Pendahuluan STATUS KONSERVASI DAN KARAKTERISTIK BEBERAPA KOMPONEN EKOLOGI HUTAN KERANGAS
c. Era tahun 1970-1990 Hutan kerangas pada tahun 1970-an masih merupakan penghasil kayu dan
tambang emas dan intan bagi masyarakat hingga tahun 1990-an. Pada era ini sekitar tahun 1980-an pembagian tanah yang dipelopori oleh Kepala Desa saat
itu sudah mulai dilakukan di hutan kerangas. Secara legal formal pembagian tanah ini diperkuat sejak diterbitkan Surat Keterangan Tanah SKT. Pengajuan
SKT oleh pihak desa dimulai pada tahun 1989. Pihak desa kemudian mengajukan usul kepada pihak Kecamatan agar mendapatkan Surat Keterangan
Tanah. Respon masyarakat pada waktu itu tidak terlalu besar karena pada
awalnya penduduk kurang tertarik terhadap lahan kerangas, karena menurut perspektif masyarakat pada waktu itu kerangas merupakan lahan tidak produktif
untuk produksi pertanian. Penduduk desa umumnya pada waktu itu maksimal mendapatkan 1-2 ha tanah per KK yang letaknya tidak jauh dari permukiman dan
persawahan. Pertimbangan keikutsertaan masyarakat pada saat itu untuk memiliki sebidang tanah hanya untuk simpanan tanah permukiman untuk anak
cucu dan untuk rencana pengembangan ternak. Tidak terlalu besarnya penguasaan lahan pada saat itu karena terbatasnya kemampuan membuka dan
membersihkan lahan. Upaya pembersihan dan atau pemanfaatan lahan memerlukan waktu 3 tahun sebagai lahan yang diolah agar terbit SKT.
d. Era tahun 1990-sekarang Berkembangnya pertambangan intan tradisional yang berlangsung hingga
tahun 1990-an menarik perhatian perusahaan multinasional PT. Aneka Tambang dengan subkontraktor ―John Holland‖ untuk melakukan izin eksplorasi
pertambangan intan dengan hasil ikutan emas di hutan kerangas yang tidak
termasuk dalam kawasan hutan lindung Kepmenhut nomor 672Kpts-II91. Izin eksplorasi dan operasional pertambangan dimulai pada tahun 1991 dan berakhir
tahun 1993. Walaupun hanya berlangsung tiga tahun kegiatan pertambangan ini telah meninggalkan lubang besar bekas galian tambang yang sampai saat ini
dibiarkan terbuka dan tidak dikelola. Penetapan sebagian kawasan hutan kerangas sebagai kawasan hutan
lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Kepmenhut nomor 672Kpts-II91 dan Kepmenhut nomor 434Kpts-II1996 tentang penetapan
kelompok hutan Liang Anggang yang terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar seluas 2.250 hektar sebagai kawasan hutan dengan fungsi hutan lindung.
Hutan lindung terbagi menjadi dua blok, blok I seluas 960 hektar berada di Kecamatan Gambut Desa Guntung Ujung dan blok II masuk wilayah
Kecamatan Liang Anggang Banjarbaru seluas 1.290 ha. Penetapan sebagian kecil hutan kerangas sebagai hutan lindung bila ditinjau lebih lanjut merupakan
pertentangan antara tinjauan manajemen dan tinjauan ekologi. Tinjauan ekologi mengidentifikasikan bahwa hutan yang ada merupakan tipe hutan kerangas yang
status kawasannya perlu dikonservasi atau dilindungi, tetapi secara manajemen manajemen tata ruang hanya sebagian kecil yang ditetapkan sebagai hutan
lindung dan sebagian besar berupa Area Penggunaan Lain APL. Di luar kedua pertentangan tersebut, tinjauan manajemen itu sendiri tidak dipatuhi karena
banyak kawasan di dalam hutan lindung yang dirusak dan digunakan untuk penggunaan lain dan tidak dipertahankan fungsi lindung hutannya.
Relatif bersamaannya antara keluarnya Kepmenhut nomor 672Kpts-II91 dengan Surat Keterangan Tanah, merupakan cikal bakal terjadinya konflik
kepemilikan lahan masyarakat dan hutan lindung. Perspektif baru muncul tentang lahan kerangas, seiring dengan dibukanya akses jalan baru Jalan Padat Karya
Desa yang selanjutnya dipelihara PT. Aneka Tambang yang melintasi areal hutan kerangas maka lahan kerangas nilai ekonominya meningkat. Selanjutnya
pada tahun berikutnya perkembangan pembangunan daerah dan pertumbuhan penduduk yang berasal dari Kab. Banjar, Kota Banjarbaru, Kota Banjarmasin dan
Kab.Tanah Laut menciptakan perspektif baru untuk pengembangan permukiman dan pusat perekonomian di lahan-lahan kerangas. Akibatnya tanah-tanah yang
berada di hutan kerangas banyak dijual sebagai tanah kavling untuk kepentingan permukiman dan kepentingan lainnya. Pengkavlingan tanah sudah berlangsung
sejak tahun 1995-an sampai sekarang. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, pengkavlingan tanah di
hutan kerangas yang terjadi pada tahun 1995-an dimotori oleh beberapa aparat desa saat itu yang memobilisasi masyarakat setempat untuk mencaplok hutan
lindung masing-masing KK hanya mendapatkan luasan lahan relatif kecil. Selanjutnya terjadi diskonektivitas informasi dalam masyarakat lokal pandangan
kurang bermanfaatnya lahan, biaya sertifikasi lahan yang mahal sehingga lahan dijual kembali karena dirasa tidak bermanfaat. Beberapa individu berhasil
memanfaatkan situasi tersebut, mereka akhirnya mendapatkan porsi lahan lebih luas lalu menjual lahan sebagai tanah kavlingan kepada non-penduduk
setempat, baik yang berasal dari Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten