adalah sebagai berikut: 1 strategi SO kekuatan-peluang meliputi program sosialisasi fasilitas kredit yang lebih intensif terhadap nelayarn, dan program
intervensi pasar membuka peluang pasar oleh pemerintah, 2 strategi WO kelemahan-peluang meliputi program pengenalan teknologi tepat guna kepada
nelayan, dan program pengembangan divesivikasi usaha pengolahan ikan; 3 strategi ST kekuatan-ancaman meliputi program pengintensifan pengamanan laut
oleh aparat keamanan, dan program deregulasi distribusi bahan bakar minyak BBM khusus untuk nelayan; 4 strategi WT kelemahan-ancaman meliputi program
subsidi harga bahan bakar minyak BBM bagi nelayan dan program pembuatan regulasi untuk mencegah penangkapan ikan destruktif melalui aturan adat.
Dari delapan program strategis hasil generating dari matriks SWOT dengan mengacu juga pada seluruh komponen faktor-faktor yang di SWOT dalam rangka
pemberdayaan masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra, dirumuskan 3 tiga program prioritas, sebagai berikut: 1 peningkatan produktivitas nelayan, 2 peningkatan
peran kelembagaan lokal, dan 3 konservasi sumberdaya ikan. Setelah dilakukan pengolahan data dengan menggunakan A’WOT untuk mendapatkan alternative
prioritas program, menurut responden program peningkatan produktifitas nelayan memiliki nilai bobot paling tinggi, kemudian diikuti oleh komponen peningkatan
peran kelembagaan lokal, dan konservasi sumberdaya ikan di sekitar perairan Teluk Kao.
5.2.1 Peningkatan Produktifitas Nelayan
Sumberdaya perikanan yang ada di perairan Teluk Kao seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan disekitarnya termasuk nelayan di desa Kusu
Lovra. Hasil observasi lapangan dapat diidentifikasi faktor-faktor penyebab rendahnya tingkat pendapatan nelayan, antara lain karena nelayan di desa Kusu
Lovra dalam melakukan aktivitas penanggkapan ikan menggunakan alat tangkap yang masih tradisional dan skala kecil, selain itu pengetahuan dan keterampilan juga
masih terbatas. Sedangkan khusus untuk buruh nelayan, ditemukan bahwa mereka belum mampu membeli perahu dan peralatan tangkap sendiri. Salah satu penyebab
adalah akses terhadap lembaga keuangan seperti bank sangat rendah padahal hampir sebagian besar kegiatan perikanan tangkap di Indonesia didominasi oleh usaha
mikro, kecil dan menengah UMKM. Charle, et al 2008 mengemukakan bahwa kegiatan perairan Indonesia, hingga saat ini masih didominasi oleh usaha mikro,
kecil dan menengah UMKM, baik oleh nelayan penangkap maupun nelayan pengolah hasil tangkapan. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari statistik perikanan
tahun 2006 yang menunjukkan bahwa dari 412.497 unit armada perikanan yang digunakan oleh seluruh nelayan di Indonesia, sekitar 90.9 merupakan perahu tanpa
motor, perahu motor temple dan kapal motor yang berukuran di bawah 5 GT. Hasil penelitian Badan Pusat Statistik BPS menunjukkan jumlah usaha kecil dan
menengah UKM di Indonesia pada tahun 2006 mencapai hampir 49 juta unit. Dari angka tersebut hanya 13 saja yang mampu mengakses perbankkan, sedangkan
49,87 mengandalkan modal sendiri. Secara umum, pendapatan nelayan desa Kusu Lovra masih lebih besar
dibandingkan dengan pengeluaran. Diketahui bahwa pendapatan rata-rata nelayan desa Kusu Lovra sebesar Rp. 1.038.000-per bulan pendapatan dari sektor
perkebunan sebesar Rp. 450.000 dan sektor perikanan Rp. 588.000 per bulan sedangkan pengeluaran sebesar Rp.673.303 per bulan sehingga masih terdapat selisih
pendapatan sebesar Rp.364.697 per bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan keluarga nelayan dari sektor perikanan sebesar Rp. 588.000-per bulan,
nilai pendapatan rata-rata nelayan desa Kusu Lovra dari sektor perikanan masih sangat jauh dari upah minimum provinsi UMP Maluku Utara tahun 2009 yakni
