Sebagaimana diakui ibu Supik, beliau sangat bersyukur, karena sang suami mendukung dan membantu beliau guna mengembangkan usaha tersebut. Sehingga
ibu tiga orang putra tersebut saat ini mampu mengelola galeri “Tresna Art” yang disamping memasarkan batik, juga hasil kerajinan masyarakat, maupun makanan
khas Madura. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang tak jarang selain mencari batik, mereka juga mencari produk-produk kerajinan lain, ataupun
makanan khas Madura. Lebih dari itu, dengan hal tersebut, ibu Supik juga mampu membantu memasarkan produk dari perajin lain.
Untuk memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan, maka galeri “Tresna Art” telah mempersiapkan lahan parkir yang mampu menampung 6 bis.
Selain itu, disediakan pula tempat peristirahatan bagi pengunjung yang ingin melepaskan penat setelah perjalanan.
4.2 Hasil Penelitian
Sebuah usaha akan mampu berkembang dan tumbuh dengan baik apabila dikelola dengan baik dan tepat. Terlebih dalam situasi kompetisi yang sangat
keras sekarang ini. Keunggulan suatu usaha dengan cepat akan mampu diruntuhkan oleh keunggulan pesaing yang lain. Sehingga menarik untuk diamati
strategi yang digunakan oleh suatu usaha guna memperoleh pelajaran berharga dari perjalanan usaha bersangkutan.
A. Strategi produksi
Pengalaman dalam menjual batik, membuat ibu Supik paham mengenai seluk beluk batik dengan baik. Hal tersebut menjadikan beliau berpikir bagaimana
apabila beliau membuat dan memasarkan sendiri produk batik yang dirancangnya. Sehingga ketika galeri yang dibangunnya telah siap, maka beliau segera memulai
proses produksi batik Madura sesuai dengan yang diinginkan. Untuk bahan baku, beliau memperolehnya dari Jawa Tengah. Dimana
prosesnya melalui pemesanan, dan bahan baku yang dipesan selanjutnya dikirim sampai tempat tujuan. Pembelian bahan baku biasanya dilakukan sebulan sekali,
atau apabila persediaan sudah menipis, maka ibu Supik segera melakukan pemesanan.
Beberapa peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan batik meliputi:
1. Gawangan: merupakan
perlengkapan yang digunakan untuk menyangkutkan dan membentangkan kain mori sewaktu membatik. Gawangan ini dapat
terbuat dari kayu atau batang bambu, yang dirancang sedemikian rupa sehingga mudah dipindah-pindah, namun tetap kuat dan ringan.
2. Bandul: biasanya terbuat dari timah, kayu atau batu yang dimasukkan dalam sebuah kantong. Fungsi utama dari bandul ini adalah untuk menahan mori
yang baru dibatik agar tidak mudah bergeser saat tertiup angin, atau tarikan si pembatik yang tidak sengaja.
3. Wajan: merupakan peralatan untuk mencairkan “malam”. Wajan biasanya terbuat dari logam baja atau tanah liat. Wajan sebaiknya bertangkai, sehingga
mudah untuk diangkat ataupun diturunkan dari perapian tanpa menggunakan alat lain.
4. Kompor: yaitu alat untuk membuat api. Kompor yang biasanya digunakan adalah kompor dengan bahan bakar minyak tanah.
5. Taplak: merupakan selembar kain yang digunakan untuk menutup bagian paha si pembatik agar tidak terkena tetesan “malam” panas pada saat canting
ditiup, atau saat membatik. 6. Saringan “malam”: adalah alat yang digunakan untuk menyaring “malam”
panas yang banyak mengandung kotoran. Jika “malam” disaring, maka kotoran dapat dibuang sehingga tidak mengganggu aliran “malam” dari ujung
canting pada waktu digunakan membatik. 7. Canting: adalah alat yang dipakai untuk memindahkan atau mengambil
cairan. Canting biasanya terbuat dari tembaga dan bambu sebagai pegangannya. Canting ini digunakan untuk menuliskan pola batik dengan
cairan lilin malam. 8. Mori: merupakan kain dari bahan katun yang digunakan sebagai media
membatik. Kualitas mori beragam, serta jenis dari mori tersebut akan sangat mempengaruhi kualitas baik dan buruknya batik yang dihasilkan. Mori yang
dibutuhkan sesuai dengan panjang pendeknya kain yang dikehendaki. Ukuran panjang pendeknya mori biasanya tidak memilliki standar yang pasti, tetapi
dengan menggunakan ukuran tradisional yaitu menggunakan istilah “kacu”. Kacu adalah istilah untuk menyebutkan saputangan yang biasanya berbentuk
bujursangkar. Sehingga istilah “sekacu” merupakan ukuran persegi dari mori,
yang diambil dari ukuran lebar mori tersebut. Dengan demikian panjang sekacu dari suatu jenis mori akan berbeda dengan panjang sekacu dari mori
jenis lain. 9. Lilin “malam”: adalah bahan yang digunakan untuk membatik. Sebenarnya
“malam” yang digunakan tidak habis hilang, sebab pada akhirnya akan diambil kembali pada proses “mbabar”. “Malam” yang digunakan dalam
membatik berbeda dengan malam atau lilin biasa. Malam untuk membatik bersifat cepat menyerap pada kain tetapi dapat mudah lepas pada proses
pelorotan. 10. Pola: merupakan motif batik dalam mori dengan ukuran tertentu yang
digunakan sebagai contoh motif batik yang akan dibuat. Dalam proses produksi ini pula yang menjadikan batik Madura memiliki
keunikan dibandingkan batik lain yang ada di daerah lain. Pertama, aroma lilin malam yang digunakan memiliki ke khasan.Untuk membatik, malam sering
dicampur dengan madu, sehingga menjadikan aroma karbon yang menyengat pada malam menjadi netral. Selanjutnya, percikan warna yang ada pada batik
bukan hanya terkesan “sangar”, namun juga mengandung unsur magis. Warna batik madura biasanya didominasi oleh kesan warna yang “berani” yaitu merah,
kuning dan hijau. Pemilihan warna tersebut bukan tanpa alasan. Sebagaimana diketahui,
budaya Madura merupakan titisan dari sejarah budaya Majapahit. Warna merah dipilih oleh karena panji Majapahit adalah berwarna merah dan putih hal ini pula
yang menjadi cikal bakal warna bendera Indonesia. Warna hijau digunakan untuk
melambangkan unsur religius. Masa kejayaan majapahit adalah masa kejayaan agama Hindu. Dimana dalam Hindu, pepohonan merupakan bagian dari pemujaan
terhadap para Dewa. Sedangkan warna kuning dipilih sebagai pembaptisan terhadap bulir-bulir padi sebagai penopang ekonomi masyarakat agraris. Sehingga
singkatnya, pemilihan warna-warna tersebut sebenarnya hendak menceritakan tentang akulturasi kebudayaan Majapahit-Madura.
Demikian pula didalam pembuatan motif. Pada awal-awal perkembangan batik di masa Majapahit, motif-motif batik hanya di dominasi oleh motif binatang
dan tumbuhan. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya spiritualitas Majapahit Hindu. Diantara kedua motif tersebut, motif binatang yang paling diminati
dibandingkan motif tumbuhan. Bahkan pada masa tersebut, motif burung Garuda menjadi motif yang paling sakral, karena hanya boleh dipakai oleh tentara
Bhayangkara yang dikomandani Patih Gajah Mada. Dalam memproduksi batik, ibu Supik menggunakan tenaga 2 orang tenaga
kerja yang didatangkan dari daerah Tanjung Bumi yang sudah dikenal kemahiran mereka. Sedangkan untuk motif-motif batik yang dibuat, beliau mempekerjakan
seorang tenaga kerja yang khusus mendesain motif-motif batik. Hal tersebut juga ditujukan untuk membedakan produk kain batik yang dihasilkan oleh “Tresna
Art” dibandingkan pesaing lainnya.
B. Strategi Sumberdaya Manusia
Keberhasilan sebuah usaha akan sangat ditentukan oleh kemampuan sumberdaya manusia yang dimiliki. Oleh karena itu penting bagi sebuah
organisasi unit bisnis untuk memperhatikan kualitas sumberdaya yang dimilikinya.
Dalam menjalankan
operasi,“Tresna Art” menggunakan tenaga kerja secara fleksibel. Untuk Senin hingga Jumat hanya terdapat dua karyawan, yang
masing-masing bertugas untuk kasir dan melayani tamu. Sedangkan khusus untuk hari Sabtu dan Minggu yang merupakan saat-saat biasanya ramai tamu yang
berkunjung, maka terdapat 6 orang karyawan. Ibu Supim merekrut karyawan dari lingkungan keluarga atau orang-orang
dekat yang ada disekitarnya, dan masih menganggur. Hal ini tidak lain untuk membatu mereka guna memberikan kesempatan bekerja.
Untuk jam kerja selama 8 jam per hari, maka seorang karyawan akan memperoleh gaji ± Rp 1,8 juta per bulan jauh lebih tinggi dari UMR kota
Surabaya, belum lagi ditambah dengan upah lembur yang sebesar Rp. 50 ribu untuk lembur mulai pukul 17.00 hingga pukul 21.00. Sebagaimana diakui oleh
Ririn karyawati “Tresna Art”: “sistem penggajian setiap bulan dan ditambah dengan upah lembur”.
Dengan sistem kekeluargaan yang dianut oleh “Tresna Art” maka para karyawan mengaku merasa betah bekerja. Terlebih, pihak pemilik juga ikut peduli
apabila ada karyawan yang menderita sakit dengan memberikan batuan kepada yang bersangkutan.
C. Strategi Keuangan
Untuk mengelola usaha, ibu Supik, mengakui “saya masih menggunakan cara-cara manual”. Dalam artian beliau hanya melakukan pencatatan tertulis untuk
barang-barang yang terjual sesuai dengan harga. Selanjutnya harga jual tersebut dikurangi dengan modal yang dikeluarkan untuk memperoleh nilai besaran laba.
