Dampak Pertumbuhan dan Keterbukaan Ekonomi terhadap Degradasi Lingkungan

(1)

1 BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang dilakukan banyak negara di berbagai penjuru dunia dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di masing-masing negara. Setiap negara menghendaki peningkatan kualitas kehidupan melalui pertumbuhan ekonomi. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk mencapai tujuan tertentu, dalam hal ini adalah peningkatan kesejahteraan atau taraf hidup masyarakat yang didukung oleh perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial. Todaro dan Smith (2006) menyatakan istilah pembangunan (development) secara tradisional diartikan sebagai suatu kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi awalnya kurang baik dan bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan GDP (Gross Domestic Product) atau GNI (Gross National Income).

Beberapa badan internasional termasuk Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD: Organization for Economic Cooperation and Development) dan PBB mengklasifikasi berbagai negara berdasarkan status perekonomian mereka, tetapi sistem pengklasifikasian yang dikenal secara luas dilakukan oleh Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD: International Bank for Reconstruction and Development), yang lebih umum dikenal sebagai Bank Dunia (Word Bank). Dalam sistem klasifikasi Bank Dunia, 208 perekonomian dengan jumlah populasi minimal 30.000 jiwa diurutkan


(2)

2

berdasarkan tingkat pendapatan nasional bruto per kapita (GNI: Gross Natiional income) berbagai perekonomian ini kemudian dibedakan menjadi pendapatan rendah (Low Income) pendapatan menengah bawah (lower-middle income), pendapatan menengah atas (upper-middle income), pendapatan tinggi menurut OECD, dan negara-negara pendapatan tinggi lainnya (Todaro, 2006).

Proses pembangunan ekonomi bukan tidak memiliki efek samping atau biasa disebut eksternalitas. Peningkatan kesejahteraan peningkatan standar kesehatan, sadar pendidikan dan lain-lain merupakan eksternalitas positif dari pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain penurunan kualitas lingkungan hadir sebagai eksternaliatas negatif dari pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya menyebabkan banyak permasalahan lingkungan.

Sumber: World Bank, 2011

Gambar 1.1. Rata-rata Laju Pertumbuhan Emisi CO2 dan GDP per KapitaTahun

1982- 2007 ‐0.04 ‐0.02 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1

1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008

Rata rata   laju   pertumbuhan   per   Tahun   (persen)

Rata‐rata Laju  Pertumbuhan CO2

Rata rata Laju 

Pertumbuhan GDP per  Kapita


(3)

CO2 digunakan dalam banyak penelitian sebagai gas buangan untuk

menggambarkan tingkat pencemaran. Gambar 1.1 merupakan gambaran rata-rata laju pertumbuhan gas CO2 dari dua puluh negara contoh dari lima kelompok

pendapatan yang berbeda. Gambar 1.1 menunjukan pola yang sama antara peningkatan rata-rata laju pertumbuhan GDP per Kapita dan rata-rata laju pertumbuhan CO2. Pada tahun 1981 sampai dengan tahun 1988 baik rata-rata laju

pertumbuhan CO2 maupun rata-rata laju pertumbuhan GDP per kapita sama-sama

mengalami pertumbuhan yang positif. Pada rentang tahun 1988 sampai dengan 1990 baik rata-rata laju pertumbuhan GDP per kapita maupun rata-rata laju pertumbuhan CO2 sama-sama menunjukan penurunan yang drastis. Terkecuali

pada tahun 1992 dan tahun 2006 Gambar 1.1 memperlihatkan hubungan yang positif antara rata-rata laju pertumbuhan GDP per kapita dan rata-rata laju pertumbuhan CO2. Artinya, semakin tinggi rata-rata laju pertumbuhan ekonomi

maka semakin besar rata-rata laju pertumbuhan emisi gas CO2 yang dihasilkan.

Begitu juga sebaliknya, penurunan rata-rata laju pertumbuhan GDP per kapita berarti juga penurunan rata-rata laju pertumbuhan gas buangan CO2.

Pada kasus negara maju, tingginya pencemaran udara, dalam hal ini CO2, dapat disebabkan oleh tingginya konsumsi energi yang mengakibatkan pencemaran udara. Semakin tinggi pendapatan suatu negara semakin tinggi pula kemampuan bayar yang dimiliki warga negaranya. negara maju memiliki banyak keluarga dengan pendapatan tinggi yang mampu membeli mobil untuk setiap anggota keluarga (satu kepala satu mobil). Selain itu konsumsi energi listrik untuk dapat menyalakan alat-alat elektronik berdaya tinggi akan sangat tinggi. Berbeda


(4)

4

dengan negara Middle Income yang hanya memiliki sebagian kecil keluarga berpendapatan tinggi. Sebagian keluarga yang berpendapatan rendah hanya dapat membiayai satu kendaraan untuk digunakan bersama-sama atau menggunakan angkutan umum. Konsumsi listrik tidak akan lebih besar dari negara maju karena butuh biaya yang lebih besar untuk menghidupkan alat-alat elektronik berdaya tinggi sehingga hanya memiliki barang-barang elektronik berdaya rendah atau pun menggunakan fasilitas umum.

Pandangan lain diberikan oleh Hayami dan Godo (2006), mereka menilai seharusnya degradasi lingkungan lebih besar terjadi pada negara berkembang yang sedang berada pada tahap industrialisasi. Polusi pabrik-pabrik yang banyak terdapat di negara berkembang menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Sebaliknya, negara maju telah mengalami pergeseran dari industrialisasi menuju sektor jasa dalam pergerakan ekonominya. Sehingga konsumsi energi sebagai sumber utama polusi akan lebih rendah pertumbuhannya jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Selain itu masyarakat di negara maju akan lebih memiliki pilihan untuk memperhatikan aspek lingkungan dan tidak terfokus pada persoalan konsumsi. Hal ini akan memudahkan pemerintah untuk menetapkan regulasi atau pun pajak yang berkaitan dengan aspek lingkungan karena willingness to pay untuk lingkungan akan lebih besar.

Akpan dan Chuku (2011) menyatakan, sejak tahun 1990 penelitian tentang hubungan pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan yang membuktikan teori Environmental Kuznet Curve (EKC) mulai banyak dilakukan. Penelitian akan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan


(5)

sebagai pendekatan EKC model diawali oleh Grossman dan Krueger (1991), Shafik dan Bandypadhayay (1992), Panayotou (1993) kemudian oleh Selden dan Song (1994). Grosman dan Krueger pertama kali menyoroti berbentuk kurva-U terbalik dalam hubungan antara degradasi lingkungan dengan pendapatan per kapita sebagai dampak dari perdagangan bebas Amerika Utara. Kurva-U terbalik kemudian disebut sebagai sebagai Kurva Kuznet oleh Panayoyou karena kemiripannya dengan kurva yang menunjukan hubungan antara degradasi lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi yang pertama kali dipopulerkan oleh Kuznet (1955).

Kahuthu (2006) menemukan adanya hubungan kurva-U terbalik diantara pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan. Dimana pertumbuhan ekonomi akan berpengaruh kepada peningkatan kerusakan yang ditimbulkan. Namun pada titik balik tertentu, pertumbuhan ekonomi akan mengarah kepada perbaikan kualitas lingkungan. Akpan dan Chuku (2011) mendapatkan hasil yang berbeda ketika melakukan penelitian tentang pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan di Nigeria. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan lebih menunjukan bentuk N dibanding dengan kurva-U. Penelitian Grossman dan Kruegel (1995) menemukan hubungan kuadratik dalam hubungan pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan.

Teori Kuznet (1955) telah membawa sejumlah penelitian kepada hasil yang beragam seiring dengan munculnya hasil dari para peneliti dan pembuat kebijakan dan tidak membantu banyak untuk mengimbangi kecenderungan dari negara-negara berkembang yang hampir secara eksklusif fokus pada pertumbuhan


(6)

6

ekonomi mengabaikan masalah lingkungan. Negara maju (yang memperhatikan masalah lingkungan hanya pada tahap selanjutnya dari proses pembangunan) tidak membantu untuk merangsang pendekatan yang lebih ramah lingkungan dari negara-negara sedang berkembang. Kurva Kuznet telah menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya adalah obat mujarab untuk degradasi lingkungan. Beberapa negara telah memulai jalan pembangunan berkelanjutan memperhatikan beberapa hal yang penting untuk kebijakan lingkungan, namun di satu sisi beberapa negara mengabaikan kerusakan dan mengedepankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (Kahuthu, 2006).

Pertumbuhan ekonomi yang penyebabkan penurunan kualitas lingkungan pada titik balik tertentu akan mengarah kepada peningkatan kualitas lingkungan. Negara berkembang akan fokus pada permasalahan pokok yang berhubungan dengan kesejahteraan dan swasembada pangan yang belum tercapai. Sedangkan negara maju telah mencapai pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan yang tinggi sehingga masalah kesejahteraan dan pangan tidaklah menjadi persoalan. Pada saat yang sama tingkat kepedulian dan kesadaran akan kualitas lingkungan sebagai kebutuhan jangka panjang akan lebih diperhatikan.

Kinerja suatu perekonomian tidak dapat dipisahkan dari proses globalisasi. Keterkaitan perekonomian suatu negara semakin erat akibat berkurangnya batasan-batasan perdagangan dan tingginya arus modal lintas perekonomian. Keterbukaan ekonomi (Openness of The Economy) seharusnya membawa suatu negara kepada pertumbuhan ekonomi yang kemudian, menurut model EKC, mengarah pada peningkatan standar lingkungan. Banyak negara telah melakukan


(7)

liberalisasi ekonomi dengan menghapus hambatan perdagangan dan mengurangi subsidi pemerintah dalam upaya pemanfaatan potensi dari globalisasi. Integrasi antar negara melalui perdagangan internasional akan melahirkan kompetisi yang berujung pada peningkatan kegiatan ekonomi dan peningkatan emisi gas buangan. Pada akhirnya negara yang terintegrasi akan menghasilkan emisi lebih banyak jika dibandingkan dengan negara yang tidak terintegrasi (Kahuthu, 2006). Namun, keterbukaan ekonomi juga berarti melebarnya pintu informasi dan komunikasi sehingga tidak menutup kemungkinan integrasi ekonomi justru akan meningkatkan efisiensi yang berujung pada pengurangan emisi gas buangan kegiatan produksi. Selain itu, keterbukaan ekonomi juga berarti terbukanya kesempatan untuk bisa melakukan intervensi terhadap suatu negara melalui forum Internasional. Sebagai contoh, negara-negara di dunia dapat menghimpun kekuatan dan mendesak negara-negara penghasil emisi untuk mengurangi gas buangan mereka yang mencemari bumi ini.

Selanjutnya, EKC menunjukan tahap awal dari proses pertumbuhan ekonomi akan mengakibatkan degradasi sumber daya alam yang meningkat dengan cepat, setelah melampaui batas tertentu pertumbuhan kemudian beralih pada penurunan polusi. Perubahan akan terjadi pada tingkat tertentu dimana masyarakat akan lebih tertarik dengan udara bersih dan hutan sehat, bukan dengan penghasilan lebih naik karena negara tersebut telah melewati masa pertumbuhan ekonomi yang pesat dan melewati titik puncak.