sebesar Rp.770.000-per bulan. Jika nelayan di desa Kusu Lovra hanya mengandalkan pendapatan dari sektor
perikanan maka untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari saja sangat tidak mungkin tercukupi. Kehidupan selama ini berlangsung karena pemenuhan sebagian
kebutuhan konsumsi rumah tangga sehari-hari dihasilkan dari usaha kebun sendiri. Bila diperhadapkan dengan kebutuhan-kebutuhan yang seharusnya dipenuhi
misalnya; biaya pendidikan anak-anak, dan lain-lain maka pendapatan nelayan dari sektor perikanan sangat tidak memadai. Selisih lebih pendapatan masyarakat nelayan
di desa Kusu Lovra karena didorong oleh pendapatan yang bersumber dari sektor
perkebunan yakni perkebunan tanaman kelapa. Oleh karena itu bagi masa depan kehidupan masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra sektor perkebunan tanaman
kelapa dan pertanian tanaman pangan perlu mendapat perhatian terutama ketika musim peceklik tiba, agar para nelayan bisa mengusahakan kebun mereka, dan istri-
istri nelayan dapat mengusahakan tanaman pangan untuk mengatasi persoalan pemenuhan kebutuhan konsumsi bahan pangan keluarga nelayan setiap hari.
Gambaran pendapatan nelayan desa Kusu Lovra dari sektor perikanan sebagaimana di atas, umumnya terjadi karena masyarakat nelayannya sebagian besar
hanya sebagai buruh nelayan, disamping itu sarana tangkapan yang dioperasikan juga masih sangat sederhana dan tradisional, sehingga kapasitas tangkapnya juga sangat
kecil. Pendapatan nelayan desa Kusu Lovra dari sektor perikanan sebagaimana
digambarkan sebelumnya setelah diakumulasikan dengan pendapatan dari sektor perkebunan dan dibandingkan dengan total nilai kebutuhan rumah tangga setiap
bulan, masih terdapat selisih lebih pendapatan. Terhadap selisih lebih pendapatan tidak semua nelayan memiliki tabungan di bank maupun di lembaga keuangan mikro
yang ada di lingkungan sekitarnya. Kondisi sebagaimana dialami masyarakat nelayan desa Kusu Lovra ternyata
sangat tidak berbeda dengan kondisi nelayan pada umumnya di Indonesia terutama terkait dengan akses permodalan terhadap lembaga-lembaga keuangan seperti bank.
Ketiadaan dan keterbatasan masyarakat nelayan desa Kusu Lovra untuk mengakses modal pada lembaga keuangan seperti bank juga menjadi salah satu penyebab
kurangnya produktifitas mereka. Agar produktifitas nelayan di desa Kusu Lovra terjadi peningkatan, semua faktor yang berperan dalam peningkatan produksi perlu
dioptimalkan pemanfaatannya, terutama terhadap peralatan tangkap, karena itu langkah yang perlu dilakukan adalah membuka akses bagi masyarakat nelayan
terutama dari lembaga-lembaga keuangan seperti bank dan juga lembaga keuangan lain seperti koperasi, dan dapat juga mendorong keswadayaan masyarakat melalui
penguatan kelembagaan dengan membentuk kelompok usaha bersama. Pengalaman program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir PEMP dengan pendekatan
kelembagaan dengan maksud untuk memperkuat posisi tawar masyarakat, mereka
haruslah terhimpun dalam suatu kelembagaan yang kokoh, sehingga segala aspirasi dan tuntutan mereka dapat disalurkan dengan baik. Kelembagaan ini juga dapat
menjadi penghubung intermediate antara pemerintah dan swasta. Selain itu kelembagaan ini juga dapat menjadi suatu forum untuk menjamin terjadinya
perguliran dana produktif di antara kelompok lainnya. Lembaga keuangan seperti bank, koperasi dan lembaga keuangan lain agar
dapat memfasilitasi pembinaan dan pelatihan tentang pengembangan usaha perikanan tangkap, memfasilitasi informasi-informasi kebijakan pinjaman bagi
masyarakat, serta membuka peluang pemberian kredit untuk kepemilikan kapal terutama bagi buruh nelayan, sekaligus memfasilitasi masyarakat untuk pembiasaan
menyisihkan sebagian dari pendapatan mereka untuk ditabung, penghapusan investasi, dan penyisihan biaya pemeliharaan.
