meluncurkan Kerangka Kerja Konvensi perubahan Iklim United Nation Framework Convention on Climate Change
, UNFCCC dan membentuk Komite Negoisasi Antar Negara Intergovernmental Negotiating Committee, INC
Kementerian Lingkungan Hidup 2001. Konvensi Perubahan Iklim telah berlaku dan mengikat secara hukum sejak
tanggal 21 maret 1994 setelah diratifikasi lebih dari 50 negara. Tujuan utamanya adalah untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat yang tidak
membahayakan sistem iklim. Tingkat konsentrasi tersebut harus dicapai dalam kurun waktu tertentu agar ekosistem dapat beradaptasi secara alamiah, produksi
pangan tidak terancam dan tercapainya pembangunan berkelanjutan. Indonesia telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang No.6 tahun 1994
Kementerian Lingkungan Hidup 2001. Dalam rangka pelaksanaan komitmen tersebut pada Konferensi Para Pihak
Conference of The PartiesCOP ketiga di Kyoto disepakati adanya aturan pelaksanaan yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto memberikan 3
mekanisme penurunan emisi kepada Negara Annex B yaitu Joint Implementation JI, Clean Development Mechanism CDM dan Emission Trading ET
Kementerian Lingkungan hidup 2001.
2.2. Clean Development Mechanism CDM
Clean Development Mechanism CDM atau Mekanisme Pembangunan
bersih merupakan salah satu bentuk pasar dari perdagangan karbon. Pada mekanisme ini memungkinkan keterlibatan negara-negara berkembang terutama
yang memiliki hutan tropis dalam rangka mengurangi emisi CO
2
. Instrumen ini
dilakukan melalui kegiatan “carbon sink”, keanekaragaman hayati dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan Siringoringo 2000.
Ada 2 mekanisme yang layak dilakukan untuk kegiatan CDM yaitu afforestasi yang bisa dilakukan di kawasan yang bukan merupakan hutan sejak
base year 50 tahun lalu dan reforestasi pada kawasan hutan yang dikategorikan rusak hingga 31 Desember 1989 atau sejak tahun 1990 yang menghasilkan
Temporary Certified Emission Reduction tCER yang dapat dilakukan negara
berkembang bekerja sama dengan negara Annex 1 yang punyai kewajiban untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya Forner 2006 .
Jumlah emisi GRK yang diturunkan atau diserap oleh proyek CDM kemudian disertifikasi yang disebut dengan Certified Emission Reduction CER
yang digunakan oleh negara maju untuk memenuhi komitmen mereka Boer 2000.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan proyek AR-CDM Afforestation- Reforestation
CDM, Menteri Kehutanan sudah mengeluarkan Surat Keputusan No. 142004 tentang Tata cara Pelaksanaan Proyek CDM Kehutanan. SK ini
ditujukan untuk membantu para pemangku kepentingan yang berminat dalam membuat usulan proyek AR-CDM, khususnya untuk mengatasi beberapa
hambatan peraturan seperti PP342002 dan juga hal lain yang terkait dengan masalah kepemilikan lahan dan kontribusi proyek terhadap pembangunan
berkelanjutan. Sebagai upaya mempercepat proses untuk mendapatkan persetujuan dari KOMNAS MPB, pengembang proyek menyampaikan konsep
proyek atau proposal kepada Departemen Kehutanan melalui Sekretariat MPB di Departemen Kehutanan. Kelompok Kerja yang ada di Sekretariat MPB
Kehutanan akan menilai sumbangan proyek terhadap pembangunan berkelanjutan dari sudut pandang kehutanan. Apabila proyek dinilai sudah memenuhi kriteria
pembangunan berkelanjutan, maka Menteri Kehutanan akan mengeluarkan rekomendasi bahwa proyek dapat memenuhi ketentuan tersebut. Selanjutnya
pengembang proyek menyusun atau menyempurnakan desain proyek CDM atau PDD Project Design Document dan menyerahkannya ke KOMNAS MPB untuk
diproses lebih lanjut dengan memberikan satu copy ke Menteri Kehutanan. Sesuai dengan keputusan yang dibuat di COP9 untuk periode komitmen
pertama 2008-2012, CDM mengadopsi definisi hutan sebagai lahan yang luasnya antara 0.05-1.0 ha yang penutupan tajuknya antara 10-30 dan pohon
yang ada pada lahan tersebut berpotensi untuk tumbuh mencapai ketinggian antara 2-5. Dikarenakan kriteria yang digunakan dalam penentuan hutan
berdasarkan keputusan COP memiliki selang, maka tiap negara peratifikasi harus menetapkan nilai yang dipilih dari selang tersebut. Indonesia, sebagai negara
peratifikasi, melalui SK Menteri Kehutanan No. 142004 menentukan nilai yang dipilih untuk luas lahan, penutupan tajuk dan tinggi pohon berturut-turut adalah
0.25 ha, 30 dan 5 m. Sesuai kriteria ini dan kesepakatan COP8, maka daerah potensial CDM adalah daerah bukan hutan sejak tahun 1989. Dengan ketentuan
lahan yang bukan hutan adalah lahan dengan luas minimal 0.25 ha, penutupan tajuk kurang dari 30 dan tinggi pohon secara potensial tidak akan melebihi 5 m.
