9
mengenai penghayatan janji perkawinan pada pasutri, khususnya pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun.
2. Manfaat Praktis
a. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang pentingnya
perwujudan janji perkawinan dalam hidup berumah tangga. b.
Membantu pasutri khususnya pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun yang berada dalam Paroki HKTY Ganjuran untuk menyadari pentingnya
mewujudkan janji perkawinan dalam hidup berumah tangga. c.
Memberikan sumbangan pada Paroki HKTY Ganjuran agar para penggembala umat di sana dapat memiliki gambaran mengenai program yang sesuai untuk
pendampingan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun.
E. Metode Penulisan
Dalam tugas akhir ini penulis menggunakan metode penulisan deskriptif- analisis. Teknis dalam penggunaan metode ini pertama-tama penulis hendak
mendalami perkawinan secara Katolik beserta janji yang diucapkan, lalu menggali perwujudan janji perkawinan pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di
Paroki HKTY Ganjuran. Penulis ingin mengetahui sejauh mana janji perkawinan itu diwujudkan oleh pasutri dan hambatan-hambatan apa sajakah yang sering
ditemui dalam mewujudkan janji perkawinan terutama pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran. Setelah itu, berpedoman pada
data yang diperoleh itulah penulis hendak mengusulkan program pendampingan
10
yang menjawab kebutuhan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan keadaan
dan kesibukannya.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai skripsi yang hendak ditulis, maka penulis membagi pokok-pokok tulisan sebagai berikut:
Bab I berisi Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penulisan, dan
Sistematika Penulisan. Bab II menguraikan tentang Janji Perkawinan yang di dalamnya terdiri
dari lima bagian yaitu yang pertama adalah Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Perkawinan secara Umum, Perkawinan Katolik, Tujuan Perkawinan, Ciri-ciri
Hakiki Perkawinan, Hakikat Perkawinan, Perkawinan yang Sakramen dan Non Sakramen. Kedua adalah Janji Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Rumusan Janji
Perkawinan, Makna Janji Perkawinan. Ketiga adalah Perwujudan Janji Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Arti Perwujudan Janji Perkawinan, Arah
Perwujudan Janji Perkawinan, Tujuan Perwujudan Janji Perkawinan, Pentingnya Usaha Mewujudkan Janji Perkawinan, Manfaat Mewujudkan Janji Perkawinan.
Keempat adalah Keutuhan Keluarga, diuraikan lagi menjadi Keutuhan, Keutuhan Keluarga.
Bab III menguraikan tentang Pasangan Suami-istri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran yang terdiri
11
dari lima bagian, yang pertama adalah Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Yogyakarta, diuraikan lagi menjadi Sejarah Paroki, Letak Geografis Paroki,
Situasi Umum Umat Paroki, Pembagian Wilayah dan Lingkungan, Gambaran Umum mengenai Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun. Kedua adalah
Hasil Penelitian, diuraikan lagi menjadi Penelitian, Latar Belakang Penelitian, Tujuan Penelitian, Jenis Penelitian, Metode Penelitian, Instrument Penelitian,
Responden Penelitian, Tempat dan Waktu Pelaksanaan, Variabel. Ketiga adalah Hasil Penelitian, diuraikan lagi menjadi Janji Perkawinan, Pasutri dengan Usia
Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, dan Keutuhan Perkawinan. Keempat adalah Kesimpulan Hasil Penelitian, diuraikan
lagi menjadi Janji Perkawinan, Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, dan Keutuhan Perkawinan. Kelima
adalah Refleksi Kritis Perwujudan Janji Perkawinan Pada Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Janji
Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Perwujudan Janji Perkawinan, Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran dan
Keutuhan Perkawinan. Bab IV berisi tentang Usulan Program Pendampingan Keluarga Katolik
Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran yang terbagi dalam enam bagian. Pertama adalah Latar Belakang Penyusunan Program, kedua adalah Katekese,
ketiga adalah Usulan Program, keempat adalah Rumusan Tema dan Tujuan, kelima adalah Penjabaran Program, keenam adalah Contoh Pelaksanaan Program
12
Pendampingan Pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Bantul Yogyakarta.