Persoalan yang dihadapi masyarakat terhadap pemberian pinjaman, adalah kepercayaan lembaga-lembaga keuangan seperti bank kepada masyarakat kecil
sangat rendah, karena selama ini fasilitas pinjaman pada lembaga keuangan seperti bank hanya dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas,
dan juga banyak fakta terjadi kegagalan pengembalian pinjaman yang dikucurkan bagi masyarakat kecil, oleh karena itu pembinaan adalah kata kunci, membangun
keberdayaan masyarakat adalah cara satu-satunya yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan
masyarakat. Somodiningrat
1999 mengatakan
bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat
perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Pemberdayaan memiliki dua kecenderungan yaitu kecenderungan primer dan kecenderungan sekunder.
Kecenderungan primer merupakan pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan
kepada masyarakat agar individu menjadi berdaya; kecenderungan sekunder, merupakan pemberdayaan yang menekankan pada proses menstimulasi, mendorong
atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan mereka.
Pola pendekatan yang dilakukan dalam rangka membangun keberdayaan masyarakat adalah pola pendampingan, dimana pendamping dapat berperan sebagai
fasilitator, masyarakat dampingan dan fasilitator sama-sama dapat bertindak sebagai narasumber untuk memecahkan berbagai persoalan mereka. Pengalaman penerapan
program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir PEMP menyatakan pentingnya pendampingan, karena keberadaan pendamping memang dirasakan
sangat dibutuhkan dalam setiap program pemberdayaan. Masyarakat belum dapat berjalan sendiri mungkin masih kuatnya tingkat ketergantungan mereka karena
belum pulihnya rasa percaya diri mereka akibat paradigm-paradigma pembangunan masa lalu. Terlepas dari itu semua, peran pendamping sangatlah vital terutama
mendampingi masyarakat menjalankan aktivitas usahanya. Namun yang terpenting dari pendampingan ini adalah menempatkan orang yang tepat pada kelompok yang
tepat pula. Masyarakat tidak hanya diperlakukan sebagai objek tapi harus terlibat aktif
dalam sebuah proses, dalam proses pemberdayaan, masyarakat tidak bisa dipandang bagaikan murid sekola dikelas, dan pendampingpenyuluh bagaikan seorang guru,
sehingga yang terjadi adalah guru mengajar dan siswa belajar, tetapi proses pemberdayaan untuk membangun keberdayaan selalu memandang bahwa kita
semualah pembelajar-pembelajar itu, kitalah yang belajar bersama, anda belajar saya mengajar saya mengajar anda belajar, kita semua menjadi sumber belajar.
Selain itu semua faktor produksi yang dapat mempengaruhi hasil tangkapan perlu diketahui agar dapat dilakukan efisiensi dan efektifitas terhadap faktor-faktor
input guna menghasilkan output yang optimal. Dengan demikan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan nelayan sehingga kesejahteraannya juga
meningkat. Dalam upaya membangun keberdayaan dalam bidang usaha, cepat dan
lambatnya perkembangan usaha juga perlu ditopang oleh upaya pendampingan untuk penguatan nelayan, khususnya kepada para buruh nelayan agar dapat memiliki
kesadaran dan kemampuan untuk memanfaatkan peluang fasilitas kredit pada lembaga keuangan seperti bank dan koperasi untuk memiliki kapal sendiri, sekaligus
dapat memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengatur usaha dan mengatur Ekonomi Rumah Tangga ERT keluarga nelayan. Secara garis besar rencana
program peningkatan produktivitas nelayan desa Kusu Lovra dapat dilihat pada lampiran lampiran 2.
5.2.2 Peningkatan Peran Kelembagaan Lokal