Polikultur Kepiting Soka – Ikan Nila

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Polikultur Kepiting Soka – Ikan Nila

Polikultur atau campuran jenis adalah suatu cara pembesaran ikan yang mempergunakan lebih dari satu jenis ikan dalam satu wadah pemeliharaan. Dimana pemilihan jenis ikan , penentuan komposisi, serta penentuan bobot aawal individu dilakukan atas pertimbangan dari beberapa hal, yaitu: persediaan pakan alami, kebiasaan makan bagi setiap jenis ikan, dan tujuan usaha pembesaran Gustiano, dkk, 2010. Terwujudnya konsep pertanian polikultur sebagai usaha manusia melakukan pemadatan areal tanah dengan maksud memperbaiki ekologi lingkungan alam, dan secara simultan meningkatkan produktifitas lahan yang dapat diukur dari pendapatan ekonomi soekirman, dkk, 2007. Dasar pengembangan polikultur adalah membangun keberagaman yang saling menguntungkan. Semakin beragamnya populasi suatu kawasan maka semakin stabil kondisi ekosistem yang berjalan di kawasan itu. jadi, pendekatan pertanian polikultur merupakan wujud penerapan pertanian berkelanjutan. Konsep pertanian berkelanjutan memiliki cirri-ciri, 1 bernuansa lingkungan ecologically sound, 2 layak secara ekonomi economically viable, 3 adil secara sosial socially just, 4 manusiawi humane, 5mampu diadaptasikan adaptable soekirman, dkk, 2007. Menurut Fitzgerald 1997 bahwa pola empang parit tambak merupakan model silvofishery yang umum dikembangkan dengan membuat saluran air tempat membudidayakan memelihara ikan ataupun udang. Saluran air ini mengelilingi lahan yang digunakan untuk silvofishery, sedangkan tumbuhan mangrove dapat ditanam dibagian tengah, sehingga terdapat perpaduan antara tumbuhan mangrove wanasilvo dan budidaya ikan minafishery. Kondisi ini dapat diterapkan pada areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan pelataran tambak bagian tengah untuk ditanami mangrove, sedangkan bagian caren atau parit dibiarkan seperti semula. Dengan menggunakan sistem empang parit ini, maka lahan yang akan di reforestasi dapat mencapai sekitar 80 dari luasan tambak. Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1x1 meter antar individu. Namun demikian menurut Fitzgerald 1997, kepadatan mangrove yang ditanam dapat bervariasi antara 0,17 – 2,5 pohonm². Kepadatan mangrove tersebut akan mempengaruhi sistem budidaya perikanan, karena produktivitas tambak silvofishery sangat tergantung pada bahan-bahan organik yang berasal dari serasah tumbuhan mangrove. Kepadatan vegetasi yang rendah diterapkan pada ikan bandeng, sedangkan kepadatan vegetasi yang tinggi sesuai diterapkan pada budidaya ikan nila dan kepiting bakau. Kanal untuk memelihara ikan nila berukuran lebar 3-5 m dan kedalaman sekitar 40-80 cm dari permukaan pelataran. Dengan berbagai modifikasi desain dasar tersebut, maka luasan perairan terbuka yang dapat digunakan untuk memelihara ikan bandengikan nila dapat disesuaikan hingga mencapai 40-60. Berbagai jenis ikan, seperti bandeng, kerapu lumpur, kakap putih, dan baronang, serta ikan nila dan kepiting bakau, dapat di pelihara secara intensif di kanal tersebut. Barus 2001 menyatakan pH yang ideal bagi organisme akuatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5. Akan tetapi untuk kepiting menurut Soim 1999 , kisaran salinitas yang sesuai bagi kepiting adalah 10-30 00 atau di golongkan ke dalam air payau. Selain itu menurut Rusmiyati 2011 Kriteria lokasi yang ideal untuk pembudidayaan kepiting adalah daerah air payau atau air asin dengan kadar garam 15-30 permil dengan pH tanah 4-5 dan salinitas 24-30 ppt. Rukmana 1997 menyatakan, bahwa ikan nila memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan hidup. Keadaan pH air antara 5-11 dapat di toleransi oleh ikan nila, akan tetapi pH optimal untuk pertumbuhan untuk perkembangbiakan dan dan pertumbuhan ikan nila adalah 7-8. Ikan nila masih dapat tumbuh dalam keadaan air asin pada kadar salinitas 0-35 permil. Oleh karena itu ikan nila dapat dibudidayakan di perairan payau, tambak dan perairan laut, terutama untuk tujuan pembesaran. Sedangkan menurut Gustiano, dkk 2010 pada salinitas 15 ppt ikan nila mempunyai tingkat kelangsungan hidup dua kali lipat dengan tingkat adaptasi yang tinggi. Selain itu ikan nila memiliki keunggulan komparatif dalam sifat biologinya yang memberi peluang bagi pengembangan usaha budidaya intensif yaitu, pertumbuhan nya cepat dan efisien terhadap pakan, mudah dipelihara pada berbagai lingkungan habitat, rakus terhadap limbah buangan sisa pakan dan termasuk pemangsa segalah bahan omnifora. Menurut Rusmiyati 2011 Sistem pengelolaan tambak kepiting meliputi beberapa kegiatan diantaranya: Persiapan Tambak, Penebaran Bibit, Teknik Produksi Kepiting soka kepiting cangkang lunak, Pemberian Pakan, Pemeliharaan air, dan Pengendalian Hama dan Penyakit. Sedangkan untuk ikan nila menurut Gustiano, dkk 2010 pengelolaan pembesaran ikan nila dapat disesuaikan dengan jenis lahan kolam, tambak, sawah, keramba jaring apung, dan hampang, metoda tunggal kelamin, campur kelamin, tunggal jenis, campur jenis dan terpadu, dan sistem pemeliharaan ekstensif atau tradisional, semi intensif, dan intensif yang dipergunakan. Budidaya kepiting bakau diawali penangkapan benih-benih kepiting bakau dalam perairan di sekitar hutang bakau, benih ini merupakan hasil peranakan alami dari benih induk atau kepiting dewasa. Kemudian dimasukkan dalam lahan yang telah disiapkan yaitu berupa keramba yang diletakkan dalam perairan di lahan tambak atau perairan bakau Gunarto dan Adi Hanafi, 2000. Pada persiapan pembuatan kolam tambak, Rusmiyati 2011 menyatakan bahwa pengelolaan dasar tambak dilakukan dengan memberikan perlakuan terhadap dasar tambak. Seperti pengapuran dan pemberian pupuk sesuai kebutuhan, dengan demikian dasar tambak tidak menimbulkan pengaruh negative terhadap kualitas air tambak selama pemeliharaan. Kegiatan pengelolaan tambak meliputi penjemuran, pembalikan, dan pengapuran. Penjemuran tanah dilakukan hingga bagian permukaan sampai retak – retak. Tujuan nya agar semua bahan organik yang didasar tambak terurai menjadi unsure yang tidak membahayakan dan mengikat gas-gas beracun yang terdapat pada dasar kolam atau media tanah. Proses pengeringan tambak dilakukan selama 1 minggu. Pada persiapan lahan tambak juga dilakukan kegiatan pengapuran. Pengapuran menggunakan kapur CaCO 3 Dholomit. Pengapuran berpengaruh terhadap nilai pH tanah bertujuan untuk menaikkan atau mempertahankan pH tanah bagian dalam tambak hingga kisaran pH normal 7-8. Pengapuran dilakukan dengan menaburkan kapur dipermukaan pelataran tambak secara merata dan dibiarkan selama 2-4 hari. Penebaran bibit kepiting dapat dilakukan pada pagi atau sore hari pada keramba. Pada budidaya polikultur dengan ikan nila maksimal dapat ditebar dengan kepadatan 2000-3000 ekorha untuk berat 2-5 gram atau kurang lebih 20.000- 30000 ekorha untuk berat 0.5 gram atau sebesar 2400-3600 ekorkolam 1200m 2 . Untuk Pakan pada kolam pemeliharaan Gustiano 2010 menyatakan bahwa pakan pada kolam pemeliharaan dapat berupa pakan alami yang berasal dari pemupukan. Fitoplankton, zooplankton, maupun binatang yang hidup di dasar , seperti cacing, siput, jentik-jentik nyamuk dan chirinomus dapat menjadi makanan ikan nila. Selanjutnya ikan dapat