Empowerment Strategy for Fisherman Communities in Kusu Lovra Village of Kao Subdistrict of North Halmahera Regency

(1)

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN DI

DESA KUSU LOVRA KECAMATAN KAO KABUPATEN

HALMAHERA UTARA

JOHN RAIMOND PATTIASINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Di Desa Kusu Lovra Kecamatan Kao Kabupaten Halmahera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagiah akhir tesis ini.

Bogor, Nopember 2010

JOHN RAIMOND PATTIASINA C452070304


(3)

ABSTRACT

JOHN RAIMOND PATTIASINA. Empowerment Strategy for Fisherman Communities in Kusu Lovra Village of Kao Subdistrict of North Halmahera Regency. Supervised by MULYONO S. BASKORO and BUDHI H. ISKANDAR.

The e aims of this research are: 1) To identify socio-economic conditions of fisherman communities in the village of Kusu lovra, 2) To know how the fisheries business sector able to fill out the fishermen family life needs in the village of Kusu lovra. 3) To determine what factors impede successful community empowerment programs Kusu lovra fishing village. And 4) To formulate the strategy of community empowerment Kusu lovra fishing village, and determine priority community development programs. Research method used is the case study method. And analysis used are descriptive analysis, SWOT analysis, and Analysis Hierarchy Process (AHP). The results showed that the fisherman in Kusu Lovra village divided into two groups thei are katinting fishermen (owner) and katinting laborers fishermen. Average income from the agricultural sector are about 300,000, - to Rp.500.000, - per harvested from an area of one to two hectares. While the averagincome of owner and laborers from going to sea fishing is Rp.588.000, - per month. Internal factors are dominant as a barrier to community empowerment programs in Kusu Lovra Village such as skills and mastery of technology is still less with a weight value 0.585. While the dominant external factor as a barrier to empowerment program is marine ecosystem damage caused by destructive fishing weights with a value 0.600. Empowerment strategy for fisherman communities in Kusu Lovra Village such as: (1) Increasing the productivity of fishermen with 0.714 weight value, (2) increasing the role of local institutions with total weight of 0.143, and (3) The conservation of fishery resources with a value of 0.143 weight.


(4)

RINGKASAN

JOHN RAIMOND PATTIASINA. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Di Desa Kusu Lovra Kecamatan Kao Kabupaten Halmahera Utara. Dibimbing oleh MULYONO S. BASKORO dan BUDHI HASCARYO ISKANDAR.

Masyarakat nelayan merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Pada umumnya mereka adalah kelompok masyarakat tertinggal yang berada pada level paling bawah, baik tertinggal secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Karena penghasilan mereka masih tergantung pada kondisi alam, maka sulit bagi mereka untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Sebagai nelayan tradisional bukan saja berhadapan dengan ketidakpastian pendapatan dan tekanan musim paceklik ikan yang panjang, tetapi mereka juga dihadapkan dengan persoalan manajemen keuangan dan pemasaran hasil produksinya.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, baik melalui pemberian bantuan peralatan tangkap, kemudahan akses permodalan, maupun melalui program pemberdayaan masyarakat pesisir. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejehteraan masyarakat pesisir, termasuk nelayan. Akan tetapi tidak semua program tersebut tepat sasaran dan hasil yang diperolehpun belum sesuai dengan yang diharapkan. Fakta-fakta permasalahan itulah mendorong dilaksanakannya suatu penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat program pemberdayaan masyarakat nelayan, serta untuk merumuskan kembali strategi kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra, dimana sebagian besar dari mereka adalah termasuk nelayan tradisional dengan tingkat pendidikan yang relative rendah.

Tujuan dari dari penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan di Desa Kusu lovra, 2) Mengetahui sejauh mana usaha di sektor perikanan mampu menopang pemenuhan kebutuhan hidup keluarga nelayan di desa Kusu Lovra, 3) Mengetahui faktor-faktor apa yang menghambat keberhasilan program pemberdayaan masyarakat nelayan desa Kusu Lovra? dan 4) Merumuskan kembali strategi pemberdayaan masyarakat nelayan desa Kusu lovra, serta menentukan prioritas program pemberdayaan masyarakat.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus. Studi kasus adalah studi intensif dan terperinci mengenai suatu objek yang dilakukan dengan berpedoman pada kuesioner (Soekartawi 1986). Penelitian ini dilakukan selama 7 bulan yang dimulai dari studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian lapangan dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai dengan Juni 2010. Penelitian ini dilakukan di desa Kusu Lovra kecamatan Kao Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara.


(5)

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1) Analisys deskriptif yaitu analisis yang dilakukan melalui membaca tabel-tabel, informasi, gambar-gambar, grafik beserta angka-angka yang tersedia kemudian melakukan perbandingan, penafsiran, menarik kesimpulan dari hasil analisis. Hal ini mengandung pengertian bahwa data yang terkumpul baik berupa data kuantitatif maupun kualitatif dianalisa secara kualitatif untuk mendapatkan penguraian dan perbandingan dalam bentuk kalimat atau kata-kata untuk ditarik kesimpulan. 2) Analisis SWOT adalah identifikasi secara sistematik atas kekuatan dan kelemahan dari faktor-faktor eksternal yang dihadapi suatu sektor. Analisis ini digunakan untuk memperoleh hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal. Dengan analisis ini, kekuatan (Strengths), kelemahan (Weaknesses), yang merupakan faktor internal dapat diidentifikasi, begitu pula peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats) sebagai faktor eksternal. 3) Setelah dilakukan analisa dengan menggunakan SWOT, langkah selanjutnya adalah membuat urutan prioritas program dengan menggunakan Analysis Hierarchy Procces (AHP).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Nelayan desa Kusu Lovra terbagi menjadi dua yaitu nelayan katinting dan buruh nelayan katinting, sumber pendapatan mereka tidak hanya dari hasil melaut, tetapi sebagian diantaranya memiliki kebun kelapa sebagai sumber penghasilan tambahan. 2) Potensi sumber daya kelautan yang terdapat di perairan Teluk Kao sangat berperan dalam menopang pemenuhan kebutuhan hidup keluarga nelayan di desa Kusu lovra, namun pengelolaannya masih sederhana dan bersifat tradisional, sehingga belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Rata-rata pendapatan dari sektor pertanian sebesar Rp.450.000,- per bulan dari lahan seluas 1 sampai 2 hektar. Sedangkan pendapatan nelayan maupun buruh nelayan dari hasil melaut rata-rata sebesar Rp.588.000,- per bulan. 3) Faktor internal yang dominan sebagai penghambat program pemberdayaan masyarakat desa Kusu Lovra antara lain keterampilan dan penguasaan teknologi masih kurang dengan nilai bobot 0,585, sedangkan faktor eksternal yang dominan sebagai penghambat program pemberdayaan adalah kerusakan ekosistem laut akibat penangkapan destruktif dengan nilai bobot 0,600. 4) Strategi pemberdayaan masyarakat nelayan desa Kusu Lovra antara lain: (1) Peningkatan produktivitas nelayan dengan nilai bobot 0,714, (2) Peningkatan peran kelembagaan lokal dengan nilai bobot 0,143, dan (3) Konservasi sumberdaya ikan dengan nilai bobot 0,143.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(7)

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN DI

DESA KUSU LOVRA KECAMATAN KAO KABUPATEN

HALMAHERA UTARA

JOHN RAIMOND PATTIASINA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sistem dan Permodelan Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

BOGOR 2010


(9)

Judul Tesis : Strategi Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di Desa Kusu Lovra Kecamatan Kao Kabupaten Halmahera Utara

Nama : JOHN RAIMOND PATTIASINA

NIM : C452070304

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr.Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui,

Koordinator Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(10)

PRAKATA

Puji dan Syukur patut penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa, atas Kasih dan SayangNya penulis masih diberi kesempatan menyelesaikan proposal penelitian ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister pada program Studi Teknologi Kelautan, Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, terbuka ruang atas saran, masukan, maupun kritik yang konstruktif guna kesempurnaan tulisan ini.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Hein Namotemo, MSp selaku Bupati Halmahera Utara yang telah memberikan kesempatan dan dukungan biaya kepada penulis untuk mengikuti program Magister di Institut Pertanian Bogor, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si selaku pembimbing, juga kepada Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan, MSc yang terus memberikan dorongan dan motivasi. Disamping itu penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada Bapak Solihin yang telah membantu selama pengumpulan dan analisa data, juga kepada semua rekan-rekan mahasiswa IPB dari Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Utara yang telah memberikan dukungan moril dan materil. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, isteri dan anak-anak tercinta atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat di kemudian hari.

Bogor, Nopember 2010


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tobelo Kabupaten Halmahera Utara pada tanggal 27 Juni 1968 sebagai anak kedua dari pasangan Markus Pattiasina dan Petronela Oei. Pendidikan Sarjana di tempuh di Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Kristen Indonesia Tomohon, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 2008 diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan mayor Sistem Pemodelan Perikanan Tangkap mendapat dukungan Beasiswa Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Utara.

Penuslis bekerja sejak tahun 1992-2008 di Pusat Pengkajian dan Latihan Pengembangan Pedesaan (PPLPP) Yayasan SARO NIFERO memulai sebagai Tenaga Pendamping Lapangan dan mengakhiri masa tugas sebagai Direktur. Pada tahun 2002-2007 dipercayakan oleh Yayasan Saro Nifero sebagai Direktur Politeknik Perdamaian Halmahera (Politeknik PADAMARA) Tobelo Halmahera Utara, dan sampai sekarang ini masih menjadi dosen.

Sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat, pada tahun 1994-2005 mengabdikan diri sebagai Dosen Luar Biasa pada Sekolah Tinggi Teologia (STT) Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH), pada tahun 2001 bersama Yayasan SARO NIFERO memfasilitasi pendirian Credit Union SARO NIFERO dan dipercayakan menjadi Ketua Dewan Pengurus tahun 2001-2010. Usai konflik Horisontal di Maluku Utara tahun 2003 menjadi Anggota Dewan Perwakilan Masyarakat untuk proyek-proyek UNDP dalam rangka pemulihan konflik di wilayah kecamatan Tobelo dan Galela kabupaten Halmahera Utara, tahun 2003-2006 menjadi anggota Kelompok Kerja UNDP Propinsi Maluku Utara mewakili unsur LSM dari Kabupaten Halmahera Utara. Tahun 2006-2007 dipercayakan sebagai Konsultan Manajemen Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kabupaten Halmahera Utara. Tahun 2009 April terpilih sebagai Anggota DPRD Kabupaten Halmahera Utara.

Sebagai bentuk pengabdian pada Gereja, tahun 2002 sampai dengan saat ini menjadi Wakil Ketua I Majelis Jemaat Elim Wosia, tahun 2007-2008 sebagai pejabat Pimpinan Jemaat Elim Wosia, dan tahun 2002-2007 menjadi Wakil Ketua II Majelis Pekerja Wilayah Pelayanan Tobelo, tahun 2007 sampai dengan saat ini sebagai Anggota Badan Pembinaan, Pemeriksa Perbendaharaan Gereja (BP3G) di Gereja Masehi Injili di Halmahera.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

DAFTAR ISTILAH ... xvi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

1.5 Kerangka Pemikiran... 4

1.6 Hipotesis... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Strategi Pemberdayaan ... 6

2.2 Konsep Pemberdayaan ... 8

2.3 Tipe Pemberdayaan... 9

2.4 CSR (Corporate Social Responsibility) ... 10

2.5 Pendapatan ... 11

2.6 Nelayan ... 13

2.7 Kesejahteraan Nelayan... 14

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 18

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 18

3.2 Metode Penelitian ... 18

3.3 Pengolahan dan Analisis Data... 19

3.4 Jenis dan Sumber Data... 19

3.5 Bahan dan Alat... 20

3.6 Metode Pengumpulan Data... 20

3.7 Metode Analisis Data... 21

3.7.1 Analisis deskriptif... 21

3.7.2 Analisis SWOT... 23


(13)

4 HASIL PENELITIAN ... 29

4.1 Kondisi Umum Nelayan Halmahera Utara ... 29

4.2 Sumber Pendapatan Nelayan... 32

4.3 Tingkat Pendidikan ... 33

4.4 Sosial Ekonomi Nelayan ... 34

4.5 Strategi Pemberdayaan Nelayan ... 36

4.5.1 Identifikasi faktor strategis... 36

4.5.2 Program strategis pemberdayaan nelayan... 37

4.5.3 Program pemberdayaan masyarakat ……….... 41

4.5.4 Rencana kegiatan ... 42

5 PEMBAHASAN ... 44

5.1 Kondisi Sosial Ekonomi Nelayan ... 44

5.2 Prioritas Strategi dan Penjabaran Program ... 45

5.2.1 Peningkatan produktivitas nelayan ... 46

5.2.2 Peningkatan peran kelembagaan lokal ... 50

5.2.3 Konservasi sumberdaya ikan ... 53

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

6.1 Kesimpulan ... 56

6.2 Saran... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 58


(14)

DAFTAR TABEL

1. Matrik Analisis SWOT... 24 2. Skala Angka Saaty... 27 3. Matrik Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal... 37 4. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di Kusu Lovra Kecamatan

Kao ... 37 5. Rencana kegiatan berdasarkan bobot dan prioritas program pemberdayaan


(15)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran ... 5

2. Peta Lokasi Penelitian ... 18

3. Hierarki strategi pemberdayaan masyarakat nelayan ... 28

4. Pelaku ekonomi di desa Kusu Lovra ... 35

5. Prioritas komponen faktor kekuatan dalam pemberdayaan nelayan ... 38

6. Prioritas komponen faktor kelemahan dalam pemberdayaan nelayan ... 39

7. Prioritas komponen faktor peluang dalam pemberdayaan nelayan... 40

8. Prioritas komponen faktor ancaman dalam pemberdayaan nelaya ... 41


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuesioner Sosial Ekonomi... 61 2. Gambar Alur Proses Penelenitian... 62 3. Tabel Rencana Program Pemberdayaan Masyarakat Nelayan desa……..

Kusu Lovra (AHP)……….…….. 65 4. Hasil Ananalitical Hierarchy Process Foto (AHP) ... 66 5. Foto Aktivitas Nelayan Desa Kusu Lovra... 69


(17)

DAFTAR ISTILAH

ABK : Anak Buah Kapal yang bekerja pada kapal-kapal penangkap ikan dalam kapasitas besar.

Buruh Nelayan : orang yang bekerja sebagai nelayan tetapi tidak memiliki peralatan tangkap sendiri

CSR : corporate social responsibility tanggungjawab social perusaha- an terhadap masyarakat disekitarnya)

Destruktif : kegiatan menangkap ikan dengan cara merusak lingkungan Dibo-dibo : ibu-ibu istri nelayan yang bekerja menjual ikan hasil tangkapan

Nelayan

Fishing Ground : lokasi penangkapan ikan oleh nelayan

Juragan : pemilik perahu yang digunakan oleh buruh nelayan

Katinting : jenis perahu tradisional dengan kapasitas kecil yang digunakan oleh nelayan di Desa Kusu Lovra kecamatan Kao Kabupaten Halmahera Utara

Kolega : hubungan kerja yang terjalin antara pemilik perahu (juragan) dengan buruh nelayan

Paceklik : musim dimana hasil tangkapan menurun akibat cuaca yang tidak bersahabat

Pengumpul : pedagang yang membeli ikan hasil produksi nelayan yang kemudian dijual secara eceran kepada konsumen langsung Terumbu karang : sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis


(18)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat nelayan merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Pada umumnya mereka adalah kelompok masyarakat tertinggal yang berada pada level paling bawah, baik tertinggal secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Karena penghasilan mereka masih tergantung pada kondisi alam, maka sulit bagi mereka untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Sebagai nelayan tradisional bukan saja berhadapan dengan ketidakpastian pendapatan dan tekanan musim paceklik ikan yang panjang, tetapi mereka juga dihadapkan dengan persoalan manajemen keuangan dan pemasaran hasil produksinya.

Selain itu, keterbatasan teknologi dan aset produksi yang dimiliki, menyebabkan daya jelajah para nelayan miskin umumnya terbatas, yang berimplikasi pada jumlah dan jenis tangkapan ikan. Rata-rata penghasilan yang diperoleh nelayan miskin sangat kecil dan hanya pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan sebagian terpaksa hidup serba kekurangan. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, tak jarang istri dan anak mereka ikut serta membantu mencari nafkah.

Hanson dalam Siti A, et al (2006) mengemukakan bahwa masyarakat pesisir memiliki kehidupan yang khas, yang dihadapkan langsung dengan keadaan

ekosistem yang keras, dan sumber kehidupan yang tergantung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut (SDP). Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, masih terbelit oleh persoalan kemiskinan, keterbelakangan, dan kesulitan mengakses berbagai layanan publik.

Dalam mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat nelayan, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk berusaha meningkatkan tingkat


(19)

kesejahteraan, baik melalui pemberian bantuan peralatan tangkap, kemudahan akses permodalan, maupun melalui program pemberdayaan masyarakat pesisir. Program pemberdayaan masyarakat pesisir bertujuan untuk meningkatkan kesejehteraan masyarakat pesisir, termasuk nelayan. Dalam pelaksanaannya tidak semua program tepat sasaran dan hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan, terutama terhadap keberlanjutan program.

Secara teoritis, memberdayakan masyarakat pesisir berarti menciptakan peluang bagi masyarakat pesisir untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Memberdayakan masyarakat pesisir

tidaklah seperti memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena di dalam habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan masayarakat diantaranya: masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir yang mata

pencaharian utamanya adalah menangkap ikan di laut. Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional.

Ada juga kelompok masyarakat nelayan pengumpul/bakul, adalah kelompok masyarakat pesisir yang bekerja disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Mereka akan mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya dijual ke masyarakat sekitarnya atau dibawah ke pasar-pasar lokal. Umumnya yang menjadi pengumpul kebanyakan adalah dari kalangan istri-istri nelayan dan kelompok masyarakat pesisir perempuan.

Kelompok ketiga adalah kelompok masayarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat terlihat dari kemiskinan yang selalu membelenggu kehidupan mereka, mereka tidak memiliki modal atau peralatan yang memadai untuk usaha produktif. Umumnya mereka bekerja sebagai buruh/anak buah kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang minim.


(20)

Ketiga kelompok ini juga terdapat di desa Kusu Lovra kecamatan Kao

Kabupaten Halmahera Utara. Masyarakat di desa ini masih tergolong tertinggal, baik dari sektor pendidikan, ekonomi, sosial, maupun budaya meskipun sudah banyak program yang dilaksanakan di desa tersebut. Bahkan hingga saat ini, desa ini tetap menjadi salah satu lokasi sasaran pemberdayaan oleh perusahaan tambang yang ada di daerah ini. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah belum terjadi

perubahan yang signifikan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat desa setempat, khususnya masyarakat nelayan.

Oleh karena itu, diperlukan suatu kajian mendalam untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat program pemberdayaan masyarakat nelayan, serta untuk merumuskan kembali strategi kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra dimana sebagian besar dari mereka adalah termasuk nelayan tradisional dengan tingkat pendidikan yang relative rendah.

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra? 2) Sejauhmana usaha di sektor perikanan mampu menopang pemenuhan kebutuhan

hidup keluarga nelayan?

3) Faktor-faktor apa yang menghambat keberhasilan program pemberdayaan masyarakat nelayan desa Kusu Lovra?

4) Bagaimana strategi pemberdayaan masyarakat nelayan desa Kusu Lovra, serta apa program prioritas pemberdayaan masyarakat desa Kusu Lovra?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan desa Kusu Lovra 2) Untuk Mengetahui sejauh mana usaha di sektor perikanan mampu menopang

pemenuhan kebutuhan hidup keluarga nelayan desa Kusu Lovra

3) Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menghambat keberhasilan program pemberdayaan masyarakat nelayan desa Kusu Lovra?