Bab VI berisi tentang Penutup yang terdiri dari tiga bagian, yang pertama adalah Kesimpulan. Kedua adalah Saran yang masih dibagi lagi menjadi Bagi
Para Pendamping, Keluarga pada Umumnya, Bagi Para Pendamping Keluarga di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bagi Romo Paroki, Bagi Para
Pasangan Suami-istri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun. Ketiga adalah Penutup secara Umum.
BAB II JANJI PERKAWINAN PASUTRI
A. Perkawinan
1. Perkawinan secara Umum
Secara umum perkawinan bertujuan menyatukan dua pribadi untuk membentuk sebuah keluarga baru yang bahagia dan juga sejahtera. Hal senada
dengan UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN yang berbunyi “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini berarti
perkawinan secara umum dilihat sebagai ikatan lahir batin persatuan antara pria dan seorang wanita dalam segala segi kehidupannya baik secara lahir kelihatan
ataupun batin tidak kelihatan. Kesatuan ini juga menerangkan kesatuan seluruh pribadi dan seluruh hidup. Dari pernyataan ini juga dapat kita lihat dengan jelas
bahwa di Negara Indonesia hanya mengakui perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta tidak mengakui adanya
perkawinan homogen antara sesama jenis kelamin. Perkawinan di Indonesia juga akan menjadi sah bila dilangsungkan berdasarkan tata cara agama pelaku
perkawinan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Chu. Bahagia dan kekal berarti tujuan dari perkawinan itu adalah kebahagiaan dan sifat dari
perkawinan itu adalah kekalseumur hidup. Arti kekal lebih luas lagi sebenarnya negara pun tidak mendukung tindakan perceraian walaupun bisa dilakukan.
14
2. Perkawinan Katolik
Sejak kapankah perkawinan itu ada di dalam Gereja Katolik? Pertanyaan ini memiliki jawaban yang tidak sederhana karena kita harus melihat kembali
kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian Kitab Suci Perjanjian Lama. Dari kisah penciptaan Kej 2:21-22 ditulis:
Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup
tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya
kepada manusia itu.
Dari perikop tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa dari sejak semula laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai satu daging. Perempuan diciptakan
dari tulang rusuk laki-laki sehingga memang ada kesatuan antara laki-laki dan perempuan. Kesatuan itulah yang membuat laki-laki dan perempuan saling
membutuhkan. Tuhan Allah menciptakan perempuan sebagai patner yang seimbang untuk laki-laki. Laki-laki dan perempuan saling melengkapi dalam
melaksanakan kehidupan sesuai dengan kodradnya yang khas, fungsi ini sama dengan fungsi kesatuan antara laki-laki dengan perempuan dalam perkawinan
Katolik yang kita kenal saat ini. Bedanya jika kesatuan antara laki-laki dan perempuan dalam kisah penciptaan lebih difungsikan sebagai teman dalam
melaksanakan kehidupan yang paling mendasar mempertahankan hidup dan merawat ciptaan Tuhan, sedangkan kesatuan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan saat ini mencakup segala segi kehidupan yang lebih luas sesuai dengan perkembangan zaman di dalamnya mencakup kewajiban mendidik anak dan
sebagainya.
15
Perkawinan merupakan sebuah kesepakatan, hal ini selaras dengan KHK, kan. 1057 § 2
“Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan menerima
untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali”. Jadi jelaslah bahwa perkawinan merupakan sebuah kesepakatan yang di dalamnya
terdapat penyerahan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta sikap terbuka untuk saling menerima kehadiran pasangan seluruhnya tanpa syarat
dalam hidup perkawinan dengan perjanjian yang tidak dapat dibatalkan lagiditarik lagi. Perjanjian ini tidak dapat ditarik kembali sebab menyangkut 3
pihak yakni seorang laki-laki, seorang perempuan dan Allah sendiri yang menjadi pengikat perjanjian tersebut. Karena alasan ini pula perkawinan Katolik
merupakan sebuah proses yang panjang mulai dari masa persiapan, pelaksanaan hingga pasca perkawinan. Hal ini juga senada dengan yang ada dalam GS, art. 48
yang berbunyi: Allah sendirilah penyelenggara perkawinan yang dilengkapi dengan
berbagai nilai dan tujuan …. Cinta kasih suami istri yang sejati diangkat sebagai sakramen dalam cinta kasih ilahi dan dipimpin serta diperkaya
oleh daya penyelamat Kristus dan karya keselamatan Gereja, agar suami istri diantar kepada Allah untuk mendapatkan kasih karunia dan kekuatan
dalam tugas luhur sebagai ayah dan ibu.
