BAB III PASANGAN SUAMI-ISTRI DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN
DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN
Umur perkawinan biasanya membawa tantangan yang khas pada perjalanannya. Kekhasan tantangan dalam hidup perkawinan ini juga sangat
dipengaruhi oleh lokasi tempat bermukim seperti sejarah tempat tersebut, situasi sosial, situasi relasional maupun situasi ekonomi. Faktor-faktor tersebut bisa
membawa gejala perilaku yang khas dalam kehidupan perkawinan seperti yang terjadi pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran
dalam mewujudkan janji perkawinannya.
A. Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Yogyakarta
1. Sejarah Paroki
Adanya Paroki HKTY sekarang ini tidak terlepas dari sejarah dibangunnya Gereja dan Candi HKTY Ganjuran yang menjadi tempat berziarah bagi banyak
orang. Gereja serta Candi HKTY terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dalam waktu yang cukup lama. Ada keunikan dalam sejarah lahirnya Gereja serta
Candi HKTY Ganjuran. Proses yang unik ini membawa berkat tersendiri bagi keberadaan Gereja serta Candi HKTY Ganjuran. Keunikan ini terletak pada
kontribusi yang sangat besar dari sebuah keluarga dalam membangun Gereja dan Candi HKTY Ganjuran. Keluarga yang memiliki kontribusi yang sangat besar ini
adalah keluarga Schmutzer.
51
Sejarah ini berawal dari kedatangan pasangan suami-istri Stefanus Barends dan Elise Francisca Wilhelmia Kathaus ke Ganjuran untuk membeli perkebunan
tebu pada tanggal 1 September 1862. Setelah membeli perkebunan tersebut, Barends membangun pabrik gula di tempat itu yang diberi nama Pabrik Gula
Gondang Lipuro karena terletak diantara dua dusun yakni Dusun Kaligondang dan Dusun Lipuro. Sebelum pabrik dapat berkembang dengan pesat, ada sebuah
peristiwa menyedihkan yang melanda keluarga Barends. Peristiwa ini adalah meninggalnya Stefanus Barends setelah 14 tahun mendirikan Pabrik Gula
Gondanglipuro, tepatnya pada tahun 1976. Setelah Stefanus Barends meninggal, pabrik gula diwariskan kepada istri serta anaknya Ferdinand Barends.
Pada tahun 1880, Elise Francisca Wilhelmia Kathaus bertemu dengan Gottfried Schmutzer. Setelah pertemuannya tersebut, mereka menikah di
Surabaya dan dikaruniai 4 orang anak yakni Elise Anna Maria Antonia Schmutzer 1881, Josef Ignas Julius Maria Schmutzer 11 November 1882, Julius Robert
Anton Maria Schmutzer 12 Desember 1884 dan Eduart Milhelm Maria Schmutzer 8 Oktober 1887. Eduart meninggal pada usia 18 tahun karena sakit,
tepatnya pada tahun 1905. Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah HBS di Surabaya, Josef dan
Julius Schmutzer belajar Politeknik di Delf, Belanda. Hal yang membuat Josef dan Julius Schmutzer peduli pada kaum kecil adalah aktifnya mereka dalam
mengikuti gerakan Mahasiswa Katolik semasa kuliah. Saat itu, Revolusi Industri dan Kapitalisme sedang menguasai dunia perindustrian terutama di Barat. Dua
52
bersaudara ini memiliki tekad yang bulat untuk memperjuangkan Ajaran Sosial Gereja Rerum Novarum yang ditujukan untuk melindungi dan memperjuangkan
hak kaum buruh dalam menghadapi tantangan dunia industri saat itu. Pada tahun 1902, Gottfried Schmutzer meninggal dunia sehigga Elise
Francisca Wilhelmia Kathaus bersama putrinya Elise Anna Maria Antonia Schmutzer memutuskan kembali ke Belanda. Tahun 1910, Elise Francisca
Wilhelmia Kathaus bersama kedua putranya Josef dan Julius Schmutzer datang kembali ke Indonesia, tepatnya di Ganjuran. Setelah 5 tahun kedatangan keluarga
Schmutzer ke Ganjuran, Nyonya Elise Francisca Wilhelmia Kathaus sakit keras dan akhirnya meninggal dunia meninggalkan kedua putranya di Ganjuran.