Namun yang menjadi pertanyaan apakah memang benar suatu negara harus fokus di awal pertumbuhan dan mengabaikan faktor lingkungan karena


(8)

8

lingkungan akan didapatkan dengan sendirinya ketika mencapai pertumbuhan ekonomi tertentu? Apakah model pertumbuhan “grow first clean up leter” adalah model yang memang harus digunakan setiap negara di dunia untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi tanpa mengabaikan faktor lingkungan? Kerusakan lingkungan akan semakin besar dan mungkin menyebabkan bencana tak terhindarkan jika persepsi di atas digunakan oleh seluruh negara di belahan dunia diimpementasikan secara kurang tepat. Sementara penelitian mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan masih menghasilkan sesuatu yang samar akibat beragamnya hasil yang didapatkan.

Berkaitan dengan latar belakang di atas relevan apabila dilakukan penelitian dengan judul “Dampak Pertumbuhan dan Keterbukaan Ekonomi terhadap Degradasi Lingkungan” dengan menggunakan studi kasus dua puluh negara yang mewakili tingkat pertumbuhan ekonomi di dunia. Penambahan indikator lingkungan dilakukan untuk memberikan hasil yang lebih jelas akan kerusakan lingkungan.

1.2. Rumusan Masalah

Lahirnya Protokol Kyoto menjadi bukti akan besarnya perhatian dunia akan kerusakan alam di bumi kita ini. Konvensi ini diikuti oleh 2.200 delegasi dari 158 negara anggota konvensi, enam negara pengamat, sekitar 4.000 pengamat dari Organisasi Internasional, serta lebih dari 3.700 perwakilan media. Pada saat itu G77+Cina diketuai oleh Tanzania. Kyoto Protocol menekankan pengurangan


(9)

emisi dalam jumlah yang berarti, realistis, dan adil. Melalui forum ini dunia berusaha menekan negara-negara maju untuk segera menyetujui pengurangan emisi tersebut. Kerusakan lingkungan dikaitkan dengan ekspansi ekonomi banyak negara di dunia terutama negara maju berperan aktif dalam pencemaran lingkungan sebagai eksternalitas negatif dari proses pertumbuhan ekonomi mereka.

Kerusakan tanah, sumber-sumber air, dan hutan-hutan yang diakibatkan oleh metode produksi yang kurang terencana serta tidak efisien jelas dapat mengurangi tingkat produktifitas, terutama dalam jangka panjang. Namun hal tersebut sering kali disisihkan dari perhitungan demi memunculkan angka-angka GNI yang mengesankan. Oleh karena itu, setiap analisis ekonomi harus memperhitungkan berbagai implikasi jangka panjang yang ditimbulkan oleh setiap kegiatan ekonomi terhadap kualitas dan kelestarian lingkungan hidup (Todaro, 2009).

Shafik (1994) dalam Kahuthu (2006) menyebutkan, peningkatan aktifitas ekonomi akan berdampak pada peningkatan permintaan sumberdaya alam. Pertumbuhan ekonomi yang direpresentasikan oleh pertumbuhan GDP akan mengarah kepada degradasi lingkungan sebagai eksternalitas negatif dari kegiatan ekonomi. Namun Kuznet (1955) menerangkan bahwa ada titik balik tertentu dimana pertumbuhan ekonomi akan mengarah pada perbaikan kualitas lingkungan. Negara-negara di dunia melakukan ekploitasi sumberdaya alam dan fokus pada pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan penambahan nilai yang profit oriented. Surplus value merupakan eksternalitas positif yang didapatkan dari


(10)

10

kegiatan ekonomi yang memungkinkan kemudian digunakan untuk pengembangan teknologi yang mengarahkan kegiatan ekonomi ke tingkat yang lebih efisien. Hingga akhirnya pertumbuhan ekonomi yang mendukung kemajuan teknologi menghasilkan kegiatan produksi yang lebih efisien dan ramah lingkungan sehingga dapat mereduksi dampak kerusakan lingkungan, namun apabila pertumbuhan ekonomi pada tingkat pendapatan yang tinggi tidak mengurangi degradasi lingkungan dapat diprediksikan bahwa dunia akan semakin mengarah pada kehancuran akibat teori pembangunan yang tidak terbukti. Dalam era globalisasi dewasa ini pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari tingkat keterbukaan ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap kondisi perekonomian suatu negara karena perekonomian berbagai negara di dunia membentuk suatu sistem kesatuan yang saling memengaruhi. Tumbuhnya perusahaan multi nasional dan berbagai kesepahaman dan kesepakatan yang dilakukan berbagai dunia memengaruhi perekonomian negara-negara di dunia beserta dampaknya terhadap degradasi lingkungan.

Berbagai penelitian yang telah dilakukan menghasilkan kesimpulan yang beragam. Spesifikasi dan studi kasus yang berbeda menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Perbedaan kesimpulan tersebut kemudian pada akhirnya mempertanyakan kembali beberapa pertanyaan yang melatarbelakangi penelitian ini. Pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan emisi Gas Rumah Kaca (CO2, CH4, dan N2O)?


(11)

2. Bagaimana pengaruh tingkat keterbukaan ekonomi suatu negara terhadap emisi Gas Rumah Kaca (CO2, CH4, dan N2O)?

3. Bagaimana kontribusi pertumbuhan dan keterbukaan ekonomi negara dalam sampel terhadap emisi Gas Rumah Kaca (CO2, CH4, dan N2O)?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan penjelasan pada bagian latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis hubungan pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan. 2. Menganalisis pengaruh tingkat keterbukaan ekonomi terhadap emisi perusak

lingkungan.

3. Menganalisis kontribusi pertumbuhan dan keterbukaan ekonomi negara pada sampel terhadap emisi Gas Rumah Kaca.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian mengenai hubungan pertumbuhan ekonomi dan keterbukaan ekonomi terhadap degradasi lingkungan ini diharapkan dapat memberika manfaat bagi:

1. Pemerintah negara maju dan berkembang dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan dampak lingkungan terutama dalam forum internasional.


(12)

12

2. Para peneliti untuk menjadi bahan rujukan dan pertimbangan dalam proses penelitian berikutnya.

3. Masyarakat umum dalam memahami dampak pertumbuhan ekonomi dan keterbukaan ekonomi terhadap degradasi lingkungan.


(13)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara. Istilah pertumbuhan ekonomi bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lain, negara satu dengan negara lainnya.

Menurut Kuznets dalam Todaro (2006), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu Negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan idiologis yang diperlukannya. Definisi ini mempunyai 3 (tiga) komponen:

1. Pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus-menerus persediaan barang

2. Teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk

3. Penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat.


(14)

14

Dengan bahasa lain, Boediono dalam Hutabarat (2010) menyebutkan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output dalam jangka panjang. Pengertian tersebut mencakup tiga aspek, yaitu proses, output per kapita, dan jangka panjang. Jadi pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses, bukan gambaran ekonomi atau hasil pada saat itu. Boediono menyebutkan secara lebih lanjut bahwa pertumbuhan ekonomi juga berkaitan dengan kenaikan ”output per kapita”. Dalam pengertian ini teori tersebut harus mencakup teori mengenai pertumbuhan GDP dan teori mengenai pertumbuhan penduduk. Sebab hanya apabila kedua aspek tersebut dijelaskan, maka perkembangan output per kapita bisa dijelaskan. Kemudian aspek yang ketiga adalah pertumbuhan ekonomi dalam perspektif jangka panjang, yaitu apabila selama jangka waktu yang cukup panjang tersebut output per kapita menunjukkan kecenderungan yang meningkat.

Menurut Todaro (2006), pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai peningkatan hasil atau outpt masyarakat yang disebabkan oleh makin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi masyarakat. Ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa, antara lain:

1. Akumulasi modal, meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal manusia atau sumber daya manusia.

2. Pertumbuhan penduduk, yang beberapa tahun selanjutnya akan memperbanyak jumlah angkatan kerja.


(15)

Secara umum pertumbuhan ekonomi memiliki arti peningkatan pada Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan dengan peningkatan output dan pendapatan riil perkapita memang bukanlah satu-satunya sasaran kebijakan terutama di negara-negara berkembang. Namun kebijakan ekonomi menaikkan tingkat pertumbuhan output memang perlu dilakukan. Hal ini berdasarkan alasan, karena pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai suatu syarat yang sangat diperlukan untuk perbaikkan kesejahteraan masyarakat dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan lainnya seperti peningkatan pendapatan dan kekayaan masyarakat, ataupun penyediaan fasilitas dan sarana-sarana sosial lainnya.

2.2. Pengertian Degradasi Lingkungan

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Sumber daya lingkungan, seperti udara, air, lahan, dan biota, dapat menyediakan barang dan jasa yang secara langsung maupun tidak langsung mendapatkan manfaat ekonomis. Mengingat bahwa daya dukung alam sangat menentukan bagi kelangsungan hidup manusia, maka kemampuan daya dukung alam tersebut harus dijaga agar tidak terdegradasi.

Menurut Wardhana (1995), Secara umum degradasi lingkungan disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor internal dimana degradasi lingkungan berasal dari dalam bumi atau alam itu sendiri, dan faktor eksternal dimana


(16)

16

degradasi lingkungan berasal dari ulah manusia dalam rangka meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidupnya.

Pemanasan global memiliki dampak turunan terhadap kualitas lingkungan. Peningkatan suhu bumi dan perubahan iklim berdampak signifikan pada berkurangnya kualitas dan kenyamanan hidup. Luasnya definisi degradasi lingkungan menyebabkan perlu adanya pembatasan ruang lingkup akan apa yang dimaksud dengan degradasi lingkungan itu sendiri. Konteks degradasi lingkungan dalam penelitian ini dilihat melalui pencemaran udara yang menyebabkan efek Gas Rumah Kaca dan beberapa masalah turunan lainnya.

Penelitian akan emisi gas rumah kaca yang dapat ditolelir bumi telah banyak dilakukan. Belum ada kesepakatan bersama yang menetapkan batas ambang dari emisi gas rumah kaca. Hansen (2010), seorang peneliti dari NASA, mengatakan bahwa jika manusia berharap melestarikan bumi maka manusia harus mengurangi emisi CO2 menjadi 350 ppm (www.iklimkarbon.com, 2010).

2.3 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Degradasi Lingkungan: Teori Kuznets

Orientasi pertumbuhan ekonomi telah memacu permintaan terhadap sumberdaya alam yang semakin besar. Metode produksi yang tidak memungkinkan adanya substitusi input tersebut berdampak terhadap eksploitasi sumberdaya tersebut sehingga ketersediaannya semakin menipis. Simon Kuznets, peraih penghargaan Nobel pada tahun 1955 membuat suatu hipotesis mengenai hubungan pertumbuhan ekonomi dengan lingkungan yang dikenal dengan


(17)

hipotesis Environmental Kuznets Curve. Berdasarkan hipotesis Environmental Kuznets Curve, kerusakan lingkungan yang parah rawan terjadi di negara-negara berkembang yang mayoritas merupakan negara-negara yang berpenghasilan per kapita rendah. Hal ini terjadi karena pada fase awal pertumbuhan industrialisasi sangat besar fokusnya pada bagaimana ekonomi berkembang pesat dan banyak menyerap tenaga kerja. Isu lingkungan belum menjadi agenda utama dan pemerintah belum banyak terlibat dalam upaya perbaikan sistem pasar. Pada fase ini terjadi korelasi positif antara degradasi lingkungan karena banyak bahan polutan di udara dengan pertumbuhan ekonomi.