(21)

4) Untuk merumuskan kembali strategi, pemberdayaan masyarakat nelayan desa Kusu Lovra, serta menentukan prioritas program pengembangan masyarakat.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Sebagai rujukan dan acuan bagi masyarakat nelayan, khususnya masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra, kecamatan Kao Kabuupaten Halmahera Utara 2) Sebagai masukan dan bahan evaluasi bagi pemerintah dalam mengembangkan

masyarakat nelayan.

3) Sebagai bagian dari sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah dan semua pihak yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir.

1.5 Kerangka Pemikiran

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru

pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering, and sustainable" (Chambers, 1995). Kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi

masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra kecamatan Kao Kabupaten Halmahera Utara, maka hal penting yang perlu diberdayakan adalah faktor pengelolaan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat nelayan itu sendiri untuk mendorong

peningkatan pendapatan mereka.

Sebagai daerah kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara memiliki wilayah laut yang cukup luas, hal ini menjadikan salah satu potensi ekonomi yang cukup besar untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi permasalahan klasik masih saja terjadi yaitu rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat, rendahnya tingkat pendidikan, penguasaan teknologi yang masih rendah, maupun

ketertinggalan. Semua ini bermuara pada ketertinggalan di bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Akan tetapi, program pemberdayaan masyarakat yang selama ini telah dilakukan, belum mampu merubah kondisi tersebut secara signifikan. Sehingga


(22)

diperlukan evaluasi dan rekonstruksi strategi pemberdayaan masyarakat nelayan yang lebih efektif dan efisien.

1.6 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis tersebut, maka dibanguan hipotesis penelitian yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1) Kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra masih tertinggal secara ekonomi, sosial dan budaya.

2) Sektor perikanan mampu menopang pemenuhan kebutuhan hidup keluarga nelayan di desa Kusu Lovra.

3) Faktor utama penghambat tidak optimalnya program pemberdayaan masyarakat di Desa Kusu Lovra adalah karena kualitas sumberdaya manusia yang relative masih rendah.

PROGRAM PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT

PEMILIK PERAHU

Buruh Nelayan DIBO-DIBO (PEDAGANG

PENGEPUL DARI ISTRI-ISTRI

PROGRAM PEMBERDAYAAN

PERUBAHA N

PERUBAHA N SOSIAL

PERUBAHA N BUDAYA

YA

PROGRAM DIOPTIMALKA


(23)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

1.7 Perumusan Masalah

Dari uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 5) Bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra? 6) Sejauhmana usaha di sektor perikanan mampu menopang pemenuhan kebutuhan

hidup keluarga nelayan?

7) Faktor-faktor apa yang menghambat keberhasilan program pemberdayaan masyarakat nelayan desa Kusu Lovra?

8) Bagaimana strategi pemberdayaan masyarakat nelayan desa Kusu Lovra, serta apa program prioritas pemberdayaan masyarakat desa Kusu Lovra?

1.8 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

5) Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan desa Kusu Lovra 6) Untuk Mengetahui sejauh mana usaha di sektor perikanan mampu menopang

pemenuhan kebutuhan hidup keluarga nelayan desa Kusu Lovra

7) Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menghambat keberhasilan program pemberdayaan masyarakat nelayan desa Kusu Lovra?

8) Untuk merumuskan kembali strategi, pemberdayaan masyarakat nelayan desa Kusu Lovra, serta menentukan prioritas program pengembangan masyarakat.

1.9 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

4) Sebagai rujukan dan acuan bagi masyarakat nelayan, khususnya masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra, kecamatan Kao Kabuupaten Halmahera Utara

PERUMUSAN STRATEGI


(24)

5) Sebagai masukan dan bahan evaluasi bagi pemerintah dalam mengembangkan masyarakat nelayan.

6) Sebagai bagian dari sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah dan semua pihak yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir.

1.10 Kerangka Pemikiran

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru

pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering, and sustainable" (Chambers, 1995). Kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi

masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra kecamatan Kao Kabupaten Halmahera Utara, maka hal penting yang perlu diberdayakan adalah faktor pengelolaan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat nelayan itu sendiri untuk mendorong

peningkatan pendapatan mereka.

Sebagai daerah kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara memiliki wilayah laut yang cukup luas, hal ini menjadikan salah satu potensi ekonomi yang cukup besar untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi permasalahan klasik masih saja terjadi yaitu rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat, rendahnya tingkat pendidikan, penguasaan teknologi yang masih rendah, maupun

ketertinggalan. Semua ini bermuara pada ketertinggalan di bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Akan tetapi, program pemberdayaan masyarakat yang selama ini telah dilakukan, belum mampu merubah kondisi tersebut secara signifikan. Sehingga diperlukan evaluasi dan rekonstruksi strategi pemberdayaan masyarakat nelayan yang lebih efektif dan efisien.

1.11 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis tersebut, maka dibanguan hipotesis penelitian yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

4) Kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra masih tertinggal secara ekonomi, sosial dan budaya.


(25)

5) Sektor perikanan mampu menopang pemenuhan kebutuhan hidup keluarga nelayan di desa Kusu Lovra.

6) Faktor utama penghambat tidak optimalnya program pemberdayaan masyarakat di Desa Kusu Lovra adalah karena kualitas sumberdaya manusia yang relative masih rendah.

PROGRAM PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT

PEMILIK PERAHU

Buruh Nelayan DIBO-DIBO (PEDAGANG

PENGEPUL DARI ISTRI-ISTRI

PROGRAM PEMBERDAYAAN

PERUBAHA N

PERUBAHA N SOSIAL

PERUBAHA N BUDAYA

YA

PROGRAM DIOPTIMALKA

PERUMUSAN STRATEGI


(26)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1Strategi Pemberdayaan

Strategi pada hakekatnya adalah merupakan perencanaan dan manajemen dengan tujuan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Strategi tidak hanya sekedar sebagai peta yang hanya menunjukkan arahnya saja, tetapi sangat penting bagaimana strategi yang dirumuskan mampu memaparkan secara rinci bagaimana

melaksanakannya. Strategi sering dikatakan sebagai perencanaan strategis atau perencanaan jangka panjang. Langkah pertama dalam melakukan strategi adalah menentukan misi, yaitu suatu gambaran terhadap maksud atau alasan bagi

keberadaan suatu perusahaan atau suatu lembaga. Misi ini penting karena berfungsi sebagai arah bagi suatu perusahaan atau lembaga pemerintah dalam merencanakan kegiatan usahanya (Soesilowati, 1997).

Potensi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil kaya namun poverty headcount index (PHI) mencapai 3.2 atau dua kali rata-rata kemiskinan nasional. Untuk mengatasi permasalahan ini DKP melalui Direktorat PMP mengembangkan strategi pemberdayaan masyarakat.

Adapun Strategi Pemberdayaan Masyarakat dimaksud adalah:

1) Strategi Pemberdayaan Ekonomi

a. Pengembangan Keuangan Mikro, Akses ke CSR dan PKBL

b. Pengembangan Usaha Mikro (SPDN, Kedai Pesisir, Garam, Klinik Bisnis)


(27)

a. Pengembangan Sosial-budaya: (P3MP, Gender, Punggawa Nusantara, Pemuka Agama & Adat, Anak Nelayan).

b. Penerapan Iptek : identifikasi Iptek, melalui : lomba, desiminasi, workshop, kerjasama dengan lembaga pengembang Iptek), implementasi teknologi tepat guna meliputi peningkatan kualitas SDM pemuda nelayan melalui regenerasi nelayan implementasi teknologi tepat guna

3) Strategi PNPM-Mandiri Kelautan dan Perikanan

4. Program Baru “pemberdayaan masyarakat pesisir” yang didanai IFAD.

Dalam strategi pembangunan perikanan di Indonesia menurut Dahuri (2000) ada 2 aspek penting untuk melakukan langkah reformasi agar sumberdaya perikanan dapat meningkatkan kinerjanya dan mampu memberikan kontribusi bagi penguatan perekonomian nasional adalah sebagai berikut:

1) Reformasi aspek teknis pembangunan perikanan. Jika sektor perikanan diharapkan menjadi sektor unggulan, maka pengembangan perikanan harus dilakukan melalui pendekatan agribisnis secara komprehensif dan terpadu. Untuk mewujudkan hal ini beberapa program yang harus dilakukan meliputi: pemanfaatan sumberdaya perikanan berwawasan lingkungan, pemberdayaan masyarakat nelayan dengan cara memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan usaha perikanan, pengembangan teknologi pascapanen, pengembangan sumberdaya manusia dan iptek, pengembangan prasarana dan sarana keamanan laut, serta pola insentif bagi daerah-daerah terpencil.

2) Reformasi kebijakan pembangunan perikanan. Reformasi yang dilakukan meliputi empat aspek antara lain: reformasi hukum, reformasi kelembagaan, reformasi ekonomi, serta reformasi politik.

Pendapat atau pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa strategi pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan suatu langkah yang strategis

bagaimana suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan secara efektif dan efisien sehingga benar-benar dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan khususnya serta bagaimana sumberdaya


(28)

Dalam proses pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat, Soesilowati (1997) memaparkan beberapa bentuk strategi yang dapat dilaksanakan sebagai berikut:

1. Strategi Persuasif, merupakan suatu langkah yang diambil dalam hal bagaimana membawa langkah suatu perubahan melalui kebiasaan dalam berperilaku, dimana pesan disusun secara terstruktur dan dipresentasikan. Strategi persuasif lebih sering digunakan bila sasaran tidak sadar terhadap perubahan atau mempunyai komitmen yang rendah terhadap perubahan.