diberikan pakan lain selain pakan alami yang terdapat pada kolam. Pemberian pakan lebih diutamakan dalam bentuk segar sebanyak 5-10 dari berat badan dan diberikan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore malam hari. Dalam siklus pemeliharaan, kepiting yang dapat bertahan hidup adalah sebesar 70. Dengan pertambahan berat badan sebesar 10-15 Rusmiyati,2010. Sedangkan menurut Gustiano 2010, pada ikan nila, jumlah pakan yang diberikan setiap hari disesuaikan dengan berat ikan, sering di sebut dengan Tingkat Pemberian Pakan TPP. Umumnya ikan yang berukuran besar membutuhkan TPP dan frekuensi pemberian pakan yang semakin kecil dibandingkan dengan ikan yang berukuran kecil. Seperti pada daerah penelitian, jumlah pakan yang diberikan pada kepiting yang tumbuh semakin besar akan mengurangi sisa pakan yang jatuh kedasar kolam, akan tetapi hal ini justru lebih baik karena kebiutuhan pakan ikan juga semakin kecil sehingga tidak mengganggu pertumbuhan kedua komoditi secara bersamaan. Akan tetapi pada saat awal pemeliharaan ikan nila membutuhkan lebih banyak pakan, sedangkan kepiting membutuhkan lebih sedikit pakan, maka jumlah sisa pakan kepiting yang berjatuhan ke dasar kolam akan menjadi makanan tambahan bagi ikan nila. Budi daya kepiting di tujukan untuk menghasilkan kepiting konsumsi. Kegiatan budi daya di kenal dengan kegiatan pembesaran dan penggemukan. Selain pembesaran dan penggemukan dikenal juga produksi kepiting lunak atau kepiting soka dan kepiting telur Kordi, 2011. Kepiting soka adalah kepiting bakau yang sedang mengalami fase ganti kulit molting. Keunggulan kepiting dalam fase ini yaitu mempunyai cangkang yang lunak “soft shell mud crab” sehingga dapat dikonsumsi secara utuh. Selain tidak repot memakannya karena kulitnya tidak perlu disisishkan, nilai nutrisinya juga lebih tinggi, terutama kandungan chitosan dan karotenoid yang biasanya terdapat pada kulit dapat dimakan. produksi kepiting soka, dilakukan dengan memelihara kepiting secara individu didalam kotak keranjang yang di tempatkan pada keramba hingga molting Rusmiyati, 2011. Menurut Rusmiyati 2011, kepiting yang sudah tua atau yang sudah pernah bertelur tidak baik untuk dilakukan pemotingan proses ganti kulit. Ukuaran cangkang kepiting yang dipelihara berkisar 10-15 cm dengan berat 60-150 gram. Ukuan tersebut sangat baik dan sangat cepat dalam proses molting. Kondisi organ tubuh lengkap tak ada cacat dan luka. kepiting yang cacat ataupun mengalami luka tidak bias molting dan mengalami kematian 1- 4 hari pemeliharaan. Selama masa pertumbuhan kepiting menjadi dewasa, kepiting bakau akan mengalami proses ganti kulit antara 17-20 kali. Hal ini terjadi karena rangka luar yang membungkus tubuhnya tidak dapat membesar sehingga perlu dibuat dan diganti dengan yang lebih besar. Pertambahan berat yang dicapai setelah molting 20-25 dari berat awal dengan rata-rata berat awal penebaran 80-100 gekor dalam masa pemeliharaan 15-20 hari. Pemoltingan tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu informasi eksternal dari lingkungan seperti cahaya, temperature, dan ketersediaan makanan. Selain itu informasi internal juga sangat berperan, seperti ukuran tubuh yang membutuhkan tempat yang lebih luas. Kedua faktor ini akan mempengaruhi otak dan menstimulasi organ-Y untuk menghasilkan hormon molting yaitu ekdisteroid. Selain itu penggantian air dilakukan bila terjadi penurunan kualitas air dan sampling dilakukan setiap 5 hari untuk mengetahui perkembangan pertumbuhan dan kesehatan kepiting. Dengan pengelolaan pakan yang cermat, cocok dan tepat jumlah maka dalam tempo 10 hari pertumbuhan kepiting akan dapat diketahui Rusmiyati, 2011. Dalam pemeliharaan kepiting bakau, penggantian air sangat diperlukan. Hal ini memegang peranan penting dalam kberhasilan budidaya kepiting. Penggantian air yang baik dilakukan sebanyak 50-70. Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas air selama masa pemeliharaan. Kondisi air yang tidak layak digunakan ditandai dengan keruhnya air sehingga kepiting akan banyak yang mati. Pada kolam dengan sistem resirkulasi air cenderung menjadi lebih asam karena proses nitrifikasi dari bahan organik akan menghasilkan karbondioksida dan ion hydrogen. Pada kolam atau tambak banyak dijumpai tumbuhan renik, yang dapat mempengaruhi pH, semakin tinggi nilai pH maka semakin tinggi nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Berdasarkan nilai kisaran pH menurut EPA Environtmental Protection Agency untuk kehidupan organisme air adalah 6,5 – 8,5. Menurun nya kualitas air ditandai dengan semakin keruhnya air. Selain itu salinitas juga sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik air. Air yang digunakan dalam pemeliharaan kepiting sebaiknya antara 15-35 permil. Sedangkan nilai oksigen sangat penting bagi pernafasan kepiting maupun ikan dan merupakan komponen utama bagi metabolism kepiting dan organisme perairan lainnya. Kandungan oksigen terlarut yang terbaik untuk kehidupan organisme perairan berkisar antara 5-5,69 ppm. Kandungan oksigen lebih rendah akan mengakibatkan selera makan oranisme menurun. Dalam usaha budidaya kepiting soka sirkulasi air harus selalu dijaga untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut tersebut. Kepiting bakau sangat sensitif terhadap white spot syndrome virus, hal ini karena udang dan kepiting masih berada dalam satu kelas, yaitu Crustaceaserta dan memiliki habitat yang sama yaitu pada perairan payau atau estuaria. Pencegahan dan pengendalian terhadap penyakit ini yaitu: 1 mensucihamakan induk yang akan memijah. 2 pemberian klorin pada air yang ditempati kepiting 3 perlakuan karantina bagi kepiting yang membawa penyakit 4pemeliharaan yang intensif dengan memperhatikan kebersihan lingkungan Rusmiyati, 2011. Landasan Teori Menurut Mosher 1981 usahatani pada dasarnya adalah tanah. Usahatani dapat sebagai suatu cara hidup a way of life. Jenis ini termasuk usahatani untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau subsistem dan primitif. Jenis usahatani seperti itu pada saat sekarang sudah langka ditemui. Pada saat sekarang, pada umumnya jenis usahatani yang termasuk perusahaan the farm business. Setiap petani pada hakikatnya menjalankan perusahaan pertanian di atas usahataninya. Itu merupakan bisnis karena tujuan setiap petani bersifat ekonomis, memproduksi hasil-hasil untuk dijual ke pasar atau untuk di konsumsi sendiri oleh keluarganya. Usahatani tambak yang bertujuan ekonomis termasuk usahatani perusahaan. Usahatani hendaklah senantiasa berubah, baik di dalam ukuran size maupun susunannya, untuk memanfaatkan metode usahatani yang senantiasa berkembang secara lebih efisien. Corak usahatani yang cocok bagi pertanian yang masih primitif bukanlah corak yang paling produktif apabila sudah tersedia metode- metode yang modern Mosher, 1981. Polikultur adalah praktek kultur lebih dari satu jenis organisme akuatik di kolam yang sama. Prinsip yang memotivasi adalah bahwa produksi ikan di kolam dapat dimaksimalkan dengan meningkatkan kombinasi spesies yang berbeda Singgih, 2010. Usahatani dalam operasinya bertujuan untuk memperoleh pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan serta dana untuk kegiatan di luar usahatani. Untuk memperoleh tingkat pendapatan