BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Perkawinan dapat dilihat secara umum maupun secara khusus, secara umum KWI 2011, 6
mengatakan “Perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga, melahirkan anak, membangun hidup kekerabatan yang bahagia dan sejahtera”. Perkawinan juga dapat dilihat secara khusus melalui
kacamata agama-agama yang ada. Secara Kristiani perkawinan merupakan sebuah konsensus atau kesepakatan. Selain itu perkawinan adalah salah satu wujud
panggilan umat beriman Kristiani yang berasal dari Allah sendiri. Melalui perkawinan, seorang laki-laki dan seorang perempuan dipersatukan. Pemahaman
ini selaras dengan arti dari kesepakatan perkawinan dalam KHK, kan. 1057 §
2
yang mengatakan bahwa “Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak
dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik
kembali”. Maka di dalam perkawinan ini terdapat janji yang mengikat dan mempersatukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Janji yang
mengingkat seorang laki-laki dan seorang perempuan ini tidak dapat diputuskan karena melalui janji ini seorang laki-laki dan seorang perempuan dipersatukan
oleh Allah menjadi satu daging. Janji perkawinan ini meliputi janji setia dalam
2
suka dan duka, untung dan malang, sehat maupun sakit serta menerima kekurangan dan kelebihan pasangan; mencintai dan menghormati seumur hidup;
menjadi ayahibu yang baik untuk anak-anak yang dipercayakan oleh Tuhan dengan mendidik anak secara Katolik.
Janji perkawinan bersifat mengikat seumur hidup sehingga tidak selesai begitu saja ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan mengucapkannya saat
saling menerimakan sakramen perkawinan ataupun saat pemberkatan perkawinan. Janji ini terus melekat pada suami-istri sampai selama-lamanya. Karena janji ini
terus melekat, maka harus selalu dihidupi dalam penyelenggaraan hidup perkawinan sepasang suami-istri. Untuk menghidupi janji perkawinan inilah yang
tidak mudah, karena jika sebuah perkawinan diibaratkan seperti sebuah bahtera pasti akan ada banyak badai dan gelombang yang melandanya. Oleh sebab itulah,
maka perkawinan merupakan sebuah komitmen yang sangat penting Smalley, 2008: 11.
Banyaknya badai yang melanda sebuah bahtera rumah tangga sangat berpengaruh terhadap penghayatan ataupun pemaknaan terhadap janji perkawinan
yang pernah
diucapkan sewaktu
saling menerimakan
sakramen perkawinanpemberkatan
perkawinan. Ada
fase-fasemasa-masa dalam
perkawinan berdasarkan usia perkawinan yang sudah dijalani. Pasutri pasangan
suami-istri yang belum lama berumah tangga 0-5 tahun biasanya berada dalam fasemasa romantis dengan cinta yang masih berkobar. Usia perkawinan antara 0-
5 tahun berdasarkan materi kursus persiapan perkawinan berada dalam masa yang tidak realistis. Masa tidak realistis ini ditandai dengan gejala-gejala berumah
3
tangga yang dapat terlihat, antara lain: semua hal dalam rumah tangga dikerjakan secara bersama-sama, hal buruksifat buruk yang dimiliki sebisa mungkin tidak
ditampakkan, semua masalah dapat diselesaikan dengan cepat, setiap hari bercinta dan bermesraan, berusaha menjadikan pasangan sesuai dengan yang diinginkan,
selalu saling memahami kekurangan apapun yang dimiliki pasangan. Berbeda dengan pasutri yang usia perkawinannya berada pada tahun ke-6 hingga ke-25,
pada masa ini pasutri biasanya masuk pada fase kekecewaan hingga kebosanan. Pasutri dengan usia perkawinan 6-25 tahun harus benar-benar merefleksikan
segala yang dialami dan selalu berpedoman pada janji perkawinan yang mereka ucapkan karena ketika tidak bisa bersikap bijaksana sebagai seorang suami
maupun istri, bahtera rumah tangga yang telah dibangun bisa hancur menabrak karang dan karam. Sedangkan pasutri yang berada pada usia perkawinan di atas
25 tahun biasanya sudah masuk dalam masa berhasil mengatasi situasi yang kurang baik KWI, 2011: 77-78.