Selanjutnya Josef dan Julius Schmutzer membeli Pabrik gula milik ibunya Elise Francisca Wilhelmia Kathaus dan saudaranya Ferdinand Barends sehingga pada
tahun 1912, Josef dan Julius Schmutzer resmi menjadi pemilik Pabrik Gula Gondang Lipuro.
Sejak menjadi pemilik Pabrik Gula Gondang Lipuro, Dr. Ir. Josef Ignas Julius Maria Schmutzer dan Ir. Julius Robert Anton Maria Schmutzer selaku
pimpinan pabrik gula, menjalankan Ajaran Sosial Gereja Rerum Novarum. Ajaran ini diundangkan oleh Paus Leo XIII dan cenderung diabaikan. Sejak
menjadi pemilik itulah Josef dan Julius Schmutzer memperlakukan kaum buruh sebagai mitra kerja yang juga mendapatkan bagian atas keuntungan yang
didapatkan perusahaan. Selain karyanya di dalam pabrik gula, mulai tahun 1919 keluarga
Schmutzer juga mendirikan 12 Sekolah Rakyat di sekitar Pabrik Gula Gondang
53
Lipuro. Sekolah-sekolah ini yakni: Standaardshcool SD didirikan di Ganjuran tahun 1919, Volkcschool SD bawah didirikan di Kanutan tahun 1923,
Volkcschool SD bawah didirikan di Bekang tahun 1923, Volkcschool SD bawah didirikan di Cepaka tahun 1923, Volkcschool SD bawah untuk putri
didirikan di Ganjuran 1926, Vervogschool SD atas didirikan di Ganjuran tahun 1928, Volkcschool SD bawah didirikan di Klagaran tahun 1928, Volkcschool
SD bawah untuk putri didirikan di Srihardono tahun 1930, Volkcschool SD bawah didirikan di Krajan tahun 1930, Volkcschool SD bawah didirikan di
Sangkeh tahun 1930. Angka 12 sengaja dipilih sebagai lambang 12 rasul Yesus. Pendanaan sekolah-sekolah ini pada awalnya dibiayai dengan mengambil
sebagian untung pabrik, namun setelah pabrik tidak berproduksi, pengelolaan sekolah diserahkan pada Yayasan Kanisius.
Pada tahun 1919, Josef Schmutzer menikah dengan Lucie Amelie Hendriksz dan menetap di Ganjuran sampai tahun 1920. Sesudah itu mereka
menetap di Bogor sampai tahun 1930 dan pada tahun itu Josef Schmutzer bersama istri serta anaknya kembali ke Belanda. Sedangkan Julius Schmutzer pada tahun
1920 sebelum kakaknya meninggalkan Ganjuran menikah dengan Caroline Theresia Maria van Rijckevorsel seorang perawat dan pekerja sosial. Pernikahan
dengan Caroline Theresia Maria van Rijckevorsel menjadikan perhatian dan pelayanan keluarga Schmutzer terhadap orang kecil semakin meningkat. Caroline
Theresia Maria van Rijckevorsel sangat peduli dengan kaum perempuan. Perhatiannya itu diwujudkan dengan mendirikan asrama dan sekolah untuk kaum
perempuan yang masuk dalam 12 sekolah yang didirikan keluarga Schmutzer.