2. Strategi Fasilitasi, yaitu strategi yang dipergunakan bila kelompok atau sistem yang dijadikan target mengetahui adanya suatu masalah dan membutuhkan perubahan serta adanya sikap keterbukaan terhadap bantuan dari luar dan keinginan pribadi yang kuat untuk terlibat. Melalui strategi ini diharapkan perubahan dapat bertindak sebagai fasilitator. Strategi ini dikenal sebagai kooperatif, yaitu agen perubahan bersama-sama dengan sasaran mencari penyelesaian melalui kerjasama yang bisa bersifat implementatif.

2.2Konsep Pemberdayaan

Perberdayaan merupakan satu istilah yang diterjemahkan dari istilah empowerment yang merupakan sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari

perkembangan alam pemikiran dan kebudayaan masyarakat. Pemberdayaan memiliki dua kecendrungan yaitu kecendrungan primer dan kecenderungan sekunder.

Kecendrungan primer merupakan pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya; Kecenderungan skunder, merupakan pemberdayaan yang menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan mereka.

Menurut Sumodiningrat (1999), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua


(29)

kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan.

Keberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan, dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat itu sendiri menjadi sumber dari apa yang di dalam wawasan politik disebut sebagai ketahanan nasional. Artinya bahwa apabila masyarakat memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi, maka hal tersebut merupakan bagian dari ketahanan ekonomi nasional.

Dalam kerangka pikir inilah upaya memberdayakan masyarakat pertama-tama haruslah dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu sendiri, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

Selanjutnya, upaya tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana yang

kondusif. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang

(opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya (Kartasasmita, 1996).

Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupakan proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang.

Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan sustainable development dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama serta dapat


(30)

diibaratkan sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis.

2.3Tipe Pemberdayaan

Banyak sudah program pemberdayaan yang dilaksanakan pemerintah, salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Pada intinya program ini dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu:

(a) Kelembagaan. Bahwa untuk memperkuat posisi tawar masyarakat, mereka haruslah terhimpun dalam suatu kelembagaan yang kokoh, sehingga segala aspirasi dan tuntutan mereka dapat disalurkan secara baik. Kelembagaan ini juga dapat menjadi penghubung (intermediate) antara pemerintah dan swasta. Selain itu kelembagaan ini juga dapat menjadi suatu forum untuk menjamin terjadinya perguliran dana produktif diantara kelompok lainnya.

(b) Pendampingan. Keberadaan pendamping memang dirasakan sangat dibutuhkan dalam setiap program pemberdayaan. Masyarakat belum dapat berjalan sendiri mungkin karena kekurangtauan, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan yang rendah, atau mungkin masih kuatnya tingkat ketergantungan mereka karena belum pulihnya rasa percaya diri mereka akibat paradigma-paradigma pembangunan masa lalu. Terlepas dari itu semua, peran pendamping sangatlah vital terutama mendapingi masyarakat menjalankan aktivitas usahanya. Namun yang terpenting dari pendampingan ini adalah menempatkan orang yang tepat pada kelompok yang tepat pula.

(c) Dana Usaha Produktif Bergulir. Pada program PEMP juga disediakan dana untuk mengembangkan usaha-usaha produktif yang menjadi pilihan dari masyarakat itu sendiri. Setelah kelompok pemanfaat dana tersebut berhasil, mereka harus menyisihkan keuntungannya untuk digulirkan kepada kelompok masyarakat lain yang membutuhkannya. Pengaturan pergulirannya akan disepakati di dalam forum atau lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dengan fasilitasi pemerintah setempat dan tenaga pendamping.


(31)

2.4CSR (Corporate Social Reponsibility)

Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah dikenal sejak awal 1970, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan (Corporate Social

Reponsibility) CSR dan tidak hanya merupakan kegiatan kreatif perusahaan dan tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata, (Chairil, 2007).

Cook (1994) dalam Supriyanto (2004) menyatakan pembangunan masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya peningkatan atau pengembangan masyarakat menuju kearah yang positif. Sedangkan Giarci (2001) dalam Supriyanto (2004) memandang community development sebagai suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan dukungan agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya. Proses ini berlangsung dengan dukungan collective action dan networking yang dikembangkan masyarakat. Bartle (2003) dalam Supriyanto (2004) mendefinisikan community development sebagai alat untuk menjadikan masyarakat semakin komplek dan kuat. Ini merupakan suatu perubahan sosial dimana masyarakat menjadi lebih komplek, institusi lokal tumbuh, collective power-nya meningkat serta terjadi perubahan secara kualitatif pada organisasinya.

2.5 Pendapatan

Ada beberapa definisi pengertian pendapatan dari para ahli antara lain Mulyanto Sumardi dan Hans Dieter Evers (1982: 20), pendapatan adalah seluruh penerimaan baik berupa uang maupun barang baik dari pihak lain maupun dari hasil sendiri. Dengan dinilai sejumlah uang atas harga yang berlaku pada saat itu.

Mulyanto Sumardi dan Hans Dieter Evers (1982: 66) juga membedakan pendapatan menjadi dua yaitu pendapatan yang berupa uang dan pendapatan yang berupa barang. Pendapatan yang berupa uang yaitu segala penghasilan yang berupa


(32)

uang yang sifatnya reguler dan yang diterima biasanya sebagai balas jasa atau kontra prestasi, sumber-sumber utama adalah:

1) dari gaji dan upah yang diperoleh dari kerja pokok, kerja sampingan, kerja lemburan, dan kerja kadang-kadang

2) dari usaha sendiri yang meliputi: hasil bersih dari usaha sendiri, komisi, dan penjualan dari kerajinan rumah

3) dari hasil investasi yakni pendapatan yang di peroleh dari hak milik tanah 4) keuntungan sosial, yakni pendapatan yang diperoleh dari kerja sosial.

Pendapatan yang berupa barang yaitu segala penghasilan yang sifatnya regular dan biasa akan tetapi tidak selalu berbentuk balas jasa dan diterimakan dalam bentuk barang atau jasa. Pendapatan berupa :

1) Bagian pembayaran upah dan gaji yang dibentuk dalam beras, pengobatan, transportasi, perumahan, dan rekreasi.

2) Beras yang diproduksi dan dikonsumsi di rumah antara lain pemakaian barang yang diproduksi di rumah, sewa yang seharusnya dikeluarkan terhadap rumah sendiri yang di tempati.

Pengertian pendapatan menurut Simanora dalam Astuti (2004: 28-29) adalah kenaikan aktiva perusahaan atau penurunan kewajiban perusahaan (atau kombinasi antara keduanya) selama periode tertentu yang berasal dari pengiriman barang– barang, penyerahan jasa, atau kegiatan-kegiatan lainya yang merupakan kegiatan sentral perusahaan.

Menurut Tohar dalam Eko (2003:15) pendapatan perseorangan adalah jumlah pendapatan yang diterima setiap orang dalam masyarakat yang sebelum dikurangi transfer payment. Transfer Payment yaitu pendapatan yang tidak berdasarkan balas jasa dalam proses produksi dalam tahun yang bersangkutan.

Tohar dalam Eko (2003) juga menambahkan bahwa pendapatan dibedakan menjadi :

1) Pendapatan asli, yaitu pendapatan yang diterima oleh setiap orang yang langsung ikut serta dalam produksi barang


(33)

2) pendapatan turunan (sekunder) yaitu pendapatan dari golongan penduduk lainnya yang tidak langsung ikut serta dalam produksi barang seperti dokter, ahli hukum dan pegawai negeri.

Sedangkan menurut Kasryno (1984: 263) pendapatan menurut perolehannya dibedakan menjadi:

1) Pendapatan kotor, yaitu pendapatan yang diperoleh sebelum dikurangi pengeluaran dan biaya-biaya

2) Pendapatan bersih, yaitu pendapatan yang diperoleh sesudah dikurangi pengeluaran dan biaya-biaya

Pendapatan menurut bentuknya dibedakan menjadi:

1) Pendapatan berupa uang, adalah segala penghasilan yang sifatnya reguler dan yang diterima biasanya sebagai balasa jasa, sumber utamanya berupa gaji, upah, bangunan, pendapatan bersih dari usaha sendiri dan pendapatan dari penjualan seperti : hasil sewa, jaminan sosial, premi asuransi.

2) Pendapatan berupa uang, adalah segala penghasilan yang sifatnya reguler dan biasanya tidak berbentuk balas jasa dan diterima dalam bentuk barang.

Yudhohusodo dalam Aryani A. (2005) tingkat pendapatan seseorang dapat digolongkan dalam 4 golongan yaitu:

1) Golongan yang berpenghasilan rendah (low income group) yaitu pendapatan rata-rata dari Rp. 150.000 perbulan

2) Golongan berpenghasilan sedang (Moderate income group) yaitu pendapatan rata-rata Rp. 150.000 – Rp.450.000 perbulan

3) Golongan berpenghasilan menengah (midle income group) yaitu pendapatan rata-rata yang diterima Rp. 450.000 – Rp. 900.000 perbulan

4) Golongan yang berpenghasilan tinggi (high income group) yaitu rata-rata pendapatan lebih dari Rp. 900.000.

2.7. Nelayan

Nelayan Indonesia masih sangat memprihatinkan, bahkan sering dianggap sebagai kelompok termiskin diantara yang miskin. Mereka miskin modal usaha, informasi, pendidikan, pengetahuan dan kemampuan usaha, tinggal di daerah yang


(34)

miskin akan sarana prasarana dalam mengaktualisasikan dirinya. Banyak Faktor penyebab kemiskinan nelayan, baik itu faktor internal maupun faktor eksternal yang berkaitan dengan lingkugan secara umum.

Menurut Undang-undang (UU) No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan, binatang air lainnya atau tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat atau perlengkapan ke dalam perahu atau kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap dimasukkan sebagai nelayan, walaupun tidak secara langsung melakukan penangkapan. Berdasarkan curahan waktu kerjanya, nelayan dibedakan menjadi:

1) Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan

2) Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan

3) Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil dari waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan.