Berdasarkan kriteria ini lahan yang potensial untuk menjadi daerah CDM adalah lahan terbuka, belukar, semakalang-alang, pertanian lahan kering dan padi sejak
tahun 1990.
Hasil National Strategy Study menunjukkan bahwa lahan-lahan yang diperkirakan potensial untuk CDM lahan Kyoto ialah lahan-lahan terlantar atau
lahan kritis yang sudah ada sejak tahun 1990 baik dalam bentuk alang-alang, lahan terbuka atau semak belukar, atau lahan pertanian yang sudah diusahakan
sejak 50 tahun yang lalu. Sebagian lahan bekas perladangan berpindah yang mengalami degradasi kemungkinan juga memenuhi kriteria lahan Kyoto
MOE 2002. Ciri utama lahan kritis adalah gundul, terkesan gersang, dan bahkan
muncul batu-batuan di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng curam. Tingkat produkivitas rendah yang ditandai dengan
tingginya tingkat keasaman tanah, kekahatan hara P, K, C, N dan Mg, rendahnya kapasitas tukar kation KTK, kejenuhan basa dan kandungan bahan organik,
tingginya kadar Al dan Mn, yang dapat meracuni tanaman dan peka terhadap erosi. Selain itu, pada umumnya lahan kritis ditandai dengan vegetasi alang-alang
yang mendominasi dengan sifat-sifat antara lain : memiliki ph tanah relatif rendah yaitu 4.8 – 5.2 mengalami pencucian tanah tinggi, ditemukan rhizoma dalam
jumlah banyak dan menjadi hambatan mekanik dalam budidaya tanaman, terdapat reaksi zat alelopati dari akar rimpang alang-alang yang menyebabkan gangguan
pertumbuhan tanaman budidaya pada lahan tersebut Hakim et al. 1991. Di Indonesia studi yang mengevaluasi teknologi mitigasi jumlah karbon
bersih yang dapat diserap di sektor kehutanan sudah dilakukan sejak tahun 1990 an DNM Norway and MSE Indonesia 1993; Adi et al. 1999; Boer et al. 1999;
Fuad 2000; Boer 2001. Berdasarkan hasil kajian tim NSS, dari total pasar karbon global CDM sebesar 566 juta ton CO
2
per tahun, Indonesia secara potensial akan
mampu menyerap pasar karbon sebesar 36 juta ton CO
2
per tahun MOE, 2002. Dari 36 juta ton tersebut, sektor kehutanan akan menyerap sebesar 28 juta ton CO
2
per tahun, dan sisanya oleh sektor energi. Untuk mencapai potensi tersebut, luas lahan yang ditanami diperkirakan sekitar 0.5 sampai 1.0 juta hektar per tahun.
Secara ringkas kegiatan kehutanan di Indonesia yang dapat dimasukkan ke dalam kategori layak untuk CDM dapat dilihat pada Tabel 2. Potensi mitigasi
atau kemampuan menyerap karbon dari lahan-lahan ini melalui kegiatan proyek CDM diperkirakan mencapai 3.5 juta ton karbon dalam kurun waktu 40 tahun atau
setara dengan 7.5 juta ton CO
2
per tahun. Tabel 2. Tipe Kegiatan Penambatan Karbon Hutan dan Lahan yang Tersedia
dihitung dari data tahun 1990.
Penggunaan dan penutup
lahan Standart
Cha Tipe kegiatan
potensial untuk penambatan karbon
Lahan potensial
yang tersedia
untuk mitigasi
Ha Potensi
Mitigasi tCha
Total potensi
mitigasi tC
1 2
3 4
5 6 4 x 5
Lahan kritis 5
Reboisasi 4 898 000
199 947 702 000
Lahan kritis 5
Hutan tanaman HTI Timber estate
1
1 889 000 48
90 672 000 Bera 37
Hutan Kemasyarakatan
9 823 175 109
1 070 726 075 Alang-alang 10
Penghijauan 3 219 648
278 895 062 144
Perladangan berpindah
11 Agroforestri
2
12 718 787 198
2 518 319 826 32 549 410
3 493 294 659 Catatan:
Potensi mitigasi pada kolom 5 adalah nilai rataan yang diperoleh dari perhitungan berbagai kegiatan menggunakan COMAP Sathaye et al., 1995, sedangkan standar karbon di
kolom 2 adalah nilai rataan yang diprediksi dari perhitungan biomas yang berasal dari berbagai sumber.
1
Rotasi pendek dari jenis cepat tumbuh 7-8 tahun.
2
dalam bentuk kehutanan sosial hutan tanaman multi fungsi MPTS atau hutan rakyat. Sumber MOE, 2002
Potensi lahan yang tersedia untuk kegiatan mitigasi tersebar di seluruh Indonesia termasuk daerah Sulawesi di sekitar Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai, Sulawesi Tenggara.
2.3. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai TNRAW