54
Selain asrama dan sekolah untuk kaum perempuan, Caroline Theresia Maria van Rijckevorsel juga merintis sebuah poliklinik yang dibuka di garasi rumahnya dan
dibantu oleh Ibu I. Waginem Ignatia Padmajatiwara yang akrab disapa Tante A. Poliklinik tersebut dalam perkembangannya menjadi Rumah Sakit Elisabeth
Ganjuran yang sekarang dikelola oleh Suster-suster CB dan Yayasan Panti Rapih. Pada tanggal 28 Februari 1924, Ir. Julius Schmutzer mendapat izin dari Sri
Sultan Hamengkubuwono VIII untuk membangun saluran irigasi dari Kali Progo untuk mengairi tanaman tebu demi menjaga kelangsungan hidup pabrik dan
membantu masyarakat di sekitarnya. Saluran irigasi ini segera dibangun mulai dari Sungai Progo Kamijoro sampai dengan Kebonongan Kretek sehingga
perkebunan tidak lagi kekeringan sehingga meningkatkan keuntungan pabrik. Sebagai ungkapan syukur, keluarga Schmutzer mendirikan rumah sakit di
Yogyakarta dengan nama Onder de Bogen, namun kini rumah sakit tersebut lebih dikenal dengan sebutan Panti Rapih. Rumah sakit ini dibiayai dengan
menyisihkan sebagian keuntungan pabrik. Pada masa itu, Rm. van Driessche, SJ sudah merintis karya di Ganjuran
jauh sebelum Gereja Ganjuran dibangun dengan menumpang di salah satu rumah keluarga Schmutzer. Beliau mempersembahkan misa dan mengajar secara
berkala. Pelajaran agama pertama diberikan pada guru-guru dan karyawan pabrik sehingga pada tahun 1924, keluarga Schmutzer mendirikan Gereja HKTY
Ganjuran, tepatnya tanggal 16 April 1924 dan Rm. van Driessche, SJ menjadi gembala umat yang pertama. Pada masa itu, Ganjuran merupakan pusat keramaian
dan perekonomian yang penting di Kecamatan Bambanglipuro.
55
Selain mendirikan gereja, rumah sakit dan sekolah-sekolah, keluarga Schmutzer masih ingin mendirikan sebuah monumen sebagai kenangan untuk
menghormati, memuliakan serta mengenang kebaikan serta belas kasih Hati Kudus Tuhan Yesus. Pada tahun 1927, dimulailah pembangunan Candi Hati
Kudus Tuhan Yesus dengan corak Hindu-Jawa. Arca Kristus Raja dengan jari menunjuk Hati Kudus-Nya yang terbuka ditahtakan di dalamnya. Arca Kristus
Raja menjadi simbol kebapaan Allah yang meraja dan menguasai alam semesta sedangkan Hati Kudus yang menyala merupakan simbol kasih seorang ibu yang
bersedia memberikan bahkan mengorbankan hidup hatinya sendiri demi anak- anaknya.
Peletakan batu pertama pembangunan candi dilakukan tanggal 26 Desember 1927 Natal Kedua oleh Mgr. van Velsen SJ Uskup Batavia. Pada
saat itu juga dilakukan pemberkatan patung Hati Kudus Tuhan Yesus kecil yang akan ditanam di dalam candi. Keluarga Schmutzer memilih corak Hindu-Jawa
agar menarik perhatian orang sehingga dapat menghayati dan mengembangkan imannya dalam konteks budaya setempat.
Pembangunan candi memerlukan waktu 2 tahun sehingga baru 2 tahun kemudian tepatnya tanggal 11 Februari 1930 Mgr. van Velsen SJ datang kembali
ke Ganjuran untuk memberkati bangunan candi. Tanggal 11 Februari dipilih karena bertepatan dengan tanggal penampakan Maria di Lourdes. Pada tahun
1930-an, Ibu Caroline Theresia Maria van Rijckevorsel meminta hadiah kepada suaminya untuk dibangunkan sebuah rumah sakit. Setelah pembangunan selesai,
Rumah Sakit Santa Elisabeth diberkati. Pada tanggal 4 April 1930, 4 orang Suster
56
CB tiba dari Belanda. Keempat suster ini yakni Sr. Yudith De Laat, Sr. Ignatia Lemmens, Sr. Simona, Sr. Rudolpha De Broot. Para suster inilah yang nantinya
meneruskan sebagian karya keluarga Schmutzer. Tahun 1934 Ir. Julius Schmutzer jatuh sakit dan memerlukan perawatan
serius sehingga beliau dan keluarganya kembali ke Belanda dan tinggal di Amhem. Walaupun demikian, beliau masih sering datang ke Indonesia untuk
mengunjungi Pabrik Gula Gondang Lipuro. Setelah Julius ke Belanda, pabrik gula dipimpin oleh seorang administrator yang telah ditunjuk oleh keluarga Schmutzer.
