24
B. Janji perkawinan
1. Rumusan Janji Perkawinan
Janji perkawinan memiliki rumusan yang di dalamnya memperlihatkan kesediaan untuk menjadi satu bukan hanya satu daging namun satu roh hal ini
selaras dengan rumusan yang direkomendasikan oleh Komisi Liturgi Keuskupan Se-Regio Jawa Plus Tanjungkarang 2009: 17 yang berbunyi:
MP: Di hadapan imam, para saksi dan seluruh umat yang hadir di sini, saya … MP memilih engkau … MW menjadi istri saya.
Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormatimu sepanjang hidup
saya. MW: Di hadapan imam, para saksi dan seluruh umat yang hadir di sini
saya, … MW memilih engkau MP menjadi suami saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat
dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormatimu sepanjang hidup saya.
Pada intinya, dalam janji perkawinan ada 3 janji pokok. Janji yang pertama ialah janji untuk setia dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu
sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihan. Janji yang kedua adalah selalu mencintai dan menghormati sepanjang hidup. Janji yang ketiga yang selalu
melekat pada kedua janji tersebut dan sering dilupakan oleh pasutri adalah bersedia menjadi BapakIbu yang baik serta mendidik anak-anak yang
dipercayakan Tuhan secara Katolik. Saat ini banyak sekali orang tua yang mempercayakan seluruh pendidikan anaknya pada sekolah tempat mereka belajar.
Rumusan kalimat
perjanjian dalam
perkawinan dikembangkan
berdasarkanbersumber dari Kitab Perjanjian Lama bukan sekedar karangan spontanitas dari manusia. Oleh karena itu memiliki makna yang mendalam.
Agung Prihartana dalam bukunya Menjadi Anugerah Bagi Pasangan 2009: 85
25
merumuskan akar kata dalam janji perkawinan dengan membandingkannya dengan Kitab Hos 2:18-19 dalam sebuah tabel:
Janji Perkawinan sekarang
Janji Allah-Israel Hosea 2:18-19
di hadapan imam, para saksi dan saudara-saudari yang hadir,
Aku akan mengikat perjanjian bagimu… Aku akan menjadikan
saya nama menyatakan dengan tulus ikhlas bahwa engkau nama
mulai sekarang menjadi suamiistri saya
engkau isteriKu
untuk selama-
lamanya
Saya berjanji akan setia kepadamu baik dalam untung dan malang, dalam
suka dan duka, di waktu sehat maupun sakit
dan Aku akan menjadikan engkau IsteriKu
dalam keadilan
dan kebenaran, dalam kasih setia dan
kasih sayang. Aku akan menjadikan engkau istri-Ku
dalam kesetiaan Saya berjanji akan menjadi ayahibu
yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya, dan
saya akan mendidiknya menjadi orang katolik yang setia
Sehingga engkau akan mengenal TUHAN
Dari tabel tersebut dapat kita ketahui bahwa rumusan kata dalam janji perkawinan berakar dari Kitab Hos 2:18-19. Janji tersebut merupakan janji yang
diucapkan oleh Allah sendiri untuk orang Israel. Hal tersebut berarti bahwa tidaklah mengada-ada bila perkawinan disebut sebagai sebuah sakramen karena
berasal dari Allah sehingga janji perkawinan memuat kesakralan yang mengikat seumur hidup sebab Allah adalah Allah yang setia terhadap janji-Nya. Ketika janji
perkawinan sudah diucapkan maka membawa dampak kesetiaan pula dalam pemenuhannya. Dari kitab Hosea ini, terlebih ketika dilihat dalam ayat
sebelumnya yakni Hos 2:17, nampak Allah memang telah mengikat perjanjian kepada Israel dan menjadikannya istri-Nya. Allah telah menjanjikan bermacam-
berak ar
dari
26
macam hal untuk mensejahterakan istri-Nya dan untuk melindungi serta membahagiakan istri-Nya. Perjanjian yang dilakukan oleh Allah ini juga memiliki
saksi yakni bintang-bintang di padang, burung-burung di udara serta binatang- binatang melata di bumi. Dalam ikatan perjanjian ini juga ada sebuah komunikasi
yang baik yang diibaratkan Allah dengan Aku akan mendengarkan langit dan langit akan mendengarkan bumi. Rumusan perjanjian dalam Kitab Suci Perjanjian
Lama juga akan banyak ditemukan dalam Kitab-Kitab lain, misalnya dalam Yeh 16:60,62; Yes 54:6-8; dan lain-lain.