Emisi Bahan Polutan

EKC Konvensional

Pendapatan per kapita

Sumber: Kahutu, 2006

Gambar 2.1. Hipotesis Environmental Kuznets Curve

Namun, pada tingkat pendapatan tertentu terdapat titik balik. Pada fase ini kesadaran pentingnya kualitas lingkungan sudah mulai berkembang. Public goods seperti kualitas lingkungan serta kesehatan telah menjadi bagian permintaan masyarakat. Tekanan atas kebutuhan tersebut baik terpaksa maupun tidak, industri melakukan kebijakan perubahan metode produksi. Pada fase ini terdapat income yang cukup untuk melakukan usaha-usaha perbaikan lingkungan.


(18)

18

Penjelasan lebih jelasnya mengenai terjadinya inverted U pada kurva Kuznets adalah sebagai berikut :

1. Terjadinya pergeseran transformasi dari sektor pertanian ke sektor industri karena adanya dorongan investasi asing. Pada tingkat pendapatan rendah di negara berkembang, pendapatan industri masih rendah dan akan meningkat seiring peningkatan pendapatan. Peningkatan sektor indutri ini menyebabkan polusi di negara sedang berkembang juga akan mengalami peningkatan dan ketika terjadi transformasi dari sektor industri ke sektor jasa, polusi akan menurun seiring peningkatan pendapatan.

2. Permintaan akan kualitas lingkungan akan mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan pendapatan. Hal ini bermula ketika pendapatan masih rendah, sulit bagi pemerintah negara berkembang untuk melakukan proteksi terhadap lingkungan. Ketika pendapatan mulai meningkat, masyarakat mulai mampu untuk membayar kerugian lingkungan akibat dari kegiatan ekonomi. Pada tahap ini masyarakat mau mengorbankan konsumsi barang demi terlindunginya lingkungan.

Pertumbuhan pendapatan akan diiringi dengan kenaikan tingkat polusi, dan kemudian menurun lagi dengan kondisi pertumbuhan pendapatan tetap berjalan. Teori ini didasarkan pada permintaan terhadap kualitas lingkungan yang meningkatkan pengawasan sosial dan regulasi pemerintah sehingga masyarakat akan lebih sejahtera.


(19)

2.4 Hubungan Keterbukaan Ekonomi (Openness of the Economy) dan Degradasi Lingkungan

Ada beberapa indikator yang menunjukan tingkat keterbukaan suatu perekonomian atau Openness of the Economy yaitu perdagangan, tingkat suku bunga dalam Negeri, International risk sharing, dan rasio investasi terhadap tabungan domestik. Keterbukaan ekonomi dapat dijelaskan dengan penjumlahan nilai ekspor dan impor. Perdagangan internasional memiliki sejumlah argumen yang mendukung serta menolaknya, dengan beragam alasan yang mendasarinya. Namun argumen yang mendukung dan menolaknya tidak ada yang memiliki kebenaran absolut. Manfaat yang diperoleh suatu Negara dengan adanya perdagangan Internasional bergantung pada struktur perekonomian Negara itu sendiri.

Keterbukaan ekonomi dapat memiliki hubungan positif maupun negatif dengan degradasi lingkugan. Kahuthu (2006) menemukan adanya pengaruh positif keterbukaaan ekonomi dalam menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan. Namun, keterbukaan ekonomi bisa saja berpengaruh negatif terhadap degradasi lingkungan apabila terdapat transfer informasi teknologi dari dunia global ke dalam suatu perekonomian sehingga dapat melakukan kegiatan produksi dengan lebih efisien.

2.5 Penelitian Sebelumnya

Penelitian ini akan menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan melalui variabel gas CO2 dan beberapa komponen gas


(20)

20

penelitian tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan telah banyak dilakukan dan didapatkan hasil yang beragam.

Grossman dan Krueger (1995) melakukan penelitian tentang hubungan pertumbuhan ekonomi dengan kualitas lingkungan. Mereka menggunakan GDP per kapita sebagai indikator pertumbuhan ekonomi dan menggunakan polusi udara perkotaan, oksigen pada aliran sungai, dan kontaminasi aliran air sungai oleh logam berat sebagai indikator lingkungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan reduce-form untuk melihat hubungan pertumbuhan ekonomi dengan indikator lingkungan yang telah ditetapkan. Data diperoleh dari 287 titik sungai pada 58 negara tahun 1979 sampai dengan tahun 1990. Penelitian telah memberikan dukungan untuk model EKC. Untuk kebanyakan indikator, pertumbuhan ekonomi membawa tahap awal kerusakan diikuti oleh fase berikutnya perbaikan. Titik balik untuk polutan yang berbeda bervariasi, tetapi dalam banyak kasus didapatkan Negara mencapai titik balik pada tingkat pendapatan perkapita sebesar 8.000 dollar.

Kahuthu (2006) melakukan penelitian untuk mengetahui dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kerusakan lingkungan yang dilihat melalui gas CO2 dan luas hutan. Data yang digunakan adalah data panel yang terdiri dari 84

Negara dari berbagai level pertumbuhan selama tahun 1960-2000. Model yang digunakan adalah model kuadratik yang diestimasi menggunakan fixed effect model. Penelitian ini menghasilkan dukungan terhadap EKC model dimana terdapat hubungan berbentuk kurva-U terbalik antara pertumbuhan ekonomi dengan kerusakan lingkungan. Hasil dari pengulangan estimasi setelah melakukan modifikasi pada model dengan menambahkan variabel keterbukaan ekonomi


(21)

menyebutkan bahwa jika suatu Negara semakin terintegrasi (memiliki tingkat keterbukaan ekonomi yang lebih tinggi) maka akan semakin tinggi tingkat emisi yang dihasilkan dan semakin tinggi titik puncak yang harus dicapai agar kemudian pertumbuhan ekonomi mengarah pada pengurangan emisi dan kerusakan lingkungan.

Choi et al. (2010) melakukan penelitian akan hubungan emisi CO2 dengan

pertumbuhan ekonomi dan keterbukaan ekonomi pada negara Korea, Cina, dan Jepang untuk tahun 1971-2006. Melalui proses estimasi yang dilakukan menggunakan metode OLS. Hasil yang didapat untuk studi kasus Negara Korea tidak sejalan dengan konsep EKC yang menyebutkan bahwa hubungan pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan akan membentuk kurva-U terbalik. Untuk Negara Cina, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan emisi CO2 membentuk kurva-N. Pertumbuhan ekonomi tidak dapat memberikan

peningkatan kualitas lingkungan secara berkesinambungan karena pada titik balik kedua, pertumbuhan ekonomi akan kembali memberikan dampak negatif bagi kualitas lingkungan di Cina. Sedangkan untuk kasus negara Jepang, penelitian mengarah pada kurva-N terbalik dalam menggambarkan pola hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan emisi CO2. Meskipun untuk kasus negara Jepang

pada akhirnya peningkatan ekonomi dapat memberikan perbaikan kualitas lingkungan yang ditinjau melaui emisi CO2 dalam penelitian ini, namun model

hubungan yang ditemukan berbeda dengan EKC model yang berbentuk kurva-U terbalik.

Hutabarat (2000) melakukan penelitian menggunakan analisis regresi berganda dengan model Fixed Effect Model (FEM) dengan metode Fixed Effect


(22)

22

Model Fixed Cross Section yang telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel PDB sektor industri terhadap kualitas lingkungan yang ditinjau melalui emisi Sulfur dan emisi CO2 di lima negara ASEAN selama 21 tahun. Dari

penelitian tersebut, ditemukan hubungan yang membentuk fungsi kubik untuk kasus emisi surfur dan emisi CO2.

Akpan dan Chuku (2011) melakukan penelitian mengenai hubungan pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan untuk studi kasus negara Nigeria. Mereka menggunakan data tahun 1960 sampai dengan tahun 2008 dengan GDP per kapita sebagai indikator pertumbuhan ekonomi dan CO2 sebagai

indikator degradasi lingkungan. Model ARDL digunakan untu melihat hubungan antara keduanya. Akpan dan Chuku (2011) juga turut memasukan tingkat keterbukaan ekonomi (openness ratio) sebagai variabel lain yang turut mempengaruhi degradasi lingungan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa untuk studi kasus negara Nigeria, pertumbuhan ekonomi berasosiasi dengan peningkatan degradasi lingkungan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Hubungan kurva-N terbalik sebagai hasil penelitian tidak memberikan dukungan terhadap EKC model.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Penambahan indikator lingkungan CH4 dan N2O sebagai emisi komponen gas rumah kaca

diharapkan dapat memberikan pengaruh yang lebih spesifik akan pertumbuhan ekonomi terhadap degradasi lingkungan. Penambahan indikator keterbukaan ekonomi dilakukan kembali untuk menangkap pengaruh tingkat keterbukaan ekonomi. Berbeda dengan Choi et,al (2010), penelitian ini menggunakan cross


(23)

section dan time series yang lebih banyak. Meskipun tidak sebanyak Kahutu (2006), namun indikator lingkungan yang digunakan lebih banyak dengan time series yang lebih up to date.

2.6. Kerangka Pemikiran

Perhatian utama masyarakat perekonomian dunia tertuju pada cara-cara untuk mempercepat tingkat pertumbuhan pendapatan nasional. “Pengejaran pertumbuhan” merupakan tema sentral dalam kehidupan ekonomi semua negara di dunia dewasa ini. Dalam melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi dilakukan untuk mewujudkan perbaikan kualitas hidup dan mengatasi permasalahan yang berkaitan atau berakar dari masalah kesejahteraan. Perbaikan infrastruktur, pelayanan masyarakat, dan kualitas kehidupan merupakan beberapa fokus dari pertumbuhan ekonomi. Suatu sistem perekonomian dapat berintegrasi dengan perekonomian lain untuk menciptakan hubungan yang saling menguntungkan melalui perdagangan bebas demi terciptanya percepatan ekonomi.

Pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan tanpa memperhatikan aspek pelestariannya dapat meningkatkan tekanan berlebihan terhadap kualitas lingkungan hidup yang pada akhirnya mengancam swasembada pangan, pemerataan distribusi pendapatan, serta potensi pertumbuhan ekonomi di masa mendatang. Kegiatan ekonomi merupakan kegiatan memanfaatkan sumberdaya untuk menghasilkan barang atau jasa yang memiliki nilai ekonomi.


(24)

24

Inefisiensi kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam , kurangnya kesadaran ekonomi, dan konsepsi pertumbuhan ekonomi yang mengesampingkan aspek lingkungan yang dikenal dengan “grow first clean up later” memperbesar dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kerusakan lingkungan. Kemajuan teknologi dapat mengurangi emisi yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi dengan meningkatkan efisiensi. Konsep pengejaran pertumbuhan ekonomi untuk mengejar tingkat pendapatan yang lebih tinggi dalam mengurangi dampak pertumbuhan ekonomi harus selalu dipertanyakan kebenarannya. Hal ini disebabkan karena dalam pelaksanaanya, apabila pertumbuhan ekonomi pada tingkat pendapatan yang lebih tinggi tidak mengurangi kerusakan lingkungan maka dunia akan terarahkan pada kerusakan lingkungan yang tak terhindarkan.