Menurut Hermanto (1986) secara umum berdasarkan bagian yang diterima dalam usaha penangkapan ikan dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:

1) Juragan darat adalah orang yang mempunyai perahu dan alat penangkapan ikan laut. Juragan darat hanya menerima bagi hasil tangkapan yang diusahakan oleh orang lain. Pada umumnya juragan darat menangggung seluruh biaya operasi penangkapan

2) Juragan laut adalah orang yang tidak punya perahu dan alat tangkap, tetapi bertanggung jawab dalam operasi penangkapan ikan di laut

3) Juragan darat-laut adalah orang yang memiliki perahu dan alat tangkap sekaligus ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan darat-laut menerima bagi hasil sebagai nelayan dan bagi hasil sebagai pemilik unit penangkapan


(35)

4) Buruh atau pandega adalah orang yang tidak memiliki unit penangkapan dan hanya berfungsi sebagai anak buah kapal, umumnya menerima bagi hasil tangkapan dan jarang diberikan upah harian, dan

5) Anggota kelompok adalah orang yang berusaha pada suatu unit penangkapan secara berkelompok. Perahu yang dioperasikannya adalah perahu yang dibeli dari modal yang dikumpulkan oleh semua anggota kelompok.

2.7 Kesejahteraan Nelayan

Pengertian mengenai kesejahteraan berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga keadaan sejahtera yang dialami oleh seseorang belum tentu berarti sejahtera bagi yang lainnya. Kesejahteraan tidak saja menyangkut aspek yang bersifat lahiriah atau material, tetapi juga yang bersifat batiniah atau spritual.

Menurut Sukirno (1985) dalam Suswanti (2005), kesejahteran adalah suatu yang bersifat subyektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan.

Menurut Sawidak (1985), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya.

BPS (1991) menyatakan bahwa kesejahteraan bersifat subyektif, sehingga ukuran kesejahteraan bagi setiap individu atau keluarga berbeda satu sama lain. Pada prinsipnya kesejahteraan dari individu atau keluarga tersebut sudah tercapai.

Kebutuhan dasar erat kaitannya dengan kemiskinan. Apabila kebutuhan dasar belum terpenuhi oleh individu atau keluarga, maka dikatakan bahwa individu atau keluarga berada dibawah garis kemiskinan.

Menurut BPS (1996), pendapatan per kapita sering digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Ekonomi masyarakat yang makmur ditunjukkan oleh pendapatan per kapita yang tinggi, dan sebaliknya


(36)

ekonomi masyarakat yang kurang makmur ditunjukkan oleh pendapatan per kapita yang rendah.

Kesejahteraan rakyat mempunyai aspek yang sangat kompleks dan tidak memungkinkan untuk menyajikan data yang mampu mengukur semua aspek kesejahteraan. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan indikator kesejahteraan yang dipergunakan Badan Pusat Statistik dalam Susenas 1991, indikator tersebut adalah:

1) Pendapatan per kapita per tahun 2) Konsumsi rumah tangga per tahun 3) Keadaan tempat tinggal

4) Fasilitas tempat tinggal

5) Kesehatan anggota rumah tangga

6) Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dan medis 7) Kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan 8) Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi

9) Kehidupan beragama

10) Perasaan aman dari tindakan kejahatan.

Tingkat kesejahteraan sosial diukur dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga yang didasarkan pada pola pengeluaran untuk pangan, barang dan jasa, rekreasi, bahan bakar dan perlengkapan rumah tangga. Pendekatan pengamatan dilakukan terhadap kondisi perumahan, kesehatan, pendidikan, dan pola pengeluaran rumah tangga. Penilaian terhadap kondisi perumahan didasarkan pada jenis dinding rumah, jenis lantai, jenis atap serta status kepemilikan. Pendekatan untuk menilai kondisi kesehatan berdasarkan kondisi sanitasi perumahan serta kondisi

perlengkapan air minum, air mandi, cuci dan kakus (BPS 1991).

Pengukuran kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah garis kemiskinan menurut Sajogyo (1977) yang membedakannya berdasarkan tingkat pendapatan per kapita per tahun setara beras antara desa dengan kota. Sajogyo (1977) membagi tingkat kemiskinan tersebut sebagai berikut


(37)

1) Tidak Miskin, yaitu apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih tinggi dari nilai 320 kg beras untuk daerah pedesaan dan lebih dari 480 kg beras untuk daerah perkotaan

2) Miskin (nilai ambang kecukupan pangan), yaitu apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari nilai tukar 320 kg beras untuk daerah pedesaan dan 480 kg beras untuk daerah perkotaan

3) Miskin sekali (tidak cukup pangan), yaitu apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari nilai tukar 240 kg beras untuk daerah pedesaan 360 kg beras untuk daerah perkotaan, dan

4) Paling miskin (melarat), yaitu apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari nilai tukar 180 kg beras untuk daerah pedesaan dan 270 kg beras untuk daerah perkotaan.

Selain pengukuran kemiskinan menurut Sajogyo, juga dapat digunakan konsep kemiskinan yang ditetapkan oleh Direktorat Tata Guna Tanah, Ditjen Agraria diacu dalam Hardjanto (1996) yang mengklasifikasikan tingkat kemiskinan

berdasarkan nilai konsumsi total sembilan bahan pokok dalam setahun yang dinilai dengan harga setempat. Kebutuhan hidup minimum yang digunakan sebagai tolak ukur adalah:

1) 100 kg beras 2) 15 kg ikan asin 3) 6 kg gula pasir 4) 4 M tekstil kasar 5) 6 kg minyak goreng 6) 60 liter minyak tanah 7) 9 kg garam

8) 20 batang sabun

9) 2 potong kain batik kasar.

Dengan mengunakan tingkat pendapatan per kapita per tahun setara dengan pengeluaran untuk konsumsi sembilan bahan pokok, Direktorat Tata Guna Tanah, Ditjen Agraria diacu dalam Hardjanto (1996) membagi tingkat kemiskinan menkadi empat golongan, yaitu:


(38)

1) Miskin sekali: Apabila tingkat pendapatan per kapita per tahun lebih rendah 75% dari total pengeluaran 9 bahan pokok

2) Miskin: Apabila tingkat pendapatan per kapita per tahun berkisar antara 75-125% dari total pengeluaran 9 bahan pokok

3) Hampir miskin: apabila tingkat pendapatan per kapita per tahun berkisar antara 126-200% dari total pengeluaran 9 bahan pokok, dan

4) Tingkat miskin: Apabila tingkat pendapatan per kapita per tahun lebih besar 200% dari total pengeluaran 9 bahan pokok.

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 7 bulan yang dimulai dari studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian lapang dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai dengan Juni 2010. Penelitian ini dilakukan di desa Kusu Lovra kecamatan Kao Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Lokasi Penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.


(39)

3.2Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus. Studi kasus adalah studi intensif dan terperinci mengenai suatu objek yang dilakukan dengan berpedoman pada kuesioner (Soekartawi 1986). Aspek yang diteliti meliputi aspek sosial dan ekonomi berupa tingkat kesejahteraan nelayan.

3.3Pengolahan dan Analisis Data

Untuk mengarahkan pada pengambilan keputusan berdasarkan situasi organisasi dan pertimbangan lainnya dibutuhkan suatu kerangka kerja yang logis. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk

merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat

memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).


(40)

3.4Jenis dan Sumber Data

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan analisis kuantitatif terhadap aktor-aktor yang berperan dalam pengentasan kemiskinan di desa Kusu Lovra. Sedangkan analisis kualitatif menggunakan observasi dan wawancara mendalam dengan

lembaga pemerintah, LSM dan tokoh masyarakat.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang meliputi:

1. Pengambilan data primer, yaitu data yang dikumpulkan secara langsung melalui wawancara responden (stakeholders) dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun sebelumnya. Data primer meliputi data yang menyangkut karakteristik dan pola konsumsi masyarakat nelayan, pendapat responden mengenai strategi pemberdayaan nelayan, serta beberapa faktor pendukung terhadap kegiatan ekonomi masyarakat nelayan dalam meningkatkan kesejahteraan di desa Kusu Lovra kecamatan Kao Kabupaten Halmahera Utara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang terdiri dari beberapa bagian:

a. Karakteristik masyarakat nelayan meliputi: umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan jumlah tanggungan

b. Faktor eksternal meliputi: kondisi sosial ekonomi masyarakat, fluktuasi harga, musim panen

c. Faktor pendukung meliputi: program pemberdayaan, bantuan kredit, pendamping, informasi pasar.

2. Data sekunder, yaitu data- data yang mendukung yang diperoleh dari lembaga yang terkait, data tersebut di peroleh dari:

a. Kantor Bupati Halmahera Utara b. Kantor Bappeda Halmahera Utara c. Kantor BPS Halmahera Utara

d. Kantor Perikanan dan Kelautan Halmahera Utara e. Kantor Kecamatan Setempat


(41)

g. Literatur yang relevan dengan topik penelitian ini

h. Data penunjang lainnya yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini

3.5Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Alat tulis memulis, kuesioner dan kamera.

3.6Metode Pengumpulan Data

Pada pelaksanaan kegiatan kajian, untuk mengumpulkan dan mendapatkan data kualitatif berupa fakta-fakta lisan/tulisan adalah dengan cara:

(1) Observasi

Tujuan teknik observasi adalah agar kita memperoleh gambaran yang lebih jelas melalui kegiatan pengamatan tentang kehidupan sosial yang sukar diperoleh melalui metode lain. Adapun syarat untuk melakukan pengumpulan data dengan teknik ini yaitu bahwa peneliti harus secara langsung ada dalam lingkungan peneliti. Hal ini dibuktikan bahwa peneliti berasal dari lokasi penelitian sehinga diharapkan dapat mendalami dan memaknai permasalahan sebagai suatu upaya mengkaji kondisi masyarakat.

(2) Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam dilakukan dengan cara tatap muka anatara peneliti dengan responden dan stakeholders yang dilakukan dalam suasana formal dan informal. Tujuan teknik wawancara adalah mencari informasi yang sedalam-dalamnya dalam bentuk komunikasi verbal


(42)

Mengedarkan daftar pertanyaan kepada responden dan stakeholders, baik itu pertanyaan terbuka maupun tertutup

(4) Studi Kepustakaan.