Dalam seluruh perjanjian Allah kepada Israel, Tuhan Allah menjadikan Israel sebagai istri-Nya dan mengasihinya sepanjang waktu. Allah selalu setia
terhadap janji-Nya itu dan terus mengasihi istri-Nya dengan nyata lewat pertolongan-Nya serta lewat belah kasih-Nya yang selalu memaafkan kesalahan
Israel walaupun berulang kali Israel berselingkuh dari diri-Nya. Rumusan janji perkawinan adalah inti dari sakramen perkawinan dan ketika laki-laki serta
perempuan mengucapkan janji tersebut maka saat itu juga seorang laki-laki menyerahkan dirinya sebagai suami kepada istrinya dan seorang perempuan
menyerahkan dirinya sebagai istri kepada suaminya Agung Prihartanta, 2009: 84. Penyerahan diri ini tidak bisa ditarik kembali dan berlaku untuk seumur
hidup karena sifat perjanjian ini sama dengan sifat perjanjian Kristus dengan mempelai-Nya yakni Gereja. Oleh sebab itu perkawinan di dalam Gereja Katolik
tidak dapat diceraikan. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu alasan mengapa proses perkawinan dalam Gereja Katolik sangat mendetail sehingga prosesnya
membutuhkan waktu yang lama.
27
2. Makna Janji Perkawinan
Kesatuan antara perkawinan bukan hanya soal “kontrak” atau janji saja
Iman Katolik, 1996: 436. Perkawinan melebihi makna kata kontrak ataupun janji namun dalam Gereja Katolik sekarang menggunakan istilah janji yang lebih
mendalam tafsirannya daripada kontrak.
a. Setia dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan
sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihan Kesetiaan dalam janji ini maknanya bukan hanya untuk tidak melirik
priawanita lain. Setia di dalam janji ini maknanya lebih luas yakni setia untuk berpartisipasi dalam setiap perasaan dan keadaan pasangan. Menjadi suami-istri
artinya menanggapi panggilan untuk saling menyempurnakan. Bila pasangan cerewet, pelupa, tidak bisa masak maka tetap harus diterima dan dicintai Didik
Bagiyowinadi 2006: 25. Ketika seseorang berbisnis, dia akan sangat senang ketika memperoleh keuntungan. Keuntungan yang ia dapatkan akan sangat mudah
ia syukuri dan akan sangat mempengaruhi perilakunya terhadap orang lain terlebih orang-orang terdekatnya sehingga orang lain pun akan merasakan
kebahagiaan yang dirasakan akibat keuntungan itu. Namun ketika seseorang mengalami kemalangan, misalnya kerugian dalam berbisnis tentunya tidak akan
mudah ia terima dan ia jadikan sebagai rasa syukur termasuk untuk orang-orang yang berada di dekatnya. Orang kecenderungan akan datang di saat seseorang
berada dalam situasi yang bahagia dan berkelimpahan tetapi di saat seseorang terpuruk biasanya hanya orang yang benar-benar mencintainya yang selalu ada di
28
dekatnya dengan turut berbela rasa, waktu, tenaga serta pikiran. Hal ini juga berlaku dalam keadaan sehat maupun sakit serta berlaku dalam setia terhadap
kelebihan maupun kekurangan. Kelebihan seseorang yang kita cintai secara khusus akan terasa lebih luar biasa dari pada kelebihan seseorang yang tidak kita
cintai secara khusus. Begitu pula dengan kekurangan orang yang kita cintai secara khusus akan tampak jauh lebih sederhana daripada seseorang yang tidak kita
cintai secara khusus. Pandangan inilah yang harus selalu dipertahankan. Dalam perkawinan seorang istri dan seorang suami tentunya bukan
seorang yang sempurna seutuhnya baik dari fisik, kepribadian, dan lain-lain. Kenyataan ketidaksempurnaan inilah yang menjadi panggilan bagi seorang suami
atau istri untuk saling menyempurnakan. Ketika seorang suamiistri sudah merasa bisa melakukan segala sesuatunya seorang diri dan merasa sudah memiliki
segalanya dalam kehidupan, lalu apa gunanya ia menikah. Seorang istri diciptakan Tuhan untuk menjadi seorang penolong yang sepadan bagi seorang suami, hal ini
sama ketika Allah menciptakan Hawa sebagai penolong yang sepadan bagi Adam Kej 2:18. Allah menganugerahkan Hawa kepada Adam dan sebaliknya Adam
dianugerahkan Allah untuk Hawa. Menjadi penolong sepadan itu artinya suami serta istri memiliki tugas saling menyempurnakan satu sama lain yang bisa
dikatakan mau senantiasa menjadi sakramen antara yang satu terhadap yang lainnya. Menjadi sakramen bagi pasangan artinya bisa menjadi tanda dan sarana
kehadiran Allah dalam seluruh kehidupan bersamaseluruh kehidupan perkawinan. Bisa menjadi tanda dan sarana kehadiran Allah dalam seluruh
kehidupan berarti termasuk dalam kepahitan serta kemalangan serta keberdosaan.