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian Pertumbuhan dan

Keterbukaan Ekonomi

Memacu Peningkatan Permintaan SDA (ekspolitasi SDA)

Peningkatan taraf hidup

Degradasi Lingkungan (Emisi gas Rumah Kaca)

Grow first clean up later • Kurangnya kesadaran

lingkungan


(25)

2.7. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu serta variabel-variabel yang dijelaskan dalam penelitian ini, maka dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis, yaitu:

1. Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kualitas lingkungan hidup yang diukur dengan emisi gas rumah kaca, yaitu melalui emisi Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), dan Nitrogen Oksida (N2O) di negara berkembang dan

negara maju signifikan dengan konsep Environmental Kuznets Curve model. Pertumbuhan ekonomi pada tingkat pendapatan rendah (sebelum titik balik) akan meningkatkan degradasi lingkungan, namun pada tingkat pendapatan yang lebih (setelah titik balik) tinggi pertumbuhan ekonomi akan memberikan perbaikan kualitas lingkungan.

2. Tingkat keterbukaan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap emisi gas rumah kaca dalam penelitian ini. Semakin suatu Negara terbuka perekonomiannya (terintegrasi), maka semakin besar dampak kerusakan lingkungan yang diberikan.


(26)

26 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data kuantitatif tahunan pada rentang waktu antara tahun 1981-2008. Data dalam penelitian ini adalah data dari 20 Negara yang mewakili masing-masing tingkatan pertumbuhan ekonomi seluruh dunia berdasarkan klasifikasi menurut World Bank. Keseluruhan negara yang dimaksud adalah Amerika Serikat, Inggris, Itali, Jepang, Perancis, Cina, Argentina, Brazil, Malaysia, Afrika Selatan, Indonesia, India, Philipina, Nigeria, Tonga. Pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak Microsoft Excel 2007, Minitab, dan Eviews 6.

Tabel 3.1 Data, Satuan, Simbol, dan Sumber Data

Variabel Satuan Simbol Sumber

GDP per Kapita US $ GDP World Bank

CO2 Kilotonne CO2 World Bank

Trade per GDP Persen TRD UN-Comtrade

CH4 Kilotonne CH4 EDGAR

N2O Kilotonne N2O EDGAR

Keterangan: Word Bank , tahun 1981-2008

EDGAR (Emission Database for Global Atmospheric Research),tahun 1981-2008

3.2. Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif dan kuantitatif. Metode deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Proses


(27)

deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan informasi yang lebih relevan yang terkandung di dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentu yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran.

Metode penelitian ini juga mengandalkan proses kuantitatif untuk mendapatkan gambaran yang terstruktur dan jelas mengenai fenomena perekonomian yang terjadi. Penelitian kuantitatif berlandaskan interpretasi terhadap hasil olahan model dengan metode analisis panel data.

3.3. Spesifikasi Model

Untuk melakukan estimasi pada model data panel, terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan yaitu menggunakan fixed effect atau random effect. Berdasarkan hasil uji, kemudian diputuskan fixed effect yang akan digunakan dalam penelitian ini. Pencarian model terbaik dalam menentukan pola hubungan pertumbuhan ekonomi dan keterbukaan ekonomi dengan degradasi lingkungan harus dilakukan untuk dapat memberikan gambaran yang akurat akan hubungan pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan. Terdapat tiga model yang akan diestimasi untuk menentukan model terbaik yaitu, model persamaan linear, model persamaan kuadratik, model persamaan kubik.

Linear : Eit = βi + β1 Xit + β4 Yit + εit

Kuadratik : Eit = βi + β1 Xit + β2 (Xit)2 + β4 Yit + εit

Syarat: β2 ≠ 0, Jika β2 < 0 maka membentuk kurva-U terbalik (EKC), sedangkan jika β2 > 0 maka membentuk kurva-U.


(28)

28

Turning point =

Kubik : Eit = βi + β1 Xit + β2 (Xit)2 + β3 (Xit)3 + β4 Yit + εit

Syarat: β3 ≠ 0, Jika β3 < 0 maka membentuk kurva-N terbalik, sedangkan jika β3 > 0 maka membentuk kurva-N.

Turning point 1 = ² Turning point 2 = ² dimana:

Eit : emisi gas rumah kaca (CO2, N2O, dan CH4) untuk negara i pada

tahun t

Xit : GDP per kapita untuk negara i pada tahun t

Yit : Tingkat keterbukaan ekonomi negara i pada tahun t βi : konstanta

β1,β2,β3 : koefisien regresi

εit : error term untuk negara i pada tahun t

Untuk dapat menggambarkan pola hubungan antara pertumbuhan dan tingkat keterbukaan ekonomi terhadap degradasi lingkungan secara tepat digunakan beberapa kriteria pemilihan model sehingga model yang terpilih adalah model terbaik dalam pendugaan.

Model terbaik adalah model yang memiliki Adj-R2 tertinggi dan signifikan dengan taraf nyata 5% untuk keseluruhan variabel bebas yang digunakan dalam model. Model juga harus bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator)


(29)

3.3.1. Model untuk kasus CO2

Setelah melakukan pengujian untuk mendapatkan model terbaik, didapatkan model persamaan kuadratik yang dapat menggambarkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan CO2. Adapun model yang digunakan sebagai

berikut.

CO2it = βi + β1 GDPit + β2 (GDPit)2 +εi………..………….………(1)

CO2 = Karbondioksida (kilotonne)

GDP = GDP per kapita (US$) GDP2 = GDP2 (US$)

LnCO2it = βi + β1 LnGDPit + β2 (LnGDPit)2 + εit.………..……..(2)

LnCO2 = Karbondioksida (persen)

LnGDP = GDP per kapita (persen) LnGDP2 = GDP2 (persen)

Analisis yang sama dilakukan dengan menambahkan variabel keterbukaan ekonomi yang direpresentasikan oleh persentase jumlah nilai ekspor dan import terhadap GDP sehingga membentuk persamaan.

CO2it = βi + β1 Xit + β2 (GDPit)2 + β3 (TDR)it +εit…….………..(3)

CO2 = Karbondioksida (kilotonne)

GDP = GDP per kapita (US$) GDP2 = GDP2 (US$)

TRD = Share perdagangan terhadap GDP (persen)


(30)

30

LnCO2 = Karbondioksida (persen)

LnGDP = GDP per kapita (persen) LnGDP2 = GDP2 (persen)

LnTRD = Share perdagangan terhadap GDP (persen)

3.3.2. Model untuk kasus CH4

Untuk kasus CH4, Setelah melakukan pengujian untuk mendapatkan

model terbaik, didapatkan model persamaan kubik yang dapat menggambarkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan CH4. Adapun model yang digunakan

sebagai berikut.

CHit = βi + β1 GDPit + β2 (GDPit)2 + β3 (GDPit)3 + εit ………...…………(5)

CH4 = Metana (kilotonne)

GDP = GDP per kapita (US$) GDP2 = GDP2 (US$)

GDP3 = GDP3 (US$)

LnCHit = βi + β1 LnGDPit + β2 (LnGDPit)2 + β3 (LnGDPit)3 + ε.………..(6)

LnCH4 = Metana (persen)

LnGDP = GDP per kapita (persen) LnGDP2 = GDP2 (persen)

LnGDP3 = GDP3 (persen)

Analisis yang sama dilakukan dengan menambakan variabel keterbukaan ekonomi yang direpresentasikan oleh jumlah persentase nilai ekspor dan import terhadap GDP sehingga membentuk persamaan.


(31)

CH4it = βi + β1 Xit + β2 (GDPit)2 + β3 TRDit +εit …….………..(7)

CH4 = Metana (kilotonne)

GDP = GDP per kapita (US$) GDP2 = GDP2 (US$)

TRD = Share perdagangan terhadap GDP (persen)

LnCH4it = βi + β1 LnXit + β2 (LnGDPit)2 + β3 LnTRDit +εit………..(8)

LnCH4 = Metana (persen)

LnGDP = GDP per kapita (persen) LnGDP2 = GDP2 (persen)

LnTRD = Share perdagangan terhadap GDP (persen)

3.3.3. Model Untuk Kasus N2O

Pada kasus N2O, setelah melakukan pengujian untuk mendapatkan model

terbaik, didapatkan model linear yang dapat menggambarkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan N2O. Adapun model yang digunakan sebagai berikut.

N2Oit = βi + β1 GDPit + εit ………..(9)

N2O = Nitrogen Oksida (kilotonne)

GDP = GDP per kapita (US$)

LnN2Oit = βi + β1 LnGDPit + εit ………(10)

LnN2O = Nitrogen Oksida (persen)


(32)

32

Analisis yang sama dilakukan dengan menambakan variabel keterbukaan ekonomi yang direpresentasikan oleh jumlah persentase nilai ekspor dan import terhadap GDP sehingga membentuk persamaan.

N2Oit= βi + β1 (GDPit) + β2 TRDit +εit……….(8)

N2O = Nitrogen Oksida (kilotonne)

GDP = GDP per kapita (US$)

TRD = Share perdagangan terhadap GDP (persen)

Ln N2Oit = βi + β1 (LnGDPit) + β2 LnTRDit +εit……….(8)

LnN2O = Nitrogen Oksida (persen)

LnGDP = GDP per kapita (persen)

LnTRD = Share perdagangan terhadap GDP (persen)

3.4. Metode Analisis Regresi dan Panel Data

Ketersediaan data untuk mewakili variabel yang akan digunakan dimana kondisinya yaitu data time series pendek dan unit cross section terbatas dapat diatasi dengan menggunakan metode panel data (pooled data). Penggunaan model panel data tersebut digunakan dengan tujuan agar diperoleh hasil estimasi yang lebih baik (efisien) dengan meningkatnya jumlah observasi yang berimplikasi pada meningkatnya derajat kebebasan (degree of freedom).


(33)

Penggunaan data panel telah memberikan banyak keuntungan secara statistik maupun teori ekonomi. Manfaat penggunaan panel data adalah sebagai berikut:

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu

2. Mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatnya degree of freedom, lebih bervariasi dan lebih efisien

3. Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data cross section murni atau time series murni

Model analisa data panel memiliki tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan kuadrat terkecil (pooled least square), pendekatan efek tetap (fixed effect), dan pendekatan efek acak (random effect). Selain itu, di dalam melakukan pengolahan data panel terdapat juga kriteria pembobotan yang berbeda-beda yaitu No weighting (semua observasi diberi bobot sama), cross section weight (GLS dengan menggunakan estimasi varians residual cross section, apabila terdapat asumsi cross section heteroskedasticity), dan SUR (GLS dengan menggunakan covariance matrix cross section). Metode ini mengoreksi baik heteroskedastisitas maupun autokorelasi antar unit cross section.