Tujuan teknik ini adalah untuk mempelajari arsip-arsip atau dokumen-dokumen yang terkait dengan situasi dan kondisi masyarakat desa Kusu Lovra kecamatan Kao.

3.7Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, metode analisa yang digunakan antara lain:

3.7.1 Analisis Deskriptif

Analisys deskriptif yaitu analisis yang dilakukan membaca tabel-tabel, informasi, gambar gambar, grafik beserta angka angka yang tersedia kemudian melakukan perbandingan, penafsiran, menarik kesimpulan dari hasil analisis. Hal ini mengandung pengertian bahwa data yang terkumpul baik berupa data kuantitatif maupun kualitatif dianalisa secara kualitatif untuk mendapatkan penguraian dan perbandingan dalam bentuk kalimat atau kata kata untuk ditarik kesimpulan.

Adapun populasi kajian yang menjadi sasaran adalah anggota masyarakat sebanyak 17 orang yang beraktifitas baik sebagai nelayan, buruh nelayan, maupun pedagang pengumpul yang dilakukan baik secara perorangan maupun secara

kelompok dan stakholder lain seperti tokoh masyarakat 2 orang, pemerintah terkait 3 orang, tokoh agama 1 orang, tokoh nelayan 2 orang, maupun tokoh LSM 2 orang. Sedangkan pengambilan sampel responden dilakukan berdasarkan sampling (random sampling dan purposive sampling) yakni ditujukan kepada perorangan maupun anggota kelompok dan pihak-pihak terkait baik sebagai responden maupun sebagai informan yang langsung berkenan dengan kegiatan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra kecamatan Kao, sebagai berikut:

a. Anggota kelompok b. Pengurus kelompok


(43)

c. Pemilik katinting d. Nelayan

e. Pedagang pengumpul f. Aparat desa

g. Tokoh agama. h. Tokoh masyarakat i. Instansi terkait.

Selanjutnya untuk mendapatkan data yang lebih optimal maka análisis deskriptif diharapkan paling kurang dapat menyajikan data dalam beberapa tahapan sebagai berikut:

1) Reduksi, data yang diperoleh dilapangan dicatat secara lengkap dan rinci. Data tersebut perlu dirangkum, dipilih hal-hal pokok dan difokuskan sesuai dengan tujuan penelitian, hasil dari reduksi data adalah tersusunnya data ini secara sistematis yang memberi gambaran lebih tajam tentang hasil pengamatan dan juga mempermudah peneliti untuk mencari kembali data yang diperoleh bila diperlukan

2) Display data yaitu melihat gambar keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian maka perlu display data, yaitu menyajikan data dalam tabel, gambar, matriks, grafik, network dan chart. Dalam tahap ini data hasil wawancara diuraikan secara terperinci dan selanjutnya ditampilkan tabel untuk memudahkan membaca hasil penelitian sesuai dengan pertanyaan peneliti

3) Kesimpulan dan verifikasi, yaitu: upaya mencari pola, model, tema, hubungan dan persamaan serta hal-hal yang sering muncul, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan. Data hasil penelitian dan analisis berdasarkan kerangka pemikiran yang telah ditetapkan untuk kemudian dilihat hubungan dan persamaan dari implikasi teoritiknya, sehinga diperoleh suatu kesimpulan jawaban peneliti.

3.7.2 Analisa SWOT

Analisis ini digunakan sebagai alat untuk menyusun suatu strategi yang sesuai dan tepat dalam mengembangkan suatu kegiatan. Analisis SWOT dilakukan berdasarkan asumsi bahwa suatu strategi yang efektif memaksimalkan kekuatan dan peluang, serta meminimalkan kelemahan dan ancaman. Analisis SWOT digunakan


(44)

untuk memperoleh hubungan antara faktor eksternal dan faktor internal. Dengan analisis ini, kekuatan (Strengths), kelemahan (Weaknesses), yang merupakan faktor internal dapat diidentifikasi, begitu pula peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats) sebagai faktor eksternal.

Analisis SWOT adalah identifikasi secara sistematik atas kekuatan dan kelemahan dari faktor-faktor eksternal yang dihadapi suatu sektor. Analisis ini digunakan untuk memperoleh hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal. Lingkup kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman adalah sebagai berikut: (1). Kekuatan

Kekuatan yang diidentifikasikan meliputi semua aspek yang berada dalam strategi pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan yang memberikan nilai positif.

(2). Kelemahan

Kelemahan yang diidentifikasikan meliputi semua aspek yang berada dalam sistem pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan yang memberikan nilai negatif.

(3). Peluang

Peluang yang diidentifikasi adalah potensi atau kesempatan dari strategi pemberdayaan masyarakat nelayan yang dapat diambil untuk penanggulangan kemiskinan.

(4). Ancaman

Ancaman yang diidentifikasi adalah semua dampak negatif dari luar strategi pemberdayaan masyarakat nelayan yang mungkin dihadapi untuk

penanggulangan kemiskinan.

Kemudian, langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT ini adalah sebagai berikut:


(45)

Dari potensi sumberdaya Desa Kusu Lovra, akan diidentifikasi beberapa faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan.

2) Analisis SWOT

Setelah teridentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal (faktor strategis) yang berperan dalam pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan kemudian dibangkitkan (generating) berbagai alternatif strategi yang relevan dengan menggunakan Matriks SWOT (Tabel 1). Dari matriks SWOT pada tabel itu

diperoleh 4 (empat) kemungkinan alternatif strategi, yaitu:

1. Strategi SO yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil peluang yang ada.

2. Strategi ST yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang dihadapi.

3. Strategi WO yaitu berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari peluang yang ada dengan mengatasi kelemahan-kelemahan.

4. Strategi WT yaitu berusaha meminimumkan kelemahan dengan menghindari ancaman yang ada

Tabel 1 Matriks Analisis SWOT Faktor

Internal Faktor

Eksternal

STRENGTHS (S)

WEAKNESSES (W)


(46)

OPPORTUNITI ES (O)

Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan

untuk memanfaatkan peluang.

Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang

THREATS (T)

STRATEGI ST

Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman.

STRATEGI WT

Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman.

3.7.3 ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)

Setelah dilakukan analisa dengan menggunakan SWOT, maka langkah selanjutnya adalah membuat urutan prioritas program dengan menggunakan analysis Hirarkhy Proces (AHP). Adapun langkah-langakah dalam analisis data dengan AHP adalah:

1) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah.

2) Membuat struktur hirarki yang di awali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan, kriteria dan memungkinkan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah.

3. Membuat matrik perbadingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat di atasnya, perbandingan berdasarkan judgment dari para pengambil keputusan dengan nilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Untuk mengkuantifikasikan data kualitatif pada materi wawancara digunakan nilai skala komparasi berdasarkan skala Saaty.

4. Melakukan perbandingan berpasangan. Kegiatan ini dilakukan oleh stakeholder yang berkompeten.

5. Menghitung akar ciri, vektor ciri, dan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi. Indeks Konsistensi (CI) menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu penelitian perbandingan berpasangan. Nilai pengukuran


(47)

konsistensi diperlukan untuk mengetahui konsistensi jawaban dari respon karena akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil.

Menurut Saaty, 1993 ada tiga prinsip dalam memecahkan persoalan dengan AHP, yaitu prinsip menyusun hirarki (Decomposition), prinsip menentukan prioritas (Comparative Judgement), dan prinsip konsistensi logis (Logical Consistency). Hirarki yang dimaksud adalah hirarki dari permasalahan yang akan dipecahkan untuk mempertimbangkan kriteria-kriteria atau komponen-komponen yang mendukung pencapaian tujuan. Dalam proses menentukan tujuan dan hirarki tujuan, perlu diperhatikan apakah kumpulan tujuan beserta kriteria-kriteria yang bersangkutan tepat untuk persoalan yang dihadapi. Dalam memilih kriteria-kriteria pada setiap masalah pengambilan keputusan perlu memperhatikan kriteria-kriteria sebagai berikut:

1) Lengkap. Kriteria harus lengkap sehingga mencakup semua aspek yang penting, yang digunakan dalam mengambil keputusan untuk pencapaian tujuan.

2) Operasional. Operasional dalam artian bahwa setiap kriteria ini harus mempunyai arti bagi pengambil keputusan, sehingga benar-benar dapat menghayati terhadap alternatif yang ada, disamping terhadap sarana untuk membantu penjelasan alat untuk berkomunikasi.

3) Tidak berlebihan. Menghindari adanya kriteria yang pada dasarnya mengandung pengertian yang sama.

4) Minimum. Diusahakan agar jumlah kriteria seminimal mungkin untuk mempermudah pemahaman terhadap persoalan, serta menyederhanakan persoalan dalam analisis.

5)

Tabel 2 Skala Angka Saaty

Intensitas/

Penting-nya

Definisi Keterangan

1 Atribut yang satu dengan yang lainnya sama penting

Dua aktivitas memberikan kontribusi yang sama kepada tujuan

3 Atribut yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dari atribut

Pengalaman dan selera sedikit


(48)

yang lainnya. daripada yang lain

5 Sifat lebih pentingnya atribut yang satu dengan lain kuat

Pengalaman dan selera sangat menyebabkan penilaian yang satu lebih dari yang lain, yang satu lebih disukai dari yang lain.

7 Menunjukkan sifat sangat penting satu atribut dengan atribut lain

Aktivitas yang satu sangat disukai dibandingkan dengan yang lain, dominasinya tampak dalam kenyataan

9 Satu atribut ekstrim penting dari atribut lainnya

Bukti bahwa antara yang satu lebih disukai daripada yang lain

menunjukkan kepastian tingkat tertinggi yang dapat dicapai.