Janji perkawinan selalu berlaku dalam situasi dan kondisi apapun, termasuk dalam kondisi perkawinan yang sedang mengalami surut. Janji
perkawinan menuntun setiap pasangan suami-istri dalam menghidupi perkawinannya. Keegoisan yang terbangun di saat masing-masing pribadi masih
lajang sering dibawa dan diterapkan dalam situasi hidup berumah tangga yang tentu saja tidak tepat. Hal-hal semacam inilah yang sering menjadi bibit-bibit
perpecahan dalam kesatuan antara suami dan istri. Salah satu upaya untuk mengatasinya adalah dengan membangun sikap mau mengerti dan mau menerima
satu sama lain, apapun yang ada dan melekat dalam diri pasangan diterima dengan
4
rela hati merupakan salah satu upaya terhindar dari konflik Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” KAS, 2007: 75.
Janji perkawinan diibaratkan seperti kerangka dalam menulis sebuah karangan dan kerangka dalam membangun sebuah bangunan. Ketika seorang
penulis menulis di luar kerangka yang telah dibuat, maka tulisan tersebut tidak akan menjadi indah. Sama halnya seorang tukang bangunan yang hendak
membangun sebuah rumah, ketika ia membangun rumah itu di luar kerangkanya, maka rumah itu tidak akan kokoh. Dalam sebuah perkawinan, janji adalah
kerangka yang menjadi gambaran dalam menjalani sebuah perkawinan. Perubahan zaman yang sangat cepat mengakibatkan pola hidup juga berubah. Di zaman yang
serba modern dan cepat ini mengakibatkan gaya hidup instan menjadi gaya hidup yang “ngetren” dan banyak dianut oleh masyarakat modern. Zaman yang semakin
canggih ini membawa berbagai macam tantangan zaman dan mempengaruhi tingkah laku banyak orang termasuk di dalamnya pasutri yang membina biduk
perkawinan. Hal ini selaras dengan yang ada dalam FC, art.4 yang berbunyi: Perlu ditambahkan refleksi lebih lanjut yang secara khas penting bagi masa
kini. Tidak jarang berbagai ide dan pemecahan soal yang menarik sekali, tetapi dengan kadar yang berbeda-beda mengeruhkan kebenaran tentang
pribadi manusia serta martabatnya, disajikan kepada pria maupun wanita zaman sekarang, sementara mereka secara tulus dan mendalam mencari
jawaban soal-soal harian yang penting berkenaan dengan hidup pernikahan dan keluarga mereka. Kerap kali pandangan-pandangan itu didukung oleh
koordinasi media komunikasi sosial yang besar dampak-pengaruhnya dan
cukup “meyakinkan”, tetapi secara halus membahayakan kebebasan dan kemampuan menilai secara obyektif.
Tantangan zaman yang ada saat ini tidak secara nyata menampakkan diri namun menempel dalam hal-hal yang kelihatannya baik dan dengan cerdik mengambil
kesempatan untuk mempengaruhi manusia untuk melakukan hal-hal yang
5
kelihatannya benar. Ketika seseorang tidak dapat mengendalikan diri dan hanyut dalam tantangan-tantangan zaman tersebut maka akan menyebabkan kehidupan
seseorang tidak akan mendalam lagi dan akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya, termasuk kehidupan perkawinannya.