3.5. Pemilihan Pendekatan: Uji Haussman

Alur pengujian statistik untuk memilih pendekatan yang digunakan dapat diperlihatkan pada Gambar 3.1. Penggunaan pendekatan Pooled Least Square dirasakan kurang sesuai dengan tujuan digunakannya data panel maka dalam penelitian ini hanya mempertimbangkan pendekatan fixed effect dan random


(34)

34

effect. Dalam memilih apakah fixed atau random effect yang lebih baik, dilakukan pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara regresor dan efek individu. Untuk menguji asumsi ini dapat digunakan Haussman Test. Dalam uji ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H0 : Model Random Effect

H1 : Model Fixed Effect

Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah

model fixed effect, begitu juga sebaliknya.

Sumber: Firdaus, 2012

Gambar 3.1. Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel

3.6. Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik

Setelah mendapatkan parameter estimasi, langkah selanjutnya adalah melakukan berbagai macam pengujian terhadap parameter estimasi tersebut serta pengujian terkait model terbaik mana yang akan dipilih diantara fixed dan random. Pengujian tersebut bisa berupa pengujian ekonomi, statistik, dan ekonometrik.

Fixed Effect

Random Effect Pooled Least Chow Test


(35)

Pengujian dapat dilakukan dengan kriteria ekonomi dan statistik. Pengujian ekonomi dilakukan untuk melihat besaran dan tanda parameter yang akan diestimasi, apakah sesuai dengan teori atau tidak. Sedangkan uji kriteria statistik dilakukan dengan uji koefisien determinasi (R2)

3.6.1. Uji Koefisien Regresi Secara Individual (Uji t)

Uji t–statistik dilakukan untuk menguji apakah variabel independen secara individu mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependennya. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui secara parsial variabel independen berpengaruh secara signifikan atau tidak terhadap variabel dependen. Dalam pengujian ini dilakukan uji dua arah dengan hipotesa :

H0: βi = 0 (tidak ada pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen)

H1: βi ≠ 0 (ada pengaruh variabel independen terhadap variabel dependennya)

Kriteria pengujian :

1. Ho diterima dan Ha ditolak apabila t tabel > t hitung < t tabel, artinya variabel independen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen.

2. Ho ditolak dan Ha diterima apabila t tabel < t hitung > t tabel, artinya variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependent

Sedangkan nilai t hitung adalah : T hitung = βi


(36)

36

3.6.2. Uji Signifikansi Simultan (Uji f)

Uji-F statistik digunakan untuk menguji apakah keseluruhan variabel independen secara simultan berpengaruh terhadap variabel dependen. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesa :

H0 = β1 = β2 = β3 = β4 = 0

(variabel independen secara bersama – sama tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen).

H1≠β1 ≠β2 ≠β3 ≠β4 ≠ 0

(variabel independen secara bersama – sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen).

Dengan kata lain, dalam penelitian ini bila hasil F hitung menunjukkan hasil yang signifikan berarti variabel pertumbuhan ekonomi, aglomerasi dan variabel moderat secara bersama – sama berpengaruh terhadap kualitas lingkungan

Untuk menghitung F hitung digunakan rumus (Gujarati, 1995) F hitung = R2 / (k-1)

(1 – R2) / (n-k) Dimana :

R2 = koefisien determinasi n = jumlah observasi


(37)

Kriteria Pengujian:

1. H0 diterima dan H1 ditolak apabila F hitung < F tabel, artinya variabel

independen secara bersama – sama tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen.

2. H0 ditolak dan H1 diterima apabila F hitung > F tabel, artinya variabel

independen secara bersama – sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen.

3.6.3. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui besarnya daya menerangkan dari variabel independen terhadap variabel dependen pada model tersebut. Nilai R2 berkisar antara 0 < R2 < 1 sehingga kesimpulan yang diambil adalah:

1. Nilai R2 yang kecil atau mendekati nol, berarti kemampuan variabel-variabel bebas dalam menjelaskan variabel-variabel tak bebas sangat terbatas.

2. Nilai R2 mendekati satu, berarti variabel-variabel bebas memberikan hampir semua informasi untuk memprediksi variasi variabel tak bebas.

Dalam penelitian ini berarti, bila nilai R2 memberikan hasil yang mendekati angka 1, artinya kualitas lingkungan yang ditinjau dari tingkat emisi CO2, CH4, dan N2O dapat dijelaskan dengan baik oleh variasi variabel independen

GDP, GDP2, GDP3, dan atau TDR Sedangkan sisanya (100% - nilai R2) dijelaskan oleh sebab-sebab lain di luar model.


(38)

38

3.6.4. Uji Autokorelasi

Istilah autokorelasi bisa didefinisikan sebagai korelasi di antara anggota observasi yang diurut menurut waktu (seperti data deret berkala) atau ruang (seperti data lintas sektoral). Uji yang paling dikenal untuk pendeteksian autokorelasi adalah statistik d Durbin-Watson (DW Test). Pengujian dengan DW Test hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation) dan mensyaratkan adanya intercept (konstanta) dalam model regresi dan tidak ada variabel lag diantar variabel independen.

Hipotesis yang akan diuji adalah: H0 : tidak ada autokorelasi (r = 0)

H1 : ada autokorelasi (r ≠ 0)

Tabel 3.2 Uji d Durbin-Watson: Aturan Keputusan

Hipotesis nol Keputusan Jika

Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada autokorelasi negatif Tidak ada autokorelasi negatif Tidak ada autokorelasi positif atau negative

Tolak

Tidak ada keputusan Tolak

Tidak ada keputusan Tidak ditolak

0 < d < dL

dL≤ d ≤ dU

4 - dL < d < 4

4 - dU≤ d ≤ 4 - dL

dU < d < 4 - dU

Sumber: Gujarati, 2003 3.6.5. Uji Heterokedastisitas

Suatu asumsi kritis dari model regresi linear klasik adalah bahwa gangguan ui semuanya mempunyai varians yang sama. Jika asumsi ini tidak dipenuhi, maka mempunyai heteroskedasitas. Heteroskedasitas tidak merusak sifat ketidakbiasan dan konsistensi dari penaksir OLS. Tetapi penaksir ini tidak lagi mempunyai varians minimum atau efisien . Dengan perkataan lain, sehingga tidak lagi memenuhi asumsi BLUE.


(39)

Untuk mendeteksi ada tidaknya pelanggaran ini dengan menggunakan White Heterocdasticity Test (Gujarati, 1995). Nilai probabilitas Obs*R-squared dijadikan sebagai acuan untuk menolak atau menerima H0.

Hipotesis yang akan diuji: H0 : homoskedastisitas

H1 : heteroskedastisitas

Kriteria pengujiannya adalah:

1. Probabilitas Obs*R-squared < taraf nyata , maka tolak H0

2. Probabilitas Obs*R-squared > taraf nyata , maka terima H0

3.6.6. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data terdistribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini menggunakan Jarque-Bera test (J-B test) untuk melihat apakah data terdistribusi normal atau tidak. Uji ini menggunakan hasil residual dan chi-square probability distribution.

hipotesis yang akan diuji adalah:

H0 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

H1 : Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal

Kriteria pengujian adalah:

1. Bila nilai JB hitung > nilai X2tabel, maka H0 yang menyatakan residual, ut

adalah berdistribusi normal ditolak.

2. Bila nilai JB hitung < nilai X2tabel, maka H0 yang menyatakan residual, ut


(40)

40

3.7. Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan CO2 (carbon dioksida), CH4 (metana), dan

N2O (nitrogen oksida) sebagai indikator pencemaran lingkungan karena ketiganya

merupakan gas rumah kaca yang berperan aktif dalam meningkatkan suhu bumi melalui efek rumah kaca yang ditimbukan gas buangan tersebut. Gas-gas buangan tersebut ketika dilepaskan di atmosfer akan membentuk lapisan yang menahan pantulan panas matahari yang menyinari bumi seperti prinsip rumah kaca.

1. Emisi Karbondioksida (CO2)

Variabel ini diperoleh dari emisi karbondioksida (CO2) yang dinyatakan dalam

kilotonne. Karbondioksida adalah gas rumah kaca yang penting karena ia menyerap gelombang inframerah dengan kuat. Karbondioksida dihasilkan oleh semua makhluk hidup pada proses respirasi dan digunakan oleh tumbuhan pada proses fotosintesis. Karbondioksida juga dihasilkan dari hasil samping pembakaran bahan bakar fosil.

2. Emisi Metana (CH4)

Variabel ini diperoleh dari emisi metana (CH4) yang dinyatakan dalam

kilotonne. Metana merupakan komponen utama gas alam yang termasuk gas rumah kaca. Ia merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak bila dibandingkan karbondioksida. Metana dilepaskan selama produksi dan transportasi batu bara, gas alam, dan minyak bumi. Metana juga dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat pembuangan sampah (landfill), bahkan dapat keluarkan oleh hewan-hewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan.


(41)

3. Emisi Nitrogen Oksida (N2O)

Variabel ini diperoleh dari emisi nitrogen oksida (N2O) yang dinyatakan

dalam kilotonne. Nitrogen oksida adalah gas insulator panas yang sangat kuat. Ia dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian. Nitrogen oksida dapat menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbondioksida.

4. GDP per kapita merupakan GDP yang telah dibagi dengan jumlah penduduk dalam suatu negara sehingga GDP per kapita dirasa efektif dalam menggambarkan tingkat pendapatan suatu negara. Penggunaan GPD perkapita dilakukan sebagai pendekatan pertumbuhan ekonomi.

5. Volume perdagangan merupakan penjumlahan dari persentase ekspor terhadap GDP dan persentase impor terhadap GDP yang digunakan untuk mendekati keterbukaan ekonomi.


(42)

42 BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1. Laju Pertumbuhan GDP per Kapita Negara High Income 1981-2008 Kelompok negara high income merupakan kelompok negara yang telah melewati tahapan pertumbuhan ekonomi hingga pada akhirnya mencapai kondisi mapan. Secara keseluruhan negara high income memiliki laju pertumbuhan GDP per kapita bernilai positif meskipun terdapat fluktuas dalam data tahunan. Hal tersebut menunjukan bahwa setiap tahunnya terjadi fluktuasi pendapatan namun secara keseluruhan untuk jangka waktu tahun 1981-2008 pendapatan negara high income mengalami peningkatan.

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Negara High Income, 1981-2008

Berdasarkan Gambar 4.1, rata-rata keseluruhan negara high income memiliki pertumbuhan ekonomi konstan dengan pertumbuhan GDP per kapita rata-rata per tahun sebesar 1,8 persen. Negara-negara high income memiliki

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000

1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

GDP   per   kapita   (US$) Inggris

Amerika Serikat Jepang

Italia Perancis


(43)

pertumbuhan perekonomian yang cenderung stabil apabila dibandingkan dengan kelompok negara lainnya. Jepang merupakan negara dengan GDP per kapita tertinggi untuk kelompok negara high income kemudian disusul oleh Amerika. Jepang merupakan negara produsen otomotif maupun elektronik dunia. Negara dengan tingkat industrialisasi yang tinggi yang berhasil mendongkrak perekonomiannya setelah terpuruk pasca Perang Dunia ke II. Sedangkan Amerika merupakan raksasa ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian global. Negara high income lainnya seperti Inggris, Perancis, dan Italia secara berurutan menempati posisi ke tiga, empat, dan kelima.