Jadi penyelenggara perkawinan adalah Allah sendiri, perkawinan yang didasari cinta kasih ini oleh Allah diangkat dalam cinta kasih yang ilahi, cinta kasih yang
ilahi adalah cinta kasih yang paling tinggi dan sempurna. Dalam perkawinan Katolik, Kristus sendirilah yang memimpin dan menuntun perkawinan. Dia
melengkapi celah-celah dalam perkawinan, selain daya Kristus, karya keselamatan Gereja juga menjadi bagian di dalamnya. Perkawinan adalah sebuah
16
jawaban yang luhur manusia terhadap panggilan Allah. Dari sejak dahulu perkawinan merupakan sebuah hal yang sakral dan harus selalu dihayati dan
dihidupi. Banyak perikop di dalam Kitab Suci yang berbicara mengenai perkawinan. Dalam Injil Yoh 15:9-12, ada sebuah pesan inti yang sangat baik
yakni “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah
mengasihi kamu ”. Kasih sangat dekat dengan hubungan suami-istri dalam
perkawinan. Kasih pulalah yang menjadi dasar bagi kehidupan orang Kristiani. Selain Injil Yohanes masih ada banyak perikop lain yang berbicara mengenai
perkawinan. Perkawinan Katolik memiliki kekhasan yang menyebabkannya berbeda
dengan perkawinan pada umumnya. Kekhasan ini adalah perkawinan Katolik diteguhkan dalam tata-peneguhan kanonik forma canonica dan perkawinan
Katolik merupakan sebuah sakramen.
3. Tujuan Perkawinan
Sebuah hal dilakukan pasti memiliki sebuah tujuan tertentu. Misalnya saja sebuah organisasi dibangun dengan merumuskan tujuan organisasi yang hendak
dicapainya dan yang menjadi alasan mengapa organisasi tersebut ada. Hal ini tidak berbeda dengan sebuah perkawinan. Perkawinan diselenggarakan karena ada
tujuan tertentu yang hendak dicapai. KHK, kan. 1055 mengatakan bahwa: §1. Perjanjian feodus perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan
seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan consortium seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan
suami-istri bonum coniugum serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibabtis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat
sakramen.
17
Jadi pada intinya, perkawinan itu memiliki tiga tujuan yang utama yakni kesejahteraan suami-istri bonum coniugum, terbuka terhadap keturunan
prokreasi serta pendidikan anak. Bonum coniugum atau kesejahteraan suami- istri dapat tercapai jika masing-masing pribadi menghargai dan menempatkan
pasangan hidup sebagai patner cinta kasih dalam mewujudkan keluarga yang baik dan harmonis. Kesejahteraan suami istri ini berlandaskan cinta kasih yang
semakin hari hendaknya semakin diteguhkan dan semakin dipupuk agar tumbuh subur. Menjadi suami-istri berarti menjadi satu pribadi sehingga hendaknya
masing-masing pribadi bisa menjadi belahan jiwa bagi pasangannya. Bonum prolis adalah kelahiran baruterbuka terhadap keturunan. Dalam sebuah
perkawinan Katolik, suami-istri memiliki tugas yang luhur untuk melestarikan kehidupan dengan terbuka terhadap kelahiran baru. Terbuka terhadap keturunan
inilah yang menjadi alasan utama Gereja menolak alat kontrasepsi dalam wujud apapun. Gereja hanya melegalkan KB alamiah berdasarkan siklus alami
perempuan. Tujuan perkawinan dalam Gereja Katolik tidak berhenti pada kelahiran baru. Perkawinan yang terbuka bagi kelahiran manusia baru tersebut
harus pula disertai dan dilanjutkan dengan pendidikan anak sebab keluarga adalah tempat yang pertama dan utama dalam mendidik anak. Sebelum anak berinteraksi
dengan dunia luar, ia berinteraksi terlebih dahulu dengan keluarganya. Keluarga merupakan instansi pendidikan non formal yang memberikan jati diri pada anak
untuk dibawa hingga mati. Keluargalah yang paling banyak membentuk pribadi dan kualitas pribadi seorang anak. Sebuah keluarga yang menanamkan nilai kasih
pada anak sejak kecil maka anak tersebut akan tumbuh pula dengan kasih yang
18
akan dibagikannya pada setiap pergaulannya. Hal tersebut juga berlaku untuk sikap-sikap negatif yang mungkin dibentuk oleh keluarga pada seorang anak.