Dari hasil observasi dapat diketahui bahwa Paroki HKTY Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran adalah sebuah paroki yang besar, tidak hanya wilayahnya
namun juga jumlah umatnya sangat besar. Di antara jumlah umat yang besar ini, sebagian besar di antaranya memilih panggilan hidup berumah tangga. Paroki Hati
Kudus Tuhan Yesus Ganjuran merupakan sebuah Paroki yang umatnya sudah bergaya hidup modern dan rentan terseret dalam tantangan zaman sehingga pada
akhirnya bisa membawa dampak yang negatif pada kehidupan perkawinan terlebih perkawinan yang masuk dalam fasemasa yang banyak mengalami
kekecewaan serta kebosanan. Akibat yang lebih buruk lagi dapat mengakibatkan keretakan ataupun kehancuran dalam hidup perkawinan. Berdasarkan observasi
yang dilakukan dapat diketahui adanya gejala perilaku pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun yang bisa menjadi bibit-bibit permasalahan hidup berumah
tangga dan mengancam keutuhan perkawinan. Gejala perilaku ini misalnya seperti tidak pernah pergi ke gereja bersama, sibuk dengan masing-masing pekerjaan,
tidak adanya waktu makan bersama, dll. Usia perkawinan ini 6-15 tahun masuk dalam fasemasa krisis, sedangkan secara khusus usia perkawinan 5 tahun di
Paroki HKTY masuk dalam masa peralihan dari masa romantis menuju masa krisis. Gereja khususnya sebagai katekis ataupun calon katekis mempunyai tugas
khusus yang diemban, hal ini selaras dengan KHK, kan. 210 yang mengatakan
6
bahwa “Semua orang beriman Kristiani sesuai dengan kedudukan khasnya, harus
mengerahkan tenaganya untuk menjalani hidup yang kudus dan memajukan perkembangan Gereja serta pengudusannya yang berkesinambungan”. Dari
pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa setiap orang beriman Kristiani pada dasarnya memiliki tanggung jawab yang tidak mudah untuk selalu menjalani
hidup yang kudus dan memajukan perkembangan Gereja serta pengudusannya. Ini berarti kekhasan kedudukan setiap orang beriman Kristiani apapun itu harus
dihidupi dan dibawa serta diarahkan untuk perkembangan Gereja. Kekhasan kedudukan setiap umat beriman Kristiani ini menyangkut segala profesi yang
dijalani termasuk sebagai seorang katekis maupun calon seorang katekis. Sebagai calon seorang katekis berarti harus mampu menghayati dan menghidupi
panggilannya. Cara untuk menghidupi panggilan ini bermacam-macam salah satunya dengan terlibat dalam perkembangan Gereja. Hal yang mendesak
berdasarkan pengamatan yang dilakukan adalah adanya gejala-gejala perilaku pasutri 5-15 tahun yang perlu mendapatkan perhatian khusus.
Berpijak dari pemikiran inilah, perhatian khusus bagi pasutri yang usia perkawinannya 5-15 tahun harus segera diwujudkan secara nyata. Untuk
mewujudkan perhatian ini tidaklah mudah terlebih untuk menentukan perhatian apa yang paling tepat bagi mereka karena gambaran kehidupan perkawinan
mereka terlebih dalam menghayati janji perkawinan belum bisa dilihat dengan pasti. Untuk melihat gambaran perkawinan pasutri dengan usia perkawinan 5-15
tahun ini diperlukan sebuah penelitian. Melalui skripsi ini diharapkan ada sebuah gambaran yang jelas mengenai perwujudan janji perkawinan yang sudah
7
dilakukan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY yang selama ini sudah terjadi sehingga perhatian pada pasutri dengan usia perkawinan
5-15 tahun bisa segera diwujudkan atau bisa lebih ditingkatkan dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka sehingga keutuhan perkawinan akan tercapai. Keutuhan
perkawinan inilah yang membawa kebahagiaan dalam hidup berkeluarga. Oleh
karena itu penulis mengangkat judul skripsi PERWUJUDAN JANJI PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI DENGAN USIA
PERKAWINAN 5-15
TAHUN DEMI
MENJAGA KEUTUHAN
PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.
B. Rumusan Masalah