4.2. Laju Pertumbuhan GDP per Kapita Negara Upper Middle Income 1981-2008

Kelompok negara upper-mid income merupakkan negara berpendapatan menegah yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi signifikan. Negara-negara tersebut sedang mengakselerasi pertumbuhan ekonominya untuk menjadi negara berpendapatan tinggi atau high income sedangkan lower-mid income merupakan negara dengan pendapatan menengah yang setingkat lebih tinggi dari negara berpendapatan rendah atau low income. Negara upper middle income yang terpilih menjadi contoh dalam penelitian ini adalah Cina, Brazil, Afrika Selatan, Malaysia, dan Argentina. Sedangkan untuk negara lower middle income yaitu India, Indonesia, Pilipina, Nigeria, dan Tonga. Gambar 4.2 menunjukan laju GDP per kapita untuk kelompok negara upper middle income dan lower middle income pada tahun 1981 sampai dengan 2008.


(44)

44

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Negara Middle Income, 1981-2008 Berdasarkan Gambar 4.2, dapat terlihat negara-negara upper-mid income seperti Brazil, Afrika Selatan, Malaysia, dan Argentina memiliki tingkat GDP per kapita yang lebih tinggi dari GDP per kapita negara lower-mid income, hanya Cina yang merupakan negara upper-mid income namun GDP per kapita negaranya berada diantara GDP per kapita negara lower-mid income. Hal tersebut dikarenakan dalam menggolongkan Negara-negara di dunia ke dalam kelompok pendapatan menggunakan GDP bukan GDP per kapita. Penduduk Cina yang banyak menjadikan GDP per kapita Cina lebih kecil dari GDP-nya. Meskipun untuk kelompok middle income laju GDP per kapita memiliki nilai yang bervariasi namun secara keseluruhan perekonomian negara middle income mengalami pertumbuhan yang bernilai positif.

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000

1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

GDP   per   kapita   (US$) Argentina Brazil Cina Malaysia Afrika Selatan India

Indonesia Philippina Nigeria Tonga


(45)

4.3. Laju Pertumbuhan GDP per Kapita Negara Low Income 1981-2008 Kelompok negara low income memiliki tingkat GDP per kapita terendah jika dibandingkan dengan kelompok negara high income dan low income. Trend pertumbuhan GDP per kapita untuk masing-masing negara low income bervariasi dengan tingkat fluktuas yang relatif tinggi.

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.3. Laju Pertumbuhan GDP per Kapita Negara Low Income, 1981-2008 Berdasarkan Gambar 4.3, ada beberapa negara low income yang memiliki total pertumbuhan GDP per kapita yang bernilai negatif yaitu Zimbabwe, Liberia, dan Comoros. Penurunan GDP per kapita terbesar sepanjang tahun 1981-2008 dialami oleh Liberia dengan total penurunan GDP per kapita sebesar minus tujuh puluh persen. Negara Malawi, Uganda, dan Comoros mengalami pertumbuhan GDP total yang bernilai positif sepanjang tahun 1981-2008. Uganda merupakan negara kelompok low income yang mengalami total pertumbuhan GDP per kapita tertinggi.

0 100 200 300 400 500 600 700 800

GDP

 

per

 

Kapita

 

(US$) Malawi

Uganda Comoros Liberia Zimbabwe


(46)

46

4.4. Laju Pertumbuhan Emisi Gas Rumah Kaca CO2

4.4.1 Laju Pertumbuhan CO2 Negara High Income 1981-2008

Negara high income merupakan negara maju yang telah melewati beberapa fase pertumbuhan ekonomi termasuk industrialisasi. Kontribusi negara high income terhadap emisi gas CO2 tidak diragukan lagi. Karena CO2 merupakan

limbah kegiatan produksi untuk mendongkrak perekonomian mereka di masa lampau. Gambar 4.4 adalah grafik dari laju pertumbuhan emisi gas CO2

sepanjanga tahun 1981-2008:

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.4. Laju Pertumbuhan CO2 Negara High Income, 1981-2008

Berdasarkan Gambar 4.4, penyumbang emisi gas CO2 tertinggi untuk

golongan Negara high income adalah Amerika Serikat dengan emisi CO2 berkisar

antara empat juta kilo ton sampai lima juta kilo ton CO2. Negara high income

kedua tertinggi setelah Amerika Serikat adalah Jepang yang berkisar antara 900 ribu sampai satu juta kilo ton per tahun. Tingkat pertumbuhan emisi CO2 per

tahun untuk negara maju terbilang cukup rendah, yakni 0,5 persen per tahun.

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000

1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

CO2

 

(

kilotonne)

Inggris

Amerika Serikat Jepang

Italia Perancis


(47)

4.4.2. Laju Pertumbuhan CO2 Negara Middle Income 1981-2008

Dalam beberapa forum lingkungan tingkat dunia dan pendapat terkait pemanasan dunia, negara berkembang dengan pendapatan menengah sering kali menjadi terdakwa atas mengingkatknya emisi gas CO2 ke atmosfer bumi. CO2

aktif membentuk skema rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Berikut ini adalah grafik dari laju pertumbuhan emisi gas CO2 sepanjang tahun

1981-2008 untuk negara middle income.

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.5. Laju Pertumbuhan CO2 Negara Middle Income, 1981-2008

Berdasarkan Gambar 4.5, untuk semua negara middle income selain India dan Cina, petumbuhan CO2 tidak lebih dari satu juta kilo ton sepanjang tahun

1981-2008. Perbedaan yang sangat signifikan terlihat dari negara Cina dan India yang memiliki tingkat pencemaran CO2 jauh di atas negara lainnya. Cina dan

India adalah negara yang sedang gencar melakukan industrialisasi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi mereka. India hampir menembus angka dua juta kilo ton emisi CO2 sedangkan Cina tujuh juta kilo ton pada tahun 2008.

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000 8000000

1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

Afrika Selatan Argentina Malaysia Cina Brazil Nigeria Tonga India Indonesia Philipina


(48)

48

4.4.3. Laju Pertumbuhan CO2 Negara Low Income 1981-2008

Negara low income merupakan dengan tingkat pendapatan terendah jika dibandingkan dengan kelompok negara lainnya. Perekonomian yang bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya alam secara sederhana tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap jumlah emisi gas CO2 yang dihasilkan.

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.6. Laju Pertumbuhan CO2 Negara Low Income, 1981-2008

Berdasarkan Gambar 4.6, terdapat perbedaan yang signifikan antara Zimbabwe dengan negara low income lainnya. Antara 1981-1994 Zimbabwe mengalami peningkatan emisi CO2 rata-rata lima persen per tahun hingga pada

akhirnya mengalami penurunan sampai dengan tahun 2008. Meskipun secara keseluruhan Zimbabwe mengalami penurunan hingga titik 9075,825 kilo ton emisi CO2 namun emisi CO2 yang dihasilkan masi jauh melampaui negara low

income lainnya yang tidak melebihi titik 4.000 kilo ton CO2.

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000

1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

CO2

 

(kilotonne)

malawi Uganda Comoros Liberia Zimbabwe


(49)

4.4.4. Laju Pertumbuhan CH4 Negara High Income 1981-2008

Sebagai sebuah negara yang berhasil mengakselerasi perekonomian melalui proses industrialisasi yang dilakukan di masa sebelumnya, negara high income merupakan kelompok konsumen bahan bakar fosil dengan jumlah yang sangat besar. Namun, negara high income bukan merupakan negara emitor gas CO2 terbesar.

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.7. Laju Pertumbuhan CH4 Negara High Income, 1981-2008

Berdasarkan Gambar 4.7, sama seperti pada kasus emis CH4, pada

kelompok negara high income hanya Amerika yang menunjukan perbedaan signifikan dalam jumlah emisi yang dihasilkan. Emisi gas CH4 yang dihasilkan

Amerika jauh melebihi negara high income lainnya meskipun secara keseluruhan mengalami penurunan. Untuk negara high income lainnya memiliki kisaran CH4

yang tidak begitu berbeda sepanjang tahun 1981-2008, yakni berkisar antara 2.090 kilo ton CH4 sampai dengan 5.110 kilo ton. Keseluruhan pertumbuhan emisi CH4

Negara high income tahun 1981-2008 bernilai negatif, yakni minus 0,7 persen

0.00E+00 5.00E+03 1.00E+04 1.50E+04 2.00E+04 2.50E+04 3.00E+04 3.50E+04

1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

CH4

 

(kilotonne)

Inggris

Amerika Serikat Jepang

Italia Perancis


(50)

50

rata-rata per tahun. Dengan kata lain secara keseluruhan emisi CH4 pada negara

high income sepanjang tahun 1981-2008 mengalami penurunan.

4.4.5. Laju Pertumbuhan CH4 Negara Middle Income 1981-2008

Negara middle income merupakan negara berkembang yang sedang mengalami industrialisi. Pergeseran dari sektor pertanian ke industri merupakan tahapan proses pembangunan yang harus dilewati kelompok Negara ini dalam menjalankan pembangunan ekonomi. Emisi gas CH4 yang dihasilkan akibat

oksidasi tidak sempurna dari barang organik banyak ditemukan pada lahan gambut dan area persawahan. Negara middle income merupakan kelompok negara yang aktif menyumbangkan emisi gas CH4 ke udara. Gambar 4.8 adalah grafik

dari laju pertumbuhan emisi gas CH4 sepanjang tahun 1981-2008.

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.8. Laju Pertumbuhan CH4 Negara Middle Income, 1981-2008

0.00E+00 1.00E+04 2.00E+04 3.00E+04 4.00E+04 5.00E+04 6.00E+04 7.00E+04 8.00E+04

1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

CH4

 

(kilotonne)

Cina Brazil India Indonesia Philipina Argentina Afrika Selatan Malaysia Tonga Nigeria


(51)

Berdasarkan Gambar 4.8, untuk kelompok negara middle income emitor CH4 tertinggi diraih oleh Cina, kemudian disusul oleh India dan Brazil. Emisi CH4

yang dihasilkan negara Brazil, India, dan Indonesia banyak berasal dari kotoran hewan, rawa, lahan gambut maupun area pesawahan terbuka yang membutuhkan banyak konsumsi air. Sedangkan untuk negara Cina banyak berasal dari pembusukan limbah. Indonesia menempati urutan ke empat dengan pergerakan kurva emisi CH4 yang sangat fluktuatif apabila dibandingkan dengan negara lain

dalam kelompok negara middle income. pada tahun 1998 jumlah emisi CH4 yang

dihasilkan Indonesia melebihi empat juta kilo ton dan kemudian kembali turun secara drastis. Rata-rata pertumbuhan emisi CH4 Brazil adalah 1,8 persen per

tahun, sedangkan untuk Negara India dan Brazil sekitar satu persen rata-rata per tahun.

4.4.6. Laju Pertumbuhan CH4 Negara Low Income 1981-2008

Negara low income merupakan dengan tingkat pendapatan terendah jika dibandingkan dengan kelompok negara lainnya. Meskipun pertanian dan peternakan merupakan motor penggerak perekonomian negara low income, namun emisi CH4 yang dihasilkan relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan Negara

middle income. Dan Gambar 4.8 adalah grafik dari laju pertumbuhan emisi gas CH4 sepanjanga tahun 1981-2008.