2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua

penilaian Diperlukan kesepakatan (kompromi)

Resiprokal

Jika atribut i dibandingkan dengan j mendapat nilai bukan nol, maka j jika dibandingkan dengan i mempunyai nilai kebalikannya

Asumsi yang masuk akal

Rasional Rasio yang timbul dari skala

Jika konsistensi perlu dipaksakan dengan mendapatkan sebanyak n nilai angka untuk melengkapi matriks

Hirarki strategi pemberdayaan masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra Kecamatan Kao Kabupaten Halmahera Utara dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini

KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN NELAYAN DESA KUSU

LOVRA

NELAYAN TOKOH DKP

MASY.

PEMERINT AH DESA

KOPERASI

EKOLOGI EKONOMI SOSIAL TEKNOLO

GI


(49)

Gambar 3. Hierarki Strategi Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di Desa Kusu Lovra Kecamatan Kao Kabupaten Halmahera Utara

4 HASIL PENELITIAN

4.1 Kondisi Umum Nelayan Halmahera utara

Luas perairan Halmahera Utara adalah 19.536,02 Km2 atau 76 % dari luas


(50)

ekonomis penting. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan kabupaten Halmahera Utara standing stock perikanan sebesar 89.865,69 Ton/tahun, potensi lestari Maksimum Sustainable Yield (MSY) yang dapat dimanfaatkan setiap tahun diperkirakan sebesar 26.946,41 ton/tahun dengan perincian sebagai berikut: Perikanan pelagis : 17.986,44 ton/tahun, Perikanan demersel : 71.879,25 ton/tahun. Perikanan laut di Halmahera Utara merupakan daerah sebaran jenis ikan Pelagis dan Demersal yang mempunyai nilai ekonomis penting, (Laporan tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan kabupaten Halmahera Utara, 2008).

Menurut laporan tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Halmahera Utara tahun 2008, produksi perikanan laut dapat mencapai sebesar 14.686,581 ton. Secara keseluruhan jenis ikan ekonomis penting yang terdapat dalam sumberdaya alam laut di kabupaten Halmahera Utara yaitu : cakalang (Katsuwonus pelamis), tatihu / madidihang (Thunnus albacores), mata besar (Thunnus abesus), albacore (Thunnus alalunga), layang (Decapterus spp), kembung (Rastreliger

sp), lemuru (Clupea spp), teri (Stolephorus spp), komo (Auxis spp), bubara (Caranx

spp), julung (Hanirhampus sp), ikan terbang (Cypsilerus sp) peperek (Leiognathus sp), beloso (Sameda sp), biji nangka (Upeneus spp), gerot-gerot (Prada tyas spp), ikan merah (Lutjanus spp), kerapu (Ephynephelus sp), suwangi (Priocathus sp), kakap (Lotes spp), cucut (Hemigalerus sp), pari (Trygen sp), bawal hitam (Pormia niger), bawal putih ( Panpus argentus), baronang (Siganus sp), jenis – jenis bukan ikan krustasea, moluska, echinodermata dan rumput laut, serta terumbu karang. Sumber daya alam pantai yaitu : ketam kenari (Birgus latro), penyu, burung laut, hutan mangrove. Dalam perairan ini terdapat juga jenis udang (Penaied sp), kepiting (Brachyura sp), cumi-cumi (Chaphalopoda sp), kerang mutiara (Pinctada maxima), tapis-tapis (Pinctada margaritifera), lola (Trochus niloticus), teripang (Holothuridae sp).

Dalam laporan yang sama juga menyebutkan bahwa di beberapa wilayah kecamatan yang berada di wilayah perairan Teluk Kao merupakan daerah penangkapan jenis ikan komersial, cakalang, tuna, komo, kerapu, kakap merah, baronang, ekor kuning, sedangkan alat tangkap yang dominan digunakan nelayan


(51)

untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan di perairan Teluk Kao adalah jaring. Alat tangkap jaring tetap lebih dominan digunakan pada perairan pantai yang jaraknya dari pantai kurang dari 6 mil. Produksi ikan dengan menggunakan jenis alat tangkap tersebut antara lain ikan ekor kuning dan ikan komo.

Selain memiliki luas perairan laut yang potensial, kabupaten Halmahera Utara dikaruniakan sumberdaya darat, tanah yang subur yang ditumbuhi berbagai jenis pohon dan tanaman yang dapat diusahakan masyarakat berupa tanaman hortikultura, tanaman perkebunan dan tanaman pangan, menjadi kekuatan penopang sumber pendapatan masyarakat.

Masyarakat Halmahera Utara terdiri dari berbagai etnis diantaranya etnis Tobelo, Kao, Galela, Tobaru (sebagai suku-suku asli) dan suku-suku pendatang diantaranya; suku Batak, Jawa, Toraja, Ambon, Minahasa, Bugis-Makasar, Cina, Buton Sanger dan Talaud. Etnis-etnis ini sudah sejak lama berbaur dalam kehidupan masyarakat di Halmahera Utara. Keterbukaan yang tinggi terhadap siapa saja dimiliki oleh masyarkaat Halmahara Utara karena filosofi “Hibualamo” yang dianut masyarakatnya. Hibualamo adalah rumah besar tempat berkumpulnya komunitas masyarakat asli untuk membicarakan berbagai persoalan dalam

komunitas tersebut. Hibualamo sebagai Rumah besar dibangun dalam bentuk segi delapan tanpa dinding, dengan filosofi siapapun dapat bertetduh dirumah itu. Selain keterbukaan, nilai-nilai kebersamaan, tolong-menolong, membantu orang lain dalam keadaan susah, telah membentuk pola hidup masyarakat yang gampag, tidak perlu terlalu sulit menghadapi kehidupan kesehariannya. O’dora, mencintai, menyayangi; O’leleani, melayani merupakan nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat adat Hibualamo.

Kondisi itu menyebabkan masyarakat Halmahera Utara di era sampai dengan tahun 1980-an tidak sulit dalam menghadapi hidup, dan hidup dibangun dengan biaya yang masih relativ kecil. Kondisi hidup seperti ini berlangsung sudah sangat lama yang menyebabkan masyarakat setempat terlena. Etos kerja menjadi relatif rendah kerena semua kebutuhan telah terpenuhi dengan mudah dan


(52)

masyarakat bisa hidup dengan nyaman. Mereka menganggap bahwa dari hasil kebun saja mereka bisa hidup dengan aman dan nyaman. Sebagai ilustrasi, jika kita melihat buah-buahan di kebun orang lain, jika kita menghendakinya kita bisa mengambilnya dengan bebas, asalkan sekembali dari kebun dapat diinformasikan kepada pemiliknya. Artinya bahwa kondisi kesejahteraan masyarakat ketika itu sudah cukup sejahtera dengan ketersediaan sumberdaya alam di sekitarnya. Berbeda dengan kondisi sekarang, sejak era 1990-an, masyarakat sudah mulai menganggap uang menjadi penting bagi kehidupannya, oleh karena itu semua hasil sumberdaya sudah dapat diperdagangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dengan perkembangan kondisi terakhir inilah membuat sebagian besar masyarakat desa di kabupaten Halmahera Utara mengalami kesulitan dalam menghadapi kehidupan kesehariannya terutama dalam upaya membangun masa depan kehidupan keluarga sejahtera.

4.2 Sumber Pendapatan Nelayan

Kabupaten Halmahera Utara secara geografis sebagian besar adalah wilayah laut yang dapat menggambarkan bahwa masyarakat dalam aktifitasnya baik segi ekonomi, sosial dan lain-lain selalu ada hubungan dengan perairan laut. Pemukiman masyarakat pada umumnya berada pada pesisir pantai dan pulau-pulau tetapi sumber pencaharian utama adalah sebagai petani dengan mengembangkan tanaman Kelapa dan berbagai jenis tanaman perkebunan seperti cengkeh, pala, kakao, vanili juga berbagai jenis tanaman hortikurltura dan tanaman pangan. Oleh karena itu selain bermata pencaharian sebagai petani, sector perdagangan dan perikanan juga mulai diusahakan oleh masyarakat di Halmahera Utara. Khusus pada sektor perikanan masyarakat memanfaatkan sumberdaya ini sebagai pekerjaan sambilan

Nelayan di desa Kusu Lovra terbagi menjadi dua kelompok yaitu nelayan katinting dan buruh nelayan katinting. Nelayan katinting yang dimaksud dalam


(53)

penelitian ini adalah nelayan yang melakukan penangkapan dengan perahu katinting milik sendiri. Sedangkan buruh nelayan katinting yaitu nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan perahu katinting milik orang lain. Pendapatan buruh nelayan diperoleh melalui pembagian hasil penangkapan dengan pemilik perahu katinting setelah dikurangi total biaya operasional. Pemilik perahu katinting mendapat setengah dari total pendapatan bersih, begitu juga dengan buruh nelayan mendapat bagian yang sama dengan pemilik perahu katinting.

Secara umum, nelayan desa Kusu Lovra tidak sepenuhnya mengandalkan pendapatannya dari hasil melaut, tetapi banyak juga dari mereka yang sumber pendapatannya dari hasil bekerja sebagai petani, khususnya petani kopra. Rata-rata pendapatan dari sektor pertanian tanaman kelapa sebesar Rp. 450.000,- per bulan dari lahan seluas 1 sampai 2 hektar. Satu kilogram kopra dijual seharga Rp.3.000,- dari rata-rata kopra yang dihasilkan sebanyak 1.200 kilogram. Sedangkan panen kelapa dilakukan setiap tiga kali dalam setahun. Sebagian besar dari mereka menjual kelapa di lokasi pemanenan tanpa harus membawanya ke pasar, atau penjual yang datang langsung ke kebun kelapa, tetapi ada sebagian masyarakat yang sudah sejak awal menerima panjar sehingga hasil kelapa mereka dijual kepada langganan mereka. Model yang terakhir ini terkadang selaku petani kelapa ada dalam ketidakberdayaan karena harga dapat dimainkan oleh pembeli langganan tersebut, dengan berbagai alasan diantaranya bunga atas panjar yang telah diambil.