29
Surat Paulus kepada Jemaat di Korintus dalam 1 Kor 7:14 dikatakan bahwa seorang suami yang tidak beriman akan dikuduskan istrinya yang beriman dan
seorang istri yang tidak beriman akan dikuduskan suami yang beriman. Suami- istri harus mau menjadi sakramen bagi yang lainnya melalui seluruh hidup
perkawinannya sehingga seluruh kehidupannya bisa berkenan bagi Allah. Setia berarti tidak hanya setia terhadap pasangan saja, hal inilah yang
sering dilupakan oleh banyak pasangan. Setia itu berarti setia pula terhadap Pribadi yang telah memeteraikan cinta antara sepasang pria dan wanita sehingga
menjadi satu tubuh dalam ikatan perkawinan. Janji memberikan harapan dan rasa aman, terlebih janji yang diikat pada Pribadi yang menjadi sumber cinta kasih.
Hal ini selaras dengan Smalley 2008: 28 yang mengatakan “Berjanji kepada
Allah akan memberikan rasa aman bagi pasangan Anda. Hal itu memberikan rasa aman bagi pasangan Anda. Hal itu memberikan landasan yang mantap pada
pernikahan Anda dengan menyediakan sumber otoritas tertinggi, di mana Anda berdua hidup di bawah naungannya”. Janji merupakan sebuah pemberian harapan
terhadap orang lain dalam bentuk apapun. Yang membedakan janji biasa dengan janji yang diucapkan di hadapan Allah adalah janji biasa sangat mungkin diingkari
karena hanya melibatkan 2 pribadi pihak pertama dan pihak kedua. Manusia adalah pribadi yang lemah, oleh karena itu sangat mungkin melanggar janji. Janji
yang diucapkan dihadapan Allah melibatkan 3 pribadi pihak pertama dan pihak kedua dengan Allah sebagai pengikat janji tersebut. Walaupun masih
memungkinkan manusia untuk mengingkari janji tersebut, namun Allah selalu ada dan hadir sebagai pengikat janji tersebut.
30
b. Selalu mencintai dan menghormati sepanjang hidup
Mencintai dan menghormati mudah dilakukan bila sesekali, lalu bagaimana jika harus selalu dilakukan? Apakah akan menjadi mudah? Pertanyaan
ini memang sederhana namun ketika kita dihadapkan pada pertanyaan seperti ini kita akan memilih untuk berhenti sejenak dan berfikir. Berfikir untuk sebuah cinta
itu kurang tepat karena cinta sesungguhnya lebih melibatkan rasa. Cinta itu tidak pernah memperhitungkan untung dan rugi, cinta itu akan merasakan rugi sebagai
sebuah keuntungan. Hal ini terjadi bukan karena tidak realistis namun memang cinta itu sabar dan murah hati. Di dalam cinta terdapat kasih yang luar biasa besar.
Kasih itu memiliki banyak alasan untuk membuat orang yang dikasihi bahagia. Hal ini selaras dengan perikop dalam 1 Kor 13:1-8 yang berbunyi:
Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan
gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia
dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai
kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk
dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku. Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu.
Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah
dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu,
percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa
roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.
Dari perikop tersebut jelaslah, hal paling tinggi dan yang paling luhur itu cinta kasih, kasih akan menyempurnakan segala kekurangan yag dimiliki oleh
masing-masing pasangan. Memiliki kasih itu sama artinya bisa mengalahkan diri
31
sendiri dan memberikan segala cinta kasih yang dimiliki untuk orang lain dan khususnya dalam konteks ini untuk pasangan. Di saat kita belum memberikan
seluruh cinta dan belum membagikan seluruh kasih yang kita miliki sampai sehabis-habisnya hingga merasa terluka maka belum bisa disebut cinta, hanya
seperti gong yang berkumandang dan canang yang bergemerincing. Itu berarti cinta bisa disebut sebagai pemberian.