(52)

52

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.9. Laju Pertumbuhan CH4 Negara Low Income, 1981-2008

Berdasarkan Gambar 4.9, pada kelompok negara low income Uganda merupakan negara emitor terbesar emisi CH4. Emisi gas CH4 yang dihasilkan

Uganda jauh melebihi negara low income lainnya. Urutan nomor dua sebagai emitor CH4 terbesar dalam golongan negara low income ditempati oleh Zimbabwe

yang kemudian disusul oleh Malawi dan Liberia. Sedangkan Comoros merupakan Negara emitor terkecil dalam golongan Negara low income. Pertumbuhan CH4

Uganda pada tahun 1981-2008 hampir mengalami peningkatan dua kali lipat, yakni sebesar 95 persen. Namun, untuk negara low income lainnya pertumbuhan yang terjadi tidak sebesar Uganda, hanya berada pada kisaran 50 persen.

4.4.7. Laju Pertumbuhan N2O Negara High Income 1981-2008

Nitrogen oksida banyak dihasilkan dari sisa pembakaran dan penggunaan pupuk N secara berlebiha. Mekipun Negara high income bukan merupakan negara

0.00E+00 2.00E+02 4.00E+02 6.00E+02 8.00E+02 1.00E+03 1.20E+03 1.40E+03

1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

CH4

 

(kilotonne)

Malawi Uganda Comoros Liberia Zimbabwe


(53)

yang berbasiskan sektor pertanian, namun Negara high income memiliki kontribusi yang tidak sedikit terhadap pertumbuhan emisi gas N2O di udara.

Berikut ini adalah grafik dari laju pertumbuhan emisi gas N2Osepanjang tahun

1981-2008:

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.10. Laju Pertumbuhan N2O Negara High Income, 1981-2008

Berdasarkan Gambar 4.10, penyumbang emisi gas N2O tertinggi untuk

golongan negara high income adalah Amerika Serikat dengan emisi N2O berkisar

antara satu juta kilo ton sampai satu koma dua juta kilo ton N2O. Angka tersebut

jauh diatas tingkat emisi N2O negara high income lainnya sepanjang tahun

1981-2008 yang tidak melebihi 230 kilo ton N2O. Tingkat pertumbuhan emisi N2O

tahun 1981-2008 bernilai negatif. Terjadi penurunan N2O untuk semua negara

high income disepanjang tahun 1981-2008.

0.00E+00 2.00E+02 4.00E+02 6.00E+02 8.00E+02 1.00E+03 1.20E+03 1.40E+03

1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

N2O

 

(kilotonne)

Inggris

Amerika Serikat Jepang

Italia Perancis


(54)

54

4.4.8. Laju Pertumbuhan N2O Negara Middle Income 1981-2008

Nitrogen Oksida yang sebagian besar berasal pembakaran dan pemberian pupuk N berlebihan pada sektor pertanian. Sebagai negara dengan kontribusi pertanian yang besar seharusnya negara middle income memiliki kontribusi yang besar terhadap emisi gas N2O di udara. Berikut ini adalah grafiknyasepanjang

tahun 1981-2008:

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.11. Laju Pertumbuhan N2O Negara Middle Income, 1981-2008

Berdasarkan Gambar 4.11, untuk kelompok negara middle income emitor N2O tertinggi adalah Cina, kemudian disusul oleh India dan Brazil. Indonesia

menempati urutan ke empat dengan pergerakan kurva emisi N2O yang sangat

fluktuatif apabila dibandingkan dengan negara lain dalam kelompok Negara middle income. Pertumbuhan emisi N2O sepanjang tahun 1981-2008 untuk negara

middle income terlihat serupa dengan pola yang ditampilkan untuk emisi CH4

negara middle income.

0.00E+00 2.00E+02 4.00E+02 6.00E+02 8.00E+02 1.00E+03 1.20E+03 1.40E+03 1.60E+03 1.80E+03 2.00E+03

1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

N2O   (kilotonne) Cina Brazil India Indonesia Pilipina Argentina Afrika Selatan Malaysia Tonga Nigeria


(55)

4.4.9. Laju Pertumbuhan N2O Negara Low Income 1981-2008

Secara keseluruhan negara low income memiliki laju pertumbuhan N2O

yang berbeda untuk setiap negara. Gambar 4.12 menunjukan laju pertumbuhan emisi gas N2O sepanjang tahun 1981-2008.

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.12. Laju Pertumbuhan N2O Negara Low Income, 1981-2008

Berdasarkan Gambar 4.12, pada kelompok negara low income Uganda merupakan negara emitor terbesar emisi N2O. Emisi gas N2O yang dihasilkan

Uganda melebihi negara low income lainnya. Terdapat lonjakan emisi N2O pada

tahun 2007 sebesar 155 persen namun kembali turun sebesar 30 persen pada tahun 2008. Urutan nomor dua sebagai emitor N2O terbesar dalam golongan Negara

low income ditempati oleh Zimbabwe yang kemudian disusul oleh Malawi dan Liberia. Sedangkan Comoros merupakan negara emitor terkecil dalam golongan negara low income, serupa dengan pola yang ditampilkan untuk emisi CH4. Pertumbuhan N2O Uganda pada tahun 1981-2008 mengalami peningkatan lebih

dari dua kali lipat, yakni sebesar 149 persen. Namun, untuk negara low income

0.00E+00 1.00E+01 2.00E+01 3.00E+01 4.00E+01 5.00E+01 6.00E+01 7.00E+01 8.00E+01 9.00E+01

1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

N2O

 

(kilotonne)

Uganda Comoros Liberia Zimbabwe Malawi


(56)

56

lainnya pertumbuhan yang terjadi tidak sebesar Uganda, hanya berada pada kisaran empat persen.

4.5. Laju Tingkat Keterbukaan Ekonomi Negara High Income 1981-2008 Secara keseluruhan persentase perdagangan terhadap GDP untuk negara high income relatif lebih kecil dari kelompok negara lain. Hal tersebut mengindikaskan bahwa kontribusi perdagangan terhadap GDP untuk negara high income lebih kecil jika dibandingkan dengan negara lain. Gambar 4.13 adalah laju tingkat keterbukaan ekonomi negara high income yang dilihat melalui penjumlahan kontribusi ekspor maupun impor terhadap GDP.

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.13. Laju Tingkat Keterbukaan Ekonomi Negara High Income, 1981-2008

Berdasarkan Gambar 4.13, tingkat keterbukaan ekonomi yang ditentukan oleh share perdagangan terhadap GDP menunjukan angka yang fluktuatif. Namun dapat dilihat melalui Gambar 4.13, secara keseluruhan negara yang memiliki

0 10 20 30 40 50 60 70

1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

Trade/GDP

 

(persen)

Amerika Serikat Inggris

Jepang Italia Perancis


(57)

tingkat keterbukaan ekonomi tertinggi untuk kelompok negara high income adalah Inggris. Share rata-rata perdangan terhadap GDP negara Inggris adalah 53,7 persen. Negara dengan tingkat keterbukaan ekonomi kedua dan ketiga adalah Perancis dengan Share perdagangan terhadap GDP rata-rata sebesar 48,1 persen dan Italia dengan share perdagangan terhadap GDP rata-rata sebesar 45 persen. Jepang dan Amerika menempati posisi keempat dan kelima dengan selisih persentase rata-rata hanya 0,01 persen. Share perdagangan terhadap GDP rata-rata yang dimiliki Jepang adalah 22,35 persen, sedangkan share perdagangan terhadap GDP rata-rata Amerika adala 22,35 persen.

4.6. Laju Tingkat Keterbukaan Ekonomi Negara Upper Middle Income 1981-2008

Kelompok negara middle income merupakan kelompok negara yang sedang berkembang dan terus mengejar pertumbuhan ekonomi untuk mencapai kondisi mapan. Perdagangan Internasional merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Gambar 4.14 menunjukan, negara Malaysia merupakan negara upper middle income yang memiliki tingkat keterbukaan tertinggi berdasarkan share perdagangan terhadap GDP. Pada kelompok negara middle income ditemukan beberapa kasus menunjukan share perdagangan terhadap GDP yang melebih 100 persen. Hal ini dikarenakan keterbukaan ekonomi diukur melalui penjumlahan kontibusi ekspor dan impor terhadap GDP dan bukan diukur dari selisih antara keduanya.


(58)

58

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.14. Laju Tingkat Keterbukaan Ekonomi Negara Upper Middle Income, 1981-2008

Untuk Negara middle income negara yang memiliki share perdagangan terhadap GDP tertinggi adalah Malaysia kemudian disusul oleh Afrika Selatan dan Cina. Lonjakan tingkat keterbukaan ekonomi terlihat pada negara Cina di tahun 2005 sampai dengan tahun 2007. Cina merupakan negara yang sedang gencar melakukan perdagangan internasional untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

4.7. Laju Tingkat Keterbukaan Ekonomi Negara Lower Middle Income 1981-2008

Pada kelompok negara lower middle income laju tingkat keterbukaan ekonomi relatif lebih fluktuatif jika dibandingkan dengan high income dan upper middle income. Berdasarkan Gambar 4.15, besaran tingkat keterbukaan ekonomi untuk negara Indonesia, Tonga, dan Nigeria berkisar diantara 60 hingga 95 persen

0 50 100 150 200 250

1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

Trade/GDP

 

(persen)

Cina Malaysia Brazil Argentina Afrika Selatan


(59)

pada tahun 1997 sampai dengan 2008. Data laju tingkat keterbukaan ekonomi kelompok negara lower middle income menunjukan bahwa terjadi peningkatkan volume perdagangan secara konsisten untuk kasus negara India. Berbeda dengan negara lain yang memiliki fluktuasi yang cukup tinggi, peningkatan kontribusi perdagangan terhadap pembentukan GDP terus terjadi sepanjang tahun 1986 sampai dengan 2008.

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.15. Laju Tingkat Keterbukaan Ekonomi Negara Upper Middle Income, 1981-2008

4.8. Laju Tingkat Keterbukaan Ekonomi Negara Low Income 1981-2008 Kelompok negara low income merupakan kelompok negara dengan tingkat GDP per kapita terendah jika dibandingkan dengan kelompok negara lain. Trend pertumbuhan GDP per kapita untuk masing-masing negara low income bervariasi dengan tingkat fluktuas yang relatif tinggi. Ratio perdagangan terhadap GDP yang tinggi menunjukan bahwa lalu lintas perdagangan memiliki kontribusi yang cukup tinggi bagi perekonomian negara kelompok low income. Gambar 4.16 akan

0 20 40 60 80 100 120

Trade/GDP

 

(persen)

Indonesia India Pilipina Nigeria Tonga


(60)

60

menunjukan laju tingkat keterbukaan ekonomi untuk kelompok negara low income. Berdasarkan Gambar 4.16, pola laju tingkat keterbukaan ekonomi yang ditunjukan pada kelompok negara low income memiliki slope yang berbeda. Untuk negara low income Negara yang memiliki share perdagangan terhadap GDP tertinggi adalah Liberia. Beberapa data yang melebihi angka 100 persen untuk laju share perdagangan terhadap GDP menentukan lalu lintas perdagangan yang mendominasi perekonomian negara-negara low income karena tingkat keterbukaan dalam penelitian ini diukur berdasarkan jumlah perbandingan antara ekspor dengan GDP dan impor dengan GDP.