Clash II yang terjadi pada tanggal 1948 mengakibatkan pabrik gula dibakar, namun gereja, rumah sakit serta sekolah-sekolah masih tetap berdiri dan
berkembang sampai saat ini. Pada tahun 1950, Ir. Julius Schmutzer berusaha membangun kembali pabriknya namun gagal karena situasi politik yang tidak
mendukung. Akhirnya pada tahun 1954 Ir. Julius Schmutzer kembali jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia sedangkan istrinya Caroline Theresia Maria van
Rijckevorsel baru meninggal pada tahun 1990. Pada Bulan Mei 1988, Bp. Y. Suparto seorang hamba Tuhan yang
memiliki kelebihan dalam hal supranatural mengemukakan bahwa ada sumber air yang cukup besar di dasar candi. Untuk membuktikannya, beberapa bulan
kemudian Dewan Paroki melakukan pengeboran beberapa meter dari bangunan candi dan ternyata memang ada air yang amat jernih. Setelah dilakukan penelitian
di laboratorium, kualitas air tersebut juga sangat bagus. Segera setelah ditemukan, Bapak Perwita yang saat itu sedang sakit, karena imannya merasakan berkat
kesembuhan melalui air candi tersebut sehingga air tersebut dinamakan Tirta
57
Perwitasari. Air ini kemudian dialirkan ke-kran-kran sehingga akan lebih banyak orang yang mendapat berkah melalui air tersebut Dewan Paroki HKTY Ganjuran,
2004: 26-45.
2. Letak Geografis Paroki
Paroki HKTY Ganjuran berada di Dusun Ganjuran, Desa Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Gereja ini terletak di 17 km arah Selatan Kota Yogyakarta. Kompleks Gereja Ganjuran berdiri di atas tanah seluas 2,5 hektar terdiri atas bangunan gereja,
pastoran, ruang pertemuan, candi, makam, kapel adorasi, kios-kios pedagang di area parkir serta halaman serta tempat parkir. Seluruh kompleks gereja ini disebut
sebagai Mandala Hati Kudus Tuhan Yesus. Gereja Ganjuran juga memiliki CU Credit Union yang terletak terpisah dari kompleks gereja yakni tepatnya di ruko
sebelah Selatan tempat parkir. Gereja Ganjuran letaknya tidak terlalu jauh dari Samudra Hindia sehingga suhu udaranya cukup panas serta lembab di musim
panas. Di sebelah Timur Gereja berbatasan dengan SMA Stella Duce III, sebelah Selatan berbatasan dengan Ruko Ganjuran serta Lapangan Sumbermulyo, sebelah
Barat berbatasan dengan persawahan dan sebelah Utara berbatasan dengan Panti Asuhan serta Rumah Sakit Santa Elisabet. Walaupun Gereja Ganjuran berada di
daerah pedesaan, namun sudah cukup ramai. Selain itu, karena gereja terletak daerah persawahan maka pemandangannya pun cukup indah. Selain
pemandangannya yang indah, udara di Ganjuran juga masih bersih dan sangat sejuk [Lampiran 5: 5-6].
58
3. Situasi Umum Umat Paroki
Gereja Ganjuran memiliki situasi umum yang unik dikarenakan walaupun gereja ini besar, gereja ini terletak di daerah pedesaan yang masih asri namun
sudah maju dan tersentuh gaya hidup modern. Kehidupan ala pedesaan yang tersentuh gaya hidup modern ini membuat situasi umat di sana juga sangat banyak
dibentuk berdasarkan kehidupan pedesaan namun dengan gaya modern masa kini. Situasi umat di Gereja Ganjuran dapat dibagi menjadi tiga yakni:
a. Situasi sosial
Umat Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran kebanyakan merupakan penduduk asli sekitar Ganjuran yang merupakan Suku Jawa. Bahasa yang
digunakan di sana adalah Bahasa Jawa dengan sedikit penggunaan Bahasa Indonesia. Budaya Jawa yang masih kental sangat terasa di sana. Hal ini terbukti
dengan bentuk bangunan gereja paska gempa dan candi yang bercorak Hindu- Jawa serta busana Jawa yang masih sering digunakan saat Perayaan Ekaristi
dalam kesempatan khusus. Budaya Gotong Royong masih hidup di antara umat di gereja Ganjuran, hal ini terbukti dengan masih sering diadakannya kerja gotong
royong untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau membersihkan sebuah tempat [Lampiran 5: 5-6].
