Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai TNRAW

Potensi lahan yang tersedia untuk kegiatan mitigasi tersebar di seluruh Indonesia termasuk daerah Sulawesi di sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara.

2.3. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai TNRAW

Kelompok hutan Rawa Aopa Watumohai seluas 105 194 ha ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 756Kpts-1190 pada tanggal 17 Desember 1990. Sebelum menjadi taman nasional kelompok hutan Rawa Aopa Watumohai terdiri dari Taman Buru Gunung Watumohai seluas 50.000 ha SK Menteri Pertanian No. 648KptsUm101976 tanggal 15 Oktober 1976, dan Suaka Margasatwa Rawa Aopa seluas 55 560 ha SK Menteri Kehutanan No. 138Kpts-111985 tanggal 11 Juni 1985. Latar belakang penetapannya sebagai taman nasional adalah karena kelompok hutan tersebut memiliki berbagai tipe ekosistem, antara lain ekosistem hutan bakau mangrove, hutan pantai, savanna, hutan hujan pegunungan rendah dan ekosistem rawa, yang menjadi habitat berbagai jenis hidupan liar yang perlu dibina kelestariannya untuk dapat dimanfaatkan bagi kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, rekreasi, dan pariwisata. Setelah dikelola selama beberapa waktu melalui Proyek Pengembangan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, maka pada tahun 1997 status TN Rawa Aopa Watumohai telah ditingkatkan menjadi Unit Taman Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 185Kpts-111997 tanggal 31 Maret 1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional. Batas-batas wilayah, di sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Tirawuta Kab. Kolaka, sebelah Timur dengan Kec. Lambuya dan Tinanggea Kab. Kendari, sebelah Barat dengan Kec. Ladongi Kab. Kolaka, dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Rumbia Buton. Panjang batasnya ± 336 674 km, dengan jumlah pal batas keliling 4 158 buah TNRAW terletak pada ketinggian 0-980 m dpl, dengan topografi bervariasi mulai dari datar, bergelombang, berbukit, dan bergunung, dengan puncak tertinggi Gunung Mendoke 980 m dpl. Kelerengan 0 hingga 40 , dan jenis tanahnya Podzolik coklat merah kekuning-kuningan. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt-Fergusson iklimnya termasuk tipe C di bagian Utara dan D di bagian Selatan, dengan curah hujan tahunan bervariasi antara 1.500 sampai 2.000 mm. Bulan-bulan kering jatuh pada bulan Juli, Agustus, Oktober, dan Nopember. Suhu berkisar antara 20° hingga 33° C, dengan kelembaban 80. TNRAW memiliki potensi keragaman jenis flora yang tersebar di keempat tipe vegetasi, yaitu vegetasi hutan mangrove, vegetasi savana, vegetasi rawa, dan vegetasi hutan hujan pegunungan rendah. Menurut hasil eksplorasi flora yang dilaksanakan oleh Balai Kebun Raya Purwodadi-LIPI pada bulan Juni 1993 berlokasi di Gunung Watumohai dan sekitarnya diperoleh data vegetasi yang terdiri atas 89 sukufamili, 257 margagenus, dan 323 jenisspecies tumbuhan. Permasalahan yang dihadapi TNRAW berupa perburuan gelap poaching, dengan satwa buru yang digemari adalah rusajonga. Peralatan buru mulai dari yang tradisional jerat hingga senjata api. Untuk mengatasi gangguan ini, dilaksanakan penjagaan gerbang masukkeluar kawasan, patroli, serta penyuluhan. Para pemburu seringkali melakukan pembakaran alang-alang, dengan maksud supaya tumbuh tunas-tunas muda yang disukai rusa, sehingga para pemburu tinggal menunggu di tempat tersebut. Pembakaran ini seringkali menyebabkan terbakarnya areal dalam jumlah yang luas. Permasalahan lain berupa pemungutan rotan, pengambilan bahan tambang, penyerobotan kawasan, serta claim beberapa kelompok masyarakat atas tanah di dalam kawasan sebagai tanah leluhur IDRAP 2006. Permasalahan yang terjadi di TNRAW di atas berdasarkan pengamatan di lapangan terjadi akibat kondisi ekonomi sekitar Taman Nasional yang kurang baik dengan pendapatan yang rendah. Widaningsih dan Djakamihardja 1991 menyatakan untuk maksud peningkatan pendapatan petani di satu sisi, dan tetap terjaminnya kelestarian tidak terjadi degradasi lahan di sisi lain, maka sistem pertanaman campuran agroforestry lebih tepat dilakukan di tempat itu. Boer 2001 memperkuat penyataan di atas dengan menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dapat dikembangkan sistem Perhutanan Sosial yang kebanyakan diprogramkan di daerah transmigrasi atau daerah penyangga antara hutan dan lahan masyarakat termasuk agroforestri dengan menanam jenis tanaman kayu, buah-buahan dan pangan.

2.4. Agroforestri