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.16. Laju Tingkat Keterbukaan Ekonomi Negara Low Income, 1981-2008

0 50 100 150 200 250

Zimbabwe Liberia malawi Comoros Uganda


(61)

61 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Keterbukaan Ekonomi terhadap Kerusakan Lingkungan

Hasil estimasi yang dilakukan menggunakan fixed effect model tentang hubungan pertumbuhan ekonomi dengan kualitas lingkungan ditinjau dari emisi gas rumah kaca yaitu CO2, N2O, dan CH4 menunjukan model yang berbeda untuk

setiap variabel dependen dalam model persamaan yang terdapat dalam penelitian ini. Melaui pencarian model terbaik untuk dapat memberikan gambaran terbaik akan hubungan pertumbuhan dan keterbukaan ekonomi terhadap degradasi lingkungan didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 5.1 Nilai Probabilitas t-statistic, Probabilitas F-statistic, dan Adjusted R-square Variabel Dependen Variabel independen Koef Prob. t-statistic Prob. F-statistic Adjusted R-square CO2

GDP 0.56431 0.0000

0.0000 0.99975

Sebelum GDP2 0.01633 0.0000

Ditambahkan

CH4

GDP 0.47583 0.0000

0.0000 0.99998

keterbukaaan GDP2 -0.0159 0.0000

Ekonomi GDP3 -0.0015 0.0000

N2O GDP 0.17826 0.0000 0.0000 0.9999

CO2

GDP 0.61866 0.0000

0.0000 0.99981

GDP2 0.00358 0.0000

Ditambahkan TRD 0.27267 0.0000

Keterbukaan

CH4

GDP 0.69434 0.0000

0.0000 0.99993

Ekonomi GDP2 -0.055 0.0000

TRD 0.22525 0.0000

N2O

GDP 0.09562 0.0000

0.0000 0.99992

TRD 0.21105 0.0000


(62)

62

Berdasarkan hasil estimasi regresi dampak pertumbuhan ekonomi terhadap emisi gas rumah kaca, maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut:

LnCO2 = 5.567985 + 0.56431LnGDP + 0.01633LnGDP2………... (1)

LnCH4 = 5.398912 + 0.475825LnGDP –0.015857LnGDP2 - 0.0015LnGDP3....(2)

LnN2O = 2.475171+ 0.17826LnGDP.. ………...(3)

Sedangkan untuk hasil estimasi regresi model yang telah dimodifikasi dengan menambahkan parameter keterbukaan ekonomi (Openness of Economy) dalam hubungan pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan adalah sebagai berikut:

LnCO2= 4.863743 + 0.61866LnGDP +0.00358LnGDP2 + 0.27267LnTRD...(4)

LnCH4 = 4.469845+0.694338LnGDP-0.054978LnGDP2 + 0.225253LnTRD...(5)

LnN2O = 2.288977 + 0.095615LnGDP + 0.211046LnTDR...(6)

dimana:

CO2 = karbondioksida (kilotonne)

N2O = nitrogen oksida (kilotonne)

CH4 = metana (kilotonne)

GDP = GDP per Kapita (US $) GDP2 = GDP2 (US $)

GDP3 = GDP3 (US $)

TRD = Persentase perdagangan terhadap GDP (persen)

5.2. Kriteria Statistik

Untuk analisis statistika akan dilihat sampai mana validitas model yang digunakan dalam penelitian melalui pengujian secara statistik terhadap model yang bersangkutan.


(63)

5.2.1. Uji Signifikansi Simultan (Uji f)

Uji-F digunakan untuk menguji pengaruh parameter pada masing-masing persamaan terhadap keragaman variable dependennya. Berdasarkan Tabel 4.1, nilai probabilitas F statistik pada enam persamaan regresi untuk variabel dependen karbondioksida, nitrogen oksida, dan metana, masing-masing persamaan memiliki nilai 0.0000. Mengacu pada probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.0000 yang lebih kecil pada taraf nyata lima persen, maka seluruh persamaan ini lulus uji-F. Nilai ini menandakan bahwa minimal ada satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel dependennya (karbondioksida, nitrogen oksida, dan metana) pada taraf nyata lima persen.

5.2.2. Uji Koefisien Regresi Secara Individual (Uji t)

Uji-t statisik digunakan untuk mengetahui apakah koefisien masing-masing variabel independen secara individu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependennya. Berdasarkan Tabel 4.1, nilai statistik uji-t menunjukkan bahwa seluruh variabel independen pada tiga persamaan tersebut, dengan nilai probabilitas t-stat sebesar 0.0000, berpengaruh secara nyata dan signifikan terhadap variabel dependennya pada tingkat kepercayaan lima persen.

5.2.3. Koefisien Determinasi (Adjusted R-squared)

Berdasarkan Tabel 4.1, hubungan emisi karbondioksida (CO2), metana

(CH4) dan nitrogen oksida (N2O) dengan pertumbuhan ekonomi (GDP) memiliki


(1)

Lampiran 31. Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Regresi Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Emisi CO2

Lampiran 32. Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Regresi Pertumbuhan dan Keterbukaan Ekonomi Terhadap Emisi CO2

-0.8 -0.4 0.0 0.4 0.8 1.2

50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 LNCO2 Residuals

-0.8 -0.4 0.0 0.4 0.8 1.2

50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 LNCO2 Residuals


(2)

Lampiran 33. Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Regresi Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Emisi CH4

Lampiran 34. Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Regresi Pertumbuhan dan Keterbukaan Ekonomi Terhadap Emisi CH4

-0.8 -0.4 0.0 0.4 0.8 1.2 1.6

50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 LNCH4 Residuals

-0.50 -0.25 0.00 0.25 0.50 0.75 1.00 1.25

50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 LNCH4 Residuals


(3)

Lampiran 35. Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Regresi Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Emisi N2O

Lampiran 36. Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Regresi Pertumbuhan dan Keterbukaan Ekonomi Terhadap Emisi N2O

-0.8 -0.4 0.0 0.4 0.8 1.2

50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 LNN2O Residuals

-0.8 -0.4 0.0 0.4 0.8 1.2

50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 LNN2O Residuals


(4)

Lampiran 37. Fixed Effect Sebelum Dimasukan Variabel Keterbukaa Ekonomi

Negara CO2 CH4 N2O

Amerika 0.097031 3.227089 2.705684

Inggris 0.398693 1.31714 0.764517

Jepang 0.709477 0.931244 0.368687

Italia 0.335728 0.481658 0.346489

Perancis 0.14666 1.121279 1.096077

Argentina -0.1 1.105758 0.819677

Brazil 1.176629 2.277201 2.36006

Cina 5.067801 3.435051 3.468736

Malaysia 0.157594 -0.30371 -0.11881

Afrika

Selatan 1.583729 0.435734 0.427462

India 4.157262 2.789463 2.854662

Indonesia 2.276692 1.984273 2.334485

Pilipina 0.624422 0.241634 -0.18537

Nigeria 1.965786 0.125496 0.667212

Tonga -6.11834 -6.44462 -6.50188

Malawi -2.1892 -2.01649 -1.35203

Uganda -2.0951 -0.85008 -0.22065

Comoros -5.19938 -5.0928 -5.43336

Liberia -2.76906 -3.41377 -3.67923


(5)

Lampiran 38. Fixed Effect Setelah Dimasukan Variabel Keterbukaan Ekonomi

Negara CO2 CH4 N2O

Amerika 0.754839 3.76109 3.091617

Inggris 0.745553 1.609621 0.935176

Jepang 1.391317 1.479966 0.765412

Italia 0.681676 0.782588 0.533475

Perancis 0.503401 1.426319 1.282051

Argentina 0.286541 1.459547 1.08911

Brazil 1.477946 2.56466 2.593822

Cina 4.969152 3.37723 3.422755

Malaysia -0.12913 -0.50272 -0.33666

Afrika

Selatan 1.608511 0.494658 0.451359

India 4.149758 2.801278 2.881454

Indonesia 2.079221 1.845829 2.215529

Pilipina 0.397602 0.084212 -0.32987

Nigeria 1.373622 -0.72988 0.469834

Tonga -6.29981 -6.55953 -6.62002

Malawi -2.5587 -2.31085 -1.62048

Uganda -2.25767 -0.97119 -0.31991

Comoros -5.46704 -5.29588 -5.60681

Liberia -3.21311 -3.76525 -4.00311


(6)

RINGKASAN

DAVID AKBAR ABDURAHMAN. Dampak Pertumbuhan dan Keterbukaan Ekonomi terhadap Degradasi Lingkungan (dibimbing oleh

WIDYASTUTIK)

Pembangunan ekonomi merupakan upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Melalui pertumbuhan ekonomi diharapkan tercipta kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas. Namun, pertumbuhan ekonomi bukan tidak memiliki eksternalitas negatif. Eksploitasi sumberdaya alam akan memperngaruhi keseimbangan lingkungan. Emisi yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi dapat

mencemari lingkungan. Sejumlah penelitian telah menganalisis hubungan antara

pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan dan berbagai hasil telah diperoleh, termasuk dalam beberapa kasus bukti dari hubungan terbalik-U yang dikenal dengan konsep Environmental Kuznets Curve (EKC) yang diciptakan oleh Kuznets.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak pertumbuhan dan keterbukaan ekonomi terhadap degradasi lingkungan yang ditinjau melalui gas rumah kaca. Dalam menganalisis dampak tersebut menggunakan pendekatan

model Environmental Kuznet Kurve (EKC) yang diciptakan oleh Kuznet.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

diperoleh dari Word Development Indicator (WDI) dan Emission Database for

Global Atmospheric Reasearch (EDGAR). Data sekunder yang diperoleh berupa data GDP per kapita, perdagangan, dan emisi gas rumah kaca (CO2, CH4, dan

N2O) yang meliputi data kuantitatif pada rentang waktu antara tahun 1981-2008

dari 20 negara yaitu Amerika, Inggris, Italia, Perancis, Jepang, Malaysia, Afrika Selatan, Argentina, Cina, Brazil, India, Indonesia, Nigeria, Pilipina, Tonga, Uganda, Comoros, Liberia, Malawi dan Zimbabwe.

Metode analisis yang digunakan adalah panel data dengan pendekatan Fixed Effect dengan pembobotan Cross section SUR. Hasil analisis menunjukan

adanya hubungan signifikan membentuk EKC model untuk Emisi CH4, namun

untuk kasus emisi CO2 dan N2O, pertumbuhan dan keterbukaan ekonomi pada

jangka panjang mengarah pada peningkatan emisi yang dihasilkan berbentuk kurva-U.

Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, untuk mengurangi laju emisi

gas rumah kaca perlu adanya evaluasi terhadap program Carbon Trade dan

kebijakan perdagangan yang telah disepakati antar negara. Penerapan pajak emisi yang lebih agresif dirasa perlu untuk mengawal pertumbuhan ekonomi demi menjaga kualitas lingkungan tidak lupa dengan pemberlakuan sanksi yang tegas untuk setiap pelanggaran.