Kasih yang paling sempurna adalah kasih seseorang yang bersedia menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya Yoh 15:13. Cinta kasih itu
luhur dan tinggi, mencintai kelebihan seorang itu sangat mudah namun mencintai segala kekurangan seorang itu yang sulit dan bahkan ketika kita bertahan untuk
mencintai seseorang yang akan kita rasakan adalah luka dalam hati. Hal ini sama seperti ketika kita memberikan jawaban “ya” untuk kebahagiaan yang hendak kita
dapatkan namun ketika kita harus berkorban bahkan hingga nyawa kita harus dikorbankan bagi orang lain, apakah jawaban “ya” akan mudah keluar dari bibir
kita walaupun kita mengaku mencintainya? Itulah cinta, kesetiaan yang membawa luka dan juga pengorbanan itulah kasih yang total. Mencintai seseorang dengan
total akan membawa kita pada sikap menghormatinya. Menghormati di sini bermakna secara dua arah baik dari istri kepada suami atau dari suami kepada
istri. Menghormati berarti mau mendengarkan pendapat, mau menerima keputusan yang dianggap paling baik, mau menghormati hak sebagai suami
ataupun istri. Menghormati secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya memberi arti dan nilai pada orang lain. Hal ini selaras dengan Smalley 2008: 17
yang mengatakan “Kehormatan sungguh sederhana. Kehormatan berarti sangat
32
menghargai orang lain sebagai pribadi yang sangat penting dan bernilai ”.
Menghormati seluruh jiwa dan raga pasangan seumur hidup, itulah yang harus dilakukan dalam sebuah ikatan perkawinan karena ketika cinta kepada pasangan
dan hormat kepada pasangan itu tidak diwujudkan maka artinya menodai janji perkawinan yang diucapkan di hadapan Allah. Mencintai serta menghormati itu
artinya bisa menjadi anugerah bagi pasangannya.
c. Bersedia menjadi BapakIbu yang baik serta mendidik anak-anak yang
dipercayakan Tuhan secara Katolik Menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak yang dipercayakan Tuhan
pada kita berarti mau menghormati anak dan mendidiknya secara Katolik dan bukan sekedar menyekolahkan anak yang dipercayakan Tuhan di sekolak Katolik
saja. Hal ini selaras dengan Ef 6:4 “Dan kamu bapa-bapa, jangan bangkitkan
amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan”. Dari ketiga janji perkawinan yang ada, janji yang terakhir ini
yang banyak dilanggar. Yohanes Paulus II dalam buku Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern 1994: 25 mengatakan:
Seorang suami dipanggil untuk menjamin perkembangan semua anggota keluarga secara selaras dan bersatu: ia akan menunaikan tugas ini dengan
memikul tanggung jawab yang berjiwa besar atas hidup yang dikandung di bawah jantung ibunya, dengan melibatkan diri lebih giat dalam tugas
mendidik, yang dipikulnya bersama dengan istrinya, dengan melakukan kerja yang tidak pernah menjadi sebab perpecahan dalam keluarga tetapi
justru meningkatkan kesatuan dan kemantapannya, dan dengan memberikan kesaksian hidup seorang Kristiani yang dewasa, yang secara
efektif mengantar anak-anak ke dalam pengalaman hidup Kristiani dan Gereja.
33
Kutipan tersebut jelas bahwa yang bertugas mencari nafkah dalam kehidupan berkeluarga adalah ayah atau suami. Selain bertugas mencari nafkah,
suami juga bertugas mendidik anaknya bersama dengan istrinya dan membawa anak dan istrinya ke dalam pengalaman hidup Kristiani. Kenyataan istri yang juga
bekerja dan terkadang penghasilannya melebihi suami itu tidak salah, namun jangan pernah melupakan kewajiban utama sebagai seorang istri yakni sebagai
patner suami dalam mendidik anak. Dalam kehidupan dunia dewasa ini dapat kita saksikan pelanggaran terhadap tugas utama dan terutama sebagai orang tua. Orang
tua masa kini cenderung sibuk dengan urusan pekerjaan dan dunia mereka sendiri sehingga mempercayakan pengasuhan anak pada pembantu maupun baby sister.
Jika anak diasuh oleh pembantu maupun baby sister maka pendidikan iman anak akan sangat dikesampingkan. Pendidikan iman anak akan lebih parah lagi ketika
sang pembantu maupun baby sister bukan seorang Katolik karena kecenderungan anak akan meniru kebiasaan orang yang ada di dekatnya. Tugas mendidik anak
yang paling utama merupakan tugas orang tua Ul 6:7. Orang tua harus bisa mengarahkan, menuntun serta memberikan pengertian dan pemahaman yang
benar tentang kaidah-kaidah iman Kristiani Hello, 2004: 19. Menyekolahkan anak di sekolah Katolik memang sangat baik dan sangat
membantu perkembangan iman anak namun yang perlu digaris bawahi adalah tanggungjawab untuk mendidik anak yang paling utama dan terutama adalah
orang tua bukan orang lain ataupun pihak lain. Orang tua sering lupa bahwa mereka bekerja untuk menghidupi anak bukan hidup untuk bekerja. Keluarga
adalah prioritas dalam sebuah perkawinan yang lebih penting dari hal lainnya.
34
C. Perwujudan Janji Perkawinan