4. Ciri-ciri Hakiki Perkawinan
Perkawinan Katolik adalah sebuah perkawinan yang khas terlebih dilihat dari ciri-ciri hakikinya. Kekhasan inilah yang membedakan perkawinan Katolik
dengan perkawinan lain dan menyebabkan perkawinan Katolik tidak bisa dibandingkan dengan perkawinan lain. Kekhasan perkawinan Katolik ini
diungkapkan dalam KHK, kan.1056 yang berbunyi “Ciri-ciri hakiki proprietates
perkawinan ialah unitas kesatuan dan indissolubilitas sifat tak-dapat- diputuskan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas
dasar sakramen. Jadi, ciri-ciri perkawinan Katolik adalah unitas dan indissolubilitas. Ciri-ciri perkawinan ini bisa dijabarkan kembali menjadi
monogami, tak terceraikan dan terbuka bagi keturunan. Monogami artinya perkawinan hanya bisa dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan
saja. Perkawinan yang monogami berarti jumlah suamiistri hanya satu selama kurun waktu perkawinan sampai salah satu suamiistri meninggal. Perkawinan
monogami menjaga keutuhan cinta dan tidak pernah membagi-baginya. Selain tidak membagi-bagi cinta, perkawinan monogami juga mencerminkan kesetaraan
martabat antara laki-laki dan perempuan. Tak terceraikan menggambarkan cinta kasih Allah kepada umat-Nya yang berlangsung terus menerus sampai selamanya.
Sifat tak bisa diceraikan ini juga dapat dilihat sebagai kekhasan perkawinan kristiani yang membedakan dengan perkawinan lainnya.
19
Hubungan suami-istri juga harus berpolakan sama seperti hubungan Kristus dengan Gereja-Nya. Hal ini senada dengan perikop Kitab Suci dalam Ef
5:22-23 yang berbunyi: Hai isteri, tunduklah
kepada suamimu seperti kepada Tuhan,
karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala
jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk
kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala
sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.
.
Suami diibaratkan seperti Kristus yang harus terus menerus mengasihi jemaat. Istri diibaratkan sebagai jemaat yang harus menghormati suaminya seperti jemaat
yang harus menghormati Kristus yang terlebih dahulu mencintainya. Hubungan Kristus dengan jemaat yakni hubungan yang didasarkan pada cinta kasih yang
terus menerus tanpa terputus hingga maut memisahkan sehingga dalam perkawinan Katolik tidak mengenal kata cerai. Perkawinan merupakan salah satu
panggilan luhur terhadap tugas menjaga kelangsungan hidup. Suami-istri dipanggil oleh Allah untuk saling bekerjasama menciptakan kehidupan baru yang
membawa harapan bagi kelangsungan dunia. Alasan ini pulalah yang menyebabkan Gereja Katolik dengan keras menolak aborsi, sebab kehidupan baru
mestinya dipelihara. Ciri-ciri perkawinan ini menunjuk pada semua jenis perkawinan sakramen ataupun bukan sakramen.