yang diinginkan maka petani seharusnya mempertimbangkan harga jual dari produksinya. Melakukan perhitungan terhadap semua unsur biaya dan selanjutnya menentukan harga pokok hasil usahataninya, keadaan ini tidak dapat dilakukan oleh petani, akibatnya efektivitas usahatani menjadi rendah. Volume produksi, produktivitas serta harga yang diharapkan jauh di luar harapan yang dikhayalkan Fhadoli, 1991. Biaya produksi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor- faktor produksi yang akan digunakan untuk menghasilkan barang-barang produksi yang dijual. Biaya produksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu : biaya tetap FC dan biaya variabel VC. Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak tergantung dari banyak sedikitnya jumlah output, sedangkan biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah-ubah tergantung dari banyak sedikitnya output yang dihasilkan. Biaya tetap dan biaya variabel ini jika dijumlahkan hasilnya merupakan biaya total TC yang merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produksi. Jadi, TC = TFC + TVC Nuraini, 2001. Kurva biaya produksi adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara jumlah biaya produksi yang dipergunakan dan jumlah produk yang dihasilkan. Maka pola kurva biaya tetap total TFC, biaya variabel total TVC dan biaya total TC dapat dilihat sebagai berikut : Rp TC TVC A TFC n Q Gambar 2. kurva biaya produksi Pada Gambar 2, dapat dilihat pada biaya tetap total TFC dilukiskan sebagai garis lurus horizontal sejajar dengan sumbu kuantitas. Hal ini menunjukkan bahwa berapapun jumlah output yang dihasilkan, besarnya biaya tetap total tidak berubah yaitu sebesar n. Pada biaya variabel total TVC menunjukkan bahwa kurva biaya variabel total terus menerus naik. Jadi, semakin banyak output yang dihasilkan maka biaya variabel akan semakin tinggi. Namun demikian, laju peningkatan biaya tersebut berbeda-beda tidak konstan. Laju peningkatan mula-mula dari titik asal adalah menurun hingga titik A. Pada titik A ini tidak terjadi peningkatan sama sekali. Kemudian sesudah titik A laju kenaikannya terus menerus naik, sedangkan kurva biaya total TC diperoleh dengan menjumlahkan kurva TFC dengan kurva TVC secara vertikal. Biaya total TC berada pada jarak vertikal di semua titik antara biaya tetap total TFC dan biaya variabel total TVC, yaitu: sebesar n Nuraini, 2001. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dirumuskan sebagai berikut : TR 1 = Y 1 . Py 1 Yaitu : TR = Total Penerimaan Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani Py = Harga y. Sedangkan pendapatan usahatani diperoleh dengan cara mengurangi keseluruhan penerimaan dan biaya. Rumus yang digunakan untuk mencari pendapatan usahatani, adalah : Pd = TR – TC Dimana : Pd = Pendapatan usahatani TR = Total Penerimaan TC = Total Biaya Soekartawi, 2002. Untuk dapat meningkatkan pendapatan sangat tergantung pada cepat tidaknya mengadopsi inovasi tergantung dari faktor ekstern dan faktor intern itu sendiri, yaitu faktor ekonomi dan sosial. Faktor ekonomi itu diantaranya jumlah tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki dan ada tidaknya usahatani yang dimilikinya. Sedangkan faktor sosial diantaranya umur, tingkat pendidikan dan pengalaman bertani Soekartawi, 1989. Pendapatan total untuk usaha tani pola polikultur adalah pendapatan yang di peroleh dari pengurangan seluruh penerimaan dari semua jenis komoditi dan seluruh biaya dari setiap komoditi yang terdapat dalam satu lahan. Sehingga dapat ditulis dengan rumus: n n n Σ Pd = Σ TR – Σ TC i = I i = I i = I Keterangan: i = komoditi jenis komoditi budidaya