberikan tanggung jawab dalam pembuatan akta peralihan hak atas tanah. PMDN No. 14 tahun 1982 menyebutkan kuasa mutlak yang dibenarkan oleh peraturan tersebut ialah : a. Kuasa mutlak yang tercantum dalam akta jual beli yaang dibuat dihadapan PPAT, b. Kuasa mutlak yang tercantum dalam akta perikatan jaminan


(2)

yang dibuat dihadapan Notaris, c. Kuasa mutlak yang ada pada APHT dan hipotik.

Tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam

2.

pembuatan akta PPAT dapat berupa tanggung jawab

. Akta PPAT mempunyai kekuatan pembuktian baik formil maupun materil. Jika PPAT terbukti telah lalai atau melakukan perbuatan melawan hukum dalam

engakibatkan akta tersebut batal demi hukum. Dengan batalnya akta jual beli dan akta kuasa mutlak yang telah

dengan jaminan tanah dan bangunan.

secara hukum dan moral. Tanggung jawab secara hukum ini dapat berupa tanggung jawab dalam melaksanakan kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal pembuatan akta yaitu kewajiban PPAT sebelum membuat akta, pada saat pelaksanaan membuat akta dan sesudah membuat akta. Sedangkan tanggung jawab secara moral berkaitan dengan tingkah laku PPAT baik didalam maupun diluar jabatannya, yang apabila dilanggar akan dikenakan teguran, peringatan, pemberhentian sementara dari anggota IPPAT sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) Kode Etik Profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah.

107 

3

seorang

menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuat khususnya dalam hal jual beli dapat m

diputusan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka yang timbul hanya hubungan hukum yang terjadi antara tuan Randy dengan nyonya Ellisa yaitu hubungan kerjasama atau dapat dikatakan sebagai hubungan hutang piutang


(3)

B. Saran

saran-saran sebagai berikut :

atan jual beli PPAT/Notaris, atas

2. Masyarakat awam/petani/penggarap diberikan penyuluhan hukum agar tidak memberikan tanah-tanahnya kepada cukong-cukong/agen-agen tanah/developer dengan kuasa mutlak. Kuasa mutlak pengganti tanah yang diperjual belikan secara absenti yang dilarang undang-undang.

3. Hendaknya seorang PPAT selalu melandasi dirinya dengan ilmu dan moral yang baik serta sumpah jabatan yang telah diucapkan sebelum ia menjalankan tugas jabatannya, sehingga dimanapun melaksanakan tugas jabatannya akan selalu ada senantiasa mendapat kepercayaan dari masyarakat yang membutuhkan jasanya.

Sesuai dengan kesimpulan-kesimpulan tersebut, maka penulis mengajukan

1. Pemakaian kuasa mutlak dibenarkan pembu

tanah kecuali kuasa khusus atau tanah yang diberikan dengan kuasa mutlak objeknya tanah, kuasa tidak batal walaupun dengan Pasal 1813 KUHP. Disarankan Notaris/PPAT berhati-hati atas permintaan kuasa mutlak di luar jual beli APHT dan hipotik karena tidak dibenarkan PMDN 14/1982.


(4)

Bu

Maju,

jojod , Jakarta,

wrence M,, American Law, W.W.Norton & Company, New York- 

DAFTAR PUSTAKA

A. ku-buku

Adjie, Habib, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009.

___________, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, CV. Mandar Bandung, 2009.

Al-Rasyid, Harun, Sekilas tentang Jual Beli Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987. irdjo, M.A. Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita

D

1982.

Effendi, Bachtiar, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, 1993. an, La

Friedm

London, 1984.

uady, Munir, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

F


(5)

p, M. Yahya, Segi-Segi Hukum P

Haraha erjanjian, Alumni, Bandung, 1986.

aannya, Djambatan, Jakarta, 2005.

Muham

ulyadi, Kartini dan Gunawan Wijaya, Hak Tanggungan, Prenada Media, Jakarta,

0.

rodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,

ukum Perdata, Mandar Maju, Bandung, 2000.

oedjendro, Kartini, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik jian Peralihan Hak Atas Tanah yang berpotensi Konflik), Kanisius, Yogyakarta 2001.

Soekan , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

1985.

___________, Pengantar Penelitian Hukum, UI. Press, 1984.

ubekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002.

___________, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

umaryono, E, Etika profesi hukum (norma-norma bagi penegak hukum), Kanisius, Yogyakarta, 1995.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksan

Lubis, M. Solly,, Filsafat ilmu dan penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994. mad, Abdul Kadir, Hukum Harta Kekayaan, Citraa Aditya Bakti, Bandung, 1994.

___________, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1985. M

2005.

Perangin, Effendi, Praktik jual beli tanah, Rajawali, Jakarta, 199 P

Sumur Bandung, Jakarta, 1981. 110 

___________, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang dari Sudut H

S

(Tafsir Sosial Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah-Notaris Ketika Menghadapi Perjan

to, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif

___________, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1983. S

Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981. S


(6)

Sunindhia, Y. W, dan Ninik Widayanti, Pembaruan Hukum Agraria (Beberapa a, 1988.

Sya taka

idjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi, Jual Beli, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Wuisman, J.J.J. M, Penelitian ilmu-ilmu sosial, asas-asas, FE UI, Jakarta, 1996.

B. Peraturan Perundang-undangan Kitab Udang-Undang Hukum Perdata.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

struksi Mentri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998.

Pemikiran), Bina Aksara, Jakart

Sutedi, Adrian, Peralihan hak atas tanah dan pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

hrani, Riduan, hukum acara perdata di lingkungan peradilan umum, Pus Kartini, Jakarta, 1997.

W