5. Hakikat Perkawinan
Perkawinan Katolik pada intinya atau hakikatnya adalah persatuan seluruh hidup antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berpegang pada
perjanjian cinta kasih dengan pasangan dan Allah dengan maksud mencapai
20
kebahagiaan serta kesejahteraan bersama. I Ketut Adi Hardana dalam Persiapan Kursus Perkawinan 2010: 10 menuliskan beberapa intihakikat dalam
perkawinan, yaitu: Perkawinan adalah sebuah perjanjian. Istilah perjanjian atau kesepakatan
mau membarui istilah hukum: “kontrak”. Kata “Perjanjian” dipilih karena lebih bernuansa rohani yang mengingatkan akan perjanjian antara
Allah dan manusia yang bernuansa cinta kasih.
Bentuk perkawinan: perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup antara pria dan wanita. Persekutuan seluruh hidup ini menyangkut: kesatuan
hati dan perasaan walaupun mereka adalah dua pribadi yang berbeda; tempat tinggal, artinya tinggal di rumah yang sama; kesatuan ekonomi
atau keuangan, artinya penghasilan dan pendapatan antara suami-istri disatukan dan dikelola secara bersama demi kesejahteraan seluruh
keluarga; kesatuan badan yang diungkapkan dalam hubungan seks antara suami-istri.
Subyek yang mengadakan perkawinan itu adalah seorang pria dan seorang wanita yang sungguh-sungguh; artinya pria dan wanita yang
normal, baik secara fisik maupun psikis. Karena itu, Gereja Katolik menolak mengakui keabsahan perkawinan antara dua orang yang sesama
jenis atau antara orang yang melakukan pergantian kelamin.
Dasar dari sebuah perkawinan adalah cinta kasih yang tampak dalam persetujuan bebas dari kedua calon mempelai. Secara yuridis, persetujuan
bebas itu menjadi prasyarat dari sebuah perjanjian perkawinan yang sah. Tujuan dari sebuah perkawinan: kebahagiaan bersama suami-istri dan
keluarga dalam seluruh aspek hidupnya serta kelahiran dan pendidikan anak.
Dalam Gereja Katolik, hakikat perkawinan dipahami secara lebih mendalam sebagai Sakramen yaitu ikatan cinta mesra dalam hidup
bersama antara suami dan istri yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dilindungi dengan hukum-hukum-Nya yang menampakkan cinta kasih
Allah kepada umat-Nya GS, 48.
Berdasarkan beberapa hakikat perkawinan yang ditulis oleh Timotius I Ketut Adi Hardana tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal sehubungan dengan
hakikatinti perkawinan. Perkawinan pada masa lalu diistilahkan sebagai sebuah kontrak antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Istilah kontrak saat ini
diganti dengan istilah janji dengan alasan lebih bernuansa rohani, selain alasan tersebut istilah janji sudah sering kita jumpai dalam Kitab Suci, baik Perjanjian
21
Lama maupun Perjanjian Baru sehingga kita dapat dengan baik mengistilahkan kata janji tersebut dalam perkawinan terlebih janji dalam perkawinan tidak jauh
berbeda dengan istilah janji dalam Alkitab yang melibatkan Allah sebagai pengikat janji. Perkawinan merupakan sebuah bentuk persekutuan seluruh hidup
dan seumur hidup. Dalam perkawinan segala sisi yang ada pada seorang laki-laki maupun seorang perempuan tidak terkecuali melebur menjadi satu dan
membentuk persekutuan hidup bersama yang hanya dapat dipisahkan oleh Allah dengan adanya maut. Gereja Katolik tidak mendiskriminasi pribadi yang
memiliki kelainan seksual seperti homoseksual melainkan justru menerima dan memberikannya tempat. Sikap mau menerima pribadi yang memiliki kelainan
homoseksual bukan berarti setuju serta menerima perkawinan sesama jenis ataupun perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dan perempuan
namun salah satunya sudah melakukan operasi pergantian kelamin. Gereja Katolik menolak karena sudah melanggar keluhuran ciptaan Tuhan dan kodrat sebagai
seorang laki-laki maupun seorang perempuan. Ada berbagai ketentuan yang mengawali sebuah perkawinan, salah satu yang mutlak adanya unsur kebebasan
yang dimiliki masing-masing pribadi sebelum melangsungkan perkawinan. Keterpaksaan menjadikan perkawinan yang dilangsungkan secara Katolik menjadi
tidak sah Rubiyatmoko, 2011: 80. Perjanjian dalam perkawinan juga memiliki tujuan dalam melangsungkan
kehidupan bersama, tujuan dari perkawinan secara umum adalah kesejahteraan pasangan dan pendidikan anak. Ada 7 tujuh sakramen dalam Gereja Katolik dan
salah satunya adalah Sakramen Perkawinan. Perkawinan bisa menjadi sebuah
22
Sakramen jika dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang telah dibabtis secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang salah
satunya dibabtis secara Katolik dengan orang yang pembabtisannya diterima secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang
pembabtisannya diterima secara Katolik, sehingga dalam perkawinan Katolik ada 2 dua jenis perkawinan, yakni perkawinan yang sakramen dan yang non
sakramen KWI, 2011: 8-10.