n = jumlah komoditi Mosher, 1987. Keuntungan adalah selisih antara total penerimaan TR dan total biaya TC. Tujuan ini dapat diformulasikan sebagai berikut : π = pq – c q. Keuntungan juga merupakan insentif bagi produsen untuk melakukan proses produksi. Keuntungan inilah yang mengarahkan produsen untuk mengalokasikan sumber daya ke proses produksi tertentu. Produsen bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan dengan kendala yang dihadapi Sunaryo, 2001. Menurut Soekartawi 1995 kelayakan usaha tambak kepiting dapat juga dianalisis dengan metode analisis RC, Analisis RC ini membandingkan nilai penerimaan Revenue dengan total biaya, yaitu dengan kriteria, bila RC 1 , maka usahatani layak bila RC = 1 maka usahatani berada pada titik impas dan bila nilai RC 1 maka usaha tani tidak layak Soekartawi, 1995. Produktivitas tenaga kerja yaitu perbandingan antara penerimaan dengan total tenaga kerja yang dicurahkan per usaha tani dengan satuan RpHKO. Atau dapat ditulis sebagai berikut: Produktivitas tenaga kerja = Penerimaan Total tenaga kerja yang dicurahkan Kriteria uji : - Jika produktivitas tenaga kerja tingkat upah yang berlaku, maka usaha tani layak diusahakan. - Jika produktivitas tenaga kerja tingkat upah yang berlaku, maka usaha tani tidak layak diusahakan. Dalam perhitungan curahan tenaga kerja maka digunakan standar perhitungan berdasarkan umur tenaga kerja dengan standar konversi sebagai berikut: 1. Tenaga anak-anak 1-14 tahun : laki-laki = 0,5 HKP, wanita 0,4 HKP 2. Tenaga laki-laki dewasa ≥ 15 tahun = 1 HKP 3. Tenaga wanita dewasa ≥ 15 tahun = 0,8 HKP Standar konversi tersebut berlaku dengan jumlah jam kerja yang sama dalam satu hari kerjamyakni 7 jam efektif dengan rincian: Jam 8.00 – 12.00 → kerja 4 jam Jam 12.00 – 14.00 → istirahat makan siang 2 jam Jam 14.00 – 17.00 → kerja 3 jam Untuk menghitung curahan tenaga kerja dari setiap individuanggota keluarga yang bekerja pada usahatani dengan usia dan jenis kelamin tertentu harus melihat jumlah jam kerja dikalikan standar men equivalen MeHKP Hari Kerja setara Pria seperti yang telah disebutkan diatas Butar-butar, 2010.

2.2 Kerangka Pemikiran

Dokumen yang terkait

Analisis Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila” Studi Kasus di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.

5 66 103

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

3 19 49

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa , Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 0 12

Analisis Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila” Studi Kasus di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.

0 0 28

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polikultur Kepiting Soka – Ikan Nila - Analisis Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila” Studi Kasus di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.

0 0 17

Analisis Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila” Studi Kasus di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.

0 0 11

Aplikasi Sistem Silvofishery Di Desa Lama, Desa Paluh Kurau dan Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 0 12

Aplikasi Sistem Silvofishery Di Desa Lama, Desa Paluh Kurau dan Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 0 12

Analisis Usaha Tambak Polikultur Kepiting – Ikan Nila (Studi Kasus: Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang)

0 0 29

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polikultur Kepiting Soka – Ikan Nila - Analisis Usaha Tambak Polikultur Kepiting – Ikan Nila (Studi Kasus: Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang)

0 0 17