Sehingga tidak mengherankan, beliau tidak mengetahui berapa besar persentase keuntungan dari hasi usaha yang ditekuninya. Hal ini terlihat pada saat
peneliti menanyakan besarnya persentase keuntungan dari produk yang dijual, beliau hanya terbengong dan mengaku tidak mengetahuinya. Hal tersebut cukup
ironis karena ibu Supik pula yang mengelola keuangan dari galeri “Tresna Art”. Namun yang cukup membanggakan adalah beliau mengaku masih
memiliki rencana untuk memperluas bisnis yang digelutinya saat ini. Oleh karena itu, beliau berusaha menyisihkan sebagian keuntungan dari usaha untuk tujuan
memperluas usaha dikemudian hari.
E. Strategi Pemasaran
Guna memasarkan produk, “Tresna Art” menggunakan sarana pameran yang rutin diselenggarakan oleh pihak Pemerintah Kabupaten Bangkalan. Dari
sanalah masyarakat mengenal produk-produk “Tresna Art”. Cara lain yang digunakan oleh galeri adalah dengan membuat brosur untuk diberikan kepada
tamu-tamu yang berkunjung, hal ini untuk menarik mereka untuk mengenal “Tresna Art” sehingga mau berkunjung kembali di kemudian hari.
Perkembangan batik Madura yang dewasa ini semakin pesat tampaknya juga memberikan berkah bagi “Tresna Art”, sehingga galeri “Tresna Art” sempat
ditayangkan dalam salah satu stasiun televisi dalam salah satu program acara. Hal tersebut semakin mempromosikan “Tresna Art”.
Lebih lagi, dengan program kemitraan usaha mikro kecil dan menengah UMKM yang digalakkan oleh pemerintah, hal ini menjadikan peluang bagi
pihak “Tresna Art” sehingga beberapa waktu lalu pihak galeri menjalin kerjasama dengan pihak luar dalam rangka memasarkan produk-produk “Tresna Art” melalui
internet secara gratis. Dari berbagai metode diatas, terlihat bahwa “Tresna Art” telah cukup
dikenal diwilayah Bangkalan, sehingga hal ini juga membantu promosi pihak galeri, yaitu melalui word of mouth promotion promosi dari mulut ke mulut
yang dilakukan oleh konsumen atau pelanggan ke pihak lain. Namun demikian, untuk menjaga keunggulan produk-produknya, pihak
galeri mengakui, bahwa kelebihan produk “Tresna Art” dibandingkan dengan pesaing lainnya adalah dari sisi kualitas dan harga. Sebagai gambaran, untuk
harga produk, pihak galeri menyediakan produk dengan rentang harga dari Rp. 70 ribu hingga Rp. 2 juta untuk pakaian jadi.
Bagi ibu Supik, usaha yang dilakukan untuk mempertahankan atau menarik pelanggan baru adalah dengan “menjaga kualitas produk dan
memberikan pelayanan yang terbaik”. Akan tetapi beliau mengaku tidak mengetahui apakah konsumen atau pelanggan yang datang ke galeri puas atau
tidak. Sebagaimana diakui oleh Sisca 25 tahun salah seorang pelanggan galeri “Tresna Art” berasal dari kota Bandung, Sisca menyatakan alasan dia untuk
berbelanja di “Tresna art” adalah “karena dari segi motif batik, dan berasal dari
semua kabupaten yang ada di Madura”. Hal senada juga disampaikan oleh Gheby 21 mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Bangkalan, yang menilai bahwa
produk-produk yang ada di “Tresna Art” memiliki kualitas yang bagus. Mereka juga menilai kelebihan dari galeri “Tresna Art” dibandingkan dengan tempat lain
adalah “motif dan pelayanan” aku Sisca, dan “ Servicepelayanan, batik dengan motif yang beraneka ragam dan juga diberitahu antara batik yang biasa sampai
yang luar biasa” timpal Gheby. Adapun dari sisi harga, konsumen menilai “relatif dan dilihat dari kualitas
batik” pendapat Sisca yang juga diamini oleh Gheby “harga terjangkau, kualitas yang bagus, pelayanan yang memuaskan.”
Lebih jauh, ibu Supik mengakui bahwa dengan kemudahan akses ke Madura dengan dibukanya jembatan Suramadu, potensi batik Madura semakin
terangkat sehingga saat ini makin banyak orang yang terjun untuk memulai usaha ini.
Banyaknya pesaing baru yang bermunculan di bisnis ini tidak menjadikan ibu Supik kuatir dengan usaha yang dirintisnya sejak lama, namun beliau lebih
gembira, sebab dengan semakin banyak pesaing yang ada maka akan semakin meningkatkan kualitas. Selain itu beliau menilai positif kondisi persaingan yang
ada, “ … disini tidak ada namanya pesaing, tapi hanya dijadikan untuk memotivasi agar lebih maju” tutur ibu Supik.
4.3 Pembahasan A. Strategi Produksi