6. Perkawinan yang Sakramen dan Non Sakramen
Perkawinan dalam Gereja Katolik dibedakan menjadi dua, yakni perkawinan yang sakramen dan yang bukan sakramen non sakramen.
a. Perkawinan sakramen
Perkawinan disebut sakramen apabila dilangsungkan oleh dua orang yang dibabtis hal ini selaras dengan yang ada dalam KHK, kan. 1055§ 2
“Karena itu antara orang-orang yang dibabtis, tidak ada kontrak perkawinan sah yang tidak
sendirinya sakramen”. Jadi perkawinan yang dilangsungkan antara laki-laki dan
perempuan yang telah dibabtis secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang salah satunya dibabtis secara Katolik dengan orang yang
pembabtisannya diterima secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang pembabtisannya diterima secara Katolik secara langsung
diangkat menjadi sakramen. Perkawinan yang sakramen menjadi gambaran dari pengambilan bagian dalam persatuan kasih abadi antara Kristus dengan Gereja-
Nya. Ini yang membedakan Sakramen Perkawinan dengan sakramen yang
23
lainnya. Sakramen Perkawinan bukan diterima dari Imam atau dari pelayan Gereja serta siapapun itu, namun Sakramen Perkawinan saling diterimakan oleh pasangan
melalui janji perkawinan yang mereka ucapkan. Janji perkawinan juga merupakan janji yang diucapkan kepada Allah dan juga Injil Suci.
b. Perkawinana non sakramen
Perkawinan non sakramen adalah perkawinan yang dilakukan antara seorang yang dibabtis secara Katolik dan yang tidak dibabtis. Perkawinan non
sakramen bisa dilangsungkan dalam Gereja Katolik dan sah. Hal ini selaras dengan yang ada dalam KWI 2011: 8-10 yang mengatakan bahwa
“Secara yuridis perkawinan antara seorang yang dibabtis secara Katolik adalah sah jika
diteguhkan dengan forma canonica di depan pejabat Gereja Katolik dan dua orang saksi, namun bukanlah sakramen
”. Karena salah satu pasangan tidak dibabtis maka tidak bisa disebu
t saling menerimakan sakramen”. Jadi jelaslah ada perbedaan antara perkawinan orang yang keduanya dibabtis secara Katolik dan
hanya salah satu yang dibabtis secara Katolik. Perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya dibabtis secara Katolik
akan membawa dampak sakramen pada perkawinannya, sedangkan perkawinan yang dilangsung antara seorang laki-laki dan perempuan yang hanya salah satunya
saja yang dibabtis secara Katolik maka perkawinan tersebut bukanlah sakramen. Namun yang perlu diingat adalah kedua perkawinan tersebut sah karena
diteguhkan di depan pejabat Gereja Katolik dan dua orang saksi. Jadi jelas bahwa tidak semua perkawinan yang dilakukan secara Katolik adalah sakramen.
24
B. Janji perkawinan