Bagi nelayan maupun buruh nelayan di desa Kusu Lovra, pendapatan dari hasil kebun dianggap sebagai pendapatan tambahan yang diperoleh tanpa

mengorbankan waktu yang cukup banyak. Mereka menjual hasil kebun (kelapa) setelah kelapa terlihat mulai mengering.

Pendapatan kotor nelayan dari hasil melaut sebesar Rp.100.000-150.000/hari. Setelah pendapatan tersebut dikurangi dengan total biaya operasional, sisanya kemudian dibagi dua antara pemilik perahu dengan buruh nelayan. Rata-rata biaya operasional perhari untuk nelayan katinting adalah sebesar Rp.41.000. Sehingga


(54)

rata-rata pendapatan bersih untuk nelayan maupun untuk buruh nelayan perhari sebesar kurang lebih Rp.42.000,- Begitu juga pendapatan untuk buruh nelayan. Jika diasumsikan (berdasarkan pengalaman nelayan desa Kusu Lovra) bahwa penangkapan efektif 14 hari dalam sebulan maka rata-rata pendapatan nelayan adalah sebesar Rp.588.000- per bulan. Upah Minimum Propinsi (UMP) Maluku Utara tahun 2008 sebesar Rp. 700.000,-per bulan, pada tahun 2009 naik sebesar 10% menjadi Rp. 770.000,-per bulan

.

4.3 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan suatu gambaran secara umum untuk melihat kualitas sumber daya manusia (SDM) masyarakat nelayan desa Kusu Lovra. Hal ini disebabkan karena pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan adaptasi dan adopsi terhadap teknologi dan perubahan (kemajuan). Keragaan pendidikan pada masyarakat nelayan, secara umum diperoleh informasi bahwa tingkat pendidikan masyarakat nelayan serendah-rendahnya Sekolah Dasar (SD) dan setinggi-tingginya adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP), hal ini tidak menunjukkan adanya perbedaan berdasarkan perbedaan klasifikasi nelayan. Artinya baik pemilik nelayan katinting maupun buruh nelayan katinting mempunyai kesempatan yang sama dalam hal pendidikan. Namun demikian secara keseluruhan tingkat pendidikan masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra dapat dikatakan masih relatif rendah karena ditemukan sebanyak 76,4% nelayan hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD), dan 23,5% berpendidikan SMP dari total jumlah penduduk 341 jiwa. Tingkat pendidikan tersebut sangat berpengaruh terhadap inovasi dan kreativitas nelayan dalam melaksanakan aktivitasnya, dan akan berpengaruh pula terhadap tingkat pendapatan nelayan.

Menurut Dahuri (2000) bahwa pada umumnya masyarakat pesisir lebih merupakan masyarakat tradisional dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah


(55)

dan relatif sederhana. Pendidikan formal yang diterima masyarakat pesisir secara umum jauh lebih rendah dari pendidikan masyarakat non pantai lainnya. Berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat, Rahardjo (1996) menyatakan bahwa masyarakat pesisir dapat dibedakan secara jelas dari masyarakat kota, perbedaan utamanya karena keadaan sosial ekonomi mereka yang umumnya terbelakang. Seperti terlihat dari beberapa indikator, misalnya pendapatan yang relatif rendah, kurangnya kelembagaan penunjang, lemahnya infrastruktur (sosial, fisik, ekonomi), rendahnya tingkat pendidikan dan status kesehatan.

Sedangkan perhatian dan tingkat partisipasi nelayan terhadap pendidikan anak-anaknya cukup tinggi, baik untuk anak perempuan maupun anak laki-laki. Anak-anak mereka pada umumnya bersekolah hingga jenjang SLTP, walaupun tidak semua anak nelayan bersekolah hingga SLTP. Kepedulian masyarakat setempat terhadap arti penting pendidikan bagi masa depan kehidupan anak-anak mereka, mulai berubah sejak dasa warsa 90-an. Walaupun dengan kondisi yang demikian, ada juga nelayan yang mulai menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang pendidikan tinggi.

4.4 Sosial ekonomi nelayan

Masayarakat desa Kusu Lovra terdiri dari etnis Tobelo, Boeng, Pagu, Kao, Tobaru (suku-suku asli), dan suku pendatang; Sanger, Talaud dan Minahasa. Khusus untuk masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra didominasi oleh etnis Sanger dan Talaud, dan mereka berdomisili dalam satu lokasi yang tidak bercampur banyak dengan etnis yang lain, oleh karena itu sebagai kelompok masyarakat sesama etnis, tolong-menolong, saling membantu, gotong royong juga masih hidup dan berkembang dalam masyarakat., tetapi dalam perkembangan terakhir ini, dalam banyak hal, nilai-nilai yang pernah ada dulu sudah mulai terdegradasi hanya karena berbagai usaha dan aktifitas masyarakat telah memiliki nilai materi (uang).

Kehidupan para nelayan desa Kusu Lovra bukanlah bersifat individual, tetapi dalam melaksakan pekerjaan sebagai nelayan, sebagian dari mereka ada yang


(56)

hidup berkelompok. Setiap kelompok nelayan terdiri dari: (1) juragan pemilik kapal/perahu; (2) dan buruh nelayan. Ketika melaut buruh nelayan juga terkadang ada yang sendiri dan ada juga yang lebih dari satu orang. Sebagai sebuah (organisasi) kelompok nelayan, pola relasi kerja, baik antara juragan/pemilik perahu dan buruh nelayan sendiri, bukan terjadi dalam kerangka hubungan kerja antara “atasan” dan “bawahan” yang bersifat “hubungan pengabdian”, tetapi lebih bersifat “kolegialisme” dan “kekeluargaan”, sekalipun terdapat klasifikasi di antara mereka sesuai dengan spesifikasi kerja masing-masing. Hubungan kerja di antara mereka pun sangat longgar, terbuka, suka-hati dan didasarkan atas kerjasama yang saling menguntungkan. Hal ini menunjukkan betapa faktor-faktor sosial dan budaya bercampur baur dengan faktor-faktor ekonomi.

Menurut Boeke dalam Mintaroem (2008), masyarakat desa tradisional mampu membangun dan mengembangkan struktur ekonomi secara otonom dan swasembada, hal itu tidak lain karena didukung penuh oleh adanya ikatan-ikatan sosial dan budaya yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan-kebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip produksi pertanian yang semata-mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu didasarkan pada motif-motif murni ekonomi yang sangat berorientasi kepada pasar dan laba (non profit oriented). Sehubungan dengan hal itu maka pekerjaan tidak lain dipandang sebagai “sarana pengabdian” terhadap kewajiban-kewajiban moral, sosial, etika dan keagamaan; atau hanya sebatas sebagai upaya manusia untuk mempertahankan hidup. Dengan kata lain, setiap aktivitas ekonomi, apapun bentuk dan jenisnya, ia senantiasa dikuasai atau berada di dalam “konteks tradisi”.

PEMILIK KAPAL/JURAG

AN

BURUH NELAYAN

PEDAGANG PENGEPUL

KONSUMEN AKHIR


(57)

Gambar 4. Pelaku Ekonomi di Desa Kusu Lovra

Gambar di atas terlihat bahwa sebagian nelayan yang tidak memiliki perahu, mereka membawa perahu milik orang lain dengan system bagi hasil. Hasil tangkapan di bagi rata antara pemilik perahu dengan buruh nelayan, setelah dikurangi total biaya operasional. Biaya operasional sepenuhnya dikeluarkan oleh buruh nelayan, sedangkan pemilik perahu hanya bermodalkan perahu saja. Disini terlihat hubungan antara pemilik perahu dengan buruh nelayan seperti hubungan “patron-klien”. Hubungan ini terjadi karena buruh nelayan tidak ada pilihan lain kecuali mengoperasikan perahu milik orang lain. Akibatnya, penghasilan yang diperoleh relatif lebih kecil dibanding jika perahu milik sendiri. Munculnya pelaku-pelaku ekonomi lokal (juragan, pedagang pengepul) dalam relasi perdagangan ikan, tidak saja memiliki arti penting bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi para nelayan yang menjadi “kliennya”, tetapi di lain pihak juga telah menciptakan hubungan “patron-klien” yang cenderung melahirkan “ketergantungan ekonomis” bagi umumnya para buruh nelayan.

Organisasi dan hubungan kerjasama di antara pemilik perahu dengan buruh nelayan di atas tidaklah terlalu ketat, tidak semata-mata didasarkan pada hubungan ekonomi-bisnis, faktor-faktor yang bersifat “kekeluargaan” juga mewarnai pola relasi kerjasama di antara mereka. Artinya, siapapun orangnya, dia dapat masuk menjadi pengikut atau awak perahu dari seorang pemilik perahu tertentu dan/atau para pemilik perahu yang lain, secara sukarela, tanpa ada paksaan. Demikian pula, mereka dapat keluar dari buruh nelayan tersebut kapan mereka menghendakinya, tanpa ada tekanan dari pemilik perahu. Buruh nelayan berhenti apabila hasil tidak memuaskan atau beralih pada pekerjaan lain yang lebih menguntungkan atau memuaskan kebutuhan diri dan keluarganya.

Longgarnya ikatan keorganisasian dan hubungan kerjasama kemitraan di antara pemilik kapal dengan buruh nelayan tersebut tampaknya disebabkan oleh pola rekrutmen yang juga tidak terlalu ketat, tidak terlalu prosedural, atau dengan


(1)

Lampiran 5

Foto-Foto Aktivitas Nelayan dan Pengambilan Data


(2)

Kebun kelapa nelayan Lampiran 5 (lanjutan)


(3)

Bantuan perahu nelayan yang tidak lagi beroperasi

Lampiran 5 (lanjutan)


(4)

Aktivitas nelayan Desa Kusu Lovra ketika tidak melaut


(5)

Pengambilan data dari salah satu respondes pemilik katinting

Alat tangkap: alat tangkap yang dominan digunakan nelayan desa Kusu Lovra

Lampiran 5 (lanjutan)


(6)