b. Situasi relasional
Situasi relasional yang terdapat di antara umat di HKTY Ganjuran juga sangat khas. Relasi ini terjalin berlandaskan atas dasar kekeluargaan. Hal ini
59
terbukti ketika umat lain sedang mengalami kesusahan dan membutuhkan bantuan, segera umat membantu tanpa pamrih. Kekompakan serta kekeluargaan
yang dibangun umat HKTY Ganjuran ini juga ikut memberi pengaruh pada masyarakat sekitarnya. Umat di sekitar Ganjuran sering merasa direngkuh oleh
umat. Misalnya saja program bantuan karitatif, bekerja sama dengan Rumah Sakit St. Elisabeth, Rumah Sakit Panti Rapih dan rumah sakit-rumah sakit lain.
Kaum muda di Paroki Ganjuran memiliki jejaring sosial dengan memanfaatkan kecanggihan internet dan jejaring ini juga dimanfaatkan untuk
mengenal kaum muda lain di gereja-gereja yang berada di Yogyakarta serta kaum muda di seluruh Gereja Katolik Indonesia. Seperti di paroki-paroki lainnya,
Paroki Ganjuran juga memiliki Dewan Paroki yang bertujuan untuk mempermudah romo dalam menggembalakan umat. Satu lagi yang unik dari
Paroki Ganjuran, Paroki Ganjuran memiliki Paguyuban Abdi Dalem yang tugasnya memberikan pelayanan kepada umat tanpa pamrih. Umat yang
tergabung dalam Paguyuban Abdi Dalem biasanya umat yang sudah berumur lanjut [Lampiran 5: 5-6].
c. Situasi ekonomi
Umat di Paroki HKTY Ganjuran terdiri dari umat dengan kelas ekonomi menengah ke atas serta menengah ke bawah. Umat dengan kondisi ekonomi
menengah ke bawah lebih banyak dibandingkan dengan umat dengan kondisi ekonomi ke atas. Pekerjaan umat di Paroki Ganjuran beranekaragam mulai dari
petani, pedagang, wiraswasta, PNS, Polisi, TNI, Dokter, dll. Walaupun sebagian
60
besar umat berada pada kelas ekonomi menengah ke bawah namun tidak pernah menghambat perkembangan iman umat dan justru memberi alasan lebih untuk
mensyukurinya. Tanaman yang biasa ditanam oleh umat yakni padi, palawija, bawang merah untuk daerah pesisir serta sayuran kol, cabe, sawi hijau, dll.
Pasutri muda biasanya bekerja di kantor, pabrik maupun sebagai PNS, TNI serta polri [Lampiran 5: 5-6].
4. Pembagian Wilayah dan Lingkungan
Paroki HKTY Ganjuran merupakan sebuah paroki yang besar dengan cakupan wilayah yang cukup luas sehingga Paroki HKTY Ganjuran mencakup
banyak kecamatan. Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus secara teritorial gereja dibagi menjadi 12 wilayah dengan 54 lingkungan. Wilayah-wilayah serta lingkungan-
lingkungan ini yakni: Wilayah St. Bartolomeus Siten yang dibagi menjadi 4 lingkungan yaitu Lingkungan St. Maria Siten Tengah, St. Lukas Siten Lor, St.
Yusup Jombok, St. Markus Mandungan; Wilayah St. Markus Mandungan; Wilayah St. Fransiskus Xaverius Kanutan yang terdiri dari 4 lingkungan yaitu
Lingkungan St. Antonius Jowilayan, St. Michael Mundu Kauman, St. Ignatius Gilang, St. Andreas Santenan Kremen; Wilayah St. Philipus Gondanglipuro terdiri
dari 5 lingkungan yakni Lingkungan St. Paulus Gandekan, St. Michael Kaligondang, St. Barnabas Jogodayoh, St. Lukas Gunungan I, St. Markus
Gunungan II; Wilayah St. Paulus Cepoko Karangmojo Peni Cekap terdiri dari 4 lingkungan yakni Lingkungan St. Yakobus Minor Peni, St. Yohanes Pemandi
Karangmojo, St. Benedictus Cepoko I, St. Yohanes Rasul Cepoko II; Wilayah St.
61
Marlus Kedon Tangkilan Ketan tediri dari 3 lingkungan yaitu Lingkungan St. Lukas Kedon Lor, St. Andreas Kedon Kidul, St. Chrystophorus Tangkilan;
Wilayah St. Matheus Caben terdiri dari 7 lingkungan yaitu Lingkungan St. Gregorius Magnus Sabrang Gresik Mejing SGM, St. Petrus Caben Kulon
Wetan, St. Yusuf Tegal Jetis Karang, St. Tarcicius Karang Bajang Tengah Kidul, St. Franciscuss Xaverius Bebekan Destan, St. Yusuf Gambuhan, St. Ignatius
Nglarang; Wilayah St. Lukas Tambran terdiri dari 6 lingkungan yaitu Lingkungan St. Petrus Pundong, St. Yusuf Jamprit, St. Vincentius Pundong Kidul I, St.
Andreas Pundong Kidul II, St. Paulus Paker, St. Yakobus Tulasan; Wilayah St. Markus Ngireng-ireng terdiri dari 6 lingkungan yaitu Lingkungan St. Paulus
Kepuh, St. Petrus Turi Japuhan, St. Agustinus Tempel Selo, St. Laurentius Cangkring, St. Victorianus Warungpring, St. Yusuf Ngireng-ireng; Wilayah St.
Yusuf Kretek terdiri dari 3 lingkungan yaitu Lingkungan St. Matheus Greges, St. yakobus Mayor Gading, St. Yohanes Mriyan; Wilayah St. Yusuf Baros terdiri dari
3 lingkungan yaitu Lingkungan St. Matheus Muneng, St. Markus Baros I, St. Gregorius Baros II; Wilayah St. Albertus Gunturgeni terdiri dari 3 lingkungan
yaitu Lingkungan St. Paulus Sanden, St. Petrus Kuroboyo, St. Simon Gunturgeni; Wilayah St. Albertus Magnus Nopaten terdiri dari 6 lingkungan yaitu Lingkungan
Lingkungan St. Petrus Daleman, St. Thomas Nopaten, St. Robertus Bellarminus Sabunan Jombok, St. Franciscus Assisi Kauman Tambalan, St. Petrus Krekah
Karanganom, St. Bartholomeus Banjarwaru. Itulah pembagian wilayah dan lingkungan di Paroki HKTY Ganjuran Dewan Paroki HKTY Ganjuran, 2014: 6-
71.
62
5. Gambaran Umum mengenai Keluarga dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun
Keluarga adalah suatu komunitas dasar yang harus selalu dihidupi sebagai komunitas yang dipersatukan oleh Allah sendiri. Ada perbedaan antara keluarga
secara umum maupun keluarga yang hidup secara katolik. Ada beberapa masafase dalam hubungan suami-istri yang terjalin dalam sebuah keluarga. Ada
pula beberapa golongan keluarga yang diklasifikasikan sesuai dengan umur perkawinannya.
Keluarga dengan usia perkawinan 5-15 tahun merupakan keluarga madya. Pasutri yang masuk dalam usia perkawinan ini merupakan pasutri dengan usia
muda sampai usia paruh baya. Kebanyakan dari pasutri ini sudah memiliki anak lebih dari satu dan mereka sudah mulai dipusingkan dengan biaya sekolah anak
mereka. Pada usia perkawinan ini, pasutri masih tergolong usia produktif dan selalu disibukkan dengan rutinitas pekerjaan yang padat. Pasutri dengan usia
perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran memiliki kecenderungan perilaku yang agak berbeda dengan pasutri dengan usia
perkawinan di bawah 5 tahun ataupun pasutri dengan usia perkawinan di atas 15 tahun. Pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan
Yesus Ganjuran biasanya lebih suka melakukan kegiatannya sendiri-sendiri atau bisa dikatakan terpisah dari pasangannya. Efek dari kebiasaan ini juga
mempengaruhi cara hidup menggereja pasangan suami-istri tersebut. Pasangan suami-istri dengan usia perkawinan 5-15 tahun lebih sering berangkat ke gereja
sendiri-sendiri sehingga mengakibatkan semakin jauhnya hubungan antara suami- istri.
63
Pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran sampai akhir September 2014 menurut buku catatan perkawinan
berjumlah 750 pasang. Pasutri ini tersebar di seluruh wilayah di Paroki HKTY ganjuran dan sebagian kecil bekerja di luar kota.
B. Metodologi Penelitian